• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP FIQH SIYA>SAH TENTANG PEMBERHENTIAN

C. Konsep Kepala Daerah dalam Fiqh Siya>sah

31

1. Bidang siya>sah tasri’iyah, termasuk di dalamnya persoalan ahlu hali wal aqdi, perwakilan persoalan rakyat. Hubungan muslimin dan non muslim di dalam satu negara, seperti Undang-Undang Dasar, undang-undang, peraturan pelaksanaan, peraturan daerah, dan sebaginya.

2. Bidang siya<sah tanfidiyah, termasuk di dalamnya persoalan imamah, persoalan bai’ah, wuzaroh, waliy al-ahdi, dan lain-lain.

3. Bidang siya>sah qadla>’iyah, termasuk di dalamnya masalah-masalah peradilan.

4. Bidang siya>sah ida>riyah, termasuk di dalamnya masalah-masalah administratif dan kepegawaian31.

Sumber fiqh dustu<riyah tentu pertama-tama adalah Al-Qur’an al-Karim yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupan kemasyarakatan, dalil-dalil kulliy dan semangat ajaran Al-Qur’an. Kemudian hadis terutama sekali hadis-hadis yang berhubungan dengan imamah, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan Rasulullah SAW. Di dalam menerapkan hukum negeri Arab.

C. Konsep kepala daerah dalam fiqh siya>sah dustu>riyah 1. Istilah kepala daerah

Menurut fiqh siya>sah kepala daerah disebut wali. Wali adalah orang yang diangkat khalifah untuk menjadi pejabat pemerintahan (hakim) disuatu daerah serta menjadi pemimpin di daerah tertentu. Islampun menjelaskan bahwa kepala daerah dikenal dengan sebutan ‚amir‛ artinya

31

H.A Djazuli, Fiqh siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), Cet. V, 47-48

32

digunakan untuk gelar-gelar jabatan penting yang bervariasi dalam perkembangan sejarah pemerintahan Islam dengan sebutan yang beragam seperti amir al-mu’minin, amir al-muslimin, amir al-umara, dan amir32. 2. Pemilihan kepala daerah

Menurut Al-Mawardi pemilihan kepala daerah tidaklah dipilih secara langsung. Hal ini seperti di Indonesia yang memilih kepala daerah secara langsung, namun kepala daerah diangkat oleh Khalifah (kepala negara). Jika kepala daerah diangkat oleh Imam untuk salah satu daerah atau wilayahnya, maka kekuasaannya terbagi kedalam dua bagian yaitu bersifat khusus dan bersifat umum. Kepala daerah yang diangkat dengan akad sukarela mempunyai tugas tertentu dan otoritas tertentu pula, sedangkan kepala daerah yang diangkat dengan paksaan itu seorang yang menggunakan kekuatan senjata kemudian diangkat oleh imam (khalifah) untuk menjadi penguasa diwilayah tersebut dan diberi wewenang untuk mengelola dan menatanya33.

Dalam Islam formulasi memilih pemimpin serta sistem pelaksanaan dalam hukum Islam adalah maslahah. Penempatan maslahah sebagai prinsip utama karena maslahah merupakan konsep paling penting dalam syariah. Maslahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam. Para ulama merumuskan maqashid syari>’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali,

32 Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: ajaran, sejarah, dan pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1994), 63.

33

Al-Mawardi, Ahkam sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Al-Azhar Press, 2015), 59.

33

Sya>tibi, Ath-Thufi dan sejumlah ilmuwan Islam telah sepakat tentang hal itu. Maka dengan demikian, sangat tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip utama memilih pemimpin dalam Islam. Dan dalam penyelenggaraan pilkada secara langsung tersebut paling besar maslahatnya, dan dalam penyelenggaraan pilkada langsung terdapat aspek maslahat yaitu34:

1) Bidang politik dan pemerintahan. 2) Bidang hukum.

3) Bidang sosial ekonomi. 3. Pemberhentian kepala daerah

Istilah pemberhentian sama dengan istilah pemakzulan dan mempunyai konotasi yang sama dengan istilah impeachment. Dalam istilah akademik pemakzulan adalah proses hukum ketatanegaraan untuk memecat presiden atau pejabat negara lainnya dari jabatannya35. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan merupakan sebuah amanah dan tanggung jawab yang tidak

hanya dipertanggungjawabkan kepada rakyatnya tetapi juga

dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Islam sebagai agama yang berorientasi kepada pewujudan kemaslahatan umat manusia yang menginginkan hidup berbahagia didunia maupun diakhirat36.

34

I-Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.) jilid II, 2-3.

35 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden

Menurut Undang-Undang 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 10.

36

Azyumardi Azra, Kajian Termasuk Al-Qur’an Tentang Kemasyarakatan, (Bandung: Angkatan, 2008), 200.

34

Dalam Islam konsep kepemimpinan dikenal dengan istilah wali. Wali merupakan orang yang diangkat oleh khalifah untuk menjadi pejabat pemerintahan (hakim) disuatu daerah. Adapun negeri dalam negara Islam dibagi menjadi beberapa bagian yaitu masing-masing bagian itu disebut wilayah (setingkat provinsi), dan setiap wilayah dibagi masing-masing bagian itu disebut imalah (setingkat kabupaten). Dimana orang yang memimpin wilayah tersebut disebut dengan wali, sedangkan orang yang memimpin ‘imalah tersebut disebut dengan ‘amil dan hakim. Seorang wali adalah wakil khalifah dalam pemerintahan, jadi wali juga merupakan seorang pejabat yang dimana untuk menjadi seorang wali syaratnya sama seperti khalifah atau kepala negara37.

Pemberhentian kepala daerah telah ada sejak pada zaman Rasulullah, salah satunya pemberhentian kepala daerah yang pada masa pemerintahan Ali disebabkan nepotisme. Tetapi didalam Islam mengenai mekanisme pemberhentian kepala daerah/amir/wali tidak ditemukan penjelasan secara rinci, akan tetapi didalam kitab-kitab fiqh siya>sah setidaknya ditemukan beberapa cara pemberhentian kepala daerah yang disamakan dengan pemberhentian kepala negara karena kepala negara dan kepala daerah memiliki peranan penting dalam memimpin suatu wilayah yang membedakan adalah batas wilayah kekuasaannya.

37

Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam (Nidhamul Hukmi Fil Islam), (Bangil: Al-Izzah, 2002), 209-210.

35

Menurut pandangan beberapa para ahli tentang pemberhentian (pemakzulan) atau impeachment imam/khalifah/kepala negara, yakni38: 1) Imam Al-Mawardi, ada 2 (dua) alasan yaitu Pertama, mengalami

perubahan dalam status moral (akhlak) secara teknis disebut dengan pelanggaran terhadap norma-norma keadilan (‘adalah). Kedua, terjadi perubahan dalam diri imam seperti hilang panca indra jasmani, hilang/cacat organ tubuh, dan hilang kemampuan mengawasi dan memimpin rakyat.

2) Al-Nabhani, ada 3 (tiga) alasan yaitu Pertama, seorang khalifah murtad dari Islam. Kedua, seorang khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan. Ketiga, seorang khalifah ditawan musuh yang kuat dan tidak memungkinkan bisa melepaskan diri dari tawanan tersebut, bahkan tidak ada harapan untuk bebas.

3) Din Syamsuddin, ada beberapa alasan diantaranya yaitu menyimpang dari keadilan, kehilangan paanca indera atau organ tubuh lainnya, kehilangan kebebasan bertindak karena telah dikuasai oleh orang-orang dekatnya, tertawan, dan menjadi fasik artinya terjatuh dalam kecenderungan syahwat semisal melakukan perselingkungan.

Al-Din Al-Nabhani berpendapat bahwa pemberhentian kepala daerah tergantung kepada kepala negara, dan yang berhak memberhentikan adalah kepala negara. Diantaranya, Rasulullah pernah memberhentikan Mu’adz bin Jabal dari Yaman tanpa alasan, Rasulullah juga memberhentikan ‘Ila

38

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah (Doktrin dan Pemikiran Politik Islam), (Jakarta: Erlangga, 2008), 168-181

36

Hadharami yang menjadi amil di Bahrain hanya karena Rasulullah mendapat pengaduan tentang ‘ila dari utusan Abdul Qais. Umar bin Khattab juga memberhentikan seorang kepala daerah dengan alasan tertentu seperti memberhentikan Ziyad bin Abi Sufyan dengan tanpa alasan, kemudian pernah memberhentikan Sa’ad bin Abi Waqqash dengan alasan mendapat pengaduan dari orang-orang tentang dirinya. Khalifah berkata ‚aku memberhentikannya bukan karena ia lemah, bukan juga ia berkhianat‛. Dan semua itu menunjukkan bahwa seorang kepala negara berhak memberhentikan seorang kepala daerah kapan saja dan saat ada pengaduan dari penduduk daerah yang di pimpin oleh kepala daerah tersebut39.

Maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme pemberhentian kepala daerah secara teoritis fiqh siya>sah terjadi apabila seorang kepala daerah sudah menyimpang dari syariat, tidak adil, dan tidak memenuhi lagi syarat sebagai kepala daerah.

4. Syarat dan kewajiban kepala daerah

Didalam Islam kepala daerah tidak dipilih oleh rakyat tetapi diangkat oleh kepala negara (khalifah). Menurut Al-Mawardi syarat menjadi kepala daerah tidak jauh berbeda dengan yang ditetapkan untuk menjadi wakil

39

Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam (Nidhamul Hukmi Fil Islam), (Bangil: Al-Izzah, 2002), 234-235.

37

khalifah. Al-Mawardi memberikan kriteria terhadap orang yang berhak dipilih menjadi pemimpin (imam) dengan 7 (tujuh) syarat, yakni40:

1) Adil dengan segala persyaratannya (benar tutur katanya, dapat dipercaya, terpelihara dari segala yang haram, menjauhi segala dosa dan hal-hal yang merugikan, memegang muru’ah: yang mengurangi keadilan itu adalah al-fasqu yang terdiri dari 2 (dua) hal yaitu (1) mengikuti syahwat, (2) yang berhubungan dengan syuhbat. Adapun yang pertama berhubungan dengan anggota badan yaitu melakukan yang haram dan kemungkaran, sedangkan yang kedua berkaitan dengan itiqodiyah). 2) Memiliki ilmu yang dapat melakukan ijtihad dalam menghadapi

persoalahan dan hukum.

3) Sehat pendengaran, mata, dan lisannya supaya dapat berurusan langsung dengan tanggung jawab.

4) Sehat badan sehingga tidak terhalang untuk melakukan gerak dan langkah cepat

5) Pandai dalam mengendalikan urusan rakyat dan kemaslahatan umum 6) Berani dan tegas membela rakyat, wilayah negara, dan menghadapi

musuh.

7) Keturunan Quraisy.

40

Al-Mawardi, Ahkam sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, terj: Khalifurrahman Fath dan fathurrahman, (Jakarta: Qisthi Press, 2014), 17-19

38

Dari ketujuh syarat yang dijelaskan diatas, akan lebih dijelaskan yakni41: 1) Keseimbangan (al-‘adalah) yang memenuhi semua kriteria. Yaitu seorang pemimpin harus memiliki kreadibitas secara menyeluruh dalam dirinya yang meliputi adil, jujur, bertabiat dan watak baik, berakhlak baik, mendahulukan kepentingan umat dan taat terhadap syariat agama. 2) Mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya dapat melakukan

ijtihad untuk menghadapi kejadian-kejadian yang timbul dan untuk membuat kebijakan hukum.

3) Lengkap dan sehat fungsi panca indranya. Seorang pemimpin harus memiliki kelengkapan fungsi panca indra. Jika salah satu panca indranya mengalami gangguan atau tidak berfungsi, maka akan menghalangi untuk bisa menjabat daerah kekuasaannya karena akan menghambat jalannya tugas sebagai pemimpin saat ia terpilih dan diangkat sebagai pemimpin, antara lain yaitu bisa mendengar, bisa berbicara, bisa melihat, bisa merasakan dan membedakan rasa makanan, serta mencium bau.

4) Tidak ada kekurangan pada anggota tubuhnya yang menghalangi untuk bergerak dan bertindak, diantaranya yaitu lengkap kedua matanya, kedua tangan dan kakinya, kedua telinganya, lengkap akalnya (tidak gila maupun sakit jiwa), dan tidak dalam tawanan musuh.

41

Al-Mawardi, Ahkam sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, terj: Khalifurrahman Fath dan fathurrahman, (Jakarta: Qisthi Press, 2014), 17-19

39

5) Visi pemikirannya baik sehingga ia dapat menciptakan kebijakan bagi kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan umat. Dan seorang pemimpin harus memiliki visi pemikiran yang baik, maju, dan wawasan luas.

6) Mempunyai keberanian dan sifat menjaga rakyat yang membuatnya mempertahankan rakyatnya memerangi musuh. Syarat ini mutlak dibutuhkan apalagi saat situasi sosial politik sedang kacau dan stabilitas negara terganggu, maka seorang pemimpin dituntut berani bertindak dan membuat kebijakan yang bersifat melingdungi rakyat dan memerangi musuh.

7) Mempunyai nasab dari suku Quraisy, merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad:

‚Para pemimpin adalah dari suku Quraisy‛. (HR.Ahmad)

Dari ketujuh syarat tersebut harus dipenuhi seseorang saat dipilih atau diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai pemimpin. Syarat ahlul ijtihad bagi calon pemimpin itu hal yang paling penting karna mengemban tugas sebagai pemimpin sangatlah berat untuk dilaksanakan jika tidak mempunyai ilmu yang luas42.

Menurut Abu Ja’la al-Hambali menyebutkan ada 4 (empat) syarat imam sebagai berikut, yaitu43:

1) Haruslah orang Quraisy.

42

Mujar Ibn Syarif, Presiden Non Muslim Di Negara Muslim: Tinjauan Dari Prespektif Politik Islam

dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar, 2006), 42.

43

40

2) Memiliki syarat-syarat seorang hakim yaitu merdeka, baligh, berakal, berilmu dan adil.

3) Mampu memegang kendali didalam masalah-masalah peperangan, siya>sah, dan pelaksanaan hukuman.

4) Orang yang paling baik atau utama didalam ilmu dan agama.

Ibnu Taimiyyah, ‚tidak mengharuskan seorang penguasa memiliki kualitas yang lebih banyak dari seorang saksi yang dapat dipercayai‛. Walaupun demikian, Ibnu Taimiyyah memberi syarat tambahan yaitu amanah dan memiliki kekuatan. Amanah itu takut kepada Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah tidak takut kepada manusia, sedangkan kekuatan itu sesuai dengan tugas yang disandangnya. Bukan saja di kalangan para ulama terdahulu terdapat perbedaan pendapat tentang persyaratan seorang imam, akan tetapi juga terdapat perbedaan pendapat tersebut dikalangan ulama yang sekarang.

Yusuf Musa setelah menguraikan syarat-syarat imam menurut Ibn Hazm al-Juwaeni, Al-Ghazali, Al-Kamal bin Abi Syarif dan Al-Kamal bin Hunam, Al-Iji, Al-Baqalani dan Ibnu Khaldun akhirnya beliau berpendapat bahwa syarat imam adalah Islam, laki-laki, mukallaf, berilmu, adil, mampu, dan selamat pancaindranya dan anggota badannya. Demikian pula Abdul Qadir Audah mensyaratkan ketujuh syarat tersebut diatas. Sedangkan Ibnu Khaldun hanya memberi 4 (empat) syarat, yakni:

a. Memiliki ilmu pengetahuan. b. Adil.

41

c. Mampu melaksanakan tugas termasuk kearifan.

d. Sehat jasmani dalam arti pancaindranya dan anggota badan lainnya. Oleh karena itu, mendidik pribadi-pribadi untuk jadi pemimpin adalah penting, agar banyak terdapat calon-calon pemimpin yang memenuhi persyaratan paling banyak, sehingga mendekati kepada pemimpin yang ideal. Apabila yang ideal tidak ada maka dipilih yang paling mendekati kata ideal. Apabila itupun tidak ada, maka dipilih yang paling maslahat diantara yang ada. Jadi, wilayah al-ahd dapat saja terjadi dan sah asal diakui oleh ahl al-hall wa al-aqdi dan memenuhi pesyaratan44.

Islam sebagai agama amal adalah sangat wajar apabila meletakkan focus of interest-nya pada kewajiban. Hak itu sendiri datang apabila kewajiban telah dilaksanakan secara baik. Demikian pula halnya dengan kewajiban-kewajiban imam, ternyata tidak ada kesempatan diantara ulama terutama dalam perinciannya sebagai contoh akan dikemukakan. Menurut Imam Al-Mawardi, kewajiban-kewajiban imam yaitu45:

a. Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah ditetapkan, dan apa-apa yang telah disepakati oleh umat salaf.

b. Mentanfidzkan hukum-hukum diantara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.

44 H.A Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 72-73

45

H.A Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 61-62

42

c. Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tentram dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat berpergian dengan aman tanpa ada gangguan terhadap jiwanya ataau hartanya.

d. Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan. e. Menjaga tanpa batas dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak

berani menyerang dan menumpahkan darah muslim atau nonmuslim yang mengadakan perjanjian damai dengan muslim (mu’ahid).

f. Memerangi orang yang menentang Islam setelah dilakukan dakwah dengan baik-baik tapi mereka tidak mau masuk Islam dan tidak pula jadi kafir dzimi.

g. Memungut fay dan sedekah-sedekah sesuai dengan ketentuan syara atas dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu.

h. Menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak menerimanya dari baitulmal dengan wajar serta membayarkan pada waktunya.

i. Menggunakan orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyeraahkan pengurusan kekayaan negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta negara diurus oleh orang-orang yang jujur.

j. Melaksanakan sendiri tugas-tugasnya yang langsung didalam membina umat dan menjaga agama.

43

Yusuf Musa menambahkan kewajiban lain, yakni menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan, karena kemajuan umaat sangat tergantung kepada ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu-ilmu-ilmu keduniawian. Apabila dikaitkan kewajiban ini dengan muqasidu syariah, maka tugas daan kewajiban imam tidak lepas dari hal-hal berikut, yakni46:

a. Yang dharuri, meliputi hifdh din, hifdh nafs, hifdh ‘aql, hifdh al-nasl/irild, dan hifdh al-mal serta hifdh al-ummah, dalam arti seluas-luasnya, seperti didalam hifdh al-mal termasuk didalam mengusahakan kecukupan sandang, pangan, dan papan disamping menjaga agar jangan terjadi gangguan terhadap kekayaan.

b. Hal-hal yang bersifat haaji, yang mengarah kepada kemudahan didalam melaksanakan tugas.

c. Hal-hal yang taksini, yang mengarah kepada terpeliharanya rasa keindahan dan seni dalam batas-batas ajaran Islam.

Dan yang penting ulil amri harus menjaga dan melindungi hak-hak rakyatnya dan mewujudkan hak asasi manusia, seperti hak milik, hak hidup, hak mengemukakan pendapat dengan baik dan benar, hak mendapatkan penghasilan yang layak, hak beragama dan lain-lain.

5. Tokoh-tokoh kepala daerah dalam masa Nabi dan Sahabat

Dalam bahasa Arab khilafah berasal dari kata khalafah yang artinya menggantikan, dan orang yang memimpin disebut dengan khalifah atau imam atau amirul mukminin. Khalifah merupakan suatu gelar yang

46

H.A Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 62-63

44

diberikan kepada pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad dengan kata lain ‚khulafaur rasyidin‛. Khilafah merujuk pada sistem kepemimpinan umat yang mana menggunakan Islam sebagai ideologi serta undang-undangnya mengacu pada Al-Qur’an, Hadits, Ijma, dan Qiyas. Sistem ini diterapkan diawal perkembangan agama Islam. Didalam sejarahnya, pasca wafatnya Nabi Muhammad para sahabat membai’at Abu Bakar untuk menjadi khalifah, kemudian Abu Bakar wafat para sahabat membai’at Umar bin Khattab, kemudian Umar bin Khattab wafat para sahabat membai’at Utsman bin Affan, dan kemudian Utsman bin Affan wafat para sahabat membai’at Ali bin Abi Thalib.

Kemudian sistem ini berubah pada pemerintahan Khilafah Umayyah, Abbasiyah hingga masa Utsmaniyah yang dimana setelah khalifah wafat akan digantikan oleh anaknya. Dan sistem ini mirip dengan sistem kerajaan pada zaman sekarang. Tetapi ada perbedaannya yakni jika kekuasaan khalifah ditujukkan sebagai perwakilan umat dalam menjalankan dan menerapkan syariat Islam sebagai dasar hukum dan pemerintahan. Sedangkan kekuasaan raja, kekuasaan yang mutlak mempunyai kuasa penuh untuk memerintah negaranya47.

Dalam bahasan Arab Kekhalifahan Rasyidin berasal dari kata al-khilafah ar-Ra>syidi>yah yang artinya kekhalifah yang berdiri setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW tahun 632 M atau 11 H. Kekhalifah ini terdiri dari 4

47

45

(empat) khalifah pertama dalam sejarah Islam disebut ‚Khulafaur Rasyidin‛, yakni48:

1) Abu Bakar Ash Shiddiq atau ‘Abdullah Saha>bi> As-Siddi>q pada 8 Juni 632 sampai 22 Agustus 634

Semasa hidupnya Nabi Muhammad SAW tidak pernah menitipkan pesan atau menunjuk siapa yang akan menjadi penggantinya, sehingga pada saat Nabi Muhammad wafat terjadi beberapa perselisihan ketika proses pengangkatan khalifah antara kaum muhajirin dan kaum anshar. Kaum Anshar menawarkan Saad bin Ubadah dan Abu Bakar Ash Shiddiq menawarkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah. Tetapi Umar bin Khattab menolak usulan Abu Bakar, menurutnya Abu Bakar yang pantas menjadi khalifah dari kaum muhajirin.

Dengan adanya musyawarah maka disepakati bahwa Abu Bakar yang pantas menjadi seoraang khalifah. Adapun beberapa kesepakatan tersebut dari Abu Bakar, yaitu:

a. Orang pertama yang mengakui peristiwa Isra’ Mikraj.

b. Orang yang menemani Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. c. Orang yang sangat gigih dalam melindungi orang yang memeluk

agama Islam, dan.

d. Imam shalat sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW ketika sedang sakit.

48

https://id.m.wikipedia.org/wiki/khilafah. Rein Taagepera, Size and Duration of Empires:

46

Semasa kepemimpinannya yang singkat beliau memprioritaskan penyelesaian problem dalam negeri. Segala keputusan ada ditangan Khalifah Abu Bakar, dia selalu mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya sebelum memutuskan sesuatu diantaranya untuk memerangi orang yang tidak membayar zakat, terjadi musyawarah dengan Umar bin Khattab. Alasan Abu Bakar bahwa tidak ada yang memisahkan antara shalat dan zakat Al-Qur’an, dia beralasan karena Nabi Muhammad tidak pernah mencontohkannya, shalat dan zakat adalah kesatuan rukun Islam yang tidak boleh dipisahkan. Abu Bakar menunjuk langsung Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan mempertimbangkan situasi politik yang ada.

2) Umar bin Khattab atau Saha>bi> Al-Farooq Amir al Mu’minin pada 23 Agustus 634 sampai 03 November 644

Sebelum meninggal Abu Bakar Ash Shiddiq bertanya kepada para sahabatnya tentang penunjukan Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Beliau menanyakan hal itu kepada Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Asid bin Hudhair Al-Anshary, Sa’id bin Zaid serta sahabatnya dari kaum muhajirin maupun kaum anshar. Ketika Abu Bakar sakit, beliau memanggil Utsman bin Affan untuk menulis wasiat yang berisi tentang penunjukan Umar bin Khattab sebagai penggantinya, agar sepeninggalannya tidak ada perselisihan di kalangan umat Islam masalah Khalifah. Umar mengumumkan dirinya bukan sebagai Khalifatur Rasul (pengganti Rasul) tetapi sebagai Amirul

47

Mukminin (pemimpin orang-orang beriman), Umar menjabat khilafah selama 12 tahun. Umar memprioritaskan perluasan Islam, hingga mencapai sepertiga dunia. Posisi Islam menyamai kekuatan besar yaitu Romawi dan Persia.

3) Utsman bin Affan atau Saha>bi> Dhun Nurayn Amir al-Mu’minin pada 11 November 644 sampai 20 Juni 656

Ketika Umar sakit keras karena ditikam oleh Abu Lu’lu’ah al-Majusi seorang budak asal persia, dia membentuk tim formatur yang terdiri dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin

Dokumen terkait