BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
D. Kebudayaan Jawa
6. Konsep Kepribadian Sehat Menurut Suryomentaram
Moral etika khas Jawa adalah dasar dari budi pekerti Jawa, yang dijadikan
sebagai kesatuan norma acuan untuk menilai sikap, watak, dan perilaku baik atau
buruk pada masyarakat Jawa. Moral etika Jawa tidak sekedar ditentukan oleh
nalar dan keinginan, melainkan lebih diwarnai oleh rasa. Budi pekerti Jawa
menjadi unik karena didasari oleh rasa, yang menjadi faktor penting dalam
karakteristik kepribadian Jawa. Rasa merujuk pada sesuatu yang abstrak dan
hakiki yang akan membawa manusia kepada keagungan budi pekerti. Orang Jawa
akan mudah menyesuaikan diri dan mampu membawa dirinya dalam pergaulan
yang nyaman di lingkungan masyarakat, apabila dirinya pandai melakukan olah
rasa (Endraswara, 2003, h. 7).
Berdasarkan olah rasa, orang Jawa memegang prinsip hidup madya
(tengah-tengah), sebagai bentuk dari sikap dan perilaku yang berbudi pekerti
luhur. Prinsip hidup ini akan membawa manusia Jawa untuk berwatak “enam Sa”,
Apabila orang Jawa mampu melaksanakan prinsip hidup ini, maka dirinya akan
merasa sumeleh (nyaman) (Jatman, 1997, h. 38).
Kearifan tradisional adalah sebuah wawasan yang memuat kebijaksanaan
orang Jawa dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Salah satu bentuk
kebijaksanaan tersebut adalah ajaran kawruh begja yang diajarkan oleh Ki Ageng
Suryamentaram (Endraswara, 2003, h. 24). Ajaran kawruh begja tersebut
mengandung konsep budi pekerti aja dumeh (tidak sombong). Konsep aja dumeh
akan membawa manusia mendapatkan keuntungan hidup (begja), yaitu kehidupan
yang tenteram. Oleh karena itu, ketenteraman merupakan buah dari rasa begja.
Rasa begja akan selalu berkebalikan dengan rasa cilaka. Jika seseorang sedang begja akan merasa senang, sebaliknya kalau cilaka akan merasa susah.
Begja dan cilaka selalu mulur mungkret (silih berganti). Pergantian rasa begja- cilaka ini akan membuat budi pekerti seseorang menjadi semakin berkembang (Endraswara, 2003, h. 24).
Ajaran kawruh begja membantu manusia Jawa dalam mengoreksi diri
sendiri (mawas diri), sehingga manusia Jawa akan sadar dan memahami jati
dirinya (pengawikan pribadi) (Jatman, 1997, h. 47). Pengawikan pribadi dapat
dilakukan dengan banyak melakukan srawung. Srawung dapat dianggap sebagai
cermin untuk melihat diri ketika berhubungan dengan orang lain (Jatman, 1997, h.
52). Mawas diri menurut Subagyo (dalam Jatman, 1997, h. 19) merupakan usaha
untuk mencapai integrasi diri dan membebaskan diri dari egoisme dan
egosentrisme (meleburnya individualitas dalam universalitas) menuju Jumbuhing
Pengawikan pribadi digelar melalui analisis kramadangsa (aku). Tugas kramadangsa dalam diri manusia adalah untuk mencatat berbagai peristiwa
kehidupan. Oleh karena itu, jiwa manusia pada dasarnya berisi tentang berbagai
catatan keinginan dan tanggapan terhadap berbagai peristiwa kehidupan. Apabila
catatan itu kurang terkendali, maka yang dominan adalah keakuan yang luar biasa.
Aku yang dominan akan menjadikan manusia Jawa merasa dirinya lebih, sehingga
akan cenderung lupa diri (Endraswara, 2003, h. 25).
Rasa kramadangsa harus selalu diasah dengan cara mangasah-mingisih
budi. Oleh karena itu, apabila rasa kramadangsa tidak diasah, maka budi pekerti manusia Jawa akan menjadi tumpul dan berkembang aku yang negatif. Keadaan
ini akan menghilangkan rasa eling-waspada, sehingga akan merubah sikap
manusia menjadi seperti hewan. Jiwa (rasa) hanya dapat dibangun dan berjalan
teratur apabila kramadangsa selalu diterangi oleh pribadi yang luhur. Pada saat
itu, jiwa manusia Jawa akan menjadi bersih, suci, dan mengarah ke jalan yang
benar (Endraswara, 2003, h. 25).
Rasa eling-waspada akan membuat manusia Jawa menjadi senantiasa tabah
(tatag) apabila ditimpa kesusahan atau kesengsaraan. Berdasarkan konsep mulur-
mungkret, setelah mengalami kesusahan maka akan merasakan kebahagiaan. Konsep ini akan memotori jiwa manusia Jawa untuk selalu hidup optimis,
sehingga akan selalu tegar, berani menghadapi persoalan, dan lebih antisipatif
terhadap berbagai kemungkinan di masa yang akan datang (Endraswara, 2003, h.
perbudakan kepentingan pribadi untuk menuju pada manusia tanpa ciri
(manungsa tanpa tenger) yang transenden (Jatman, 1997, h. 12).
Prihartanti (2004, h. 38-39) memaparkan bahwa konsep manusia tanpa ciri
adalah lawan atau kebalikan dari kramadangsa. Manusia kramadangsa adalah
menusia yang penuh dengan ciri (dicirikan oleh sekumpulan catatan pribadinya).
Manusia dalam kepribadian kramadangsa bila berhubungan dengan orang lain
akan melihat catatan ciri pribadi sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan
tindakan. Manusia dalam kepribadian kramadangsa, apabila bertemu dengan
manusia lain yang sama-sama berkualitas kramadangsa akan sering berselisih.
Perselisihan dapat terjadi karena masing-masing menganggap dirinyalah yang
paling benar (bersikap egositik).
Sebaliknya, manusia tanpa ciri dalam berinteraksi dengan orang lain akan
senantiasa memandang bahwa orang lain cenderung sama. Pemahaman terhadap
sama rasa akan membawa ke arah pengertian bahwa untuk mencapai kebahagiaan
atau menyenangkan diri sendiri dapat ditempuh dengan membahagiakan orang
lain (bersikap altruistik). Lahirnya manusia tanpa ciri tidak berlangsung terus-
menerus (permanen), tetapi hanya terjadi pada setiap kejadian tertentu. Apabila
seseorang senantiasa mengamati gerak keinginannya, maka orang tersebut akan
semakin memahami dirinya dan mengidentifikasikan dirinya dengan kepribadian
manusia tanpa ciri. Pada akhirnya dirinya akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Inilah keadaan jiwa yang sehat menurut konsep rasa dalam kawruh
Struktur kepribadian menurut konsep rasa, dijelaskan oleh Suryomentaram
(dalam Prihartanti, 2004, h. 37) melalui gambar kramadangsa yang memuat
struktur kepribadian dalam empat dimensi, yaitu :
a. Dimensi I (fungsi fisikal)
Dimensi ini disebut sebagai juru catat yang melaksanakan fungsi
kesadaran personal. Melalui dimensi ini, manusia dengan panca inderanya akan
mencatat (mempersepsi) segala keadaan tentang dirinya.
b. Dimensi II (fungsi emosional)
Dimensi ini berisi sejumlah catatan hasil persepsi manusia. Tindakan
manusia dapat muncul dengan didasari oleh catatan-catatan pengalaman
sepanjang rentang hidupnya. Semua catatan ini apabila dirasakan, tidak hanya
bersifat menyenangkan (afek positif), namun juga dapat bersifat tidak
menyenangkan (afek negatif)
c. Dimensi III (fungsi intelektual)
Dimensi ini disebut sebagai kramadangsa yang menggambarkan bahwa
manusia memiliki pikiran. Oleh karena itu, dalam tindakannya manusia tidak
harus bertindak menuruti dorongan catatannya (yang emosional) saja, tetapi
juga harus mempertimbangkan pikiran rasionalnya.
Di antara dimensi III dan IV, terdapat wilayah yang disebut jalan
simpang tiga, yang merupakan fungsi dan tingkat pengintegrasian pribadi. Pada jalan simpang tiga ini, manusia diuji untuk bertindak impulsif mengikuti catatannya (yang berarti menuju ke arah kramadangsa yang egoistik) atau tidak
manusia tanpa ciri). Faktor yang menentukan individu untuk lebih memilih jurusan kramadangsa atau manusia tanpa ciri adalah keberhasilan individu
dalam mengolah rasa yang disebut mawas diri (Prihartanti, 2004, h. 41).
d. Dimensi IV (fungsi intuisional)
Dimensi ini berfungsi sebagai alat memahami dan merasakan perasaan
orang lain. Selain itu, dimensi ini juga berfungsi untuk mengetahui kekurangan
atau kesalahan diri sendiri. Apabila seseorang merasa dirinya paling benar,
maka dirinya akan kembali ke dimensi III. Keadaan tersebut akan menghambat