• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Kepribadian Sehat Menurut Suryomentaram

Dalam dokumen SKRIPSI HENDY M2A002041 (Halaman 82-88)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

D. Kebudayaan Jawa

6. Konsep Kepribadian Sehat Menurut Suryomentaram

Moral etika khas Jawa adalah dasar dari budi pekerti Jawa, yang dijadikan

sebagai kesatuan norma acuan untuk menilai sikap, watak, dan perilaku baik atau

buruk pada masyarakat Jawa. Moral etika Jawa tidak sekedar ditentukan oleh

nalar dan keinginan, melainkan lebih diwarnai oleh rasa. Budi pekerti Jawa

menjadi unik karena didasari oleh rasa, yang menjadi faktor penting dalam

karakteristik kepribadian Jawa. Rasa merujuk pada sesuatu yang abstrak dan

hakiki yang akan membawa manusia kepada keagungan budi pekerti. Orang Jawa

akan mudah menyesuaikan diri dan mampu membawa dirinya dalam pergaulan

yang nyaman di lingkungan masyarakat, apabila dirinya pandai melakukan olah

rasa (Endraswara, 2003, h. 7).

Berdasarkan olah rasa, orang Jawa memegang prinsip hidup madya

(tengah-tengah), sebagai bentuk dari sikap dan perilaku yang berbudi pekerti

luhur. Prinsip hidup ini akan membawa manusia Jawa untuk berwatak “enam Sa”,

Apabila orang Jawa mampu melaksanakan prinsip hidup ini, maka dirinya akan

merasa sumeleh (nyaman) (Jatman, 1997, h. 38).

Kearifan tradisional adalah sebuah wawasan yang memuat kebijaksanaan

orang Jawa dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Salah satu bentuk

kebijaksanaan tersebut adalah ajaran kawruh begja yang diajarkan oleh Ki Ageng

Suryamentaram (Endraswara, 2003, h. 24). Ajaran kawruh begja tersebut

mengandung konsep budi pekerti aja dumeh (tidak sombong). Konsep aja dumeh

akan membawa manusia mendapatkan keuntungan hidup (begja), yaitu kehidupan

yang tenteram. Oleh karena itu, ketenteraman merupakan buah dari rasa begja.

Rasa begja akan selalu berkebalikan dengan rasa cilaka. Jika seseorang sedang begja akan merasa senang, sebaliknya kalau cilaka akan merasa susah.

Begja dan cilaka selalu mulur mungkret (silih berganti). Pergantian rasa begja- cilaka ini akan membuat budi pekerti seseorang menjadi semakin berkembang (Endraswara, 2003, h. 24).

Ajaran kawruh begja membantu manusia Jawa dalam mengoreksi diri

sendiri (mawas diri), sehingga manusia Jawa akan sadar dan memahami jati

dirinya (pengawikan pribadi) (Jatman, 1997, h. 47). Pengawikan pribadi dapat

dilakukan dengan banyak melakukan srawung. Srawung dapat dianggap sebagai

cermin untuk melihat diri ketika berhubungan dengan orang lain (Jatman, 1997, h.

52). Mawas diri menurut Subagyo (dalam Jatman, 1997, h. 19) merupakan usaha

untuk mencapai integrasi diri dan membebaskan diri dari egoisme dan

egosentrisme (meleburnya individualitas dalam universalitas) menuju Jumbuhing

Pengawikan pribadi digelar melalui analisis kramadangsa (aku). Tugas kramadangsa dalam diri manusia adalah untuk mencatat berbagai peristiwa

kehidupan. Oleh karena itu, jiwa manusia pada dasarnya berisi tentang berbagai

catatan keinginan dan tanggapan terhadap berbagai peristiwa kehidupan. Apabila

catatan itu kurang terkendali, maka yang dominan adalah keakuan yang luar biasa.

Aku yang dominan akan menjadikan manusia Jawa merasa dirinya lebih, sehingga

akan cenderung lupa diri (Endraswara, 2003, h. 25).

Rasa kramadangsa harus selalu diasah dengan cara mangasah-mingisih

budi. Oleh karena itu, apabila rasa kramadangsa tidak diasah, maka budi pekerti manusia Jawa akan menjadi tumpul dan berkembang aku yang negatif. Keadaan

ini akan menghilangkan rasa eling-waspada, sehingga akan merubah sikap

manusia menjadi seperti hewan. Jiwa (rasa) hanya dapat dibangun dan berjalan

teratur apabila kramadangsa selalu diterangi oleh pribadi yang luhur. Pada saat

itu, jiwa manusia Jawa akan menjadi bersih, suci, dan mengarah ke jalan yang

benar (Endraswara, 2003, h. 25).

Rasa eling-waspada akan membuat manusia Jawa menjadi senantiasa tabah

(tatag) apabila ditimpa kesusahan atau kesengsaraan. Berdasarkan konsep mulur-

mungkret, setelah mengalami kesusahan maka akan merasakan kebahagiaan. Konsep ini akan memotori jiwa manusia Jawa untuk selalu hidup optimis,

sehingga akan selalu tegar, berani menghadapi persoalan, dan lebih antisipatif

terhadap berbagai kemungkinan di masa yang akan datang (Endraswara, 2003, h.

perbudakan kepentingan pribadi untuk menuju pada manusia tanpa ciri

(manungsa tanpa tenger) yang transenden (Jatman, 1997, h. 12).

Prihartanti (2004, h. 38-39) memaparkan bahwa konsep manusia tanpa ciri

adalah lawan atau kebalikan dari kramadangsa. Manusia kramadangsa adalah

menusia yang penuh dengan ciri (dicirikan oleh sekumpulan catatan pribadinya).

Manusia dalam kepribadian kramadangsa bila berhubungan dengan orang lain

akan melihat catatan ciri pribadi sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan

tindakan. Manusia dalam kepribadian kramadangsa, apabila bertemu dengan

manusia lain yang sama-sama berkualitas kramadangsa akan sering berselisih.

Perselisihan dapat terjadi karena masing-masing menganggap dirinyalah yang

paling benar (bersikap egositik).

Sebaliknya, manusia tanpa ciri dalam berinteraksi dengan orang lain akan

senantiasa memandang bahwa orang lain cenderung sama. Pemahaman terhadap

sama rasa akan membawa ke arah pengertian bahwa untuk mencapai kebahagiaan

atau menyenangkan diri sendiri dapat ditempuh dengan membahagiakan orang

lain (bersikap altruistik). Lahirnya manusia tanpa ciri tidak berlangsung terus-

menerus (permanen), tetapi hanya terjadi pada setiap kejadian tertentu. Apabila

seseorang senantiasa mengamati gerak keinginannya, maka orang tersebut akan

semakin memahami dirinya dan mengidentifikasikan dirinya dengan kepribadian

manusia tanpa ciri. Pada akhirnya dirinya akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Inilah keadaan jiwa yang sehat menurut konsep rasa dalam kawruh

Struktur kepribadian menurut konsep rasa, dijelaskan oleh Suryomentaram

(dalam Prihartanti, 2004, h. 37) melalui gambar kramadangsa yang memuat

struktur kepribadian dalam empat dimensi, yaitu :

a. Dimensi I (fungsi fisikal)

Dimensi ini disebut sebagai juru catat yang melaksanakan fungsi

kesadaran personal. Melalui dimensi ini, manusia dengan panca inderanya akan

mencatat (mempersepsi) segala keadaan tentang dirinya.

b. Dimensi II (fungsi emosional)

Dimensi ini berisi sejumlah catatan hasil persepsi manusia. Tindakan

manusia dapat muncul dengan didasari oleh catatan-catatan pengalaman

sepanjang rentang hidupnya. Semua catatan ini apabila dirasakan, tidak hanya

bersifat menyenangkan (afek positif), namun juga dapat bersifat tidak

menyenangkan (afek negatif)

c. Dimensi III (fungsi intelektual)

Dimensi ini disebut sebagai kramadangsa yang menggambarkan bahwa

manusia memiliki pikiran. Oleh karena itu, dalam tindakannya manusia tidak

harus bertindak menuruti dorongan catatannya (yang emosional) saja, tetapi

juga harus mempertimbangkan pikiran rasionalnya.

Di antara dimensi III dan IV, terdapat wilayah yang disebut jalan

simpang tiga, yang merupakan fungsi dan tingkat pengintegrasian pribadi. Pada jalan simpang tiga ini, manusia diuji untuk bertindak impulsif mengikuti catatannya (yang berarti menuju ke arah kramadangsa yang egoistik) atau tidak

manusia tanpa ciri). Faktor yang menentukan individu untuk lebih memilih jurusan kramadangsa atau manusia tanpa ciri adalah keberhasilan individu

dalam mengolah rasa yang disebut mawas diri (Prihartanti, 2004, h. 41).

d. Dimensi IV (fungsi intuisional)

Dimensi ini berfungsi sebagai alat memahami dan merasakan perasaan

orang lain. Selain itu, dimensi ini juga berfungsi untuk mengetahui kekurangan

atau kesalahan diri sendiri. Apabila seseorang merasa dirinya paling benar,

maka dirinya akan kembali ke dimensi III. Keadaan tersebut akan menghambat

Dalam dokumen SKRIPSI HENDY M2A002041 (Halaman 82-88)

Dokumen terkait