• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pengelolaan Keuangan Prinsip Tazkiyah

TINJAUAN TEORETIS

F. Konsep Pengelolaan Keuangan Prinsip Tazkiyah

1. Konsep Pengelolaan Keuangan dengan prinsip Tazkiyah

Prinsip Tazkiyah (kesucian) merupakan hal penting untuk selalu dievaluasi penerapannya dalam segala dimensi hidup keseharian kita. Selama hayat masih

dikandung badan atau selama nafas masih keluar masuk dari tubuh kita, selama itu pula senantiasa harus di introspeksi, apakah yang keluar masuk itu masih bersandar pada hal-hal yang suci dan bersih (tazkiyah), atau sudah bercampur atau bahkan sudah tidak terukur lagi dimana sandarannya. Konsep tazkiyah (kesucian) dimaksudkan sebagai sebuah konsep yang suci meliputi makna bersih dan sah secara lahiriyah dan suci secara batiniah. Karena itu sebuah usaha senantiasa diharuskan mencakup kedua dimensi tazkiyah tersebut, dengan dasar itulah merupakan cikal bakal dibangunya teori bisnis tazkiyah. Dalam konsep fikih dikenal lima kategori hukum atau al-ahkamu khamzah yang lazim juga disebut sebagai hukum taklify, yaitu pembebanan hukum terhadap perbuatan manusia dan terhadap obyek benda. 111

Dalam pandangan ekonomi syariah yang menjunjung tinggi prinsip kesucian (halalan tayyiban) tidak hanya tertuju pada nilai dan kemanfaatan saja dari suatu objek, melainkan juga lebih kepada bagaimana proses yang digunakan untuk memproduksi, mengolah, atau mendapatkan harta benda itu. Oleh sebab itu, dalam konsep tazkiyah objeknya haruslah yang sah, halal dan baik. Dalam konsep ekonomi syariah terdapat objek yang diharmkan untuk dikelalo, diproses, dan dimiliki, demikian pula terhadap proses perolehannya, yang seharusnya juga sah dan halal tidak mengandung unsur manipulasi (gharar), penipuan (tadlis), kezaliman (riba), untung-untungan (maysir), penimbunan, monoploi, dan segala tindakan yang curang.112

111Arfin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta, Tahun 2007, h.

Disamping kriteria kehalalan, makna halalan tayyiban tidak terlepas dari tujuan dan pemanfaatan harta benda yang dikuasai oleh seorang insan, yaitu harus dimanfaatkan (infak) ke arah yang suci, yakni limardatillah (hanya untuk keridhaan Allah) dan telah tersucikan melalui zakat. Hal ini merupakan konsekuensi bahwa manusia bukanlah pemilik mutlak terhadap harta benda yang dimilikinya, melainkan juga harus memanfaatkannya hanya kepada yang diridhai oleh Allah swt sebagai pemilik mutlak.

Untuk mengkualifikasi sebuah bisnis yang tazkiyah (suci) dalam konteks system ekonomi syariah, paling tidak melalui 4 (empat) tahapan sebagai unsur (rukun) yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan, sehingga melahirkan system bisnis yang betul-betul sesuai syariah sebagaiman digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2. 1

Alur Teori Bisnis Tazkiyah

Sumber: Harfin Hamid, (Buku Hukum Ekonomi Syariah )113

Masalah pembangunan merupakan topik pembicaraan yang ramai. Sebagian besar orang berbincang soal tersebut menitikberatkan penggambaran tentang pembangunan ini dengan perkembangan dan pengembangan ekonomi dan segala

113 M. Arfin Hamid, Hukum Ekonomi Islam, h.97

Tahapan Uraian Kualifikasi keabsahan

Kegiatan (Halal, sunnah, mubah, makruh, haram)

I Obyek ? Haram Halal Halal Halal Halal

II Proses ? Halal Haram Halal Halal Halal

III Hasil ? Haram Haram Haram Halal Halal

IV Pemanfaatan, Haram Haram Halal Haram Halal

Pengelolaan ?

macam upaya pencapaian kesejahteraan hidup. Hal seperti itu tidak mengherankan jika kita kaitkan dengan latar belakang pemikiran materialisme (Kapitalisme dan sosialisme) yang hampir mendominasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan itu di mana-mana. Namun gagal mewujudkan hal tersebut, karena kurang jelasnya arah dan tujuan konsep pembangunan ekonominya.114 Masyarakat Islam di mana-mana juga tidak mudah mencari posisi yang tidak ada ketergantungan dengan dominasi tersebut. Namun kini mulai tumbuh suatu kesadaran baru mencari penyempurnaan-penyempurnaan atas upaya pembangunan yang selama ini dikembangkan, karena masyarakat dunia cukup merasakan banyak dampak negatif disamping dampak positifnya yang sempat dinikmati dari pembangunan ekonomi sekarang ini.

Proses kesadaran seperti itu, konsepsi Al-Qur’an mendapat peluang untuk menyumbangkan sesuatu yang dirindukan masyarakat dalam kehidupannya, yaitu kebahagian di dunia dan keselamatan di akhirat. Era pembangunan adalah era perubahan semua sektor kehidupan yang berdampak positif bagi aspek tertentu yang sekaligus negatif untuk aspek lainnya. Umat perlu menyesuaikan perubahan-perubahan tersebut dalam rangka nilai-nilai dan norma hidup serta kehidupan sebagai manusia di tengah-tengah alamsemesta. Nilai dan norma adalah penduan yang dianut masyarakat, yang dapat memberi makna dan warna (sibghat) terhadap perubahan. Artinya perubahan itu merupakan refleksi nilai atau dengan perkataan

114 Alie Yafie, Mengagas Fiqhi Sosial (Dari soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga

lain, perubahan yang positif kuantitatif-kuanlitatif hendaknya merujuk kepada ukuran-ukuran normatif yang bersumber kepada nilai-nilai mulia.115

Sedangkan aspek normatif yang kemudian memberi arah pembangunan umat manusia seutuhnya ada lima nilai, yakni: hak/batil, halal/haram, adil/zalim, manfaat/mudarat dan baik/buruk. Dari nilai-nilai ini kita mengembangkannya dalam etika pembangunan yakni sistem atau seperangkat nilai dan norma yang hidup dan dianut serta menjadi pedoman dalam membangun masyarakat di semua sektor kehidupan dalam rangka taqwa kepada Allah.

Etika masyarakat tampil bermacam-macam kecuali bersumber pada tauhid. Etika yang tidak diturunkan tidak bersumber dari tauhid jelas sekali karena akan menurunkan matabat manusia116. Ruh atau nafas yang masih keluar masuk itu adalah inti kehidupan yang bersandar pada antara lain, sejauh mana bahan konsumsi yang masuk ke tubuh, pakaian yang melekat di tubuh, tanah, rumah, dan sebagainya semuanya telah didapatkan secara syah dan halal (Halalan Tayyiban) ataukah masih bergelimang dengan kemaksiatan. Nilai tazkiyah yang menjunjung tinggi kesucian, dimana kesucian secara bathiniah dan rohaniah tidak kasat mata bahkan tidak terdeteksi jika hanya menggunakan indera. Misalnya, yang berkaitan dengan kejiwaan berupa keyakinan yang suci terbebas dari segala kemusyrikan sebagai perbuatan yang bersifat vertikal, sementara tindakan yang bersifat horizontal, yaitu terbebas dari sifat rakus, tamak, hasad, dan dengki serta tindakan anarkis lainnya. Jadi, segala harta benda (objek material) serta termasuk pula segala

115AM. Saefuddin, Ada Hari Esok (Refleksi Sosial, Ekonomi dan Politik untuk Indonesia

Emas) (Cet I; Jakarta: Amanah Putra Nusantara, 1995), h. 88

116Umer Chapra, Etika Ekonomi Politik (Elemen-elemen Strategis Pembangunan

sikap tindakan manusia dalam kaitannya dengan objek material itu, juga harus dalam koridor kesucian yakni dalam makna Halalan Tayyiban (halal dan baik). Inilah kriteria utama yang harus mengejewantah dalam setiap proses bisnis (ekonomi Islam). Allah berfirman dalam QS Asy-Syam/91: 8-10.

ﺎَﻫاَﻮْﻘَـﺗَو ﺎَﻫَرﻮُﺠُﻓ ﺎَﻬَﻤَْﳍَﺄَﻓ

) 8

ﺎَﻫﺎﱠﻛَز ْﻦَﻣ َﺢَﻠْـﻓَأ ْﺪَﻗ (

) 9

ﺎَﻫﺎﱠﺳَد ْﻦَﻣ َبﺎَﺧ ْﺪَﻗَو (

(

10

)

Terjemahnya:

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyuci-kan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. 117

Ibnu Jarir ath Thobari menafsirkan bahwa orang-orang yang beruntung adalah mereka yang Allah sucikan jiwanya dari kekufuran dan kemaksiatan, serta memperbaikinya dengan amal sholeh. Untuk mendapatkan keberuntungan tersebut dari Allah ta’ala ibnu katsir menjelaskan bahwa manusia harus menempuh jalan yaitu mentaati Allah, membersihkan jiwanya dari akhlaq tercela serta membersihkan jiwa dari berbagai hal yang hina.118 Halalan Tayyiban (halal dan baik) merupakan hal yang sangat dijunjung dalam pandangan ekonomi syariah bukan hanya tertuju pada nilai dan kemanfaatan suatu objek, melainkan juga yang lebih menentukan bagaimana proses yang digunakan untuk memproduksi, mengolah, ataukah cara mendapatkan benda itu.119