• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsistensi partai politik pasca pembatalan pasal 214 UU No 10 tahun

Bab 3. Tinjauan Pustaka

A.2 Konsistensi partai politik pasca pembatalan pasal 214 UU No 10 tahun

pada tanggal 23 Desember 2008 Makamah konstitusional melalui pembacaan putusan perkara judicial review No 22/PUU-VI/2008 dan 24/PUU- VI/2008 memutuskan bahwa terdapat pasal dalam UU pemilu tahun 2008 yang bersifat inskonstitusional karena dianggap bertentangan dengan materi UUD 1945. adapun pasal yang dianggap bertentangan adalah pasal 214 huruf a,b,c,d,e

12 dan akhirnya berdanpak pada pembatalan pasal tersebut dalam UU No 10 tahun 2008.

Pembatalan pasal 214 ini menuai pro dan kontra dilingkungan masyarakat dan justru lebih merugikan caleg perempuan. Sebab melalui pasal 52sampai pasal 55 telah diatur mekanisme pencalonan caleg perempuan melalui kuota 30 %, dengan ketentuan setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang- kurangnya satu orang perempuan. Dengan pembatalan pasal 214 pada UU No 10 tahun 2008 otomatis setiap caleg akan mendapatkan kesempatan bersaing yang sama dalam pemilu. Namun hal ini sangat kontradiksi dengan semangat keterwakilan caleg perempuan sebab tidak adanya sistem yang dapat menjamin terwujudnya affirmative actionketrwakilan perempuan dalam parlemen.

Berdasarkan data terlampir untuk kota padang saja data daerah pemilihan, kursi, DCT (daftar calon tetap), DPT (data pemilih tetap) dan bapel (badan pelaksana ), menunjukan adanya partisipasi politik yang paling tinggi dari partai politik untuk mengusung caleg yang akan bersaing pada pemilu 2009. Dari KPU, kota padang memiliki DCT sebesar 758 orang ( lihat tabel lampiran DCT). Serta daftar calon tetap sebesar 223 orang dari total keseluruhan caleg sebanyak 758 orang. hal ini menunjukan angka persentase sebesar 29,4 % keterwakilan perempuan atau dengan pembulatan angka menjadi 30 %.

Analsis penelitian ini kemudian difokuskan kepada konsistensi partai politik peserta pemilu 2009 di kota padang pasca pembatalan pasal 214 UU pemilu No 10 tahun 2008, terlepas dari mempersoalkan tidak adanya ‘pool’ kandidat politisi perempuan yang dapat dirujuk dalam proses rekrutmen 2009, Partai-partai politik sebenarnya tidak boleh berkilah, “mencari kandidat perempuan berkualitas di semua tingkat nominasi itu sangat sulit”. Yang sulit sesungguhnya adalah mencari political will dan niat parpol ketika pada pemilu 2009 masyarakat lebih memilih ”mencontreng” partai politik ketimbang caleg kalau seandai partai poliitk tersebut menang dalam perolehan suara dari pencontrengan tanda gambar parpol maka disinilah dibutuhkan konsistensi partai politik di tingkat interen mereka untuk tetap memperjuangkan kuota 30 %.17

17 Akumulasi wawancara penelitian dengan pengurus partai politik Golkar , PDIP, PKS, PAN ,PPP pada tanggal 27, 28 29, 30 Mai 2009

13 Sebenarnya, parpol juga harus juga memanfaatkan organisasi

afiliasi yang dapat merekrut politisi perempuan. Misalnya Partai Kebangkitan Nasional (PKB) mempunyai organisasi Perempuan Partai Kebangkitan Bangsa sebagai salah satu sayap politiknya, di samping beberapa organisasi afiliasi lain seperti Fatayat NU dan Muslimat NU; di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terdapat Perempuan Persatuan; dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga memiliki organisasi afiliasi seperti Perempuan Amanat Nasional dan Aisyiah18.

Selain divisi perempuan dan organisasi afiliasi parpol, kandidat perempuan dapat juga direkrut dari kalangan akar rumput. Perempuan-perempuan itu mungkin belum terdaftar sebagai anggota parpol, tetapi mereka pasti mempunyai komitmen dan bersedia mengabdikan diri untuk memberdayakan perempuan dan mau duduk di dalam posisi kepengurusan partai. Banyak LSM seperti Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI), Jaringan Perempuan dan Politik (JPP), dan Solidaritas Perempuan (SP), semuanya bekerja keras untuk memberdayakan kaum perempuan. LSM-LSM memiliki jaringan yang luas, dan aktivitas mereka menembus batas-batas wilayah, baik propinsi maupun daerah tingkat satu di Indonesia. Akan tetapi, keberhasilan partisipasi mereka sangat bergantung pada kemauan parpol untuk merekrut ‘perempuan-perempuan potensial’ yang berasal dari luar basis tradisional mereka.

Ketika kembali menagih konsistensi partai politik peserta pemilu dengan sistem kuaota 30 % , menurut analisa penulis seharusnya kita bisa berkaca pada negara lain yang telah menetapkan sistem kuota ini, karena seperti yang sudah saya jelaskan pada analisis sebelumnya Sistem kuota diperkenalkan untuk memastikan agar perempuan memiliki jumlah kursi minimum di dewan legislatif. Berbagai peraturan yang menetapkan kuota di parpol dan lembaga- lemaga pemerintahan dimaksudkan untuk membantu perempuan mengatasi kendala rendahnya representasi mereka di forum-forum pengambilan keputusan. Agar

18 Wawancara hasil triangulasi sumber data dengan informan salah satu pengurus LSM KPI dan LP2M pada tanggal 10 juni 2009.

14 hasilnya efektif, penerapan program tindakan tegas dan penetapan kuota itu juga harus diiringi oleh jadwal yang pasti dan sasaran yang jelas19.

Nampak jelas di sini bahwa upaya menciptakan sistem yang kondusif dan mendukung langkah kaum perempuan ke arena politik tidak dapat dipisahkan dari target lain, yakni mereformasi sistem pemilu Indonesia. Sistem PR daftar terbuka merupakan metode yang paling baik, dan oleh karenanya mereka merasa perlu melobi para anggota parlemen untuk memasukkan sistem ini ke dalam UU pemilu. Ketika sistem UU pemilu kita direfomasi apa pengaruhnya terhadap representasi politik perempuan? Sebagai contoh, variasi mekanisme dalam proses nominasi kandidat perempuan mungkin berkaitan dengan ukuran distrik pemilihan yang akibatnya akan membuat distrik itu mempunyai anggota tunggal atau banyak. Besarnya peranan parpol dalam menominasikan kader perempuan dalam konteks reformasi pemilu tidak dapat diremehkan. Penerapan sistem PR daftar tertutup memungkinkan parpol menentukan urutan ranking kandidat pada daftar partai, dan melalui proses ini kaum kandidat perempuan dapat ditempatkan pada berbagai posisi strategis di dalam daftar ini. Akan tetapi, kendatipun kuota akan diberlakukan di dalam sistem PR daftar tertutup, jika tidak disertai oleh perubahan mekanisme partai, misalnya, dalam konsistensi partai politik, peraturan yang menjamin penunjukan kandidat perempuan sebagai anggota dewan pimpinan atau

19 India adalah contoh negara yang dipandang berhasil mencapai target 33 % kursi di lembaga legislatif distrik (panchayati raj) setelah diberlakukannya amandemen nomor 74 terhadap Konstitusi 1989. Filipina juga telah menerapkan sistem semi-proporsional (sistem paralel) di mana 20% anggota parlemen dipilih dengan menggunakan metode daftar partai, dan 80% lainnya dipilih secara voting mayoritas. UU pemilu Filipina mengijinkan pemberian jatah kursi parlemen bagi kelompok- kelompok marjinal seperti perempuan, buruh tani, nelayan, dsb, asalkan mereka memperoleh suara 2% dari pengambilan suara mayoritas. Negara Filipina mempraktekkan sistem semi-proporsional, terutama sistem paralel. Sistem paralel itu memadukan daftar PR dan plurality majority districts, yang berarti sebagian anggota parlemen dipilih dengan metode PR (20 persen) dan sisanya dipilih lewat metode pluralitas mayoritas. Di Filipina, perombakan sistem pemilu memegang peranan kunci, disebabkan beberapa alasan berikut:

a) Dalam praktik politik sehari-hari, ada pendapat yang beredar luas bahwa lembaga politik b) yang paling gampang dimanipulasi (dalam pengertian baik atau buruk), adalah sistem

pemilu.

c) Orang senantiasa mengartikan suara yang dimenangkan di pemilu sebagai tiket untuk menduduki kursi di legislatif.

d) Pemilihan sistem pemilu secara efektif dapat menentukan tokoh mana yang akan terplih dan partai mana yang akan memegang kekuasaan.

e) Sistem pemilu kadang-kadang melahirkan pemerintah koalisi.

f) Sistem pemilu dapat dijadikan piranti manajemen konflik bagi suatu masyarakat. Reformasi Konstitusi

15 pengangkatan mereka di posisi-posisi menentukan dalam hirarki partai, maka upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan tetap saja akan sulit.

”Memang ada usulan pemerintahan pada legislatif untuk memberlakukan sistem PR daftar terbuka pada pemilu 2004. Pemerintah berargumen bahwa transisi Indonesia menuju kehidupan demokratis mengharuskan adanya sistem pemilu yang memadukan unsur representasi populer dengan unsur akuntabilitas publik. Meskipun saat ini sistem campuran (perpaduan antara sistem Mayoritas dengan PR) dianggap paling ideal, namun untuk melaksanakannya diperlukan masa persiapan yang panjang. Disebabkan keterbatasan waktu, akhirnya pemerintah menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia belum siap menjalankan sistem Campuran (MMP) atau sistem Mayoritas pada pemilu 2004. Alternatif yang paling masuk akal adalah dengan memberlakukan sistem PR daftar terbuka” 20.

Berdasarkan temuan beberapa studi tentang sistem sistem pemilu, nampaknya sistem Representasi Proporsional (PR) lebih ‘memihak’ kepada perempuan. Dalam sistem PR (di mana partai mempunyai peluang untuk berkompetisi dan memenangkan beberapa kursi dan memanfaatkan peluang itu dengan menempatkan kader-kader perempuan yang ada di dalam daftar calegnya). Dengan sistem PR, partai-partai politik dapat didesak untuk menyusun komposisi kandidat yang berimbang dengan menyertakan (lebih banyak) perempuan di dalam daftar mereka. Secara logis, dengan memiliki 30 persen kandidat perempuan, maka partai-partai itu akan mencetak 30 persen anggota parlemen perempuan. Meski sistem PR cenderung lebih menguntungkan perempuan melalui peningkatkan perwakilan mereka, namun ada faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan, yakni pilihan tipe sistem PR yang akan digunakan serta lingkungan politik dan budaya kita. Kadang-kadang sistem PR yang memakai daftar tertutup – di mana nama kandidat tidak bisa dicoret atau diturunkan rankingnya – adalah yang lebih disukai perempuan. Untuk kasus Indonesia sebenarnya kita dapat memberlakukan ‘aturan zebra’ yang mengandung pengertian ”setiap kursi kedua harus untuk perempuan”

16 Ketika penulis menganalisis bagaimana kaum perempuan bisa memperoleh akses ke dalam struktur partai (Golkar, PDIP,PAN,PKS,PPP21) sebab secara universal diketahui bahwa partai politik cenderung hanya menominasikan tokoh-tokoh elit mereka, yang terkonsentrasi di pucuk kepemimpinan atau dewan pengurus pusat. Di kebanyakan partai politik Indonesia jarang ada perempuan yang bisa mencapai posisi pengambilan keputusan, berdasar kondisi inilah, partai- partai politik harus membuat semacam komitmen pra-pemilu mengenai seberapa besar presentase kandidat perempuan yang akan mereka orbitkan. Tapi kendalanya tak jarang perempuan menjadi ciut nyalinya untuk menapaki arena politik karena berbagai ongkos yang harus mereka pikul. Banyak perempuan yang memutuskan untuk terjun ke dalam pemilu terpaksa hanyut di dalam kultur politik yang berlaku, yaitu menghamburkan uang untuk bersaing dengan kandidat- kandidat pria yang pada umumnya sudah memiliki basis finansial yang solid.

Kelompok perempuan juga merasa perlu membangun berbagai jaringan dan kaukus di kalangan anggota-anggota parpol, anggota legislatif dan para aktivis gerakan masyarakat madani. Sebenarnya kita tidak perlu malu memetik pelajaran berharga dari Thailand, yang mengharuskan parpol memberikan pertanggungjawaban kepada para konstituen. Mereka dapat bekerjasama dalam upaya meningkatkan status perempuan melalui berbagai perubahan kebijakan publik dan produk hukum. Kerjasama yang baik ini telah melahirkan sebuah Konstitusi baru yang dibuat draftnya pada tahun 1999, melalui sebuah proses demokratis yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Momentum keterlibatan masyarakat ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para aktivis gerakan perempuan dalam perjuangan mereka menegakkan kesetaraan jender di dalam konstitusi. Pengalaman negara Thailand menunjukkan pada bangsa Indonesia akan perlunya mereformasi parpol yang ada. Sistem baru untuk menyeleksi kandidat dan mekanisme-mekanisme pengambilan kebijakan yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik juga harus segera disusun dalam menyonsong pemilu 2009.

perlu juga dikembangkan jaringan-jaringan kerja yang saling mendukung, yang dapat dijadikan basis kolaborasi kaum

21 Analisis ini disesuaikan lokus penelitian peneliti yang terfokus pada 5 partai politik besar pemenang pemilu 2004 di kota padang yaitu Golkar, PDIP, PAN, PKS dan PPP

17 perempuan di dalam masyarakat Indonesia. Ini dapat dilakukan

oleh sebuah kaukus perempuan, atau jaringan kaukus-kaukus sejenis, yang dapat menyuarakan pentingnya pengakuan atas peranan kaum perempuan di arena politik22.

Dalam konteks ini seperti yang penulis kutip dari rekomendasi IDEA23 ada beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan cara-cara memperkuat partisipasi politik perempuan Indonesia, ‘di luar jumlah semata’. (1) fokuskan perhatian pada parpol, untuk membuat mereka lebih ‘peka jender’ agar dapat meningkatkan jumlah kandidat perempuan di daftar partai, serta memberi mereka peluang yang sama untuk berpartisipasi pada proses-proses pengambilan keputusan. Secara konkrit ini menuntut perubahan pada penyusunan jadwal rapat partai, supaya dapat mengakomodasi peran ganda perempuan di dalam rumah tangga dan kehidupan publik, serta memberi bantuan dana kampanye serta meningkatkan kualitas kepemimpinan mereka; (2) perlu dilakukan penggalangan suatu ‘massa kritis’ (critical mass) yang terdiri dari organisasi-organisasi masyarakat madani yang mempunyai komitmen meningkatkan status perempuan, dan membantu mereka menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan dengan tokohtokoh perempuan dari dunia politik. Ini antara lain dapat ditempuh dengan meningkatkan kegiatan kerjasama antar kelompok, memperkuat jaringan antar organisasi masyarakat madani dengan politisi perempuan, dan membantu langkah- langkah mereka untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan lewat parlemen dan parpol-parpol, di samping menempuh tindakan affirmative action untuk memperlancar pemberdayaan politik kaum perempuan, memperkokoh jalinan kerjasama antar berbagai organisasi dengan berbagai komponen masyarakat madani, dan membantu mereka dalam menyelenggarakan pelatihan yang ditujukan bagi para pemilih dan kandidat perempuan; (3) sangat disarankan untuk memanfaatkan lembaga-lembaga kultural dan keagamaan seperti organisasi keagamaan Fatayat, Aliyah, dan sebagainya, untuk mensosialisasikan keberadaan dan kiprah politisi perempuan kepada masyarakat luas. Pendekatan ini sangat cocok diterapkan pada masyarakat pedesaan, untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian mereka akan pentingnya peranan perempuan dalam kehidupan politik;

22 Wawancara dengan pengurus partai politik dari PKS tanggal 28 Mai 2009

18 (4) salah satu fokus penting yang berkaitan dengan peningkatan keterlibatan perempuan adalah dengan menggelar program-program yang menyentuh berbagai persoalan masyarakat pedesaan, untuk mempengaruhi jalannya pengambilan keputusan di tingkat ini, serta mendorong munculnya tekanan kelompok akar padi terhadap pemerintah di tingkat yang lebih tinggi. Pelatihan bagi kader-kader perempuan di pedesaan akan meningkatkan kemungkinan para perempuan itu memegang peranan lebih besar di dewan-dewan perwakilan rakyat daerah, dan kelak juga pada tingkat nasional; (5) disarankan pula untuk mengorganisir kelompok-kelompok perempuan yang ada, sehingga mereka dapat memberi respons positif terhadap kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan, pengadaan air bersih serta sanitasi, dan mengaitkan inisiatif-inisiatif itu dengan upaya strategis yang lebih luas menuju pada meningkatkan partisipasi politik perempuan; (6) kelompok-kelompok masyarakat madani perlu didorong untuk menggelar acaraacara debat publik, menggelar kampanye advokasi untuk mendukung partisipasi politik kaum perempuan, dan menyediakan layanan manajemen organisasional dan latihan berkampanye, serta mencarikan sumber-sumber pendanaan kampanye bagi perempuan yang menjadi anggota organisasi sosial dan politik. Untuk merangkum rekomendasi di atas, partisipasi politik jangan hanya diukur dari segi representasi perempuan di dewan parlemen lokal dan nasional.

Jadi menurut hemat peneliti partisipasi di partai-partai politik dan pada kampanye-kampanye politik tingkat nasional maupun lokal juga merupakan bagian dari partisipasi politik perempuan. Meski sudah banyak upaya untuk meningkatkan jumlah ‘massa kritis’ (critical mass) perempuan di dunia politik, usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas kontak-kontak politik perempuan juga tak kalah pentingnya. Keberhasilan dari upaya-upaya itu sangat tergantung pada keberhasilan pendekatan multi-strategi yang mempersatukan langkah berbagai departemen/ kementrian, kantor-kantor sekretariat parlemen, dan kelompok- kelompok masyarakat madani. Dalam periode transisional seperti sekarang, sesungguhnya inilah tantangan utama yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia, baik lelaki maupun perempuan, yang benar-benar percaya pada demokrasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

19 Kenyataannya dengan tetap konsistennya partai politik terhadap sistem kuota dalam internal partai politik ada dua keuntungan sebenarnya bagi perempuan yaitu: (1) kuota ternyata dalam jangka pendek, memang terbukti sebagai alat yang efektif dalam mencapai keseimbangan atau kesamaan gender dalam tingkat kepemimpinan antara laki- laki dan perempuan. Meskipun demikian mengingat diskriminasi terhadap perempuan sudah begitu mengakar dalam kegiatan organsisasi maupun dalam kehidupan sehari-hari, maka bentuk- bentuk yang lebih bertahap dari tindakan afirmasi (affirmative action) diluar kuota perlu dilakukan untuk perubahan dalam jangka panjang; (2) kehadiran perempuan dalam posisi pembuatan dan pengambilan keputusan menyebahkan perubahan- perubahan atas kebijakan yang diputuskan (outcome). Pada kenyataanya para pemimpin perempuan lebih merepresentasikan kepentingan perempuan dan mendukung berbagai kebijakan yang memberi keuntungan pada perempuan.

Selain alternatif menuntut konsistensi parpol pasca pembatalan pasal 214 UU pemilu No 10 tahun 2008, konsistensi dengan sistem kuota dalam rangka mewujudkan affirmative action sebagai bentuk perwujudan demokrasi yang berkeadilan gender maka tahap yang selanjutnya mungkin harus diringi dengan menagih kembali komitmen partai politik untuk demokrasi yang berkeadilan. Karena dari segi sistem pemilu berdasarkan analisa diatas sangat sulit unutk ditembus dengan logika masalah keterwakilan perempuan ini.

Tabel 1

Platform Perempuan Dalam Partai Politik

Pada Pemilu 200924

Partai Platform tentang isu

perempuan yang terkait dengan Prioritas program perempuan Analisis (Kritikan) PPP  lebih memperlihatkan masalah pendidikan perempuan  pemerintah telah memberikan kesempatan tetapi perempuan tidak dapat mengaksesnya. Memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia Pendidikan merupakan alat unutk meraih kesempatan yang setara dengan laki-

Partai ini tidak menyadari bahwa pendidikan hanyalah salah satu faktor penyebab tertinggalanya kaum perempuan . persoalan sistemik sosial-budaya

24 Kecuali partai Golkar dan PDIP peneliti kesulitan mendapatkan data tentang Platform Perempuan Dalam Partai Politik karena kebijakan mereka semuanya tergantung pada pimpinan umum partai.

20

laki

Mengkritik gerakan

perempuan yang hanya menuntut haknya saja tanpa menyadari kewajibananya.

masyarakat tidak dilihat dalam hal ini

PAN Partai tidak setuju dengan

diskriminasi gender. Menurut mereka masih sulit bagi perempuan untuk memainkan peran yang sama dengan laki- laki dalam masyarakat paternalistik Mengajuakan pengembangan kesempatan bagi bagi perempuan Melihat perempuan merupakan lebih dari separoh jumlah penduduk indonesia bahkan dunia Membentuk depertemen keperempuanan sebagai sentral aktivitas partai dari tingkat nasional dan regional

Tokoh partai ini masih memiliki pandangan stereotip terhadap perempuan yang pernah mengatakan meskipun dalam islam perempun dapat menjadi pemimimpin meskipun berlaku dalam kondisi khusu (darurat) PKS Mengizinkan perempuan menempati posisi kunci bila dibutuhkan Membenarkan kader perempuan menempati posisi diparlemen sebagai anggota DPR Kemunduran posisi perempuan merupakan kesalahan Orba Dalam kenyataan nya, PKS memisahkan perempuan dari pusat kekuasaan menjadi pinggiran.

Dari tabel diatas hanya partai PAN dan PKB yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai partai islam modern. Karena partai ini bersifat terbuka (tidak membatasi kontituennya pada kaum muslim saja).

Bab 7. Penutup

Sebenarnya momentum pemilu 2009 yang lalu merupakan kesempatan yang bagus untuk menguji komitmen partai politik terhadap perempuan pasca pembatalan pasal 214 UU pemilu No 10 tahun 2008. Masalah mendasar dari kepekaan gender dari aspek apapun bukanlah meletakan perempuan sebagai fokus perhatian akan tetapi kepekaan atas kondisi ketidakadilan dalam struktur sosial.

21 Seseorang tidak akan bisa mempersoalkan tentang hirarki, posisi keterwakilan atau implikasi yang tidak adil bagi perempuan tentang adanya separasi antara kehidupan publik dengan privat, antara kehidupan laki- laki dengan perempuan tanpa membuka isu tentang keadilan dalam struktur sosial.

Daftar Pustaka

A. Dahl , Robert. (1971). Polyarchy: participation and Opposition. New Haven: Yale University Press

_______________ (1990). Political and developing Countries: Comparing Experience with Democracy. Boulder, Colorado: Lynne Rienner.

Diamond, Lary, dkk (eds). (1989). Democracy in Asi.(Boulder, Colorado: Lynne Rienner,

Divisi perempuan dalam pemilu . CETRO 2004

Geertz , Clifford. (1963). Old Societies and New States. New York: The Fee Press.

Jurnal Perempuan edisi 34 Tahun 2004

Laporan kegiatan IDEA . Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan Di Indonesia.

Migirou, Kalliope. (1999). Menuju implementasi efektif mengenal legislasi dan hak azazi perempuan internasional.

N. Htu, Mala. “ women’s political participation , representation and Leadership in Latin America”. http://www. Theadialogue.org. 09.15.a.m.15/5/2008 Ratnawati dalam Jurnal Ilmu Sosial Ilmu Politik FISIPOL UGM. (2004). potret

kuota perempuan di parlemen. Vol 7, No 3, Maret 2004.

Reyes, Melanie et all. (2000). The quota system : Women’s Boon or bane? The centre for legislative development. Vol 1, No3, April

Sanit, Arbi (2002) Sistem Politik Indonesia: Kestabilan peta Politik dan pembangunan. Cetakan ke 9. jakarta : Rajawali perss.

Shvedovan, Nadezhda. (1999). kendala terhadap partispasi perempuan dalam parlemen. Dalam Azza Karam dkk. (eds). Perempuan parlemen bukan sekedar jumlah, bukan sekedar hiasan (terj). Jakarta: YJP dan IDEA. Ulum, Bahrul (2002). Bodoh NU atau NU dibodohi: menguji khittah, meneropong

pergeseran pardigma politik. Yogyakarta : Ar-Ruzz Press dan PW IPNU Jawa Tengah.

1

ANALISIS GEMPA UTAMA DAN SUSULAN SEBAGAI KAJIAN AWAL