• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Konsep Water Birth

2.3.1 Pengertian

Water birth adalah proses persalinan yang dilakukan dalam air. Sang ibu yang akan melakukan proses persalinan memasuki air kolam saat mulut rahim sudah tahap pembukaan 6 (Anik maryunani, 2010).

Water birth secara sederhana diartikan sebagai persalinan normal yang terjadi di dalam air. Karena tubuh kita sebagian besar terbuat dari air, ketika kita menenggelamkan diri dalam air hangat, kita ditenangkan. Selama kontraksi persalinan yang paling menyakitkan, air hangat juga mengurangi rasa sakit (Lim, 2014).

Water birth merupakan salah satu metode alternatif persalinan pervaginam, di mana ibu hamil aterm (normal) tanpa komplikasi melahirkan bayinya melalui media air (yang dilakukan pada bathtub atau kolam). Secara prinsip, persalinan dengan metode water birth tidak jauh berbeda dengan metode persalinan normal di atas tempat tidur, hanya saja pada metode water birth persalinan dilakukan di dalam air sedangkan pada persalinan biasa dilakukan di atas tempat tidur. Perbedaan lainnya adalah pada persalinan di atas tempat tidur, calon ibu akan merasakan jauh lebih sakit jika dibandingkan dengan persalinan menggunakan metode water birth (Aprillia, 2016).

2.3.2 Metode Water Birth

Ada 2 metode water birth :

a. Water birth murni, ibu masuk ke kolam persalinan setelah mengalami pembukaan sampai proses melahirkan terjadi.

b. Water birth emulsion, ibu hanya berada di dalam kolam hingga masa kontraksi akhir. Proses melahirkan tetap dilakukan di tempat tidur (Mahdalena, 2014).

2.3.3 Manfaat dilakukannya Water Birth

Metode Water Birth memiliki banyak keuntungan bagi ibu dan bayi dibandingkan dengan metode persalinan tradisional. Ini dihubungkan secara signifikan dengan adanya pengurangan penggunaan analgesic pemendekan persalinan kala I dan pengurangan angka episiotomi jika dibandingkan dengan persalinan lainnya (Mahdalena, 2014 ).

Manfaat metode persalinan water birth menurut Aprillia (2013) antara lain :

3. Manfaat Bagi Ibu a. Mengurangi Nyeri

b. Meningkatkan efek relaksasi

c. Meningkatkan Privasi dan Kontrol diri d. Mempersingkat lama kala I

e. Mengurangi resiko robekan jalan lahir f. Mengurangi trauma lahir

g. Mengurangi resiko penggunaan intervensi

h. Menurunkan dan menstabilkan tekanan darah ibu

i. Memungkinkan ibu bersalin untuk tetap melakukan mobilisasi selama proses persalinan

j. Mampu merubah atmosfer ruang persalinan lebih nyaman k. Membantu ibu untuk menghemat energinya.

l. Memfasilitasi persalinan disfungsional.

m.Memfasilitasi tahap kedua (kala II) persalinan. n. Meningkatkan kepuasan saat melahirkan o. Menciptakan pengalaman positif melahirkan p. Keterlibatan ayah yang Lebih besar.

q. Menyediakan alternatif yang aman & higienis 4. Manfaat bagi Bayi

a. Air hangat dapat memberi rasa nyaman dan bayi b. Terhindar dari efek trauma (Mahdalena, 2014). c. Air mengurangi suara keras dan bising

d. Air mengurangi efek lampu yang sering terkena pada bayi selama proses persalinan.

e. Air hangat menenangkan dan membantu bayi.

f. Masa transisi bayi kleuar dari dalam tubuh yang hangat ke lingkungan luar berlangsung dengan lembut (Aprillia, 2013)

2.3.4 Patofisiologi

1. Pengurangan Rasa Nyeri menurut Siswosuhardjo (2011 dalam Mahdalena, 2014)

Keuntungan yang diperoleh dengan motede persalinan ini adalah berkurangnya rasa nyeri ketika persalinan berlangsung. Hal ini disebabkan oleh keadaan sirkulasi darah uterus yang menjadi lebih baik, berkurangnya tekanan abdomen, serta meningkatnya produksi endorphin (stress related hormone).

Berendam dalam air selama persalinan akan mengurangi tekanan pada abdomen ibu, dan mengapung mengakibatkan kontraksi uterus lebih efisien dan sirkulasi darah lebih baik. Ini menyebabkan sirkulasi dan oksigenasi darah otot uterus menjadi lebih baik. Persalinan dalam air memberi keleluasaan ibu untuk bergerak bebas, dapat memberi rasa lebih rileks dan nyaman sehingga ibu hamil mampu berkonsentrasi pada persalinannya dan oleh karena itu kondisi ibu nyaman, maka sirkulasi darah dan oksigen dari plasenta ke janin berlangsung lebih baik, suhu tubuh bayi menjadi hangat sesuai suhu tubuh ibu. Suhu tubuh yang baik ini akan mempengaruhi oksigenasi bayi, sehingga bayi mampu beradaptasi terhadap lingkungan di luar rahim dengan baik.

Air hangat dan tekanan dari pusaran air kolam tersebut merupakan salah satu sumber penghilang rasa sakit selama persalinan dengan jalan mengurangi beban gravitasi secara alami, sehingga ibu hamil dapat berubah posisi tanpa beban saat berendam di air. Berendam dalam air hangat dapat merangsang respon fisiologi pada ibu hamil, sehingga dapat mengurangi nyeri termasuk redistribusi volume darah, yang mana akan merangsang pelepasan oksitosin dan vasopressin, sehingga akan meningkatkan level oksitosin dalam darah. Selain itu ada hipotesa yang menyatakan bahwa air hangat akan dapat merelaksasi otot-otot dan mental selanjutnya menyebabkan peningkatan pelepasan katekolamin, yang memungkinkan peningkatan perfusi, relaksasi dan kontraksi uterus, sehingga dapat mengurangi nyeri kontraksi dan pemendekan fase persalinan.

2. Pengurangan Risiko Aspirasi menurut Rosanna (2007 dalam Mahdalena, 2014)

Ada beberapa faktor yang mencegah bayi menghirup air sewaktu bersalin. Pertama, terdapat faktor penghambat yang secara normal ada pada setiap bayi. Bayi dalam kandungan mendapatkan oksigen dari plasenta melalui tali pusat dan bernapas dengan menggerakkan otot-otot intercostal dan diafragma dengan pola teratur sejak usia kehamilan 10 minggu.

Janin menerima oksigen selama kehamilan melalui tali pusat sampai waktu ketika tali pusat dipotong atau plasenta terlepas dari dinding rahim, rata-rata 2-10 menit setelah lahir hingga 30 menit. Kerja otot diafragma dan intercostals menyebabkan lebih banyak darah mengalir ke organ vital termasuk otak sehingga dapat dilihat penurunan Fetal Beat Movement (FBM) pada profil biofisik. Pada 24-48 jam sebelum onset persalinan spontan, bayi mengalami peningkatan level prostaglandin E2 dari plasenta yang menyebabkan perlambatan dan penghentian gerakan napas. Secara normal terlihat pergerakan otot kira-kira 40%. Ketika bayi dan level prostaglandin masih tinggi, otot bayi untuk pernapasan sederhana belum bekerja, hal tersebut merupakan respon penghambatan pertama.

Respon penghambat kedua adalah fakta bahwa bayi-bayi yang lahir mengalami hipoksia akut atau kekurangan oksigen, ini merupakan respon proses kelahiran. Hipoksia menyebabkan apnea dan menelan bukan bernapas ataupun mengap-mengap. Jika janin mengalami

kekurangan oksigen berat dan lama, maka mengap-mengap dapat terjadi setelah lahir, mungkin air akan terhirup ke dalam paru-paru. Jika bayi bermasalah selama persalinan, variabilitasnya akan melebar yang tercatat pada Fetal Heart Rate, hal ini mengakibatkan prolonged bradicardia, sehingga penolong akan meminta ibu untuk meninggalkan kolam sebelum bayi lahir.

Faktor ketiga yang menghambat bayi dalam pernapasan ketika berada di dalam air adalah perbedaan temperatur. Temperatur air dibuat sesuai temperatur badan ibu. Temperatur air kolam serupa dengan cairan amnion yang dapat menjadi faktor penghambatan. Penelitian terbaru dan observasi di Jerman, Jepang, dan Rusia memberi kesan bahwa temperatur rendah pada waktu lahir berkontribusi pada vigorous baby.

Cairan paru diproduksi dalam paru-paru dan secara kimia menyerupai cairan lambung. Cairan ini akan keluar melalui mulut dan ditelan oleh janin. Bayi baru lahir sangat cerdas dan dapat mendeteksi substansi apa yang mengenainya, dapat membedakan antara cairan amnion, air, susu, dan ASI yang diakibatkan oleh adanya Dive Reflex. Pada kondisi bayi normal (dilihat dari monitoring Fetal Heart Rate selama persalinan), kombinasi faktor-faktor tersebut mencegah bayi bernapas di dalam air sampai bayi berada di atas permukaan air, dimana akan merangsang mammalian diving reflex yang berhubungan dengan tekanan udara daerah nervus trigeminus wajah

Pada pernapasan bayi pertama kali terjadi adalah dengan merubah sirkulasi bayi, penutupan shunt pada jantung, membuat sirkulasi pulmonal, merubah tekanan pada paru-paru, mendorong cairan keluar yang akan mempersiapkan ruangan paru-paru dan mengizinkan pertukaran oksigen dan karbondioksida. Proses ini memerlukan beberapa menit untuk memulai secara lengkap. Selama waktu tertentu bayi masih menerima oksigen dari tali pusat. Tidak ada ancaman bahwa bayi akan menghirup air selama proses kelahiran karena factor pencetus untuk menghirup oksigen tidak aka nada sampai kepala bayi kontak dengan udara.

3. Pemendekan Fase Persalinan menurut Rosanna (2007 dalam Mahdalena, 2014)

Persalinan dalam air kadangkala dihubungkan dengan penurunan intensitas kontraksi, sehingga menyebabkan perlambatan persalinan. Tidak ada bukti kuat kriteria kapan saat yang tepat untuk berendam pada persalinan kala I, sehingga persalinan awal akan lebih baik jika ditangani dengan mobilisasi daripada berendam. Ada juga laporan bahwa air kadang-kadang memberi efek melambatkan bahkan menghentikan persalinan jika digunakan terlalu dini dan banyak dilaporkan bahwa kontraksi kurang efektif jika ibu berendam terlalu awal.

4. Pengurangan Perdarahan Postpartum menurut Siswosuhardjo (2011 dalam Mahdalena, 2014)

Hilangnya darah ibu selama water birth sangat sedikit. Rata-rata darah yang hilang pada water birth 5,26 g/l secara bermakna lebih rendah daripada land birth 8,08 g/l. Kehilangan darah pada persalinan ini sukar dinilai terutama jika diakibatkan oleh penolong yang kurang berpengalaman pada persalinan dalam air.

2.3.5 Kekurangan Water birth

1. Rasa nyaman pada sang ibu saat berendam di dalam air membuat ibu malas untuk mengejan.

2. Terbatasnya pemberian analgesia yang lain. 3. Peningkatan resiko infeksi.

4. Sulit mengontrol jumlah darah yamg keluar. 5. Jarang dilakukan pemantauan pada janin. 6. Kontraksi menjadi tidak aktif.

7. Bayi beresiko jadi lebih meningkat (Maryunani, 2010 dalam Mahdalena 2014).

8. Kemungkinan terjadi aspirasi

9. Risiko mengalami infeksi melalui air. 10. Resiko emboli air

11. Tali pusat bisa putus secara spontan saat bayi diangkat ke permukaan (Aprillia 2013).

2.3.6 Syarat-syarat Water Birth

1. Kehamilan tunggal > 37 minggu.

2. Hasil pemeriksaan CTG menunjukan janin non-reassuring. 3. Ibu dan janin harus dapat dimonitor dengan baik.

4. Tidak ada kontraindikasi untuk water birth.

5. Ibu memiliki kemauan yang kuat dan rajin berlatih dirumah, latihan dilakukan rutin dari awal kehamilan.

6. Keberhasilan metode ini sangat trgantung pada keseriusan ibu dalam mempersiapkan kelahiran.

7. Lebih baik selalu didampingi suami, karena peran suami sangat penting dalam memberikan dukungan bagi ibu dan janin (Maryunani, 2010 dalam Mahdalena, 2014).

2.3.7 Indikasi

1. Pilihan ibu

2. Kehamilan normal ≥ 37 minggu 3. Janin tunggal presentasi kepala

4. Tidak menggunakan obat-obat penenang 5. Ketuban pecah spontan < 24 jam

6. Kriteria non klinik seperti staf atau peralatan

7. Tidak ada komplikasi kehamilan (preeklampsia, gula darah tak terkontrol, dll).

8. Denyut jantung normal 9. Cairan amnion jernih

(Mahdalena 2016). 11. Ibu hamil resiko rendah

12. Ibu hamil tidak mengalami infeksi vagina, saluran kencing, dan kulit. 13. Tanda vital ibu dalam batas normal dan CTG bayi normal

(baseline,variabilitas, dan ada akselerasi).

14. Air hangat di gunakan untuk relaksasi dan penangannan nyeri setelah dilatasi serviks mencapai 4-5 cm.

15. Pasien menyetujui instruksi penolong. 16. Tidak ada perdarahan (Aprillia, 2013). 2.3.8 Kontraindikasi

1. Infeksi yang dapat ditularkan melalui kulit dan darah 2. Infeksi dan demam pada ibu

3. Herpes genitalis 4. HIV, Hepatitis

5. Denyut jantung abnormal

6. Perdarahan pervaginam berlebihan (Mahdalena, 2014) 7. Usia kehamilan kurang dari 37 minggu.

8. Kehamilan ganda. 9. Menderita preeklamsia.

10. Riwayat HPP lebih dari 1 liter.

11. Mengidap diabetes militus yang bergantung dengan insulin. 12. Mengidap herpes aktif.

13. Positif HIV

15. Masalah mobilitas 16. Presentasi selain kepala. 17. Pertumbuhan janin terhambat.

18. Faktor-faktor distosia bahu baik yang terdahulu maupun yang sekarang.

19. Air ketuban berwarna hijau kental. (Garland, 2000 dalam Aprillia, 2013)

20. Demam atau terdapat tanda infeksi ( Temperatur lebih dari 37,60C ). 21. Denyut jantung janin abnormal.

22. Perdarahan intrapartum.

23. Penggunaan narkotik pada ibu kurang dari 4 jam. 24. Epidural analgesia (Aprillia, 2013).

2.3.9 Prosedur Persalinan.

1. Persiapan alat antara lain : a. Termometer air b. Termometer ibu c. Doppler anti air d. Sarung tangan e. Apron

f. Jaring untuk mengangkat kotoran

g. Alas lutut kaki, bantal, instrument partus set h. Shower air hangat, portable/permanent pool i. Handuk

k. Warmer dan peralatan resusitasi bayi

2. Pelaksanaan Water birth.

a. Ibu masuk berendam ke dalam air direkomendasikan saat pembukaan 4-5 cm dengan kontraksi uterus baik, ibu dapat mengambil posisi persalinan yang nyaman.

b. Volume air di dalam kolam berada di bawah pusar ibu, di isi air dengan suhu tubuh sekitar 35-37º C (sesuai dengan suhu air ketuban dalam rahim)

c. Observasi dan monitoring antara lain:

1) Fetal Heart Rate (FHR) dengan doopler atau fetoskop setiap 30 menit selama persalinan kala I aktif, kemudian setiap 15 menit selama persalinan kala II. Auskultasi dilakukan sebelum, selama, setelah kontraksi.

2) Penipisan dan pembukaan serviks dan posisi janin. Pemeriksaan vagina (VT) dapat dilakukan di dalam air atau pasien di minta sementara keluar dari air untuk diperiksa.

3) Status ketuban, jika terjadi ruptur ketuban, periksa FHR dan periksa adanya prolaps tali pusat. Jika cairan ketuban mekonium pasien harus meninggalkan kolam.

4) Tanda vital ibu diperiksa setiap 3 jam, dengan suhu setiap 2 jam (atau jika diperlukan). Jika ibu mengalami pusing, periksa vital sign, ajarkan ibu mengatur napas selama kontraksi.

5) Dehidrasi ibu. Dehidrasi dibuktikan dengan adanya takikardi ibu dan janin dan peningkatan suhu badan ibu. Jika tanda dan gejala dehidrasi terjadi, ibu diberikan cairan. Jika tidak berhasil pasang infus ringer laktat (RL)

d. Manajemen Kala II

1) Mengedan seharusnya secara fisiologis. Ibu diperkenankan mengedan spontan, risiko ketidakseimbangan oksigen dan karbondioksida dalam sirkulasi maternal-fetal berkurang, dan juga akan dapat melelahkan ibu dan bayi.

2) Persalinan, bila mungkin metode “hand off”. Ini akan meminimalkan stimulasi.

3) Tidak diperlukan palpasi tali pusat ketika kepala bayi lahir, karena tali pusat dapat lepas dan melonggar ketika bayi lahir. Untuk meminimalkan risiko tali pusat terputus dengan tidak semestinya hindari tarikan ketika kepala bayi ke permukaan air. Tali pusat jangan diklem dan dipotong ketika bayi masih ada di dalam air.

4) Bayi seharusnya lahir lengkap dalam air. Kemudian sesegera mungkin dibawa kepermukaan. Pada saat bayi telah lahir kepala bayi berada diatas permukaan air dan badannya masih di dalam air untuk menghindari hipotermia. Sewaktu kepala bayi telah berada di atas air, jangan merendamnya kembali.

e. Manajemen Kala III

1) Manajemen aktif dan psikologi tetap diberikan sampai ibu keluar kolam.

2) Saat manajemen aktif kala III, syntometrine dapat diberikan 3) Estimasikan perdarahan.

4) Penjahitan perineum dapat di tunda sekurang-kurangnya 1 jam untuk menghilangkan retensi air dalam jaringan (jika perdarahan tidak berlebihan) (Aprillia 2013).

2.4 Konsep Bidan

Dokumen terkait