• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Life Skills pada Jalur Pendidikan Formal

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 36-61)

3. Life skills sebagai gaya dan cara hidup

2.2 Konsep Life Skills pada Jalur Pendidikan Formal

Pada jalur pendidikan formal, khususnya pada jenjang pendidikan dasar, program pendidikan life skills ditekankan pada pengembangan general life skills. Pengembangan specific life skills yang bersifat academic skills maupun

vokasional skills diberikan pada tahap pengenalan dan diberikan sesuai dengan

perkembangan fisik maupun psikologis peserta didik. Pengembangan

pre-academic skills dan pre-vokasional skills dimaksudkan sebagai pemandu bakat

dan minat, sedangkan general life skills sebagai bekal dasar untuk penyesuaian dalam hidup bermasyarakat.

Anwar (2006: 36) di tingkat SD/MI dan SMP/MTs difokuskan pada kecakapan

generic yang mencakup kesadaran diri dan kesadaran personal, serta kecakapan

sosial. Hal ini didasari atas prinsip bahwa general life skills merupakan fondasi

life skills akan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, apapun kegiatan

Hal itu bukan berarti pada siswa SMP Terbuka tidak dikembangkan kecakapan akademik, namun jika dikembangkan barulah tahap awal. Misalnya untuk kecakapan akademik, bahkan kecakapan berpikir rasional pada dasarnya merupakan dasar-dasar kecakapan akademik.

Pada jenjang pendidikan menengah umum (SMU/MA) selain penekanan kecakapan akademik dan kecakapan generik perlu juga di dalam kurikulum sekolah ditambahkan kecakapan vokasional, sebagai bekal antisipasi memasuki dunia kerja apabila tidak dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

Pelaksanaan life skills di sekolah harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan fisiologis dan psikologis peserta didik. Pada pelaksanaan di SMU/MA dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu: (1) reorientasi pembelajaran, (2) pembekalan kecakapan vokasional bagi siswa yang berpotensi tidak melanjutkan dan putus sekolah, dan (3) reformasi sekolah dibidang budaya sekolah, manajemen sekolah dan hubungan sinergi dengan masyarakat (Anwar, 2006: 36).

SMP Terbuka merupaan alternatif pendidikan jalur formal. Sehingga kurikulumnya tidak beda dengan SMP Reguler yang merupakan jalur formal. Hanya saja pada SMP Terbuka diberikan pendidikan keterampilan hidup (life

skills) yang penekanannya pada spesific skills. Berbeda pada sekolah formal

lainnya, yang menekankan pada general life skills. Hal ini dikarenakan peserta didik di SMP Terbuka banyak yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.

2.3 Kemandirian

Kemandirian merupakan salah satu sikap yang seyogyanya dimiliki setiap orang. Mandiri berarti kekuatan mengatur sendiri, tindakan mengarahkan sendiri, tidak tergantung pada kehendak orang lain, hal untuk mengikuti kemauan sendiri. Diri yang mandiri adalah diri yang berfungsi secara integrative memilih dan mengarahkan aktivitas-aktivitas sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Sebagai suatu sikap, mandiri merupakan suatu akumulasi dari pemahaman, penghayatan, dan keterampilan yang tidak bisa diperoleh melalui proses belajar mengajar pada umumnya. Ia memiliki karakter yang khas yang memerlukan proses yang mendalam dan intensif.

siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar dituntut untuk memiliki sikap mandiri, artinya siswa perlu memiliki kesadaran, kemauan, dan motivasi dari dalam diri siswa untuk melakukan usaha belajar. Belajar merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan diri siswa dan bukan semata-mata tekanan guru maupun pihak lain. Adanya sikap mandiri dalam diri siswa maka tujuan belajar akan berhasil dicapai sebagaimana yang diharapkan. Kemandirian merupakan salah satu unsur yang penting dimiliki siswa dalam belajar mengajar, dan jelas akan memperbaiki mutunya karena menyangkut inisiatif siswa. Kemandirian belajar yang dimiliki siswa diharapkan dapat memanfaatkan waktu di sekolah maupun di rumah, buku-buku pegangan yang ditetapkan oleh guru, perpustakaan sekolah dan

lain sebagainya. Kemandirian ini menekankan pada aktivitas, siswa dalam belajar yang penuh tanggung jawab atas keberhasilannya dalam belajar. Dengan demikian kemandirian belajar mengembangkan kognitif yang tinggi, hal ini disebabkan karena terbiasa menghadapi tugas dan sumber belajar yang ada, serta mengadakan diskusi dengan teman bila menghadapi kesulitan.

Proses pembelajaran di sekolah pada setiap siswa atau peserta didik selalu diarahkan agar menjadi peserta didik yang mandiri, dan untuk menjadi mandiri seseorang harus belajar, sehingga dapat dicapai suatu kemandirian belajar. Lebih lanjut, Utomo (2009:2) menyatakan bahwa, “Kemandirian adalah mempunyai kecenderungan bebas berpendapat. Kemandirian merupakan suatu kecederungan menggunakan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan suatu masalah secara bebas, progresif, dan penuh dengan inisiatif”. Pendapat ini dapat diartikan bahwa seseorang yang mempunyai kemandirian akan bertanggung jawab dan tidak tergantung kepada orang lain.

Menurut Miarso bahwa;

“belajar mandiri prinsipnya sangat erat hubungannya dengan belajar menyelidik, yaitu berupa pengarahan dan pengontrolan diri dalam memperoleh dan menggunakan pengetahuan”. Pendapat ini berarti kemampuan ini penting karena keberhasilan dalam kehidupan akan diukur dari kesanggupan bertindak dan berpikir sendiri, dan tidak tergantung kepada orang lain. Paling sedikit ada 2 (dua) kemungkinan untuk melaksanakan prinsip ini, yaitu: (1) digunakan program belajar yang mengandung petunjuk untuk belajar sendiri oleh peserta didik dengan bantuan guru yang minimal, dan (2) melibatkan siswa dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan.

Menurut Good dalam Slameto (2009:33), “kemandirian belajar adalah belajar yang dilakukan dengan sedikit atau sama sekali tanpa bantuan dari pihak luar”.

Pendapat ini dalam kemandirian belajar, siswa bertanggung jawab atas pembuatan keputusan yang berkaitan dengan proses belajarnya dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan keputusan yang diambilnya. Kemandirian di dalam perkembanganya muncul sebagai hasil proses belajar yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya lingkungan keluarga, dan lingkungan sekolah, dengan kata lain keadaan mandiri akan muncul bila seseorang belajar, dan sebaliknya kemandirian tidak akan muncul dengan sendirinya bila seseorang tidak mau belajar. Terlebih lagi kemandirian dalam belajar tidak akan muncul apabila siswa tidak dibekali dengan ilmu yang cukup. Jadi seorang anak dikatakan mandiri apabila anak itu memiliki ciri-ciri yaitu: (1) dapat menemukan identitas dirinya, (2) memiliki inisiatif dalam setiap langkahnya, (3) membuat pertimbangan-pertimbangan dalam tindakannya, (4) bertanggung jawab atas tindakannya, dan (5) dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhanya sendiri.

Bertitik tolak dari beberapa definisi di atas, selanjutnya dalam penelitian kemandirian belajar diartikan sebagai suatu proses belajar yang terjadi pada diri seseorang, dan dalam usahanya untuk mencapai tujuan belajar orang tersebut dituntut untuk aktif secara individu atau tidak tergantung kepada orang lain, termasuk tidak tergantung kepada gurunya. Dalam hal ini guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, yaitu guru hanya sebagai pembimbing, misalnya membantu siswa untuk memecahkan sesuatu masalah bila siswa tersebut menemui kesulitan dalam belajar, oleh karenanya perjanjian antara guru dan siswa sangat diperlukan. Poin-poin yang perlu disetujui antara guru dan siswa ketika mengadakan perjanjian adalah: (1) apakah yang akan dipelajari, (2) bagaimana siswa dapat atau

akan menunjukkan prestasi, (3) langkah-langkah atau tugas-tugas agar dijelaskan, (4) sekecil apapun perkembangan dinilai dengan sebaik-baiknya, (5) time table disusun dengan jelas, dan (6) dikerjakannya aktivitas baru.

Kemandirian belajar akan terwujud apabila siswa aktif mengontrol sendiri segala sesuatu yang dikerjakan, mengevaluasi dan selanjutnya merencanakan sesuatu yang lebih dalam pembelajaran yang dilalui dan siswa mau aktif di dalam proses pembelajaran yang ada.

Selanjutnya bila kita menilik kata mandiri menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang lain, dan kata kemandirian sebagai kata benda dari mandiri diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Arti ini memberikan penjelasan bahwa kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan sendiri kegiatan-kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi. Kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan anak berfungsi otonom dan berusaha ke arah prestasi pribadi dan tercapainya suatu tujuan.

Menurut beberapa definisi diatas dapat diambil suatu benang merah bahwa secara substansial arti mandiri/kemandirian dan otonom/autonomy mempunyai kata kunci yang sama yakni terlepas dari ketergantungan dengan orang lain,

mempunyai tanggung jawab pribadi, serta mampu melaksanakan sesuatunya dengan dirinya sendiri.

Menurut Steinberg (2009:11) menyatakan bahwa secara psikososial kemandirian tersusun dari tiga bagian pokok yaitu: (1) otonomi emosi (emotional autonomy) – aspek kemandirian yang berhubungan dengan perubahan kedekatan/keterikatan hubungan emosional individu, terutama sekali dengan orang tua, (2) otonomi bertindak (behavioral autonomy) – aspek kemampuan untuk membuat keputusan secara bebas dan menindaklanjutinya, dan (3) Otonomi nilai (value autonomy) – aspek kebebasan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, yang wajib dan yang hak, apa yang penting dan apa yang tidak penting.

Otonomi emosi (kemandirian secara emosi) menunjuk kepada pengertian yang dikembangkan remaja mengenai individuasi dan melepaskan diri atas ketergantungan mereka dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dari orang tua mereka (Steinberg, 2009:9). Hubungan antara anak dan orang tua berubah dengan sangat cepat, terutama sekali setelah anak memasuki usia remaja.

Sejalan dengan semakin dengan mandirinya anak dalam mengurus dirinya sendiri pada pertengahan masa kanak-kanak, maka waktu yang diluangkan orang tua terhadap anak semakin berkurang dengan sangat tajam (Berk, 2009). Pergerakan perkembangan dalam interaksi sosial pada masa remaja bergerak dari arah keluarga menuju luar keluarga. Artinya bahwa bila selama ini remaja ketika masih dalam masa kanak-kanak mereka berkutat dalam keluarga atau keluarga menjadi lingkungan inti dalam kehidupan sehari-hari, maka pada masa remaja hal ini

mulai terkurangi seiring dengan perluasan lingkungan remaja yang dialaminya. Remaja akan berusaha melepaskan ikatannya dengan orang tuanya. Ia berusaha menjadi dirinya sendiri, ia berusaha mencari model idealisasinya yang sesuai dengan keinginannya. Pada fase ini ketergantungan emosional remaja terhadap orang tuanya semakin berkurang, menyusul semakin memuncaknya kemandirian emosional mereka, meskipun ikatan emosional anak terhadap orang tua tidak mungkin dan tidak serta merta dapat dipatahkan secara sempurna.

Remaja yang mandiri secara emosional mempunyai indikator-indikator dalam beberapa hal seperti: 1) remaja yang mandiri tidak serta merta lari kepada orang tua ketika mereka dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran atau membutuhkan bantuan, 2) remaja tidak lagi memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui segala-galanya atau menguasai segala-galanya, 3) remaja sering memiliki energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan hubungan-hubungan di luar kelurga dan dalam kenyataannya mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman daripada orang tua, dan 4) remaja mampu memandang dan berinteraksi dengan orang tua sebagai orang pada umumnya – bukan semata-mata sebagai orang tua (Steinberg, 2009:15).

Keleluasaan otonomi berbuat/bertindak (behavioral autonomy) menunjuk kepada kemampuan seseorang melakukan aktivitas, sebagai manifestasi dari berfungsinya kebebasan dengan jelas, menyangkut peraturan-peraturan yang wajar mengenai perilaku dan pengambilan keputusan dari seseorang. Mandiri dalam perilaku

berarti bebas untuk bertindak/berbuat sendiri tanpa terlalu bergantung pada bimbingan/pertolongan orang lain.

Kemandirian berbuat, khususnya kemampuan mandiri secara fisik sebenarnya sudah dimulai sejak usia anak (Widjaja: 2009:6) dan meningkat dengan sangat tajam sepanjang usia remaja. Peningkatan ini bahkan lebih dramatis daripada peningkatan kemandirian emosional. Secara psikologis remaja ingin mendapatkan kemandirian perilaku ini secara perlahan-lahan. Hal ini dimulai dari pendistribusian wewenang yang diberikan oleh orang tuanya terhadap anaknya. Pemberian kepercayaan secara sedikit demi sedikit terhadap anak akan memberikan situasi yang kondusif terhadap peningkatan kemandirian perilaku. Namun kadang-kadang pemberian kewenangan atau kepercayaan yang berlebihan justru dianggap sebagai suatu penolakan. Ia ingin memikul tangungjawab, mempunyai kebebasan untuk beradu pendapat, ingin menggunakan kemampuannya sendiri dalam menyelesaikan masalah, namun ia tidak menghendaki kebebasan yang liberal atau kebebasan yang penuh.

Kemandirian perilaku pada remaja ditandai dengan beberapa indikator yakni: (1) kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan mengetahui dengan pasti kapan seharusnya meminta/mempertimbangkan nasehat orang lain selama hal itu sesuai, (2) mampu mempertimbangkan bagian-bagian alternatif dari tindakan yang dilakukan berdasarkan penilaian sendiri dan saran-saran orang lain, dan (3) mencapai suatu keputusan yang bebas tentang bagaimana harus bertindak/melaksanakan keputusan dengan penuh percaya diri.

Perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi remaja tentang moral, politik, idiologi dan persoalan-persoalan agama. Perkembangan kemandirian nilai sepanjang remaja ditandai oleh: 1) cara remaja dalam memikirkan segala sesuatu menjadi semakin abstrak, 2) keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah mengakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki beberapa basis idiologis, dan 3) keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah tinggi dalam nilai-nilai mereka sendiri dan bukan hanya dalam suatu sistem nilai yang ditanamkan oleh orang tua atau figur pemegang kekuasaan lainnya.

Steinberg (2009:17) mengemukakan bahwa kemandirian adalah permasalahan sepanjang rentang kehidupan, tetapi perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan fisik yang dapat memacu perubahan emosional, perubahan kognitif yang memberikan pemikiran logis tentang cara berpikir yang mendasari tingkah laku dan juga perubahan nilai dalam peran sosial serta aktivitas remaja pada periode ini.

Konsep kemandirian berdasarkan sudut pandang psikologis yang adalah bentuk kontinum kematangan dari ketergantungan (dependence) menuju kemandirian (independence) hingga kesalingtergantungan (interdependence). Kemandirian merupakan paradigma sosial, dengan 3 (tiga) karakteristik, yaitu mandiri secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), mandiri secara mental (dapat berfikir secara kreatif dan analitis dan menyusun serta mengekspresikan gagasan), dan mandiri secara emosional (nilai yang ada dalam diri sendiri). Menurut temuan

Tuloli (2009) dalam hasil penelitiannya, mengemukakan bahwa ciri-ciri manusia yang mandiri adalah: (1) jeli melihat permasalahan, (2) berani menghadapi masalah, (3) punya gagasan dalam menghadapi masalah, (4) ada usaha, (5) ada optimisme, (6) ada keuletan, dan (7) memiliki pengetahuan dan upaya keterampilan.

Menurut Lie (2002:21), kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari atau dengan sedikit bimbingan sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Kemandirian adalah perilaku yang menentukan bagaimana kita bereaksi terhadap situasi setiap hari yang memerlukan beberapa jenis keputusan bersifat moral dan merupakan sikap yang harus dikembangkan seorang anak untuk bisa menjalani kehidupan tanpa ketergantungan ke orang lain.

Lebih lanjut, Abdullah dalam Dhesiana (2008:15) menyatakan belajar mandiri antara lain sebagai berikut. 1) Belajar mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management (manajemen konteks, menentukan

setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor,

mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya). 2) Peran kemauan dan motivasi dalam belajar mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai. (3) Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para

guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya. 4) Belajar mandiri “ironisnya” justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas. 5) Belajar mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata.

Jika para ahli di atas memberi makna tentang belajar mandiri secara sepotong-sepotong, maka Mujiman (2008:5) mencoba memberikan pengertian belajar mandiri dengan lebih lengkap. Menurutnya belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar, dan cara pencapaiannya – baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar – dilakukan oleh siswa sendiri. Di sini belajar mandiri lebih dimaknai sebagai usaha siswa untuk melakukan kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya untuk menguasai suatu kompetensi tertentu.

Pengertian belajar mandiri yang lebih terinci lagi disampaikan oleh Hiemstra dalam Dhesiana (2009:7) yang mendeskripsikan belajar mandiri sebagai berikut. 1) Setiap individu siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk

mengambil berbagai keputusan dalam usaha belajarnya. 2) Belajar mandiri dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajaran. 3) Belajar mandiri bukan berarti memisahkan diri dengan orang lain. 4) Dengan belajar mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan ke dalam situasi yang lain. 5) Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti: membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan kegiatan korespondensi. 6) Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa, pencarian sumber, mengevaluasi hasil, dan memberi gagasan-gagasan kreatif. 7) Beberapa institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang lebih terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran yang bersifat individual dan program-program inovatif lainnya.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan beberapa pertimbangan di atas, maka belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata. Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri

(self-directed learners). Abdullah dalam Dhesiana (2008:8) mengatakan self-(self-directed

learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses

keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan

self-management (manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan,

sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring (proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya).

Belajar mandiri dan siswa mandiri seperti sekeping mata uang yang mempunyai dua muka yang berbeda tetapi merupakan satu kesatuan yang mempunyai suatu fungsi yang saling mendukung. Lebih jelasnya persamaan dan perbedaan antara belajar mandiri dengan siswa mandiri digambarkan dalam bagan sebagai berikut.

Gambar 2.2 Model Personal Responsibility Orientation (PRO) (Sumber: Roger Hiemstra: 2008)

Belajar Mandiri (Self-directed learning) yang ada di sisi sebelah kiri dari model, mengacu pada karakteristik proses belajar mengajar, atau apa yang kita dikenal sebagai faktor eksternal dari si siswa. Di sini mengacu pada bagaimana proses pembelajaran itu dilaksanakan. Siswa mandiri (LearnerSelf-Direction) yang ada di

sebelah kanan dari model, mengacu pada individu yang melakukan kegiatan belajar. Termasuk di dalamnya yaitu karakteristik kepribadian siswa, atau sering kita kenal dengan faktor internal dari individu yang bersangkutan. Jika kedua hal tersebut (Self-directed learning dan Learner Self-Direction) dapat tercipta dalam proses pembelajaran, maka individu dapat memiliki kemandirian dalam belajar (self-direction in learning). Dengan demikian Kemandirian belajar (self-direction

in learning) dapat diartikan sebagai sifat dan sikap serta kemampuan yang

dimiliki siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata. Menurut Sisco dalam Hiemstra dalam Dhesiana (2008:9) ada 6 langkah kegiatan untuk membantu individu menjadi lebih mandiri dalam belajar, yaitu: (1) preplanning (aktivitas sebelum proses pembelajaran), (2) menciptakan lingkungan belajar yang positif, (3) mengembangkan rencana pembelajaran, (4) mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang sesuai, (5) melaksanakan kegiatan pembelajaran dan monitoring, dan (6) mengevaluasi hasil pembelajar individu. Sisco menggambarkan model tersebut di atas dalam bagan sebagai berikut.

Gambar 2.3 Model Pembelajaran individual (Sumber: Hiemstra, 2008)

Menurut Rahadi (2008:31) istilah belajar mandiri sering dikaitkan dengan sistem pendidikan terbuka, karena pada umumnya sistem pendidikan terbuka menerapkan konsep belajar mandiri. Istilah ini digunakan untuk membedakannya dengan konsep belajar pada umumnya yang tergantung pada kendali dan arahan guru. Dalam sistem pendidikan terbuka, sebagian besar kegiatan belajar siswa dilakukan siswa secara mandiri, dengan bimbingan terbatas dari guru. Hal ini memunculkan konsekwensi adanya tuntutan kemandirian siswa dalam belajar.

Berbagai kajian tentang kemandirian belajar dalam sistem pendidikan terbuka sering dibahas dengan bertitik tolak dari konsep belajar mandiri. Dalam sistem pendidikan terbuka dikenal beberapa istilah yang dapat dirujuk untuk menjelaskan konsep belajar mandiri. Berkaitan dengan konsep belajar mandiri ini, Knowles (2008) menggunakan istilah “self-directed learning”. Selain itu, ia juga menyebutkan istilah lain seperti: self-planned learning, independent

learning, self-education, self-instruction, self-teaching, self-study dan autonomus

learning. Beberapa istilah tersebut meskipun masing-masing lebih menekankan

pada aspek dan sudut pandang tertentu, namun di dalamnya sama-sama terkandung makna atau konsep tentang belajar mandiri. Knowles (2008) mendefinisikan belajar mandiri sebagai suatu proses belajar dimana setiap individu dapat mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, dalam hal: mendiagnosa kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber-sumber belajar (baik berupa orang maupun bahan), memilih dan menerapkan strategi belajar yang sesuai bagi dirinya, serta mengevaluasi hasil belajarnya.

Pendapat senada dikemukakan oleh Kozma dalam Rahadi (2008:23). Menurut mereka, belajar mandiri merupakan suatu bentuk belajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan: tujuan belajar, sumber-sumber belajar dan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Secara singkat dikatakan pula bahwa dalam belajar mandiri, siswa dapat berpartisipasi secara aktif dalam menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya. Sementara itu, Cyril Kesten dalam Rahadi (2008:24) mendefinisikan belajar mandiri sebagai suatu bentuk belajar dimana pebelajar (dalam hubungannnya dengan orang lain) dapat membuat keputusan-keputusan

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 36-61)

Dokumen terkait