• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstelasi Media Informasi

Dalam dokumen diktat sastra perbandingan nov 2012 baru (Halaman 32-45)

Pada masa pemerintahan Paku Buwono X, Solo 1900-1915 merupakan

tempat persemaian dan penumbuhan spirit nasionalisme. Banyak tokoh

pergerakan kebangkitan Nasional tinggal berjuang di kota Sala; tokoh Budi Utama

paling berpengaruh dr. Rajiman Widiodipuro, dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang

anti “feodal” dan anti kolonial, dan tokoh radikal SI, Haji Samanhoedi, dan kantor

32

Vokal menentang cita-cita Onafhankelijkheid dari Indische Partij. Selain itu

terdapat cirikhas pergerakan di Solo; sangat politis dan radikal.

Dalam buku Raja, Priyayi, dan Kawula, Kuntowijoyo mengilustrasikan

sosok kepemimpinan dan jiwa patriotisme Paku Buwono X dalam perspektif

sejarah mentalitas. Tinjauan ilmiah secara psikologis tentu lebih efektif dan

proporsional bagi kepribadian Paku Buwono X sebagai pemimpin dan pembina

serta pengembang adat leluhur masyarakat Jawa. Perspektif mentlitas yang

dipergunakan Kuntowijoyo tentu memperkaya khazanah studi sejarah dan

kebudayaan di Indonesia, mengingat metode nya juga terhitung langka dalam

penulisan historiografi Indonesia.

Era pemerintahan Paku Buwono X sebagai penerus tahta Paku Buwono IX

– serta raja-raja Surakarta di era abag ke-18 – telah mengondisikan iklim kondusif

bagi penerbitan pers. Sejarah penerbitan media cetak di Surakarta secara umum

menjadi bagian dari proses sejarah pers di Indonesia. Yakni, yang diawali dari

Batavia – Jakarta dengan terbitnya surat kabar Bataviase Nouvelles yang terbit 7

Agustus 1744, adalah surat kabar pertama di Indonesia. Proses penerbitan media

itu tidak lepas dari pengawasan pemerintah kolonial Belanda. Hal itu dianggap

sebagai kebaikan hati Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750). Pada awalnya,

izin terbit hanya berlaku selama enam bulan, kemudian diperpanjang hingga tiga

tahun. Berikutnya, menyusul terbitnya Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780,

serta Bataviasche Koloniale Courant pada 1810.

Sejumlah media cetak yang mendokumentasikan seluk-beluk Indonesia

33

Nieuw, Kromo Belanda, Jawa, berbagai laporan dibendel sebagai Verslagen dan masih banyak lagi. Media cetak itu menginformasikan beragam berita – mulai dari

politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional seperti musik, rupa,

sastra, arsitektur, situs arkeologi, kuliner serta segala macam peristiwa penting

lainnya yang terjadi di negeri kita.

Secara politis, proses penerbitan surat kabar di Surakarta lebih bebas.

Keadaan itu seiring ditetapkannya politik kolonial Belanda pada 1854 yang relatif

sudah lebih longgar terhadap penerbitan surat kabar Indonesia. Maka, lahirlah

majalah Bromartani di Surakarta dengan bahasa Jawa. Selanjutnya, Bromartani

diperhitungkan pula sebagai pelopor arah perkembangan pers lokal di Indonesia.

Bromartani merupakan mingguan pertama berbahasa Jawa yang diterbitkan sepekan sekali, setiap hari Kamis antara 1855-1858. Kali pertama

terbit, Bromartani dipublikasikan pada 25 Januari 1855 oleh Carel Frederik

Winter Sr. bersama anaknya, Gustaaf Winter. Keduanya fasih berbahasa Jawa.

Media tersebut dicetak oleh percetakan Hartevelt di Surakarta. Bromartani lahir

setahun sebelum Undang-Undang Pers pada zaman kolonial Belanda

diberlakukan di Indonesia.

Media cetak Bromartani sering dijadikan referensi ilmiah para pelajar dan

mahasiswa yang tengah menempuh ilmu. Mahasiswa yang dominan mengakses

surat kabar Bromartani antara lain yang menempuh studi di Instituut voor de

Javaansche Taal. Selain itu, mingguan tersebut juga diapresiasi dan mendapatkan dukungan moral dari Paku Buwono VII. Selanjutnya, di era Paku Buwono X,

Lebih-34

lebih, pihak Kasunanan Surakarta sebelumnya telah menempatkan CF Winter dan

Gustaf Winter yang juga redaksi Bromartani sebagai Javanisi, sejajar dengan

pujangga Kraton Surakarta seperti Raden Ngabehi Ranggawarsita yang juga

mengelola Bromartani. Paku Buwono X melanjutkan misi dan prakarsa Paku

Buwono IX di era pertengahan abad ke-18 hingga ke-19, dengan sejumlah riset

dan publikasi di media masa cetak.

Namun, peran sosial dan politik pers pada masa kolonial cukup efektif.

Kenyataan itu memotivasi Paku Buwono X untuk berperan dalam pengembangan

pers. Di sisi lain secara internal, peran yang dimainkan Bromartani, meski

berbahasa Jawa juga berjalan optimal. Berturut-turut setelah Bromartani terbit,

pemerintahan kolonial membuka jaringan telegram (1856), pos (1862), dan jalur

kereta api (1867). Dalam kehidupan pers, teknologi menjadi sarana yang lebih

memudahkan perkembangan pers. Berita-berita kian cepat dan mudah

tersampaikan.

Menurut sebuah riset, seperti dideskripsikan Anindityo Wicaksono, jumlah

media di Solo mencapai 110-an buah. Pada masa efektif pemerintahan Paku

Buwono X jumlahnya mencapai 69 buah – termasuk tiga media, Woro, Pustaka

Surakarta, dan Purnama yang tidak diketahui periode tahun penerbitannya. Majalah Bromartani (1858 – 1939 sebagai hasil “reinkarnasi” Bromartani

(1855-1857) yang merupakan kelompok bisnis Joroemartani dan De Locomatief –

Semarang).

Majalah De Nieuwe Vorstenlanden (1858 - 1942), selanjutnya berganti

35

Reoland Landouw. Kemudian pada 1883 diganti namanya menjadi De Nieuwe

Vorstenlanden, terbit setiap hari di bawah pimpinan redaksi TH Roeland

Landouw. Harian ini pernah menjadi surat kabar paling besar di seluruh Jawa

Tengah. Pada 8 Januari 1938 pernah mengadakan peringatan 80 tahun usianya.

Tetapi empat tahun berikutnya, pada 1942) berhenti terbit menjelang Jepang

masuk Kota Solo.

Jawa Kandha (1891-1919). Diterbitkan oleh Percetakan dan Penerbitan Albert Rusche & Co di Solo dengan Bahasa Jawa dan Melayu. Terbit tiap

seminggu dua kali pada hari Selasa dan Jumat. Redakturnya FL Winter. Nomor

pertama terbit pada hari Selasa Pahing tanggal 28 April 1891. Surat kabar ini

berbahasa Jawa dan dimiliki orang Belanda. De Niewe Vorsten Landen

(1900-1919). Pada periode 1900 dipimpin Vogel Van der Heyde. Selanjutnya pada

periode 1919 dikendalikan oleh H Roeland Landauw. Darmakandha (1913).

Diterbitkan Nieuwe Drukkerij di Warung Pelem yang sekarang menjadi poliklinik

Tiong Hoa. Pemiliknya Tjo Tjoe Kwan, seorang letterzetter di percetakan Albert

Rusche & Co. Ratna Dumilah (1939). Pada bulan itu juga terbit majalah bahasa

Jawa aksara latin dengan nama Ratna Dumilah yang memuat khusus tentang

kewanitaan. Kedua majalah tersebut dapat hidup sampai akhir pemerintahan

kolonial Hindia Belanda.

Muhidin M Dahlan dalam Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa,

Tanah Air Bahasa mengilustrasikan, sebelum abad ke-20, skema perjuangan dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga.

36

perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah

kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan pers. Sekaligus jalan pers ini menjadi

semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang ditempuh India yang

bertumpu pada hirarki kasta atau nasionalisme Rusia yang memperjuangkan

perbenturan kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir dari gilda

dan pasar para borjuis.

Sunan Paku Buwono X juga berjiwa besar dengan mengorbankan prinsip

sebagai orang Jawa yang bergelung (berambut panjang) tapi kemudian

memberlakukan pemotongan rambut bagi kalangan kraton. Paku Buwono X

menyadari masa transisi demokrasi dimulai dengan arus modernisme yang sudah

merebak sebelumnya, dan pasti akan terjadi di Indonesia. Sehingga siap atau tidak

siap, masing-masing pribadi harus siap berkorban sebagai upaya menumbuhkan

nasionalisme. Hal yang kemudian banyak diprotes tapi demi politik simbol yang

dimainkannya dalam menghadapi Belanda, Paku Buwono X pun memutuskan

ketentuan tersebut. Semua kebijakan dan strateginya itu dipublikasikan koran

lokal.

Menjadi raja bagi Sunan Paku Buwono X mungkin bagian dari takdirnya.

Sementara kenyataan sosial politik di sekitarnya tidak dapat dihindarkan. Pada

masa pemerintahannya, Paku Buwono X berada dalam konstelasi politik kolonial

Belanda. Situasi tersebut tentu sangat pelik bagi Paku Buwono X yang

mengemban warisan sebagai bagian dari keturunan dinasti Mataram Islam yang

37

siasat tersendiri agar kehidupan masyarakat dan tradisi kerajaan berjalan secara

harmonis menghadapi kolonial Belanda.

Kuntowijoyo dalam artikelnya “Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan

Wong Cilik Biasa di Kasunanan Surakarta, 1900 – 1915” – dimuat di Jurnal

Humaniora Vol XV No 2/2003 – mendeskripsikan Sunan Paku Buwono X sedari kecil sudah menyadari kelak akan menjadi raja, sebab ia sudah menjadi putera

mahkota pada umur tiga tahun (1869), meskipun mendapat gelar sebagai Sunan

pada 1893. Tatkala berada di puncak sebagai Raja Paku Buwono X, ia menyadari

betapa keras benturan pertentangan antara simbol dan kenyataan. Simbol-simbol

selalu merujuk pada kekuasaannya yang nyaris tanpa batas, tetapi kenyataannya ia

ada di bawah kekuasaan Belanda.

Raja dalam Serat Wulangreh karya Paku Buwono IV, merupakan wakil

Hyang Agung (wakil Tuhan). Raja yang mempunyai wahyu nubuwah berupa

wewenang untuk menjadi raja alam semesta, wahyu hukamah berupa wewenang

untuk mengadili, dan wahyu wilayah berupa wali Tuhan yang menjadi teladan

bagi rakyatnya. Ia juga menjadi panatagama, yaitu hak untuk menjadi pengatur

agama bagi kawulanya. Koran-koran lokal menyebutnya dengan Gusti Pepunden

Kulo Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan. Karena keberadaan dan peranannya yang strategis di tanah Jawa, khususnya di Surakarta, Paku Buwono X

pun berupaya hidup anut ombyaking lakon agar tidak tertinggal dengan

masyarakat dan zaman yang memasuki transisi demokrasi.

Gedung Monumen Pers Nasional berdiri di jalan Gajahmada. Gedung

38

Semarang, dan dibangun oleh Sunan Paku Buwono X pada tahun 1920. Pada

waktu itu hanya ada satu surat kabar yaitu ‘Bromartani’, terbit setiap hari Jumat.

Di Solo hanya para bangsawan dan priyayi yang berlangganan surat kabar

tersebut. Bramartani adalah surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Jawa.

Surat kabar berbahasa Melayu diterbitkan di Semarang dengan nama ‘Slompret

Melayu’, sedangkan surat kabar berbahasa Belanda diterbitkan di Surabaya

dengan nama ‘Soerabayasch Handelsblad’.

Salah seorang penggerak pers di Solo adalah RM Tirto Adhi Soerjo (1875

– 1918). Ia melakukan perjuangan melalui surat kabar yang dipimpinnya, Medan

Prijayi. Beliau adalah pioner pers pribumi. Melalui surat kabar Medan Prijayi, pemikiran beliau menjadi cikal bakal nasionalisme dengan memperkenalkan

istilah Anak Hindia. Beliau juga menyadarkan masyarakat Indonesia tentang

hakekat penjajahan yang sangat merugikan bangsa dan berusaha melakukan

perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial.

Mengingat jasanya beliau dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia tahun

1973 oleh Dewan Pers RI. Atas jasa-jasanya itu pula, pemerintah RI

menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang

Maha Putra Adipradana. Tahun 2007 adalah seabad pers nasional. Tarikh ini

dihitung sejak Medan Priyayi terbit pertama kali pada Januari 1907. Medan

Priyayi adalah tapal dan sekaligus penanda pemula dan utama bagaimana semangat menyebarkan rasa mardika disemayamkan dalam dua tradisi sekaligus:

39

nyaring oleh hoofdredacteur-nya yang paling gemilang di kurun itu: Raden Mas

Tirto Adhi Suryo.

Nama ini bukan saja sebagai otak dimulainya tradisi pergerakan yang

dimulai dengan berdirinya Syarikat Priyayi (1906) lalu disusul Syarikat Dagang

Islam (1909), namun juga menyuluh warga bangsa-bangsa terjajah lewat jalan

pers. Maka pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers

Nasional. Sementara pada 2006, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono

menyempurnakan gelar itu menjadi Pahlawan Nasional atas jasanya

menggerakkan kesadaran merdeka lewat jalan organisasi modern dan pergerakan

nasional. Memperingati seabad pers itulah Jurnal Nasional menghadirkan 365

koran terpilih yang pernah/sedang ikut membangun nasionalisme dan tradisi

berbangsa dalam 365 hari terbit. Terhitung sejak 1 Januari hingga 31 Desember

2007. Dan hari ini dimulai dengan tampilan sang penyuluh mula-mula, Medan

Priyayi.

Medan Priyayi terbit pertama kali pada Januari 1907 dan menjadi koran pertama dikelola pribumi dengan uang dan perusahaan sendiri, berbahasa melayu

dengan bahasa yang menggertak penguasa kolonial, dan menggerakkan kawula

bangsa untuk bangkit menolong diri sendiri. Semangat itu bisa dibaca dari delapan

asas yang diturunkan Tirto Adhi Suryo di halaman muka edisi perdana, antara lain

memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum,

tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan

bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan

40

Asas kemandirian ekopolbud itu lalu menjadi simpul dari sebaris panjang jargon

Medan Priyayi: Soeara bagi sekalian Raja-raja, Bangsawan asali dan fikiran, Priyayi dan saudagar Boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar

dari bangsa jang terjajah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegri di seluruh

Hindia Belanda.

Tirto rupanya sadar betul agar bagaimana suara koran ini menjadi

angin-ribut bagi pemerintah kolonial dan alamat pengaduan yang bener bagi setiap

pribumi jika dipalak kekuasaan. Oleh karena itu diperlukan usaha mandiri

mencetaknya. Maka dengan pengetahuan dan pengalaman niaganya,

diwajibkannya calon pelanggan terlebih dahulu membayar persekot langganan

untuk satu kuartal, setengah atau satu tahun, yang saat ini kita kenal dengan

saham. Dilobinya beberapa pangrehpraja yang tertarik dengan gagasannya.

Jadilah dua orang penyumbang dana besar, yakni Bupati Cianjur RA

Prawiradireja dan Sultan Bacan Oesman Sjah. Masing-masing menyumbang f

1.000 dan f 500. Dengan dana segitu terbitlah Medan Priyayi di percetakan Khong

Tjeng Bie Pancoran Betawi dengan format mingguan sederhana berukuran seperti

buku atau jurnal mungil, 12,5x19,5 cm. Rubrik tetapnya mutasi pegawai, salinan

Lembaran Negara dan pasal-pasal hukum, cerita bersambung, iklan, dan

surat-surat. Terkadang artikel-artikel panjang itu didesain dalam dua kolom, namun

kebanyakan satu kolom seperti jurnal.

Namun rubrik yang paling digemari adalah surat dan jawaban serta advis

hukum gratis yang disediakan Medan Priyayi kepada rakyat yang berperkara

41

Simpati pun datang melimpah-limpah hingga pada tahun ketiga terbitannya,

tepatnya Rabu, 5 Oktober 1910, Medan Priyayi berubah menjadi harian dengan

2000 pelanggan yang menurut laporan Rinkes: “untuk harian Eropa di Hindia pun

sudah merupakan jumlah bagus, lebih-lebih untuk harian Melayu....” Tak ayal lagi

Medan Priyayi mengambil posisi sebagai corong suara publik. Sebagai aktivis pergerakan, tulisan-tulisan Tirto dalam Medan Priyayi tak pernah berbasa-basi,

tapi menunjuk muka langsung dan membuat banyak orang tercambuk “moentah

darah”. Hampir tak ada satu pun kebijakan kolonial yang dirasa memberatkan

rakyat yang lolos dari pemberitaan Medan Priyayi. Di seluruh karesidenan Jawa,

Medan Priyayi bukan lagi taman, tapi benar-benar medan berkelahi. Di Banten, Rembang, Cilacap, Bandung, diperkarakannya banyak hal.

Salah satu kasus terkenal adalah perkara di Kawedanan Cangkrep

Purworejo. Medan Priyayi dengan bahasa yang blak-blakan memuat artikel

tentang persekongkolan jahat antara Aspirant Controleur Purworejo A Simon

dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak

beroleh dukungan warga. Sementara si jago pertama yang didukung, Mas

Soerodimejo, malah ditangkap dan dikenakan hukuman krakal. Terbakar oleh

amarah melihat penyalahgunaan wewenang itu Tirto menyebut pejabat tersebut

sebagai monyet penetek atau ingusan dalam Medan Priyayi No 19 1909.

Investigasi atas kasus itu didukung 236 warga Desa Bapangan dan warga ini pula

mengirim surat kepada Tirto yang berisi dukungan pasang-badan kalau-kalau

Tirto kena denda atas tulisannya. Tirto memang kalah dalam perkara pers delict

42

Priyayi mendapat perhatian pers di Nederland dan Tirto berkesempatan berkenalan dengan Anggota Majelis Rendah Belanda Ir HH van Kol dan pemuka

politik etik Mr. Th van Deventer hingga Medan Priyayi berkesempatan

gentayangan dan berkaok-kaok di daratan Eropa.

Dari sepak terjang itu Medan Priyayi pun menjadi model pertama dari apa

yang kelak disebut sebagai surat kabar pergerakan, mendahului Sarotomo,

Soeloeh Indonesia, ataupun Daulat Ra'jat. Yang khas Medan Priyayi terletak pada

kegiatannya yang tak berhenti dengan sekadar memberitakan sebuah peristiwa

atau kebijakan yang merugikan publik, namun terjun langsung menangani

kasus-kasus yang menimpa si kawula. Medan Priyayi, lagi-lagi, menjadi pelopor dari

genre jurnalisme, yang puluhan tahun kemudian dikenal dengan sebutan

jurnalisme advokasi. Banyak yang berharap bahwa Medan Priyayi bisa berumur

panjang. Harapan itu terbetik ketika HM Arsad, Oesman, dan Tirto membentuk

NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Priyayi” setahun setelah Medan Priyayi terbit. NV ini dicatat sebagai NV pribumi pertama dan sekaligus NV pers pertama. Modalnya f 75.000 yang terdiri atas

3.000 lembar saham.

Namun keberadaan mesin pengatur uang Medan Priyayi ini tak berjalan

sehat. Selain karena Tirto sangat sibuk berorganisasi, kehidupannya yang

flamboyan dan boros menjadi gulma yang mempercepat habisnya bahan bakar

koran ini. Apalagi, sosok Tirto menjadi bulan-bulanan pemerintah Hindia karena

sepak terjangnya dalam pelbagai gerakan. Pada 23 Agustus 1912 Medan Priyayi

43

selesai di situ. Si ksatria penunggang Medan Priyayi, Mas Tirto Adhi Suryo, juga

dituduh menipu sejumlah orang yang berhimpun di Vereeniging van Ambtenaren

bij het Binnenlandsch Bestuur (Perhimpunan Amtenar Pangreh Praja). Dua bulan setelah tutup, Jaksa Agung Hindia Belanda A Browner menjatuhkan vonis bahwa

Tirto bersalah telah menulis penghinaan kepada Bupati Rembang. Dengan mental

yang sudah patah, kalis, dan utang yang bertumpuk-tumpuk, ia pun dibuang ke

Ambon. Sepulangnya dari sana Tirto menjadi manusia sebatang kara yang digilas

gelombang pergerakan yang dibangunnya dengan susah-payah.

Namun lima tahun kehidupan Medan Priyayi adalah lima tahun berkalang

di medan pertempuran. Tapi bukan dengan cara-cara tradisional sebagaimana

angkatan Pangeran Diponagoro dan Teuku Umar, melainkan dengan tradisi

daya-cetak yang menyebar luas dan terang-terangan. Daya-daya-cetak inilah yang menjadi

pembatas luruhnya kurun feodalisme dan bangkitnya tradisi politik modern. Dan

Medan Priyayi melakukan tugas suluh itu dengan menyeru-nyeru untuk tanggalkan ikatan kebudayaan dan darah, dan membentuk geopolitik, hukum, dan

44 BAGIAN 3

Dalam dokumen diktat sastra perbandingan nov 2012 baru (Halaman 32-45)

Dokumen terkait