• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL

B. Konsep Umum Penerjemahan al-Qur’an

Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau singkatnya mengalihbahasakan. Sedangkan terjemahan, berarti salinan bahasa, atau alih bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain.24 Secara etimologis kata “ترجمﻩ” atau translation berarti menerangkan atau menjelaskan, seperti dalam ungkapan tarjamatu kalam maksdunya bayyinahu wa wadihahu “menerangkan suatu pembicaraan dan menjelaskan maksudnya.25 Maka, menafsirkan atau menjelaskan Qur’an ke dalam berbagai bahasa selain bahasa Arab, termasuk menerjemahkan

23

Jamiluddin Ali, Analisis Semantik Ayat-Ayat al-Qur’an Tentang Jilbab, h. 32.

24

Tim PrimaPena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Terbaru), (Jakarta: Gita Media Press), h. 754

25

Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH. MA, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) h. 129.

2. Macam-Macam Terjemah Al-Qur’an

Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika masyarakat yang progresif mendorong umat Islam untuk mencurahkan perhatian yang besar dalam menjawab problematika kontemporer yang semakin kompleks dari masa kemasa. Untuk itu Penulis akan menjelaskan beberapa model dalam penerjemahan al-Qur’an sebagai berikut:

A. Terjemahan secara harfiyah (lafziyah) yaitu menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa sasaran di mana kalimat dan susunan kata disesuaikan dengan bahasa aslinya. Contoh, kalimat bismillah diartikan dengan “dengan menyebut nama Allah” yang secara harfiyah adalah dua kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa pemakai yang sudah beredar di masyarakat contohnya adalah terjemahan al-Qur’an Depag RI dari tiap edisi.

Dalam terjemahan harfiyah selain beberapa pemahaman di atas ada dua hal yang harus diikuti jika menerjemahkan al-Qur’an.

• Adanya kosakata-kosakata yang sempurna dalam bahasa terjemah sama dengan kosakata-kosakata bahasa asli.

26

Drs. M. Ali Hasan & Drs. Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 170.

• Harus adanya penyesuaian kedua bahasa mengenai kata ganti dan kalimat penghubung yang menghubungkan antara satu frasa dengan frasa yang lain untuk menyusun kalimat.

B. Terjemahan tafsiriyah (ma’nawiyah) yaitu menerjemahkan dari ayat-ayat al-Qur’an di mana si penerjemah memusatkan perhatiannya pada arti al-al-Qur’an yang diterjemahkan dengan lafaz-lafaz yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa dalam bahasa asli. Model terjemahan tafsiriyah seperti ini juga sudah banyak beredar di masyarakat.

2. Syarat-Syarat Terjemah Al-Qur’an

Penerjemahan al-Qur’an adalah mengalihkan pesan al-Qur’an, ke bahasa asing selain bahasa Arab, dan terjemahan tersebut dicetak dengan tujuan agar dapat dikaji oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab sehingga dapat dimengerti maksud dari firman Allah tersebut dengan bantuan terjemahan.

Seorang penerjemah al-Qur’an harus memenuhi syarat-syarat berikut:

• Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung jawab keislamannya dapat dipercaya.

• Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan al-Qur’an.

• Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia harus mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik.

• Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dan memenuhi kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufasir.

Menurut T.M. Hasbi ash-Shiddieqy ada beberapa ilmu yang harus dimengerti dan dikuasai oleh seorang mufassir sebagai berikut:

Lughat Arabiyah: dengan ilmu ini seorang muafassir akan mengetahui syarah kata tunggal.

•Undang-undang bahasa Arab: aturan-aturan yang terdapat dalam bahasa Arab atau jelasnya mengerti ilmu sharaf dan nahwu.

Ilmu Ma’ani, Bayan dan Badi’: dari ketiga ilmu ini seorang mufassir akan mengerti susunan pembicaraan dan penjelasan dari setiap kalimat dan memahami letak keindahan bahasa al-Qur’an.

•Mengetahui asababun nuzul dan nasakh serta mengerti antara mubham dan mujmal.

• Mengetahui ijmal, tabyin, umum, khusus, itlaq, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan. Ini diambil dari ilmu ushul fiqh.

•Ilmu Kalam

•Ilmu Qira’at.27

Pada saat melakukan kerja penerjemahan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi syarat-syarat berikut:

• Dalam menerjemahkan seorang penerjemah harus berpedoman pada syarat-syarat penafsiran rasional (ﻲ ﻘﻌﻟاﺮﻴﺴﻔﺘﻟا).

• Penerjemah harus memperhatikan ketepatan terjemah dengan melihat tingkat penerjemah sebagai berikut: (1) terjemah kata per kata dengan melihat padanannya; (2) terjemah makna dan penjelasannya dengan

27

T. M. Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang 1980), h. 207

menggambarkan makna tersebut dan memberi beberapa penjelas tambahan atas makna kata; (3) menjelaskan kebenaran pemilihan makna terjemahan dan berusaha menjelaskan dengan dalil.

• Dalam menerjemahkan haruslah terkonsentrasi pada redaksi (ظﺎﻔﻟﻷا) dan makna al-Qur’an, bukan pada bentuk susunan al-Qur’an, karena sistem susunan tersebut merupakan mukjizat yang tak terjemahkan.

• Hendaknya menerjemahkan makna al-Qur’an dengan metode terjemah yang benar dengan kriteria: (1) gaya penerjemahan dengan bahasa yang mudah dicerna, dan sesuai dengan kemampuan umum pembaca; (2) hati-hati dalam mencarikan padanan yang tepat dari kalimat-kalimat yang ada dalam al-Qur’an; (3) menuliskan makna ayat dengan sempurna; (4) memohon bantuan pada ahli Bsa untuk mendapatkan koreksi.

• Menjadikan tafsir sebagai rujukan dalam penerjemahan.

• Harus memberikan keterangan pendahuluan yang menyatakan bahwa terjemah Qur’an tersebut bukanlah Qur’an, melainkan tafsir al-Qur’an.

Selain strategi di atas, ada teknik umum yang harus pula diketahui seorang yang hendak menerjemahkan al-Qur’an, seperti berikut:

• Penerjemahan ayat sebaiknya ditulis miring.

• Penerjemahan informasi ayat dituliskan sesuai dengan kelaziman yang dipakai, seperti (QS Al-Baqarah [2]: 33). Namun demikian, penulisan ini bisa disesuaikan dengan gaya selingkung yang berlaku.

• Penerjemahan harus mengacu pada penerjemahan lain yang telah disepakati keakuratannya oleh banyak kalangan, meskipun tetap dibenarkan melakukan penyuntingan bahasa, bukan isi terjemahan.

• Penerjemahan al-Qur’an di dalam teks lain, biasanya didahului dengan klausa Allah Swt. berfirman. Ini bukan merupakan keharusan. Penerjemah bisa memodifikasinya.28

Dari teori-teori tentang konsep umum semantik dan konsep umum penerjemahan al-Qur’an yang telah Penulis jabarkan di atas, maka akan di jadikan sebagai landasan analisis pada bab empat.

28

www.kampusislam.com, ditulis oleh: Moch. Syarif Hidyatullah. Diakses pada tanggal 19 februari 2010

BAB III

BIOGRAFI KEDUA PENERJEMAH

A. Biografi Prof. Dr. Mahmud Yunus

Mahmud Yunus lahir pada tanggal 30 Ramadhan 1316 H atau bertepatan dengan 10 Februari 1899 di Batu Sangkar Barat. Belum genap berumur tujuh tahun beliau sudah memulai mengaji pada kakeknya, M . Tahir bin M. Ali. Mahmud Yunus masuk ke sekolah dasar namun hanya sampai kelas tiga. Selepas itu, beliau memasuki madrasah yang dipimpin oleh Syekh H. M. Thalib Umar sampai tahun 1916. Pada tahun 1917 Mahmud Yunus sudah dipercaya untuk mengajar menggantikan gurunya yang berhalangan karena sakit.

Ketika berusia 25 tahun beliau melanjutkan studinya ke Universitas Kairo

dan berhasil memperoleh Syahadah Alamiyah. Kemudian pada tahun 1926-1930

belajar di Madrasah Darul Ulum Ulya. Sebagai orang Indonesia yang pertama kali memasuki Madrasah ini beliau harus bersusah payah untuk dapat bersekolah di

Madrasah ini. Beliau mengambil takhashsush (spesialis) tadris sampai

memperoleh Ijasah Tadris.29

Profesinya sebagai guru sudah dimulai sejak masih belajar di Batu Sangkar, yaitu sebagai guru bantu di pesantren. Selanjutnya pada tahun 1931 sebagai direktur/guru al-Jamiah di Batu Sangkar dilanjutkan dengan sebagai guru Normal Islam (Madrasah Mu’alimin Islamiyah), kemudian menjadi dosen agama pada Akademi Pamong Praja di Bukit Tinggi, menjadi dekan pada Akademi Dinas

29

Ilmu Agama (AIDA) di Jakarta, pada tahun 1960-1963 beliau dipercaya sebagai dekan sekaligus guru besar pada fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pada tahun 1966-1971 beliau menjabat sebagai rektor IAIN Imam Bonjol Padang.

Beliau juga dikenal sebagai pendiri perkumpulan Sumatra Thawalib dan

penerbit Islam al-Basyir. Pada tahun 1920 turut mendirikan persatuan anggota Cu

Sang Kai. Pada tahun 1945-1946 dimana beliau berhasil memasukkan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah pemerintah. Beliau turut serta dalam mendirikan Majlis Tinggi Minangkabau yang kemudian menjadi MIT Sumatra.

Beliau mulai terlibat gerakan pembaruan setelah mewakili gurunya untuk hadir dalam rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang, Sumatra Barat. Abad ke-20 ditandai dengan kemajuan di berbagai bidang, terutama ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara-negara yang bisa menguasai kedua hal tersebut akan bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Tentu bangsa Indonesia yang mayoritas muslim mau tak mau harus mengikuti perkembangan itu.

Selama ini ada anggapan bahwa pendidikan Islam hanya terpusat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Tapi beberapa kalangan telah melakukan penyesuaian dengan memasukkan ilmu umum dalam kurikulum pendidikan Islam. Salah satu tokoh pembaru itu adalah Prof. Mahmud Yunus. Disebutkan dalam

buku Tokoh dan Pemimpin Agama: Biografi Sosial-Intelektual, Mahmud Yunus

lahir lahir di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatra Barat, hari Sabtu 10 Februari 1899. Keluarganya adalah tokoh agama yang cukup terkemuka. Ayahnya yang

bernama Yunus bin Incek menjadi pengajar surau yang dikelolanya sendiri. Ibundanya yang bernama Hafsah binti Imam Samiun merupakan anak Engku Gadang M. Tahur bin Ali, pendiri serta pengasuh surau di wilayah itu.

Sejak kecil, Mahmud Yunus dididik dalam lingkungan agama. Dia tidak pernah masuk sekolah umum. Ketika menginjak usia tujuh tahun, Mahmud mulai belajar al-Qur’an serta ibadah lainnya. Gurunya adalah kakeknya sendiri. Mahmud sempat menimba ilmu di sekolah desa, tahun 1908. Namun, saat duduk di kelas empat, dia merasa tidak betah lantaran seringnya pelajaran kelas sebelumnya diulangi. Mahmud kecilpun memutuskan pindah ke madrasah yang berada di surau Tanjung Pauh bernama Madras School, asuhan H. M. Umar Thaib, seorang tokoh pembaru Islam di Minangkabau.

Sejarah mencatat, H.M. Umar Thaib amat berpengaruh terhadap pembentukan keilmuan Mahmud Yunus. Melalui karya-karya gurunya itu, Mahmud dapat menyerap semangat pembaruan yang dibawanya. Misalnya dalam

karya al-Munir ditekankan penguasaan pengetahuan umum serta bahasa Eropa.

Karenanya para santri di surau/pesantren H. M. Umar Thaib diwajibkan mempelajai ilmu agama, bahasa Eropa, maupun ilmu pengetahuan umum. Maksudnya agar para santri dapat juga memanfaatkan ilmu-ilmu tersebut bagi peningkatan kesejahteraan umat dan perkembangan Islam.

Saat Mahmud belajar di Madras School antara tahun 1917-1923, di Minangkabau tengah tumbuh gerakan pembaruan Islam yang dibawa oleh para alumni Timur Tengah. Umumnya pembaruan Islam terwujud dalam dua bentuk:

purfikasi30 dan modernisasi. Yang dilakukan oleh para alumni itu adalah gerakan purifikasi untuk mengembalikan Islam ke zaman awal Islam dan menyingkirkan segala tambahan yang datang dari zaman setelahnya.

Mahmud Yunus mulai terlibat digerakan pembaruan saat berlangsung rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang. Dia diminta untuk mewakili gurunya. Pertemuan itu secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola pemikiran pembaruan Mahmud Yunus, terutama berkat pandangan-pandangan yang dikemukakan sejumlah tokoh pembaruan seperti Abdullah Ahmad serta Abdul Karim Amrullah.

Bersama staf pengajar lainnya yang bergiat digerakan pembaruan, tahun 1920 Mahmud membentuk perkumpulan pelajar Islam di Sungayang bernama Sumatera Thawalib. Salah satu kegiatan kelompok ini adalah menerbitkan

majalah al-Basyir dengan Mahmud Yunus sebagai pemimpin redaksinya.

Interaksi yang kian intens dengan gerakan pembaru mendorongnya untuk menimba ilmu pengetahuan lebih jauh di Mesir. Tidak mudah untuk mewujudkan hasratnya itu. Berbagai kendala dihadapi. Namun pada akhirnya kegigihan Mahmud Yunus dapat mengantarkannya ke al-Azhar, Kairo, tahun 1924.

Di sana ia mempelajari ilmu ushul fiqh, tafsir, fikih Hanafi dan sebagainya. Mahmud Yunus seorang murid yang cerdas. Hanya dalam tempo

setahun dia berhasil mendapatkan Syahadah Alimiyah dari al-Azhar dan menjadi

orang Indonesia kedua yang memperoleh predikat tersebut. Tetapi dia merasa belum cukup dengan apa yang telah diperoleh lantaran peningkatan pengetahuan

30

umumnya belum terpenuhi. Dia pun berkeinginan melanjutkan studinya ke Madrasah Dar al-Ulum yang memang mengajarkan pengetahuan umum. Mahmud Yunus kemudian meneguhkan diri untuk mengikuti seluruh persyaratan yang diminta dan terbukti mampu memenuhi. Dia dimasukkan sebagai mahasiswa di

kelas bagian malam (qiyam lail). Semua mahasiswanya berkebangsaan Mesir,

kecuali Mahmud Yunus. Tercatat dia menjadi orang Indonesia pertama yang masuk Dar al-Ulum.

Kuliah Mahmud Yunus berakhir dengan lancar. Tahun 1929, dia mendapat ijazah diploma guru dengan spesialisasi bidang ilmu kependidikan. Setelah itu, dia kembali ke kampung halamannya di Sungayang, Batu Sangkar. Gerakan pembaruan di Minangkabau saat itu makin berkembang. Ini amat mengembirakan Mahmud Yunus yang lantas mendirikan dua lembaga pendidikan Islam, yakni pada tahun 1931 al-Jamiah di Sungayang dan Normal Islam di Padang. Di kedua lembaga inilah dia menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkannya di Dar al-Ulum, Kairo.

Karena kekurangan tenaga pengajar, al-Jamiah Islamiyah terpaksa ditutup tahun 1933. Sedangkan Normal Islam hanya menerima tamatan madrasah 7 tahun dan dimaksudkan untuk mendidik calon guru. Ilmu yang diajarkan berupa ilmu agama, bahasa Arab, pengetahuan umum, ilmu mengajar, ilmu jiwa dan ilmu kesehatan.

Dua penekanan dalam pembaruan Mahmud Yunus di lembaga pendidikannya yakni pengenalan pengetahuan umum dan pengajaran bahasa Arab. Pengajaran pengetahuan umum di sekolahnya sebenarnya tidaklah baru. Tahun

1909, Abdullah Ahmad sudah mengajarkan berhitung dan bahasa Eropa di Adabiyah School. Sementara Mahmud Yunus menambahkan beberapa pelajaran umum semisal, ilmu alam, hitung dagang dan tata buku.

Awal tahun 1970 kesehatan Mahmud Yunus menurun dan bolak-balik

masuk rumah sakit. Tahun 1982, memperoleh gelar doctor honoris causa di

bidang ilmu tarbiyah dari IAIN Jakarta atas karya-karyanya dan jasanya dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam di Indonesia. Sepanjang hidupnya, Mahmud menulis tak kurang dari 43 buku. Pada tahun 1982, Mahmud Yunus

meninggal dunia.31

Selain sebagai mufasir, Mahmud Yunus juga banyak menulis buku, terutama buku pelajaran agama Islam untuk anak-anak, temasuk pula tafsir dan terjemahan al-Qur’an, di antaranya:

a. Tafsir al-Qur’an tamat 30 Juz, tahun 1938.

b. Terjemahan Qur’an tanpa tafsir, untuk memudahkan membaca

al-Qur’an.

c. Marilah Sembahyang, pelajaran shalat, untuk anak-anak SD, 4 jilid d. Puasa dan Zakat, untuk anak-anak SD.

e. Haji ke Mekkah ,cara mengerjakan haji, untuk anak SD. f. Keimanan dan Akhlak, untuk anak-anak SD, 4 jilid. g. Beberapa Kisah Pendek, untuk anak-anak SD.

h. Riwayat Rasul Dua Puluh Lima, bersama Rasyidin dan Zubair Utsman.

31

Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan Qur’an Juz 30 (Surat al-Qadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008), hal. 41

i. Lagu/lagu baru/not angka-angka, bersama Kasim St. M. Syah. j. Bermain dan Berbudi Pekerti, untuk anak SD.

k. Hukum Warisan dalam Islam, untuk tingkat Aliyah.

l. Pemimpin Pelajaran Agama, 3 jilid, untuk murid–murid SMP. m. Perbandingan Agama, untuk tingkat Aliyah.

n. Kumpulan Do’a, untuk tingkat Aliyah. o. Do’a-do’a Rasulullah, untuk tingkat Aliyah.

p. Marilah ke Al-Qur’an, untuk tingkat Tsanawiyah/PGA, bersama H. Ilyas M. Ali.

q. Moral Pembaruan dalam Islam, untuk tingkat Aliyah. r. Akhlak (bahasa Indonesia), untuk tingkat Aliyah. s. Pelajaran Sembahyang (shalat), untuk Aliyah, t. Hukum Perkawinan dalam Islam, 4 Mazhab. u. Soal Jawab dalam Hukum Islam, 4 Mazhab.

v. Ilmu Musthalah Hadits, bersama H. Mahmud Aziz. w. Sejarah Islam di Minangkabau.

x. Kesimpulan Isi Al-Qur’an, untuk mubaligh dan umum y. Allah dan MakhlukNya, Ilmu tauhid, menurut al-Qur’an. z. Pengetahuan Umum Ilmu Medidik, bersama St. M. Said.

aa. Pokok-pokok Pendidikan/Pengajaran, Fakultas Tarbiyah/PGAA. bb. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Fakultas Tarbiyah/PGAA.

cc. Metodik Khusus Bahasa Arab (bahasa al-Qur’an), Fakultas

dd. Sejarah Pendidikan Islam Indonesia.

ee. Sejarah Pendidikan Islam (umum).

ff. Pendidikan Modern di Negara-negara Islam/Pendidikan Barat.

gg. Ilmu Jiwa Kanak-kanak , kuliah untuk kursus-kursus. hh. Pedoman Dakwah Islamiyah, kuliah untuk dakwah.

ii. Dasar-dasar Negara Islam. jj. Juz ‘Amma dan Terjemahannya.

kk. Pokok-pokok Pemikiran dan Pengajaran.

ll. Pelajaran Bahasa Arab (Durus al-Lughatil ‘Arabiyah)

mm. Tafsir ayati al-Akhlaq.

nn. Metodik Khusus Pendidikan Metode Pengajaran Pendidikan Agama SD.

oo. Kitab Pemimpin.

pp. Perbandingan Pendidikan Modern di Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat.

Dan 27 judul buku lainnya dalam bahasa Arab di antaranya; 1. Kitabu al-Tarbiyah wa Ta’lim.

2. Fiqhu al-Wadih dan lain sebagainya.32

B. Biografi Prof. Dr. T. M. Hasbi ash Shiddieqy

T. M Hasbi ash Shiddieqy merupakan seorang ulama Indonesia yang terkenal. Beliau memiliki kepakaran dalam bidang ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadits,

dan ilmu kalam. T. M. Hasbi ash Shiddieqy telah dianugerahkan dua gelar Doctor

32

Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur’an Karim, (Jakarta: Hidakarya Agung, Cet. Ke 72), h. 1-8

Honoris Cause sebagai penghargaan atas jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman Indonesia. Anugerah tersebut diperolehnya dari Universitas Islam Bandung dan (UNISBA) pada 22 Maret 1975, dan dari IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1975.

Profesor Doktor Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe pada 10 Maret 1904. Ayahnya Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husien ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pondok. Ibunya Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz , merupakan anak seorang Qadi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi ash Shiddieqy adalah

keturunan Abu Bakar ash Shiddiq (573-13/634M) yaitu khalifah yang pertama.

Beliau merupakan generasi ke 37 dari Abu Bakar ash Shiddieq.

Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy mendapat pendidikan awalnya di pondok pengajian milik bapaknya. Beliau menuntut ilmu di pelbagai pondok pengajian dari satu kota ke kota yang lain selama 20 tahun. Beliau mempelajari bahasa Arab dari gurunya yang bernama Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berbangsa Arab. Pada tahun 1926 T. M. Hasbi ash Shiddieqy berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pelajarannya di Madrasah al-Irsyad yaitu sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Soorkati (1874-1943), seorang ulama yang berasal dari Sudan. Di Madrasah

al-Irsyad Hasbi ash Shiddieqy mengambil takhassus (profesi) dalam bidang

Soorkati banyak memberi pendidikan ke arah pembentukan pemikiran modern sehingga, setelah kembali ke Aceh beliau langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.

Pada zaman demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideology di konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya

hingga tahun 1972.33

Sebagai seorang ulama yang menguasai bidang hukum Islam, dalam pemikirannya seorang Hasbi ash Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek keidupan manusia, baik dalam bersumber dari wahyu Allah swt yang kemudian dipahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid pendiri mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad Hambali.

Akan tetapi menurut Hasbi ash Shiddieqy, banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang tidak membedakan antara syariat yang langsung berasal dari Allah swt dan fiqh yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syariat

33

T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Al Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur’anul Karim, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002) Edisi ke-2, h. 1660.

tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa umat Islam Indonesia cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang berlaku absolut. Akibatnya, kitab-kitab fiqh yang ditulis imam-imam mazhab sebagai sumber syariat, walaupun terkadang relevansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, karena hasil ijtihad mereka tidak lepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkungan geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarkat kita sekarang. Itulah sedikit gambaran Penulis tentang pemikiran T. M. Hasbi ash Shiddieqy terhadap syariat hukum Islam.

Selain menafsirkan al-Qur’an T.M. Hasbi ash Shiddieqy juga dikenal sebagai penulis buku-buku. Adapun karya-karya beliau yang Penulis dapat dari penerbit Bulan Bintang, sebagai berikut:

a. al-Islam jilid I dan II

b. Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah

c. Dasar-dasar Kehakiman dalam Pemerintahan Islam (Sejarah Peradilan Islam)

d. Fiqhul Mawaris (Hukum-hukum warisan dalam Syariah Islam)

e. Hukum Antar Golongan dalam Fiqih Islam

f. Hukum Fiqih Islam

g. Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih islam

h. Ikhtisar Tuntunan Zakat dan Fitah (Pedoman Zakat)

i. Ilmu Pertahanan Negara dan Kemiliteran dalam Islam

Dokumen terkait