• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Uzlah Ibn Bajjah

Dalam dokumen Konsep Uzlah dalam perspektif Ibn Bajjah (Halaman 33-39)

BAB III : KONSEP UZLAH

A. Konsep Uzlah Ibn Bajjah

1. Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah

Dalam Pemikiran ini, Ibn Bajjah memberikan suatu pemahaman bahwa pembinaan terhadap individu masyarakat harus lebih diprioritaskan sebelum melakukan pembinaan terhadap tatanan sosial masyarakat. Artinya analisa sosial secara langsung dan terperinci sangat dibutuhkan dalam rangka menyelamatkan ketidakstabilan sebuah tatanan sosial secara langsung dan terperinci sangat dibutuhkan dalam rangka menyelamatkan ketidakstabilan sebuah tatanan sosial.

14

Dalam hal ini, etika melakukan tadbir terhadap jiwa manusia sehingga jiwa merupakan obyek kajian ilmu etika, sedangkan politik melakukan tadbir terhadap tatanan sosial masyarakat sehingga menjadi obyek kajian ilmu sosial.

Dengan demikian, tadbir yang dikehendaki oleh Ibn Bajjah adalah adalah tadbir pada diri manusia, yaitu pada orang-orang yang terisolasi (mutawahhidin) dari kehidupan komunitas. Orang-orang ini bisa jadi hanya satu

orang saja dan bisa lebih, asal pemikiran dan perilakunya tidak mencerminkan perilaku dan pemikiran komunitasnya. Orang-orang inilah yang oleh Ibn Bajjah disebut dengan mutawahhidin atau ghuraba dalam dunia sufi. Kaum mutawahhidin adalah mereka yang menjalani kehidupan dalam komunitas tidak

ideal, penuh kesesatan dan amoral tetapi tidak tidak larut dalam kesesatan itu. Hanya merekalah satu-satunya manusia yang mendapatkan kebahagiaan secara individu. Kebahagiaan dalam Negara ideal tidak mungkin bersifat menyeluruh

14

M. Subhan Anshori, Filsafat Islam Antara Ilmu dan Kepentingan ( Kediri : Pustaka Al-Azhar,

25

karena tidak semua warga Negara menggunakan akal sehatnya dalam menyikapi suatu permasalahan. Hanya para filsuflah yang akan mendapatkan kebahagiaan itu, sebab hanya merekalah yang menggunakan akal sehatnya dalam menyikapi permasalahan.

Setelah mempertegas arti tadbir, yaitu pengaturan perilaku manusia, Ibn Bajjah kemudia mulai menganalisa perilaku-perilaku itu untuk mengetahui perbuatan mana yang mampu menerima tadbir. Di saat manusia tersusun dari jasmani, indera dan akal, maka perbuatan manusia dapat dibedakan menjadi tiga bentuk. Pertama adalah perbuatan yang berasal dari jasmani murni seperti jatuh ke bawah atau naik ke atas. Perbuatan ini tidak menerima tadbir, sebab pada tatanan ini perbuatan manusia berasal dari sebuah kemestian yang tidak mungkin dielakkan. Kedua adalah perbuatan yang murni dari tabiat. Perbuatan ini juga tidak menerima tadbir, sebab pada tataran ini tidak ada perbedaan antara manusia dengan hewan secara mendasar. Ketiga adalah perbuatan yang berasal dari posisi manusia sebagai entitas berakal. Perbuatan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu perbuatan yang timbul dari ilham ketuhanan dan perbuatan yang datang dari kehendak manusia sendiri.

Memberikan karakteristik berkehendak pada diri manusia adalah ditujukan untuk memberikan tingkatan kapabilitas pada diri manusia yang itu sangat didasarkan pada perilakunya. Jika perilakunya hanya lantaran dorongan murni naluri kebinatangan, dimana naluri kebinatangan itu mampu menundukkan akalnya, maka perbuatannya itu semata karena tuntutan perwatakan yang ada dalam dirinya. Ini berbeda dengan manusia yang mempunyai potensi untuk berfikir, mampu membedakan baik dan buruk, juga punya potensi untuk melakukan untuk melakukan perbaikan diri. Tetapi ketika

26

hal itu tidak digunakan dengan semestinya, maka ia tidak ada bedanya dengan binatang, bahkan mungkin lebih rendah.

Namun pada sisi lain, ada sebagian manusia yang berperilaku murni karena dorongan akal dalam dirinya. Perbutannya ini sama sekali tidak dipengaruhi oleh naluri kebinatangan dalam dirinya. Akalnya mampu menundukkan naluri kebinatangan. Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadi titik temu antara manusia dengan binatang seperti makan dan minum, tapi tidak sebagai tujuan. Ia tidak mengabaikan tuntutan jasmani selama tidak berlawanan dengan akal sehat. Baginya makan dan minum hanya perantara untuk mencapai keutamaan perilaku. Makan dan minum tidak hanya sekedar tuntutan jasmani, melainkan juga untuk memperkokoh diri hingga mampu melakukan perbuatan-perbuatan positif. Perilaku manusia pada tingkatan ini lebih bisa dinamakan sebagai perilaku ketuhanan daripada perilaku manusia belaka. Sebab kebanyakan perilaku manusia tidak dilandaskan pada penalaran murni tersebut.

2. Spirit-Spirit Pembentukan Perilaku Manusia

Setelah melakukan pemetaan pada perilaku manusia, selanjutnya Ibn Bajjah mengkaji bentuk-bentuk spirit yang menjadi motor penggerak perilaku manusia. 15 Hanya dengan mengetahui spirit-spirit itulah pembentukan ideal

perilaku manusia mampu terealisasikan. Anggapan Ibn Bajjah terhadap arti-arti ini sangat jauh berbeda dengan al-Farabi dan Ibn Sina. Ibn Bajjah menganggap arti-arti ini tidak berhubungan dengan kajian tadbir perilaku manusia. Ia tidak mengakui adanya pengaruh benda angkasa pada

15

27

pembentukan perilaku manusia. Dengan kata lain, arti-arti yang terkandung di dalamnya tidak selaras dengan tujuan dasar Tadbir al-Mutawahhid.

Dengan demikian, spirit-spirit yang menggerakkan perilaku manusia harus berasal dari sisi internal manusia sendiri. Pertama adalah arti-arti yang terkandung pada ketiga mekanisme pengetahuan manusia yaitu dalam diri indera, imajinasi, dan ingatan. Arti-arti ini terbentuk karena interaksi manusia dengan alam luar yaitu melalui penginderaan, kemudian masuk dalam imajinasi, lalu dalam ingatan. Kedua adalah arti-arti mengenai pengetahuan materi awal. Karakteristik dari arti-arti ini bersifat universal, tercapai melalui pemurnian terhadap alam materi, seperti arti manusia sebagai arti universal dari berbagai macam bentuk dan penanaman manusia yang beragam. Ketiga adalah al-„aql al-fa‟al (akal aktif) dan al-„aql al-mustafad (akal perolehan). Kedua akal ini dalam perwujudannya tidak memerlukan huyuli atau materi pertama. Hubungan keduanya dengan materi pertama hanya sebatas penalaran. Menurut Ibn Bajjah, dengan akal aktif akan memperoleh kebahagiaan tertinggi. 16

Pembagian arti-arti tersebut akhirnya mengarah pada beberapa

pengelompokan. Pertama didasarkan pada faktor yang mengakibatkan terjadinya perilaku manusia. Sehingga dalam pengelompokkan ini, Ibn Bajjah memasukkan jasmani sebagai salah satu tujuan perilaku manusia. Sebab kebutuhan jasmani tidak bisa diabaikan oleh manusia. Sebagai sebuah entitas, jasmani memerlukan makan dan minum demi mempertahankan kelestariannya. Kedua adalah pengelompokkan al-„aql al-fa‟al dan al-„aql al-mustafad. Kedua akal ini dikelompokkan menjadi spirit umum (shurah ruhiyah al-„amamah). Ketiga adalah pengelompokkan mekanisme pengetahuan, dari

16

28

penginderaan, imajinasi, dan ingatan menjadi spirit khusus. Spirit ini adalah pendorong timbulnya beberapa tujuan perilaku manusia, dari demi kepuasan rohani semata seperti mendapatkan sanjungan, kepuasan berimajinasi seperti bersenjata pada saat tidak terjadi peperangan, kepuasan hiburan seperti berkumpul dengan kawan-kawan, sampai pada kepuasan intelektual seperti berfikir murni tidak karena mendapatkan tujuan-tujuan materi.

Dari sinilah, maka Tadbir al-Mutawahhid bukan tadbir kesufian (irrasional), melainkan tadbir kehidupan rasional, bersandarkan pada capaian-capaian yang menyakinkan, tidak sekedar praduga. Tidak mencari pengetahuan melalui intuisi, melainkan melalui akal dan indera manusia. Akal mampu mengetahui sebuah perwujudan, dari yang terendah hingga yang teertinggi pada diri Tuhan. Akal mengetahui itu semua tanpa dipengaruhi oleh metafisika diluarnya. Ia mendapatkan pengetahuan melalui proses penginderaan. Asal dari semua pengetahuan adalah dari penginderaan. Tidak ada pengetahuan yang tidak terlebih dahulu berasal dari penginderaan, walaupun indera itu terkadang melakukan penipuan.

3. Tatanan Kehidupan Ideal Seorang Mutawahhid

Setelah menjelaskan spirit-spirit yang mendorong perilaku manusia, sekaligus tataran yang paling tinggi dari model spirit itu, maka disini Ibn Bajjah memberikan pemaparan tentang tingkah yang harus dilakukan oleh seorang Mutawahhid. Menurutnya, figur-figur spiritual harus menjaga jasmaninya dengan baik. penjagaannya terhadap jasmani itu bukanlah sebuah tujuan, melainkan hanya sekedar perantara untuk memperlancar tujuan lain yang lebih penting. 17 tujuan sebenarnya terletak pada kegiatan kerohanian, bukan pada

17

29

kegiatan kejasmanian. Namun dalam hal ini, kerohanian bukanlah tingkatan tertinggi dalam Tadbir al-Mutawahhid Ibn Bajjah. Posisi tertinggi ditempati oleh para filsuf, bukan para spiritualis. Spiritualitas dan kejasmanian pada diri filsuf bukan merupakan sebuah tujuan, walau begitu tidak bisa diabaikan. Hanya para filsuf bisa dianggap sebagai manusia-manusia Tuhan, artinya mereka mampu menemukan jati dirinya. Label ketuhanan ini adalah buah dari kemampuan mereka dalam melakukan penalaran secara terus-menerus. Di saat melakukan penalaran, sifat-sifat keduniawian dan spiritualitas dalam diri mereka akan sirna. Pada saat itu hadirlah sifat-sifat ketuhanan.

Dalam berperilaku, mereka selalu melakukan perbuatan yang terbaik bagi diri dan komunitasnya. Mereka mau berinteraksi dengan semua elemen demi terbentuknya perbaikan sosial dalam masyarakat. Mereka merupakan bagian terkecil dari suatu komunitas yang sedang mengalami penderitaan sosial. Bagian kecil itu harus terus berjuang meluruskan perilaku menyimpang dalam kehidupan komunitasnya. Penyakit itu selalu mencerminkan kontradiksi dan kerusakan dalam tubuh manusia.

Membangun kesatuan masyarakat hanya bisa dilakukan melalui jalur pendidikan secara personal pada tiap-atiap penduduk. Kaum Mutawahhidin, dalam hal ini adalah kaum intelektual, harus memperbanyak jumlah kuantitasnya dalam Negara. Mereka harus berorientasi menciptakan pemerataan pendidikan dalam Negaranya. Melalui akal, mereka mampu menyikapi segala permasalahan dengan baik dan bijaksana. Semuanya diposisikan pada tempat yang semestinya. Tidak ada keresahan dan kesedihan, sebab semuanya telah dijalankan dan diterima sebagaimana layaknya.

30

Kehidupan menyendiri atau mengasingkan diri dari dunia, menurut tilikan Ibn Bajjah sama sekali tidak bertentangan. Sebab kehidupan menyendiri , sekalipun merupakan keburukan dalam dirinya sendiri bisa dikategorikan sebagai tindakan yang patut dilakukan secara aksidental. 18

Itu semua akan tercapai jika pemerataan pendidikan dan pembaharuan sosial mampu terwujud. Apabila tidak demikian, para filsuf dalam komunitas itu harus melakukan pengasingan diri. Mereka tidak boleh berbaur dengan masyarakat untuk menyelamatkan kebersihan diru mereka. Bergaul dengan masyarakat hanya diperbolehkan dalam urusan yang tidak bisa dihindari. Mereka tidak boleh menyia-nyiakan waktunya hanya untuk menyikapi sikap dan perbuatan sesat masyarakat. Mereka juga tidak boleh menanggapi penilaian masyarakat terhadap dirinya. Mereka harus melakukan perpindahan dari kehidupan masyarakat untuk bergabung dengan para intelektual yang selaras dengan perilaku dan pemikirannya. Dari sinilah pengasingan diri dalam pemikiran tasawuf Ibn Bajjah merupakan alternatif akhir setelah lelah mengalami kegagalan dalam melakukan perbaikan.

Dalam dokumen Konsep Uzlah dalam perspektif Ibn Bajjah (Halaman 33-39)

Dokumen terkait