• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan Praktik Akuntansi dalam Islam Akuntansi telah ada sejak zaman sahabat Nabi Muhammad SAW

Akuntansi dan Islam

B. Konsep dan Praktik Akuntansi dalam Islam Akuntansi telah ada sejak zaman sahabat Nabi Muhammad SAW

Prinsip-prinsip akuntansi telah diatur dalam Q.S Al-Baqarah ayat 282–283.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah menga-jarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya.

Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan

jangan-Akuntansi dan Islam 95 lah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tu-nai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada di-rimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu memper-cayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipermemper-cayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Mua’malah yang dimaksud adalah kegiatan jual beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dan sebagainya. Saya akan mencoba mengaitkan setiap makna dari ayat tersebut dengan akuntansi yang sekarang kita gunakan.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia harus melakukan pencatatan atas transaksi yang terjadi tidak secara tunai (kredit). Ini adalah hakikat akuntansi. Pencatatan transaksi yang terjadi secara tidak tunai dalam akuntansi dikenal dengan metode accrual basis.

Buku ini tidak diperjualbelikan.

Orang yang mencatat harus menuliskannya dengan benar. Prin-sip kebenaran dalam Islam ini dikenal sebagai konsep objektivitas dalam akuntansi. Kebenaran, dalam ayat ini, artinya pencatatan dilakukan atas sepengetahuan pihak yang berutang atau wali nya (orang yang jujur). Wali di sini dapat kita analogikan dengan seorang manajer dalam sebuah perusahaan. Oleh karena itu, ma-najer harus jujur. Prinsip kejujuran sangat penting da lam menge-lola perusahaan sehingga dapat menghindarkan per se lisihan. Ma-najer harus melakukan pengungkapan secara jujur mengenai apa yang dilakukannya atas nama perusahaan. Dalam akuntansi, hal ini disebut prinsip disclosure. Pencatatan juga dilakukan di depan saksi (dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki ditambah dua orang perempuan). Saksi dalam akuntansi adalah auditor indepen-den. Namun, ada perbedaan tentang waktu pemberian kesaksian.

Dalam ayat tersebut, saksi harus memberikan kesaksian saat trans-aksi terjadi. Dalam ilmu akuntansi, auditor independen memberi-kan kesaksian atas pencatatan transaksi minimal satu tahun sekali.

Auditor harus independen dan tidak boleh saling menyulitkan.

Seorang saksi tidak boleh enggan memberi keterangan apabila di-panggil. Artinya, seorang auditor harus mau mampu memberikan penjelasan atas apa yang disaksikannya dan harus mengungkap-kan semua temuannya. Islam tidak mengenal konsep materialitas karena kita diperintahkan untuk tidak jemu menulis utang, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu membayarnya. Apabila transaksi terjadi secara tunai, Islam membolehkan tidak dilakukan pencatatan. Lain dengan akuntansi yang mana semua transaksi keuangan yang terjadi harus dicatat. Semua yang terlibat dalam proses pencatatan harus menjalankan semuanya sesuai ajaran-Nya dan jujur karena Allah Maha Mengetahui. Q.S Al-Baqarah ayat 283 menunjukkan bahwa Islam membolehkan adanya sistem jaminan jika pencatatan tidak dilakukan. Dalam akuntansi, kita

Akuntansi dan Islam 97

mengenal adanya utang bergaransi/hipotik. Perbedaannya adalah dalam akuntansi saat ini utang yang dicatat juga ada yang me-makai sistem jaminan.

Praktik akuntansi yang sesuai dengan ajaran Islam telah di-mulai sejak 624 M (2 H) atau sejak adanya pengenalan dan peng-organisasian zakat. Akuntansi digunakan untuk kalkulasi zakat.

Akuntansi dimulai dengan pendirian dewan pencatatan baitul mal.

Dalam perkembangannya, muncul buku, konsep, dan prosedur akuntansi pada masa pemerintahan khalifah kedua, Umar Bin Khattab, yang memerintah antara 13–23H (634–644M). Peran zakat sama pentingnya bagi negara dan individu, terutama bagi mereka yang menjalankan bisnis. Pengusaha muslim pada umum-nya menaruh perhatian pada pengembangan dan implementasi pem bukuan akuntansi, sistem, dan prosedur pencatatannya. Hal ini dilatar belakangi oleh kebutuhan kewajiban syara,’ yakni kalku-lasi yang sesuai dan pembayaran zakat sebagai konsekuensi dari menjalankan bisnis dan mendapatkan keuntung an (Zaid, 2009). Menurut Triyuwono, sistem tersebut mengalami perkembangan pada periode berikutnya seiring dengan perkembangan peradaban manusia, dengan adanya berbagai buku akuntansi pada masa Abasiyah (750–847 M), seperti Jurnal Pengeluaran (Jaridah Annafakat/Expenditure Journal), Jurnal Dana (Jaridah Al-Maal/

Funds Journal), Jurnal Dana Sitaan (Jaridah Al-Musaridin/Confis-cated Funds Journal), dan laporan akuntansi yang dikenal dengan nama Al-Khitmah (Matsani, 2008).