• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS ............................................................ 9-24

E. Konsepsi Dasar Semiotika dan Mitologi Roland Barthes

1. Konsep dasar semiotika

Semiotika adalah sebuah langkah atau cara yang dapat diterapkan ketika kita ingin melihat lebih jauh bagaimana konstruksi realitas dalam sebuah teks pada lirik lagu. Semiotika secara sederhana dipahami sebagai sebuah teori

mengenai tanda atau sistem tanda-tanda. Tanda-tanda (signs) adalah baris dari

seluruh komunikasi.13 Manusia dengan perantara tanda-tanda, dapat melakuan

komunikasi dengan sesamanya.

Semiotika berdasarkan pandangan Ferdinand De Saussure didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.14Definisi ini menjadi dasar bagi studi semiotika hinggah sekarang. Meski demikian sebagai sebuah ilmu, semiotika terus mengalami perkembangan hingga hari ini sejak diperkenalkan oleh Charles S. Pierce dan Ferdinand De Saussure.

Ferdinand De Saussure sebagai pionir mazhab strukturalisme merumuskan bahwa tanda lahir ketika terjadi hubungan antara pendanda (significant) dan petanda (signifie).15 Bagi Saussure, kedua hal ini menjadi dasar pembentuk tanda dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Petanda (signifie) bersangkut paut dengan konsep ataupun gambaran mental dalam pikiran kita, sedangkan penanda

(significant) merupakan citra bunyi, material dan dapat diterima oleh indra

manusia.

Pokok-pokok pikiran lingusitik Saussure yang utama mendasari diri pada pembedaan beberapa pasangan konsep yang juga dikenal dengan istilah oposisi

13

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h.15. 14

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Bandung: Jalasutra, 2003) h. 47.

15

Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), h 3.

17

biner. Pertama, konsep tentang bahasa (langage) dengan pasangan konsep langue

dan parole. Kedua, dua jenis pendekatan dalam linguistik, yaitu sinkronik dan

diakronik. Ketiga, konsepnya tentang tanda dengan pasangan penanda dan petanda.16

Saussure mendefinisikan tanda sebagai sesuatu yang terdiri atas penanda dan petanda. Hubungan antara penanda dan petanda itu bersifat tetap. Sesuatu dapat menjadi tanda apabila ada sistem tanda yang bersifat diferensial. Sebagaimana halnya penanda, petanda pun bersifat diferensial atau relisional.

Di sisi lain, Charles Sander Pierce dikenal dengan konsep trikotominya atau dikenal juga dengan istilah segitiga semiotik yaitu representamen,

interpretant, dan object. Representamen merupakan sesuatu yang dapat diterima

oleh pancaindra maupun dngan pikiran atau perasaan dan berfungsi sebagai tanda.

Object merupakan sesuatu yang diwakili atau komponen yang diwakili tanda, dan

interpretant merupakan hasil dari hubungan representamen dengan object atau

tanda baru yang tercipta.

Hubungan antara segitiga representamen, object yang dituju, dan

interpretant mmbentuk trikotomi yang terdiri atas :

1. Trikotomi pertama yaitu berdasarkan tanda itu sendiri

a. Qualisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan sifatnya.

b. Sinsign adalah tanda-tanda yang menjadi tanda berdasarkan bentuk atau

rupanya didalam kenyataan. Semua ucapan yang bersifat individual bias merupakan sinsign.

c. Legisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan suatu peraturan

yang berlaku umum, suatu konvensi, dan suatu kode. Semua tanda-tanda bahasa adalah legisign.

16

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, h. 51.

2. Trikotomi kedua berdasarkan objek yang menjadi acuan dari tanda

a. Icon adalah tanda yang menyerupai benda yang diwakilinya atau suatu tanda yang menggunakan kesamaan atau cirri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkannya.

b. Index adalah tanda yang sifat tandanya tergantung pada keberadaannya

suatu denotasi atau suatu tanda yang mempunyai kaitan dengan apa yang diwakilinya.

c. Symbol adalah suatu tanda, dimana hubungan tanda dan denotasinya

ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum atau ditentukan oleh suatu kesepakatan bersama (konvensi).

3. Trikotomi ketiga berdasarkan interpretannya

a. Rhema, bilamana lambang tersebut interpretannya adalah sebuah tanda dan

makna tanda gersebut masih daoat dikembangkan.

b. Decisign (dicentsign), bilamana antara lambang itu dan interpretannya

terdapat hubungan yang benar ada.

c. Argument, bila mana suatu tanda dan interpretannya mempunyai sifat yang

berlaku umum.17

2. Mitologi Roland Barthes

Teori semiotik Barthes diturunkan dari teori bahasa menurut De Saussure. Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Barthes menggunakan teori signifiant - signifie yang dikembangkan

17

Nawiroh Vera, Semiotika Dalam Riset Komunikas, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), h. 24-26.

19

menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie menajdi isi (C). Namun, Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu, sehingga membentuk tanda (sign). 18

Semiotika Barthes ini menganalisis makna dari tanda-tanda yang ada. Tanda menurut Barthes dikelompokkan menjadi: Pertama, substansi ekspresi misalnya suara dan artikulator. Kedua, bentuk ekspresi yang dibuat dari aturan-aturan sintagmatik dan paradigmatik. Ketiga substansi isi, yang termasuk dalam subtansi isi misalnya adalah aspek-aspek emosional, ideologis, atau pengucapan

sederhana dari petanda, yakni makna “positifnya”. Keempat, bentuk isi, ini adalah

susunan formal petanda di antara petanda-petanda itu sendiri melalui hadir tidaknya sebuah tanda semantik.19

Makna Denotatif dalam lagu adalah makna harfiah, makna yang “sesungguhnya” dalam artian makna yang apa adanya dari lagu tersebut. Sementara makna konotasi dari lagu adalah sebuah makna yang tidak terlihat. Makna-makna yang hadir adalah makna secara implisit atau sebuah makna tersembunyi dari apa yang tampak nyata dalam lagu tersebut. Proses interpretasi makna konotasi ini senantiasa berkaitan dengan subjektivitas individu yang melakukan pemaknaan. Hasil pemaknaan tersebut akan berhubungan dengan latar belakang sosial dan budaya dari individu tersebut.

Untuk membantu membaca tanda-tanda yang ada dalam teks lagu, terutama untuk bisa melihat makna yang dinyatakan secara eksplisit dan implisit, Barthes membantu untuk membacanya melalui konsep signifikasi dua tahap (two

order of signification). Pada signifikasi tahap pertama merupakan hubungan

antara signifier (ekspresi) dan signified (konten), sehingga tahap pertama disebut

18

Nawiroh Vera, Semiotika Dalam Riset Komunikas, h. 27. 19

juga dengan denotasi. Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek. Sedangkan signifikasi tahap kedua disebut dengan konotasi. Hal ini digambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan.20

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes :

1. Signifier (penanda) 2. Signified (pertanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) 4.Connotative signifier (penanda konotatif) 1. Connotative signified (pertanda konotatif) 2. Connotative sign (tanda konotatif)

Sumber: Alex Sobur (2006, 69)

Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebut hal tersebut sebagai denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda. Signifikasi tahap kedua adalah makna konotasi, Barthes menggunakannya untuk menunjukkan dan menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dari khalayak yang melihat pesan yang disampaikan.

Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan pertanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. 21

20

Indiwan Seto Wahyu Wibowao, Semiotika Komunikasi, h. 17 21

21

Tataran denotasi menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Denotasi merupakan makna yang sebenarnya, yang disepakati bersama secara sosial, yang rujukannya pada realitas. Sedangkan konotasi merupakan tanda yang penandanya mempunyai keterbukaan makna atau makna yang implisit, tidak langsung dan tidak pasti.22 Artinya, denotasi memiliki makna yang sifatnya sempit ataupun tertutup sedangkan konotasi memiliki makna yang lebih luas atau tidak menutup kemungkinan memiliki makna yang bervariasi.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan atau memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos, juga terdapat penanda, petanda, dan tanda. Namun, sebagai suatu yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos juga merupakan suatu sistem pemaknaan pada tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.23

Mitos adalah sebuah cerita dimana suatu kebudayaan menjelaskan atau memehami beberapa aspek dari relitas. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah sistem komunikasi dan mitos adalah sebuah pesan. Dalam uraiannya, ia mengemukakan bahwa mitos dalam pengertian khusus merupakan perkembangan dari konotosi. Konotasi yang sudah terbentuk lama di masyarakat itulah mitos. Barthes juga mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis, yakni sitem tanda-tanda yang di maknai manusia.24

Gambar 2.2 Model Dua Tahap Signifikasi Roland Barthes :

22

Nawiroh Vera, Semiotika Dalam Riset Komunikasi, h. 28. 23

Alex Sobur, semiotika komunikasi, h. 71. 24

Sumber: Alex Sobur (2006, 127)

Bhartes, seperti yang dikutip Fiske, menjelaskan : signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signifed di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Bhartes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua.25 Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau esensi dari pembaca serta nilai-nilai kebudayaannya.

Teori Barthes mengenai mitos kemudian diterangkannya dengan mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi petanda (signifie) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, itu akan menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi mantap, itu akan menjadi ideologi. Jadi banyak fenomena budaya dimaknai dengan konotasi, dan jika menjadi mantap makna fenomena itu menjadi mitos, dan kemudian menjadi ideologi.26

Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya Barthes mengemukakan tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan

25

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 128.

26

Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, h. 119.

Second Order First Order Culture Reality Signs Connotative Signifier Signified Denotative Myth

23

mewujudkan dirinya di dalam teks-teks, dengan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya mlalui berbagai kode yang masuk kedalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-sebagainya.27

Barthes juga mengajak untuk menilai suatu teks dengan dua cara, yaitu:

Writerly dan readerly text. Writerly text adalah apa yang ditulis pembaca sendiri

terlepas dari apa yang ditulis oleh pengarang. Sedangkan readerly text adalah apa yang dibaca tetapi tidak dapat ditulis. Barthes sendiri memilih cara writerly text sebagai penilaian, yaitu apa yang dapat ditulis pengarangnya, karena menurutnya tujuannya adalah membuat pembaca tidak hanya menjadi penerima tetapi seorang produsen teks.28

Selain teks, Roland Barthes juga mengelompokkan kode menjadi lima kisi-kisi kode, yakni:

a. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk

mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalam teks.

b. Kode semantik adalah kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, maka kita dapat mengenali tokoh tersebut atribut tertentu. Misalnya kebangsaan atau kesukuan.

c. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat

struktural.

d. Kode proairetik adalah kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi.

27

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 71. 28

e. Kode kebudayaan atau kode kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dimodifikasi oleh budaya.29

Dengan pola tertentu yang disepakati dalam memperlakukan tanda pada sebuah lingkungan budaya disebut kode, yang terdiri dari tanda, misalnya, gambar pohon yang mewakili sesuatu di luar dirinya, sehingga sekaligus aturan atau konvensi sosial yang menentukan bagaimana dan dalam konteks apa tanda-tanda tersebut dapat digunakan dan digabungkan untuk membentuk pesan yang lebih rumit dan kompleks. Oleh sebab itu, dengan kata lain kode merupakan suatu dimensi sosial dari tanda atau sistem tempat tanda diatur.

3. Kerangka konseptual

Dalam penelitian ini, peneliti memberikan gambaran tentang penelitian yang akan dilakukan melalui kerangka konseptual. Hal ini dimaksudkan agar penelitian memiliki alur yang jelas, dimulai dari masalah, fokus, teori, metode, hingga hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Kerangka konseptual dalam penelitian ini secara sederhana digambarkan seperti berikut :

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual Penelitian

Data :Olahan peneliti

29

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 66.

Lagu Hall Of Fame karya The Script feat

Analisis semiotika Roland Barthes Signifikasi I Denotasi Signifikasi II Konotasi

Manusia sebagai Khalifah Fil Ardh

Mitos

25

Dokumen terkait