• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Habitat

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet (Hylobates agilis albibarbis), dan Hylobates muelleri. Kedua spesies tersebut adalah endemik Pulau Kalimantan (Nijman 2005b). H. muelleri menyebar di sebagian besar kawasan hutan Kalimantan, sedangkan kalawet menyebar hanya di sebagian kecil kawasan hutan Kalimantan, terkurung di daerah Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Barat, dibatasi Sungai Kapuas di Utara dan Sungai Barito di sebelah Timur. Namun demikian, dalam area penyebaran kalawet yang sempit tersebut, kini terdapat empat taman nasional, yaitu TN Tanjung Puting, TN Gunung Palung, TN Bukit Baka-Bukit Raya, dan TN Sebangau; dan beberapa cagar alam (CA), seperti CA Bukit Tangkiling, CA Pararawen I/II, dan CA Bukit Sapat Hawung (Ditjen PHKA 2006b). Hal ini sangat menguntungkan bagi upaya konservasi kalawet. Namun demikian, kawasan konservasi tersebut, tidak terlepas dari perambahan dan penebangan liar (Alikodra & Syaukani 2004; Simbolon & Mirmanto 2000). Jika tidak terjadi deforestasi pada kawasan konservasi tersebut, maka dapat menjadi jaminan bagi kelestarian kalawet.

Alikodra & Syaukani (2004) menyatakan bahwa deforestasi (penghancuran hutan) di Indonesia saat ini sudah berada pada titik yang sangat membahayakan. Tingkat deforestasi pada zaman Orde Baru berkisar 0,8-1,0 juta hektar per tahun, dan kini di era reformasi, meningkat menjadi 1,6-2,5 juta hektar per tahun. Deforestasi tersebut terutama disebabkan oleh legal dan illegal logging, konversi kawasan hutan menjadi perkebunan terutama kelapa sawit, dan kebakaran (Rieley & Ahmad-shah 1996, Boehm et al. 2003, Drasospolino 2004). Data Departemen Kehutanan (1997), menunjukkan telah terjadi deforestasi di kawasan hutan Kalimantan sebesar 25,9% selama tahun 1985–1997. Kemungkinan besar deforestasi ini terus berlangsung dari tahun ke tahun sampai saat ini.

Hampir seluruh kawasan hutan di Kalimantan Tengah, sebelumnya telah dimanfaatkan sebagai penghasil kayu dengan sistem tebang pilih. Akibatnya, hutan rawa gambut yang tersisa saat ini, termasuk kawasan yang dilindungi,

sebelumnya pernah ditebangi minimal sekali (Simbolon & Mirmanto 2000). Selanjutnya, Simbolon & Mirmanto (2000) menyatakan bahwa hutan rawa gambut dalam kawasan TN Tanjung Puting, masih terjadi penebangan liar secara intensif, membuat hutan tersebut semakin rusak dan mendorong terjadinya kebakaran. Hal yang sama juga terjadi di TN Gunung Palung. Alikodra & Syaukani (2004) menyatakan bahwa sekitar 80% kawasan TN Gunung Palung rusak parah akibat penebangan liar yang didorong oleh dibukanya ekspor kayu bulat di era reformasi.

Penebang liar di hutan rawa gambut biasanya membuat kanal-kanal sebagai jalan untuk mengeluarkan kayu log ke sungai-sungai terdekat pada musim hujan. Ketika musim kemarau, air dalam kubangan gambut akan mengalir ke kanal-kanal yang ada, menyebabkan gambut menjadi kering sehingga sangat mudah terbakar. Itu sebabnya, aktivitas penebangan liar berperan dalam mendorong adanya kebakaran hutan rawa gambut. Kondisi demikian sangat nyata di kawasan mega rice project, ketika ribuan kilometer kanal, dari ukuran sangat besar sampai kecil, dibuat dalam kawasan hutan rawa gambut seluas lebih dari 1 juta hektar, menyebabkan gambut menjadi kering, dan memicu kebakaran besar pada tahun 1997 (Boehm et al. 2003), dan sesudahnya. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kebakaran di hutan rawa gambut adalah menutup kanal-kanal yang ada dengan cara membuat sekat-sekat di beberapa bagian kanal untuk menahan air, agar gambut tidak menjadi kering dan mudah terbakar.

Deforestasi yang cukup tinggi juga terjadi di kawasan hutan rawa gambut Sebangau, antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan, dan kawasan proyek lahan gambut sejuta hektar (MRP mega rice project). Berdasarkan analisis foto lansat, Boehm et al. (2003) mendapatkan data deforestasi di kawasan tersebut sebesar 33% dalam jangka waktu 10 tahun, antara tahun 1991 – 2001. Itu berarti, deforestasi di kawasan tersebut rata-rata 3,3%/tahun. Deforestasi antara tahun 1991-1997 berkisar 1,9%/tahun, meningkat menjadi 6,5%/tahun antara tahun 1997-2000. Peningkatan luas kawasan hutan rawa gambut yang mengalami kerusakan tersebut, disebabkan oleh kebakaran hutan pada tahun 1997, aktivitas penebangan liar, dan aktivitas mega rice project.

Kawasan hutan yang di dalamnya terdapat sumber air, sumber pakan, dan pohon tidur, dengan karakteristik vegetasi tertentu yang dapat mendukung kehidupan kalawet, merupakan habitat yang ideal bagi kelangsungan hidup populasi kalawet. Itu berarti, masalah utama konservasi kalawet dan satwa primata lainnya adalah bagaimana memproteksi kawasan hutan agar tidak terjadi degradasi habitat yang berlebihan sehingga menjadi tidak ideal bagi kelangsungan hidup satwa. Sejalan dengan hal tersebut, Chivers (2001) berpendapat bahwa konservasi alam menyangkut dua hal, yaitu (1) melindungi secara total kawasan- kawasan vital seperti daerah aliran sungai, dan kawasan dimana terdapat konsentrasi spesies-spesies tertentu, misalnya kalawet, dan (2) mengelola sumber daya hutan secara bijaksana untuk menunjang kelangsungan hidup satwa dan manusia secara berkelanjutan.

Pada kenyataannya, tidak semua kawasan hutan dapat dihuni atau ideal bagi kelangsungan hidup suatu jenis satwa, tidak terkecuali kalawet. Dengan kata lain, setiap jenis satwa memiliki karakteristik pola hidup yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan karakteristik habitat yamg berbeda pula. Berbeda dengan satwa primata lainnya, kalawet merupakan satwa yang hidup monogami sebagai kelompok keluarga, bersifat teritorial, arboreal, hidup diurnal, pola makan frugivorus, dan lokomosi secara brakhiasi (Fleagle 1988, Kuester 2000). Dengan demikian, habitat yang ideal bagi kelangsungan hidup kalawet adalah habitat dengan komposisi vegetasi yang dapat mendukung sepenuhnya pola hidup kalawet itu sendiri, antara lain: terdiri dari pohon sumber pakan (buah) dan pohon tidur yang cukup, dan pohon yang tinggi dengan kanopi yang kontinu untuk mendukung pola lokomosinya secara brakhiasi. Habitat yang tidak mempunyai karakteristik vegetasi seperti itu, bukan habitat yang ideal bagi kalawet.

Hasil penelitian di LAHG, TN Sebangau, menunjukkan bahwa tidak semua kawasan hutan di daerah tersebut cocok atau ideal bagi kelangsungan hidup kalawet. Ketersediaan pohon pakan, pohon tidur, tinggi dan kerapatan pohon mempunyai korelasi yang tinggi dengan kepadatan populasi kalawet (Tabel 16). Tipe hutan tegakan rendah (LPF) di LAHG merupakan kawasan hutan yang sangat tidak ideal bagi kehidupan kalawet. Disamping ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur yang sangat terbatas, LPF juga terdiri dari pohon tegakan rendah,

dan kanopi yang diskontinu. Kondisi demikian terkait langsung dengan kepadatan populasi yang sangat rendah. Sebaliknya, di tipe hutan tegakan tinggi (TIF), dihuni oleh kalawet dengan kepadatan yang tinggi, mengikuti karakteristik vegetasi yang ideal bagi kalawet. Demikian halnya dengan tipe hutan gambut campuran (MSF), dihuni oleh kalawet dengan kepadatan yang sedikit lebih rendah dari pada TIF.

Dengan demikian, upaya konservasi kalawet, harus diarahkan untuk dapat memproteksi sebanyak mungkin kawasan hutan dengan karaktersitik vegetasi yang sesuai dengan pola hidup kalawet. Namun demikian, harus diingat bahwa sumber daya hutan tidak hanya untuk konservasi satwa, tetapi juga dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, khususnya masyarakat di sekitar hutan. Untuk memenuhi kedua kepentingan tersebut, maka (1) kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi, khususnya taman nasional, harus diproteksi secara total, tanpa adanya perambahan, dan illegal logging, dan (2) mengelola kawasan hutan produksi secara bijaksana, antara lain dengan sistem tebang pilih, menekan luas hutan konsesi HPH, dan menghentikan praktek-praktek illegal logging.

Perburuan

Kedua spesies Hylobates yang ada di Kalimantan, tergolong satwa yang dilindungi, tetapi pada kenyataannya banyak diburu, dipelihara, bahkan diperdagangkan oleh masyarakat. Kenyataan ini merupakan salah satu ancaman bagi keberadaan populasi Hylobates, disamping degradasi kualitas dan kuantitas habitat yang terus berlangsung.

Perburuan satwa primata, khususnya Hylobates dan orangutan di Kalimantan, dilakukan untuk beberapa tujuan, antara lain: dijual atau dipelihara sebagai hewan kesayangan (pet), dikonsumsi dagingnya, bagian tubuh tertentu seperti tengkorak dikoleksi sebagai ornamen, dan sebagai campuran obat tradisional (Nijman 2005b). Pada umumnya sasaran perburuan untuk tujuan dijual atau dipelihara sebagai pet, adalah anak yang masih muda (juvenile dan infant) dengan cara menembak atau membunuh induk untuk mendapatkan anaknya. Itu berarti, setiap satwa Hylobates yang dipelihara sebagai pet kemungkinan besar mengorbankan minimal satu individu dewasa (induknya).

Informasi jumlah Hylobates Kalimantan, termasuk kalawet, yang diburu dan diperdagangkan setiap tahunnya atau dalam kurun waktu tertentu, masih sangat terbatas karena kurangnya penelitian tentang hal tersebut, kecuali hasil survei Nijman (2005a dan 2005b). Nijman (2005b) mendapatkan data perdagangan Hylobates yang hidup di Kalimantan (H. agilis albibarbis dan H. muelleri, serta hibridanya) selama periode tahun 2000-2004, sebanyak 304 individu. Perburuan Hylobates di Kalimantan untuk dipelihara sebagai pet tidak hanya untuk memenuhi keperluan dan permintaan di Kalimantan, tetapi juga diperdagangkan ke luar Kalimantan seperti Bali dan Jawa (Nijman 2005a). Nijman (2005a) melakukan survei di Jawa dan Bali, mendapatkan tiga ekor H. agilis albibarbis, dan 10 ekor H. muelleri serta beberapa spesies Hylobates lainnya, diperdagangkan di beberapa pasar burung. Selain itu, Nijman (2005a) juga mendapatkan delapan ekor H. agilis albibarbis dan satu ekor H. muelleri satwa sitaan direhabilitasi di beberapa pusat penyelamatan satwa liar di Pulau Jawa.

Berdasarkan data perdagangan Hylobates yang dilaporkan di atas, Nijman (2005b) menyimpulkan bahwa perdagangan satwa tersebut volumenya sangat kecil dibandingkan dengan perkiraan jumlah populasi di alam, sehingga belum berdampak negatif terhadap populasi kedua spesies Hylobates Kalimantan tersebut. Walaupun demikian, harus diingat bahwa data perdagangan di atas, nampaknya belum dapat mewakili atau mendekati data perburuan sesungguhnya, karena hanya menyangkut satwa yang diperjual-belikan di kota atau daerah- daerah tertentu, tidak termasuk satwa Hylobates hasil buruan yang dipelihara langsung oleh pemburu atau diperjual-belikan di sekitar kampung pemburunya.

Pada kenyataannya, relatif banyak masyarakat lokal di sekitar habitat Hylobates yang memelihara satwa tersebut sebagai pet. Dalam kunjungan ke Tumbang Manggu, salah satu dusun di pinggir Sungai Katingan, penulis mendapatkan 4 ekor kalawet (H. agilis albibabis) dipelihara sebagai pet oleh tiga keluarga. Selain itu, survei yang dilakukan oleh ‘Kalaweit Program’ di sepanjang Sungai Katingan, menginformasikan bahwa terdapat minimal satu ekor kalawet dipelihara sebagai pet di setiap dusun, minimal dua ekor di setiap desa, dan minimal 12 ekor di setiap kota, di sepanjang Sungai Katingan (Nijman 2005b). Jika informasi tersebut dianggap mewakili atau berlaku bagi daerah aliran sungai

lainnya di Kalimantan Tengah dan Barat, maka diperkirakan secara kasar terdapat ribuan kalawet yang dipelihara oleh masyarakat sebagai pet. Sejalan dengan hal tersebut, diperkirakan telah terjadi pembunuhan terhadap ribuan kalawet induk untuk mendapatkan anaknya yang kemudian dijual atau dipelihara sebagai pet. Sebagai informasi tambahan, bahwa ‘Kalaweit Program’, lembaga penyelamatan satwa primata khususnya Hylobates, di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, sedang merehabilitasi lebih dari 200 ekor Hylobates Kalimantan (H. agilis albibarbis, H. muelleri, dan kemungkinan beberapa di antaranya adalah hibrida dari kedua spesies tersebut) hasil sitaan atau penyerahan dari masyarakat.

Disamping berbagai tujuan, kegiatan perburuan satwa primata khususnya Hylobates, kemungkinan dilakukan (1) karena diduga masyarakat tidak mengetahui adanya larangan perburuan terhadap satwa tersebut sebagai satwa yang dilindungi, (2) karena tekanan kebutuhan ekonomi, dan (3) karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan resiko penyakit zoonosis.

Berdasarkan informasi-informasi di atas menunjukkan bahwa kegiatan perburuan mempunyai kontribusi yang relatif besar terhadap penurunan dan keberadaan populasi kalawet saat ini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, kegiatan perburuan dan pemeliharaan Hylobates sebagai pet sudah saatnya menjadi perhatian instansi terkait dan pihak lain yang peduli terhadap konservasi Hylobates di Kalimantan, untuk mengambil langkah-langkah kongkrit guna mengatasi masalah perburuan tersebut.

Langkah-langkah yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi masalah perburuan, antara lain: (1) mengembangkan potensi sumber daya ekonomi masyarakat di sekitar habitat Hylobates menuju masyarakat yang sejahtera, agar tidak menjadikan berburu sebagai salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan ekonominya; (2) melakukan sosialisasi adanya payung hukum yang melindungi Hylobates dan satwa primata lainnya, (3) melakukan sosialisasi adanya bahaya penyakit zoonosis dari satwa primata yang dipelihara sebagai pet; dan (4) menyita dan merehabilitasi satwa yang dipelihara masyarakat untuk direintroduksi kembali ke habitat hidupan liarnya.

Program rehabilitasi dan reintroduksi terhadap satwa Hylobates yang dipelihara oleh masyarakat atau hidup di luar habitatnya, merupakan hal yang

penting bagi konservasi Hylobates. Namun demikian, program tersebut tidak seharusnya menjadi prioritas, karena sesungguhnya tidak menyelesaikan masalah pokok yaitu perburuan satwa, melainkan hanya menangani dampak dari aktivitas perburuan. Selain itu, program rehabilitasi pasti membutuhkan dana yang besar, namun hasilnya belum jelas. Oleh karena itu, kiranya pihak-pihak yang peduli terhadap Hylobates dapat mempertimbangkan langkah (1), (2), dan (3) di atas sebagai prioritas dan mendesak dilakukan untuk mengatasi masalah perburuan satwa.

Spesies Hylobates yang dipelihara oleh masyarakat, tidak hanya di sekitar daerah penyebaran alami spesies bersangkutan, tetapi juga ada yang dibawa keluar daerah sebarannya, seperti H. muelleri dipelihara sebagai pet di daerah sebaran H. agilis albibarbis, dan sebaliknya. Keadaan demikian dapat memungkinkan terjadinya hibrida yang justru merusak kemurnian genetik masing-masing spesies, dan dengan sendirinya berdampak negatif terhadap konservasi masing-masing spesies. Kemungkinan ini dapat terjadi, ketika satwa tersebut lepas (disengaja ataupun tidak disengaja) ke alam hidupan liar yang bukan daerah sebaran alaminya. Untuk menghindari terjadinya hibrida tersebut, khususnya dalam program rehabilitasi dan reintroduksi, maka dibutuhkan identifikasi spesies secara tepat dan akurat.

Berdasarkan morfologinya, spesies Hylobates Kalimantan cukup sulit dibedakan antara satu dengan lainnya (Gambar 4). Namun demikian, kesulitan identifikasi spesies tersebut, dapat diatasi melalui analisis vokalisasi, karena masing-masing spesies memiliki karakteristik yang spesifik. Hasil analisis vokalisasi menunjukkan bahwa pola sonagram great call (GC) kalawet (H. agilis albibarbis) (Gambar 34), berbeda sangat jelas dengan sonagram GC H. muelleri (Gambar 35). Sonagram dan wafeform GC ‘spesies’ hibrida (H. agilis albibarbis x H. muelleri) belum memiliki pola yang stabil, namun berbeda cukup jelas dengan GC kedua tetuanya (Gambar 36 dan Gambar 37). Demikian halnya dengan karakteristik suara jantan (Gambar 38). Hasil ini membuktikan bahwa analisis vokalisasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies Hylobates di Kalimantan secara akurat.

Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya hibrida buatan, baik dalam proses rehabilitasi terlebih dalam proses reintroduksi, maka semua satwa Hylobates di Kalimantan yang masuk dalam program tersebut, harus dapat diidentifikasi secara tepat, berdasarkan karakteristik vokalisasi. Spesies yang berbeda harus ditempatkan dalam kandang rehabilitasi yang berbeda pula, kemudian direintroduksi atau dilepaskan ke habitat hidupan liar sesuai dengan daerah penyebaran masing-masing spesies.

Dokumen terkait