KONSEP PASSING OFF DI INDONESIA
A. Pengertian Passing Off
Dalam hukum merek Indonesia tidak mengenal adanya passing off
karena passing off lebih dikenal di negara-negara penganut Common Law
sebagai bagian dari hukum persaingan curang. Passing Off sering diartikan sebagai pemboncengan pada merek terkenal atau hakim biasanya mengartikan
passing off sebagai penyerupaan atau pengelirupaan seperti pada Putusan MA No. 815 K/PDT.SUS/2012.
Passing Off sendiri adalah sebuah pranata hukum yang dihasilkan oleh
case law, bukan peraturan perundang-undangan, dan menurut case law, passing off hanya dapat dituntut oleh pemegang merek, bukan publik.1
Terdapat beberapa pengertian passing off dari berbagai sumber di antaranya:
1. Passing off adalah suatu upaya/tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mengarah kepada adanya suatu persaingan tidak sehat atau pelanggaran di bidang hak atas kekayaan intelektual.2
1
Hukumonline, “Dapatkah Doktrin Passing Off Diaplikasikan di Indonesia?“ http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di -indonesia diakses pada tanggal 11 Januari 2015
2Hukumonline, “Passing Off” http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl273/passing-off diakses pada tanggal 11 Januari 2015
2. Passing off adalah tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum.3 Tindakan ini bisa terjadi dengan mendompleng secara meniru atau memirip-miripkan kepada kepunyaan pihak yang telah memiliki reputasi baik dan cara mendompleng reputasi (good will) ini bisa terjadi pada bidang merek, paten, desain industri maupun bidang hak cipta.4
3. Pada TRIPs Agreement tidak terdapat penjelasan mengenai passing off
namun terdapat perbuatan curang (unfair competition) sebagaimana juga terdapat pada Paris Convention Pasal 10bis yang memuat ketentuan bahwa negara peserta Uni Paris terikat untuk memberikan perlindungan yang efektif agar tidak terjadi persaingan tidak jujur.5
Dari pengertian di atas terdapat beberapa perbedaan pengertian sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa passing off adalah upaya atau tindakan dari seseorang atau beberapa orang yang mencari keuntungan dari produk terkenal melalui jalan pintas (membonceng) yang tidak mempunyai itikad baik dalam melakukan usahanya sehingga dapat merugikan pengusaha lain serta dapat mengelabuhi konsumen.
3
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah ………….. h. 235
4
Ibid
5
B. Klasifikasi Kelas Merek
Pada saat pemohon ingin mendaftarkan sebuah merek, pemohon harus mengindikasikan barang dan atai jasa yang ingin didaftarkan mereknya dan mengelompokkannya ke dalam kelas-kelas merek yang mengacu pada sistem
klasifikasi merek yang ada. Sistem klasifikasi merek memungkinkan
penyimpanan data merek yang sudah terdaftar dengan cara yang sangat teratur, terutama jenis barang dan jasa. Indonesia telah mengatur klasifikasi merek yang tertuang pada PP Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek dan klasifikasi merek tersebut hanya ada 34 kelas barang dan 8 kelas jasa.
Sistem klasifikasi merek yang paling banyak digunakan adalah sistem klasifikasi merek internasional (yang disebut dengan sistem Nice untuk klasifikasi merek) yang memiliki 34 kelas barang dan 11 untuk kelas jasa,6
Indonesia belum meratifikasi Nice Agreement tetapi Indonesia sebagai
anggota WIPO telah menyesuaikan klasifikasi merek dengan Nice Agreement
di antaranya yaitu:7
1. Merek Dagang
Kelas 1 Bahan kimia yang digunakan dalam industri, ilmu pengetahuan dan fotografi, maupun dalam pertanian hortikultura dan kehutanan: damar buatan yang belum diproses, plastik yang belum diproses; pupuk, komposisi pemadam kebakaran: sediaan-sediaan mengeraskan dan memateri: zat kimia untuk mengawetkan bahan makanan: zat penyamakan; bahan perekat yang digunakan dalam industri
6“Membuat Sebuah Merek, Pengantar Merek untuk Usaha Kecil dan Menengah”wipo.int/export/sites/www/sme/en/documents/guides/translation/making_a_mark_indo .pdf di unduh tanggal 21 Januari 2015
7“Nice Classification Edisi 2010 Baru” http://www.dgip.go.id/images/adelch-images/pdf-files/Nice-Classification-Edisi-2010-BARU.pdf diakses pada tanggal 21 Januari 2015
Kelas 2 Alat dan bahan untuk keperluan melukis, dekorasi seperti cat, pernis.
Kelas 3. Alat dan bahan untuk keperluan pembersihan sehari-hari seperti sabun mandi, sabun cuci, kosmetik.
Kelas 4 Segala macam pelumas, oli dan bahan penerangan; lilin, sumbu. Kelas 5 Segala macam minyak yang telah diolah untuk kesehatan, bahan
yang digunakan untuk medis,obat dan vitamin.
Kelas 6 Bahan bangunan dari logam; bahan dari logam untuk rel kereta api; kabel dan kawat bukan untuk listrik dari logam kasar; barang-barang besi; barang-barang kecil dari besi; pipa logam; peti besi; barang-barang dari logam kasar tidak termasuk dalam kelas-kelas lain; pelikat (mineral)
Kelas 7 Mesin dan mesin perkakas; motor dan mesin (kecuali untuk kendaraan darat); Kopling mesin dan komponen transmisi (kecuali untuk kendaraan darat); alat pertanian selain yang dioperasikan secara manual;alat pengeram
Kelas 8 Perkakas dan alat tangan (dioperasikan secara manual); pisau; pedang; pisau cukur
Kelas 9 Perkakas elektronik komersial dan aksesorisnya seperti radio, telepon, televisi
Kelas 10 Perkakas dan pesawat pembedahan, pengobatan, kedokteran, kedokteran gigi dan kedokteran hewan, lengan mata dan gigi palsu, barang-barang ortopedi, bahan-bahan benang bedah.
Kelas 11 Instalasi penerangan, pemanasan, penghasilan uap, pemasangan, pendinginan, pengeringan, penyegaran udara pembagian air dan instalsi kesehatan.
Kelas 12 Kendaraan; alat untuk bergerak di darat, udara atau air.
Kelas 13 Senjata api; amunisi dan proyektil; bahan peledak; kembang api Kelas 14 Logam mulia dan campurannya dan benda-benda yang dibuat
dari bahan-bahan itu atau disepuh dengan bahan-bahan itu, seperti perhiasan; batu berharga; jam dan pesawat pengukur waktu.
Kelas 15 Alat-alat musik
Kelas 16 Kertas, karton dan barang-barang yang terbuat dari bahan-bahan ini, yang tidak termasuk kelas-kelas lain; barang cetakan; alat menjilid buku; alat tulis-menulis; bahan perekat untuk keperluan tulis-menulis atau rumah tangga alat untuk kesenian; kuas untuk melukis; mesin tulis dan keperluan kantor (kecuali perabot); alat-alat pendidikan dan pengajaran (kecuali perkakas); bahan-bahan plastik untuk kemasan (tidak termasuk dalam kelas lain), kartu main; huruf-huruf cetak; blok-blok cetak.
Kelas 17 Karet, getah perca, getah, asbes, mika dan barang dari bahan-bahan itu dan tidak termasuk kelas-kelas lain; plastik dalam bentuk menonjol untuk digunakan dalam manufaktur; bahan-bahan untuk membungkus, merapatkan dan menyekat; tabung lentur bukan dari logam.
Kelas 18 Kulit dan kulit imitasi, dan barang-barang dari bahan-bahan ini dan tidak termasuk dalam kelas lain; kulit binatang, kulit halus; koper dan tas; payung hujan, payung matahari dan tongkat; cambuk, pakaian kuda dan pelana.
Kelas 19 Bahan bangunan (bukan logam); pipa kaku bukan logam untuk bangunan; aspal, pek, bitumen; bangunan yang dapat dipindahkan bukan dari logam; monumen, bukan dari logam. Kelas 20 Perabot rumah, kaca, bingkai; benda-benda (tidak termasuk
dalam kelas lain) dari kayu, gabus, rumput, bambu, rotan, tanduk, tulang, gading, tulang ikan paus, kerang, amber, kulit mutiara, selloid dan bahan-bahan penggantinya, atau dari plastik.
Kelas 21 Perkakas rumah tangga atau dapur (bukan dari logam mulia atau yang dilapisi logam mulia) sisir dan bunga karang; sikat (kecuali kuas melukis); bahan pembuat sikat; alat untuk membersihkan seperti gelas, porselin dan pecah belah dari tembikar yang tidak termasuk dalam kelas-kelas lain.
Kelas 22 Tampar, tali, jala, renda, kere, kain terpal, layar, kantong (yang tidak termasuk dalam kelas-kelas lain); bahan-bahan pengisi (kecuali dari karet atau plastik) ; serat-serat kasar untuk pertenunan.
Kelas 23 Benang untuk tekstil.
Kelas 24 Tekstil dan barang tekstil, yang tidak termasuk dalam kelas lain; sepre dan taplak meja.
Kelas 25 Pakaian, alas kaki, tutup kepala.
Kelas 26 Kerawang dan sulaman, pita dan tali sepatu; kancing kail dan mata kait, peniti dan jarum; bunga buatan.
Kelas 27 Permadani, tikar, linoleum dan bahan-bahan lain yang digunakan sebagai alas lantai; alat-alat dinding (kecuali tenunan).
Kelas 28 Permainan dan alat-alatnya; alat-alat senam dan olah raga yang tidak termasuk kelas-kelas lain; hiasan pohon natal.
Kelas 29 Hasil olahan daging, ikan, unggas yang dapat dimakan
Kelas 30 Kopi, teh, kakao, gula, beras, tapioka, sagu, tepung dan bahan baku terbuat dari gandum; roti, kue dan kembang gula, es konsumsi; madu, sirup; ragi, bubuk pengembang roti/kue; garam, moster; cuka, saus, rempah-rempah, es.
Kelas 31 Padi-padian, hasil-hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan jenis-jenis gandum yang tidak termasuk dalam kelas-kelas lain. Kelas 32 Bir; air mineral dan air soda dan minuman tidak beralkohol
lainnya; jus dari buah; sirop dan sediaan-sediaan lain untuk membuat minuman.
Kelas 33 Minuman beralkohol (kecuali bir).
Kelas 34 Tembakau, barang-barang keperluan perokok; korek api.
2. Merek Jasa
Kelas 35 Periklanan; manajemen usaha; administrasi usaha; fungsi kantor. Kelas 36 Asuransi; urusan keuangan; urusan moneter; urusan real estate. Kelas 37 Konstruksi bangunan; perbaikan; jasa instalasi.
Kelas 38 Telekomunikasi.
Kelas 39 Transportasi; pengemasan dan penyimpanan barang; pengaturan perjalanan.
Kelas 40 Penanganan material.
Kelas 41 Pendidikan; penyediaan latihan; hiburan; kegiatan olah raga dan kesenian.
Kelas 42 Jasa penelitian dan teknologi; jasa penelitian dan analisis industri perancangan dan pengembangan perangkat keras dan lunak komputer;
Kelas 43 Jasa untuk menyediakan makanan dan minuman, akomodasi sementara
Kelas 44 Jasa medis, jasa kehewanan; perawatan kesehatan dan kecantikan; jasa pertanian; hortikultura dan hutan
Kelas 45 Jasa hukum; jasa keamanan untuk perlindungan individu dan bangunan
C. Klasifikasi Kemashuran Merek
Pada tindakan passing off sering terdapat persamaan pada pokoknya pada merek terkenal agar merek tersebut dapat terkenal dengan instan. Pengertian merek terkenal pun tidak dijelaskan pada Undang-Undang Merek Tahun 2001 namun terdapat tingkat kemashuran merek, yaitu8:
1. Merek biasa (normal mark)
Merupakan merek yang tergolong tidak mempunyai reputasi tinggi. Merek yang berderajat ‟biasa‟ ini dianggap kurang memberi pancaran simbolis gaya hidup baik dari segi pemakaian maupun teknologi. Masyarakat konsumen melihat merek tersebut kualitasnya rendah.
2. Merek Terkenal (well-known mark)
Meskipun dalam bahasa Indonesia kata asing “well-known mark” diterjemahkan menjadi merek terkenal begitu juga kata “famous mark” sehingga pengertian merek terkenal tidak membedakan arti atau tidak menentukan tingkatan arti “famous mark” dan “well-known mark”. Merek terkenal (well-known mark) merupakan merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek ini memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik, serta merek ini mempunyai tingkatan di atas derajat merek biasa. 3. Merek Termashur (famous mark)
Merupakan merek yang sedemikian rupa mahsyurnya di seluruh dunia, sehingga mengakibatkan reputasinya digolongkan sebagai ‟merek aristorkat dunia‟.
8
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 80 - 85
D. Persamaan Pada Pokoknya
Suatu perbuatan dikatakan passing off apabila terdapat persamaan pada pokoknya dalam sebuah merek dagang maupun jasa. Terdapat kriteria persamaan pada pokoknya dari berbagai Perundang-undangan yaitu:
1. Kriteria Persamaan Pada Pokoknya dalam Konvensi Paris dan TRIPs
Sebagai pedoman yang bersifat internasional, di dalam Persetujuan TRIPs yang mengatur mengenai aspek-aspek dagang HKI termasuk di dalamnya perdagangan mengenai barang-barang tiruan, diatur mengenai kriteria persamaan pada pokoknya. Pasal 16 angka 1 TRIPs Agreement
menyatakan bahwa:
Pemilik dari merek dagang yang terdaftar mempunyai hak eksklusif untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh ijinnya untuk menggunakan merek dagang tersebut untuk usaha yang sejenis atau menggunakan lambang yang mirip untuk barang atau jasa yang sejenis atau mirip dengan barang atau jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarkan, dimana penggunaan tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian. Dalam hal penggunaan suatu lambang yang sama untuk barang atau jasa yang sejenis, kemungkinan timbulnya ketidakpastian tersebut dianggap telah terjadi. Hak yang diuraikan diatas tidak mengurangi keabsahan hak yang sudah ada, dan tidak mengurangi kemungkinan bagi Anggota untuk menetapkan bahwa pemberian hak tersebut tergantung dari penggunaannya.
Hal yang sama juga diatur dalam Konvensi Paris, di mana secara jelas terdapat Pasal 6 bis yang menyatakan bahwa negara anggota menerima secara ex officio, jika perundang-undangan mereka membolehkan atau atas permohonan pihak yang berkepentingan untuk menolak atau membatalkan pendaftaran dan juga melarang pemakaian suatu merek yang merupakan suatu reproduksi, imitasi atau terjemahan yang dapat menimbulkan kekeliruan (to create confusion) dari suatu merek
yang telah dianggap oleh “competent authority” di mana merek didaftarkan atau dipakai sebagai merek terkenal di negara tersebut.9
2. Kriteria Persamaan Pada Pokoknya dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
Pengaturan persamaan pokoknya telah diatur dalam Pasal 6 angka 1 Undang-Undang Hak Merek Tahun 2001 yaitu:
Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal
Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya yang termaktub pada lampiran penjelasan Undang-Undang Merek Tahun 2001 adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Unsur dalam penilaian persamaan pada pokoknya yang paling menjadi pertimbangan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf UU Merek 2001
9
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (dalam rangka WTO, TRIPs) 1997, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 45
adalah secara visual, konseptual, dan fonetik.10 Persamaan visual dapat dinilai dari penampilan merek tersebut yang terdiri dari persamaan bentuk, penempatan, susunan warna, atau kombinasi unsur-unsur tersebut menimbulkan kesan persamaan yang dapat membuat kekeliruan pada konsumen. Persamaan konseptual dinilai dari persamaan makna atau filosofi dari merek tersebut. Sementara itu persamaan fonetik dinilai dari persamaan pengucapan atau bunyi yang dapat menimbulkan kesan persamaan.11
E. Itikad Baik
Salah satu syarat terpenting dalam mendaftarkan hak merek ialah itikad baik yang telah diatur pada Pasal 4 Undang-Undang Merek Tahun 2001. Pengusaha yang melakukan passing off tidak mempunyai itikad baik.
Itikad baik masih memiliki pengertian yang berbeda beda sehingga menyulitkan hakim dalam menentukan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan prinsip itikad tidak baik. Oleh sebab itulah beberapa ahli hukum mencoba memberikan pengertian tentang itikad baik, di antaranya :
1. Salim, H.S, berpendapat bahwa azas itikad baik merupakan azas dimana para pihak (pihak kreditur dan debitur) harus melaksanakan substansi
10
Ada Tiga Penilaian Unsur Persamaan Pada Pokoknya, Hukumonline, 2 Oktober 2006, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15544&cl=Berita, diunduh pada tanggal 11 Januari 2015
11
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.12
2. Prof. Subekti, S.H., merumuskan itikad baik pada waktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.13
Terdapat pengaturan dalam perundang-undangan di Indonesia mengenai itikad baik di antaranya:
1. Undang-Undang Merek Tahun 2001
Undang-Undang Merek Tahun 2001 mengatur mengenai itikad baik pada Pasal 4 yang berbunyi Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik. Penjelasan mengenai itikad baik telah tertulis pada lampiran penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Merek Tahun 2001 yaitu:
“Pemohon yang beriktikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apa pun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran Merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Contohnya, Merek Dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun, ditiru demikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek Dagang A tersebut. Dalam contoh itu sudah terjadi iktikad tidak baik dari
12
Salim H.S., Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 50
13
“Hukum Kontrak (Pemahaman Teori)”, http://hukbis.files.wordpress.com/2008/02/ hukum-bisnis-2008-hukum-kontrak.ppt., diakses pada tanggal 11 Januari 2015
peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur kesengajaannya dalam meniru Merek Dagang yang sudah dikenal tersebut.”
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Beberapa ketentuan yang mengatur tentang itikad baik dalam KUHPer antara lain:
1. Pasal 530 dan 531 KUHPer
Pasal 530 menerangkan tentang penguasaan/kepemilikan atas suatu benda terdapat itikad baik atau itikad buruk. Sedangkan Pasal 531 menerangkan bahwa itikad baik merupakan tanda penguasaan yang sah atas benda, sebaliknya itikad buruk merupakan tanda penguasaan yang tidak sah atas suatu benda.
2. Pasal 575 KUHPer
Pasal ini menerangkan bahwa hak untuk menikmati kebendaan terhadap suatu penguasaan benda diberikan kepada yang beritikad baik. Merek itu sendiri termasuk benda immateril yang tidak dapat memberikan apapun secara fisik.14 Hak milik intelektual memiliki sifat kebendaan yaitu mutlak/ absolute dan droite de suite artinya hak tersebut terus mengikuti pemiliknya atau pihak yang berhak dan dapat dipertahankan terhadap tuntutan setiap orang.15 Dengan demikian merek dapat juga disebut sebagai benda yang harus dilindungi dengan pasal-pasal tersebut.
14
OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual ……… h. 330 15
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata “Hak-hak yang Memberi Kenikmatan”, (Jakarta: Penerbit ind, Hil-Co., 2002), h. 128
3. Pasal 1338 KUHPer
Pasal 1338 ayat (3) berbunyi bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ketentuan ini penting dalam kaitannya dengan pendaftaran lisensi merek dagang dari para pihak untuk menyerahkan perjanjian lisensi.
2. Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pada Pasal 7 huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1999 menerangkan bahwa: kewajiban pengusaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Sehingga pengusaha diharuskan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya termasuk pendaftaran hak merek yang tidak bertujuan untuk membonceng reputasi merek yang telah terkenal.
3. Paris Convention (Konvensi Paris)
Konvensi Paris tidak mengatur kriteria itikad tidak baik secara jelas dan lengkap. Perlindungan atas suatu merek yang didaftar dengan itikad tidak baik disebutkan dalam Pasal 6 Ayat (3) Konvensi Paris yang berbunyi sebagai berikut:…”no time limit shall be fixed for requesting the
cancellation or the prohibition of the use of marks registered or uses in
bad faith…”.
Ketentuan mengandung maksud bahwa tidak ada jangka waktu yang ditetapkan bagi pemilik hak atas merek untuk meminta pembatalan dari merek yang didaftarkan dengan itikad tidak baik dimana merek yang
didaftarkan tersebut mempunyai persamaan yang menunjukkan itikad tidak baik.
4. Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods (TRIPs)
Sama halnya dengan Konvensi Paris, Persetujuan TRIPs juga tidak mengatur tentang kriteria-kriteria baku ataupun tindakan yang dikategorikan telah melanggar azas itikad tidak baik. Perlindungan yang diberikan oleh persetujuan TRIPs mengenai itikad tidak baik terdapat dalam Pasal 58 Paragraf 1 huruf c yang menyatakan:
“Where members require competent authorities to act upon their own
initiative and to suspend to release of goods in respect of which they have acquired primafacie evidence that an intellectual property right is being infringed :
…c) Member shall only exempt both public authorities and officials from liability to appropriate remedial measures where actions are taken or
intended in good faith”
Ketentuan ini menekankan bahwa pihak yang berwenang dalam tiap-tiap negara dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap merek tidak boleh bersikap diskriminasi. Perlindungan yang sama harus diberikan bagi semua pendaftar yang ikut menjadi anggota persetujuan TRIPs, terutama bagi pendaftar yang beritikad baik (Good Faith).
F. Unsur Passing Off
Untuk dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan passing off harus memenuhi tiga unsur yaitu:16
16
1. Penggugat harus mempunyai reputasi. Jika penggugat tidak memiliki reputasi di daerah/negara tempat tindakan passing off terjadi, maka penggugat tidak akan berhasil dalam kasus passing off.
2. Adanya misrepresentasi dalam hal ini dikenalnya merek yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama publik akan dapat dengan mudah terkecoh (misleading) atau terjadi kebingungan (confusion) dalam memiliih produk yang dinginkan.
3. Kerugian. terdapatnya kerugian yang timbul akibat adanya tindakan pendomplengan atau pemboncengan yang dilakukan oleh pengusaha yang dengan itikad tidak baik menggunakan merek yang mirip atau serupa dengan merek yang telah dikenal tersebut sehingga terjadi kekeliruan memilih produk oleh masyarakat (public misleading).
42
BAB IV
PENGATURAN PASSING OFF DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA
A. Contoh Putusan Terkait Tindakan Passing Off di Indonesia
Berikut contoh kasus passing off di Indonesia yang telah diadili:
1. Putusan MA No. 122 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara NATASHA vs