• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Negara, Negara Hukum dan Konstitusi

3. Konstitusi

Fungsi konstitusi adalah membatasi kekuasaan. K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitution mengatakan bahwa “Con-stitution springs from belief limited government” (konstitusi di-mak sudkan untuk membatasi pemerintahan) ( K.C. Wheare, 1975:7). Oleh karena itu, pembatasan kekuasaan tersebut diperlu-kan untuk mencegah perbuatan pemerintah secara sewenang-we-nang ( detournemet de pouvoir).

Walter F. Murphy (Jimly Asshiddiqie, 2006:33−34) mengemu-kakan paling tidak ada empat fungsi konstitusi, yaitu:

a. Sebagai teks otoritatif − yang walaupun kadang retorik, kos metik – yang mendorong rakyat untuk memperbaharui ke puasan diri mereka.

b. Sebagai suatu carter pemerintahan (as a charter of go-vern ment), yang memberikan sketsa fundamental cara berjalannya pemerintahan yang legitimate, siapa pejabat-nya, bagaimana cara memilihpejabat-nya, berapa lama periodenya dan bagaimana kewenangan antarmereka.

c. Sebagai pengawal hak-hak dasar (as a guardian of fun da-mental right).

d. Sebagai kontrak, simbol dan aspirasi (as covenant, sym-bol and aspiration) dan rakyat setuju untuk mentrans-formasikan diri mereka ke dalam sebuah bangsa.

Konstitusi mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu pertama, hubungan antara pemerintah dengan warga negara, dan kedua hubungan antarlembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Oleh karena itu konstitusi mengatur tiga hal penting (Hamdan Zoelva, 2011:22), yaitu:

a. Menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara

b. Mengatur hubungan antara lembaga negara yang satu dengan yang lain

c. Mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara

Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai kon stitusi atau UUD. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lain (Sri Soemantri, 1987:1−2). Adapun alasan per lu nya suatu negara memiliki UUD menurut Bryce (Toto Pandoyo, 1981:49), antara lain:

a. Adanya kehendak para warga negara dari negara yang ber-sangkutan agar terjamin hak-haknya dan bertujuan untuk mem-batasi tin dakan-tindakan penguasa negara.

b. Adanya kehendak dari penguasa negara atau rakyatnya untuk menjamin agar terdapat pola atau sistem tertentu pemerintah negaranya.

c. Adanya kehendak para pembentuk negara baru tersebut agar terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan ketata nega-raan.

d. Adanya kehendak dari beberapa negara yang masing-masing se mula berdiri sendiri, untuk menjalin kerjasama.

Pada umumnya, semua negara mempunyai konstitusi atau Undang-undang Dasar. Bahkan cukup banyak terjadi penyusunan suatu konstitusi dilakukan sebelum suatu negara terbentuk. De ngan begitu, dapat dikatakan bahwa negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain (Sri Soemantri, 1987:2). Bangsa Indonesa sendiri ketika akan “memperoleh” kemerdekaan dan setelah dibentuknya BPU-PKI telah pula mempersiapkan Undang-undang Dasar. Hal ini dibahas dalam sidang-sidangnya dari tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945 dan dari tanggal 10 Juli 1945 sampai 27 Juli 1945 (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998:400−421).

Menurut pakar hukum tata negara Belanda, J.H.A. Logemann, negara adalah organisasi kekuasaan ( machts organisatie). Oleh karena itu, dalam setiap negara akan selalu terdapat adanya pusat-pusat kekuasaan, baik yang terdapat dalam pusat-pusat kekuasaan, baik yang terdapat dalam infrastruktur politik maupun supratruktur politik (Sri Soemantri, 1993:91). Pusat-pusat kekuasaan tersebut jelas mempunyai kekuasaan, artinya mempunyai kemampuan memaksakan kehendaknya kepada pihak lain atau mempunyai kemampuan mengendalikan pihak lain. Seperti diketahui bahwa setiap kekuasaan cenderung disalahgunakan oleh yang meme-gangnya, memaksa mereka yang terlibat dalam usaha ber di-rinya negara untuk mencari jalan keluar, dengan cara bagai-mana penyalahgunaan kekuasaan itu sekurang-kurangnya dapat dibatasi dan dicegah. Para pendiri Negara Kesatuan Repu-blik Indonesia, sepakat bahwa untuk mencegah terjadinya pe-nyalahgunaan kekuasaan, harus diadakan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Undang-Undang Dasar atau konstitusi sebagai bagian dari hukum dasar, harus diciptakan untuk men cegah penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam sistem pemerintahan presidensial yang diadopsi Un-dang-Undang Dasar 1945 menurut Jimly Asshiddiqie(2011:125) memiliki lima prinsip penting, yaitu:

1. Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi pe-nyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di bawah undang-undang

2. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara lang-sung dan karena itu secara politik tidak bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga par lemen, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilih

3. Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan per-tang gungjawaban secara hukum apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi

4. Para menteri adalah pembantu Presiden

5. Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem Presidensil sangat kuat sesuai dengan kebu-tuhan untuk menjamin stabilitas pemerintah, ditentukan pula masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh di-jabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa di-jabatan Kelima ciri tersebut merupakan ciri sistem pemerintahan pre-sidensial yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 hasil per-ubahan.

Implementasi konstitusi tidak selalu seperti ketentuan tekstual yang ada. Praktik berkonstitusi ditentukan oleh beragam faktor. Kekuatan-kekuatan politik yang dominan akan mewarnai pe-lak sanaan konstitusi, seperti dalam legislasi di parlemen dan im plementasinya oleh birokrasi. Konstitusi tidak bekerja atau diterapkan di ruang hampa, sebagaimana ia memang tidak di-rumuskan atau datang secara tiba-tiba (Mohammad Fajrul Fa-laakh, 2006:99).

Menurut eks-Penjelasan UUD 1945, memahami konstitusi tidak cukup hanya memahami teks pasal-pasal UUD, namun harus memahami pula cara terjadinya teks, keterangan-ke te-rangan terhadap teks, suasana kebatinan (geistlichen Hinter-grund), praktik konstitusi dan aliran yang mendasari UUD. K.C. Wheare mengatakan “constitutions, when they are framed and adopted, tend to refl ect the dominant beliefs and interest, or some compromise between confl icting beliefs and interest, which are characteristic of the society at the time.” (1975:75). Keya-kinan dan kepentingan yang dominan dapat mendasari atau

merupakan konteks perumusan konstitusi, sedangkan kompromi me warnai cara merumuskan teks-teks konstitusi (Fajrul Falaakh, 2006:99−100).

Dalam dokumen Hubungan Eksekutiv-Legislativ 2009-2014 (Halaman 34-38)

Dokumen terkait