• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Konsep Tourism Branding

Tourism branding adalah sebuah terminologi yang mengakar

pada konsep branding yang mana memandang brand sebagai suatu hal yang esensial untuk menaksir persepsi konsumen. Pariwisata bukanlah sebuah area studi yang baru, akan tetapi studi mengenai citra destinasi baru dimulai pada era 1970-an dan semakin populer seiring dengan berjalannya waktu (Hull dalam Hosany, 2006). Menurut Kotler dan Ketller dalam Dewi (2011), pada dasarnya branding adalah sebuah sebuah rangkaian aktivitas yang ditujukan untuk menciptakan brand yang mencerminkan persepsi dan bahkan pikiran dan perasaan konsumen. Sedangkan dalam konteks pariwisata menurut Blaindkk dalam Dewi (2011), branding adalah rangkaian aktivitas pemasaran

Inskeep, 1991 Pendit, 1998 Prasiasa, 2013 Gunn, 2002 Warpani, 2007 Atraksi Wisata Akomodasi Fasilitas Infrastruktur Transportasi Kelembagaan Politik Pemerintah Perasaan ingin tahu Sifat Ramah Tamah Jarak dan Waktu Daya Tarik Akomodasi Harga-Harga Publikasi Atraksi Destinasi Fasilitas Destinasi Aksesibilitas Citra Harga Rumpun Daya Tarik Masyarakat Jalur aksesibilita s Jalur hubungan Linkage DTW memiliki daya tari wisata Ketersedia an infrastrukt ur Pengalam an yang berkesan

yang mencakup dukungan untuk menciptakan gambar grafis dengan tujuan untuk mengenali suatu destinasi, upaya komunikasi yang konsisten mengenai harapan atas pengalaman berkunjung ke destinasi yang dimaksud. Menurut Peter (2009) Branding adalah sebuah representasi identitas destinasi yang dapat dikenali oleh konsumen.

Upaya-upaya branding yang paling lazim meliputi

brandpersonality, brandpostioning, dan brandidentifiers (branddrivers) (Dewi, 2011). Pertama, brandpersonality adalah upaya

yang berkaitan dengan upaya spesifik dari sifat manusia yang dimiliki oleh suatu produk maupun jasa. Kedua brandpositioning, yaitu citra

brand yang menunjukkan keunikan suatu brand dibandingkan dengan

produk-produk lain. Ketiga, brandidentifier, yaitu elemen brand yang membedakan suatu produk dengan produk lainnya, maupun hal-hal lain yang terasosiasi dengan brand tersebut. Komponen yang membentuk berbagai upaya-upaya tersebut pun variatif karena setiap ahli memiliki perspektif yang berbeda mengenai setiap upaya branding. Secara umum, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Hankinson (2005), setidaknya ada 5 (lima) atribut brand yang terkait dengan branding dalam leisuretourism, yaitu ekonomi, lingkungan fisik, aktivitas dan fasilitas, sikap brand, dan manusia.

Martin dan Morrison dalam Dewi (2011) memberikan batasan dalam perencanaan dan pariwisata agar tercipta nuansa khusus yang mana meliputi sumber daya manusia dan kontrol kualitas, permintaan yang berfluktuasi sementara penawaran yang bersifat kaku, dampak terhadap masyarakat dan lingkungan, pelibatan institusi non bisnis, koordinasi perencanaan. Setelah ada batasan yang jelas, langkah selanjutnya menurut Meidan dalam Dewi (2011) adalah segmentasi pasar, penentuan pasar sasaran, positioning dan branding. Dengan adanya segmentasi pasar, maka stakeholders yang terlibat dalam penyusunan rencana tourism branding dapat merumuskan daya tarik khusus bagi segmen sasaran yang nantinya berdampak terhadap pengembangan tempat dan aktivitas pariwisata. Namun jika tidak ada segmentasi khusus yang dipilih, maka strategi pariwisata massal dapat diterapkan meskipun nantinya orientasi yang dikejar adalah kuantitas kunjungan (Dewi, 2011).

Urgensi dari tourism branding sebagai sebuah upaya dalam pengembangan pariwisata dikemukakan oleh beberapa ahli. Ooi (2012) berpendapat bahwa dengan adanya tourism branding setidaknya ada 4 (empat) keuntungan yang bisa didapatkan, yaitu: (1) otoritas pariwisata harus mendemonstrasikan kredibilitas dari pesan yang ingin disampaikan serta satu strategi umum untuk mendapatkan citra positif; (2) pengemasan objek dan daya tarik wisata secara selektif dan estetik sehingga dapat menarik perhatian masyarakat secara positif; (3) upaya untuk membuat sebuah objek dan daya tarik wisata terlihat unik di tingkat global; (4) upaya untuk membentuk pengalaman wisata. Pendapat lain dikemukakan oleh Woodland dan Acott (2007) yang menyinggung mengenai peran tourism branding sebagai upaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan karena adanya unsur kolaborasi dan kemitraan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Woodland dan Acott, tourismbranding pada tingkat lokal adalah sebuah aktivitas top down yang mampu menginisiasi jejaring aktivitas akar rumput. Konsep ini mengakar pada pemahaman bahwa dengan adanya tourismbranding di tingkat lokal maka nilai penjualan produk dan layanan pariwisata, antara lain wahana, jasa boga, dan akomodasi, dapat meningkat. Selain diterapkan di tingkat lokal, Tasci (2011) berpendapat bahwa branding adalah sebuah hal kompleks yang dapat diterapkan di tingkat global hingga tingkat operasional sekalipun, tergantung dari entitas geografis. Konsistensi yang tercipta dari setiap tingkatan dapat berpengaruh terhadap sukses atau tidaknya branding yang diimplementasikan.

Sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang mana tujuannya adalah untuk mencapai kesuksesan finansial, tentu ada berbagai kriteria yang harus dipenuhi agar upaya tourism brandingyang dijalankan dapat berhasil. Jika dilihat dari akar konsep branding itu sendiri, hal-hal yang menjadikan sebuah brand sukses adalah periklanan, media interaktif, pemasaran secara langsung, dan kapitalisasi perhelatan (Morgan dkk, 2003). Periklanan sendiri sebagai bagian dari strategi branding adalah sebuah hal yang sudah lumrah, mengingat masyarakat awam juga sudah terbiasa dengan ekspos iklan berbagai produk maupun jasa dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ooi (2012),

sukses atau tidaknya tourism branding bergantung pada 2 (dua) hal, yaitu: (1) jenis sumberdaya yang tersedia ; (2) sikap masyarakat lokal terhadap pariwisata serta dukungan politik yang mampu mendorong keterlibatan antar stakeholders.

Menurut Gelder dalam Laksana (2015) upaya branding bisa dilakukan dengan banyak cara, akan tetapi yang umum dilakukan adalah dengan menentukan brand personality, brand positioning , dan

brand identifier. Sedangkan untuk unsur yang termasuk dari Brand Personality adalah : a. Ritual (diasosiasikan menurut kejadian

tertentu) b. heritage of good, kemudian untuk brand positioning dikaitkan dengan elemen unieqly (berbeda dengan pesaing), dan untuk

brand identifier dikaitkan dengan verbal (Nama brand, uraian produk,

istilah, positioning tagline) serta visual (logo dan kemasan)

Tabel 2.3 Branding Pariwisata

Dewi, 2010 Hankinson, 2005 Ooi, 2012 Brand Personality (Merupakan tahan perkembangan merek, yang berarti mencerminakn kepribadian.)

Ekonomi Jenis Sumberdaya yang tersedia

Brand Positioning (keunikan suatu brand

dibanding dengan produk-produk lain)

Lingkungan fisik Sikap masyarakat lokal terhadap

pariwisata Brand Identifier (Citra

terhadap merk yang berupa keyakinan atau

preferensi terhadap suatu merk)

Aktifitas dan Fasilitas Dukungan politik Sikap brand

Manusia

Sumber : Hasil Sintesis Pustaka, 2017

Dari hasil sintesa pustaka diatas, core inti dari penelitian ini adalah

diatas yang relevan masuk kedalam 3 core inti tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Brand Personality : Lingkungan, fisik, jenis SDA, aktifitas. (2) Brand Positioning : Keunikan dan berbeda dengan pesaing, Linkage.

(3) Brand Identifier : Citra atau image (Logo, Uraian Produk, Istilah).

Dokumen terkait