• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

VI. Konsep Penelitian dan Kajian Pustaka

Untuk melihat bagaimana posisi atau negosiasi (identitas) orang, maka politik identitas relevan tepat. Politik identitas merupakan topik strategis untuk membicarakan masyarakat. Berbicara tentang masyarakat tentu akan muncul berbagai macam perbedaan. Dari perbedaan tersebut orang menentukan pilihan akan identitasnya. Bicara identitas berarti bicara tentang interaksi, bicara tentang tarik ulur, bicara tentang komunikasi, bicara tentang representasi.

Karakteristik individu yang berakar pada identitas dasar semenjak lahir seperti adanya merupakan suatu anugerah yang tidak bisa dihindari.

Identitas dasar itulah yang kemudian membentuk “keakuan” dan

membedakan dengan yang lain (kamu, mereka, dan dia). Hakikat dasar individu maupun kelompok tercermin dan terbentuk dari beberapa unsur yang melekat atau sengaja dilekatkan pada tubuh menjadi objek dan subjek politik. Akar-akar politik identitas dapat ditemukan asalnya dari pemikiran filsafat

18 Foucouldian (Michel Foucault) tentang politik tubuh, dari sejarah seksualitas dan relasi-relasi kekuasaan yang mengelilinginya (Abdilah, 2002: 12).

Foucault dikenal sebagai filsuf Perancis yang menjadi salah satu tokoh pelopor posmodernisme. Michel Foucault lahir di Poitiers, Perancis, pada tahun 1926. Selain mendapatkan gelar kesarjanaan dalam bidang filsafat, Foucault juga mendapatkan pendidikan dalam bidang psikologi. Dia pernah bekerja sebagai dosen di Uppsala, Swedia (1954), di Warsawa, Polandia (1958), di Hamburg, Jerman (1959), dan di Tunis, Tunisia (1966-1968). Foucault meninggal pada tahun 1984 akibat penyakit yang terkait dengan gejala AIDS (Lechte, 2001:177).

Foucault memandang bahwa ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan di mana saja. Menurut Eagleton hubungan kuasa bukan hanya muncul pada tataran negara saja, namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap hubungan selalu merupakan usaha saling menguasai, usaha saling menekan. Hubungan kekuasaan ini menghasilkan cerita yang oleh Foucault disebut discourse (sering dipandang sebagai “diskursus” atau “wacana”)

(Takwin, 2003: 109).

Setiap wacana bukanlah kebenaran mutlak, bukan representasi dari realitas sesungguhnya, melainkan reaksi manusia terhadap apa yang terjadi padanya, sebagai reaksi manusia terhadap kekuasaan yang mengekangnya (Foucault, 1981; Hawkes, 1996). Foucault tidak berambisi untuk melakukan pembebasan masyarakat dari pengaruh wacana. Ia Justru melihat wacana muncul sebagai hasil hubungan kuasa dan pengetahuan yang bergabung

19 bersama (Foucault 1978: 100). Setiap wacana mengasumsikan pengetahuan akan kebenaran masing-masing yang tidak dapat diklaim sebagai yang paling benar. Dalam penelitian ini berdiri dua kebenaran yang menjadi wacana, meskipun bukanlah kebenaran mutlak. Kebenaran akan tradisi ziarah kubur maupun kebenaran dalam pemurnian agama dalam wujud larangan berziarah kubur.

Identitas politik tidak bisa terlepas dari kekuasaan. Manusia dalam perkembangannya dipenuhi dengan agenda-agenda politik, yang membentuk identitasnya. Foucault menjelaskan kekuasaan bukanlah sesuatu yang nyata, yang harus dimiliki oleh seorang individu atau lembaga . Sebaliknya, kekuasaan merupakan sistem yang kompleks dari hubungan kekuatan yang berlaku di tengah masyarakat pada suatu titik waktu tertentu. Sejauh masyarakat terus-menerus terjebak dalam hubungan kekuatan politik, pengaruh kekuasaan tidak mungkin terhindarkan, karena kekuasaan dihasilkan dari satu waktu ke waktu berikutnya, di setiap titik, atau lebih tepatnya dalam setiap hubungan dari satu titik ke titik lain. Kekuasaan berasal dari manapun, bukan karena kekuasaan mencakup segala sesuatu, tetapi karena kekuasaan berasal dari manapun (Foucault, 1978: 93). Dalam penelitian ini ada dua kekuasaan yang menimbulkan perbedaan pandangan dalam menyikapi wacana ziarah kubur, yaitu antara tradisi jawa sebagai kekuatan lokal dengan ajaran Kristen sebagai Agama. Persinggungan perbedaan ini yang kadang menentukan pilihan akan identitas seseorang.

20 Realitas keragaman penciptaan manusia hadir dengan membawa identitas dasar yang bermacam-macam, dengan bentukan karakter dan fungsi-fungsi fisiologis tubuh yang berbeda pula. Pada tataran praksis, pembacaan dan penerimaan terhadap pluralitas memunculkan beberapa pandangan, pemakluman, kalau tidak penolakan dan pengingkaran. Dalam hal ini, pandangan terhadap keragaman etnis dipengaruhi oleh berbagai macam faktor dan paradigma. Ketika timbul kesadaran individu akan dunianya dan kesadaran kolektif akan identitasnya, terbentuk identitas kelompok dasar dari anugerah dan pengenalan diri setiap individu itu, bersama-sama orang lain yang diperolehnya sejak lahir, di dalam keluarga tempat dilahirkan pada saat

itu dan tempat itu juga. Muncul “kesadaran lain”, dalam bahasa Harold Isaac sebagai “pemujaan” terhadap identitas-identitas tersebut. Pemujaan ini menumbuhkan suatu kekuatan, pemicu pembangunan suatu komunitas, meneguhkan atau sebaliknya, mencerai beraikan (Abdilah, 2002: 9-10).

Dalam hal ini, hadirnya wacana dalam tradisi Jawa berkaitan dengan ziarah kubur tidak muncul dengan sendirinya begitu saja. Ada kesadaran kolektif akan identitasnya. Ziarah kubur sebagai perilaku sosial dalam masyarakat menunjukan identitas kolektifnya sebagai orang Jawa. Kesadaran ini muncul dari pengenalan dirinya dengan lingkungan dan orang-orang sebelumnya. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang mengantar terciptanya tradisi dalam masyarakat dan menumbuhkan suatu kekuatan. Maka di sini bisa terlihat, muncul permasalahan ketika orang tidak sesuai dengan tradisi yang telah diyakininya atau telah menjadi kesadaran kolektifnya. Begitupula

21 wacana kematian dalam ajaran Kristen yang tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme, juga menjadi kekuatan dalam membentuk identitas seseorang.

Foucault memandang agama tersebut sebagai bagian dari mekanisme untuk mengontrol fungsi kehidupan manusia. Gagasan-gagasan ini, belakangan akan berkembang dalam konseptualisme Foucault terhadap agama sebagai kekuasaan politis. Ini menunjukkan bagaimana Foucault lebih tertarik pada agama sebagai praktik atau fungsi agama, ketimbang agama sebagai keyakinan (Carrette, 1999: 50). Dari sini dapat dilihat, bahwa Foucault tidak ingin melihat sebuah kebenaran agama tetapi agama sebagai kekuasaan yang mengontrol pengikutnya.

Teori Foucault dirasa tepat untuk membidik permasalahan berkaitan dengan pertarungan kekuasaan tersebut. Kuasa sering kali dianggap subyek4 yang berkuasa dan subyek itu dianggap menindas. Namun, menurut Foucault kuasa tidak bersifat subyektif. Kuasa juga tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas, kuasa memproduksi lingkup obyek, dan ritus-ritus kebenaran (Bertens, 2006). Dari kekuasaan ini obyek merasa tidak dikuasai, justru semakin mengamini kekuasaan itu tanpa disadari. Salah satunya kekuasaan itu hadir melalui agama.

Lembaga produksi kekuasaan pengetahuan yang dahsyat adalah agama. Agama tidak bisa dipisahkan dari mekanisme dan teknik kekuasaan

4

Subyek dalam arti sesustu yang berkuasa seperti raja, pemerintah,ayah, laki-laki, dan kehendak umum.

22 normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui teknik penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan teknik itu akan dihasilkan identitas, yang akan memudahkan untuk mendapatkan kepatuhan dari pemeluknya (Haryatmoko, 2010:99).

Dari konsep penelitian ini dapat dilihat bagaimana etnis dalam hal ini tradisi jawa yang memberikan sebuah kesadaran kolektif dalam masyarakat yang menjadi kekuatan yang meneguhkan dalam membangun komunitas berhadapan dengan agama yang menuntut kepatuhan pengikutnya. Orang Jawa yang beragama Kristen akhirnya harus menentukan identitasnya. Secara sadar atau tidak, ada pertarungan kekuasaan dengan membawa wacana yang bertabrakan yang mengarah pada pembentukan identitas subjek. Ini sejalan dengan apa yang menjadi pemikiran Foucault dengan mengeksplorasi praktik-praktik wacana serta wujud-wujud kekuasaan yang membentuk subjek. Bukan kebenaran akan wacana tersebut, tetapi justru menggagas teori tentang hubungan antara kebenaran dan kekuasaan (Beilharz, 2005). Penelitian ini bukan melihat kebenaran akan tradisi ziarah kubur baik dari sudut pandang teologi kristen atau kebenaran yang diyakini orang Jawa. Tetapi lebih melihat Identitas yang terbentuk ketika ditempati dua kebenaran yang bertabrakan.

Dalam menentukan identitasnya berkaitan dengan kekuasaan politik, untuk menciptakan kepatuhan ada konsep yang perlu diperhatikan yaitu

23 panoptikon5 yang dikembangkan oleh Foucault. Panoptik bisa berfungsi sebagai usaha menciptakan penyeragaman dalam hubungan dengan orang di tengah kehidupan sehari-hari (Foucault, 1995: 205). Panoptik dalam hal ini adalah agama yang dihadirkan melalui ajaran alkitab, orang takut melanggar larangan agama karena takut akan dosa. Jemaat Kristen dalam menyikapi wacana ziarah kubur takut untuk melanggar ajaran agama. Begitu pula sebaliknya, pengucilan diri dari lingkungan masyarakat juga menjadi panoptikon, ketika tidak melakukan ziarah kubur secara kolektif ataupun individu takut dikucilkan oleh masyarakat karena dianggap melanggar tradisi yang sudah ada.

Konsep ini mempengaruhi seseorang dalam menentukan identitasnya, meskipun hukumannya belum nyata (dosa dan anggapan akan dikucilkan) menjadi pertimbangan dalam menentukan negosiasi dalam dirinya. Terjadi negosiasi akan identitasnya, baik itu tetap teguh dalam tradisi jawa, yakin dengan agamanya, atau mungkin ada identitas baru yang muncul.

Ada beberapa penelitian berkaitan denagan identitas politik dalam kebangkitan Agama dan wacana ziarah kubur. Yang pertama adalah penelitian dari Titi Mumfangati (2007) yang meneliti tentang Tradisi Ziarah

5

Panotik adalah sistem penjara yang ditemukan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Panoptik pada intinya adalah upaya pendisiplinan berbasis (tanpa) pengawasan. Panoptik dilakukan dengan mengancamkan pengawasan yang disertai hukuman bagi perilaku tertentu; kemudian menciptakan keyakinan bahwa seseorang sedang diawasi setiap saat, meskipun sebenarnya tidak.

24 Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa.6 Penelitian ini melihat bagaimana motivasi orang jawa mengunjungi atau berziarah kemakam leluhurnya. Hasil penelitian ini memperlihatkan bagaimana ziarah makam dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya mencari ketenangan, mencari rejeki, keberuntungan. Penelitian ini lebih melihat bagaimana aspek psikologis orang yang berziarah kubur. Sementara itu Y. Tri Subagyo (2005) juga melihat bagaimana peristiwa kematian dan juga setelah kematian yaitu seperti ziarah kubur menjadi pengalaman bagi orang yang berada disekitarnya. Penelitian etnografis ini melihat bagaimana realita yang ada berkaitan dengan misteri kematian. Ziarah kubur dalam penelitian Asep

Ma’mun (2007) dilihat secara teologis yaitu melihat persepsi masyarakat

terhadap ziarah kubur: sebuah studi kasus atas masyarakat Aeng Panas. Dalam penelitian ini melihat bagaiamana tradisi ziarah kubur dalam ajaran islam menjadi sumber keselamatan atau untuk mengingatkan akan kematian.

Martin Lukito Sinaga (2004) meneliti Identitas poskolonial gereja suku, penelitian ini melihat Identitas seseorang yang terbentuk melalui representasi diri berhadapan dengan resistensi terhadap representasi pihak yang kuat atas diri suatu komunitas. Dalam penelitian ini terkandung proses perjumpaan dan negoisasi sebagai hasil proses kolonialisme yang panjang, menemukan identitas sama dengan mengajukan ikhtiar perubahan sosial atau perluasan kebebasan dalam ruang publik. Selain itu Yendri A.H. (2007) juga

6

Mumfangati, Titi. Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa. Dalam Jantra Vol. II No 03, Juni 2007

25 melihat bagaimana identitas seseorang ketika berhadapan dengan agama. Yakni, Identitas penganut Merapu berhadapan dengan Gereja dan Pemerintah. Kedua penelitian tersebut melihat bagaimana identitas seseorang berkaitan dengan wacana tentang agama ketika mengalami perjumpaan dengan wacana lain.

Dalam penelitian ini, akan lebih melihat bagaimana wacana kebangkitan agama mempengaruhi identitas seseorang. Hal ini berkaitan bagaiman negosiasi identitas orang Jawa yang beragama Kristen ketika berdiri dalam dua wacana yang berbeda. Jadi bukan pada pemaknaan ziarah kubur dari aspek teologis, psikologis, ataupun antropologi, tetapi lebih pada pengalaman terhadap ziarah kubur yang akhirnya menentukan identitas saat berada dalam dua kekuatan.

Dokumen terkait