• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses konstruksi yang berlangsung secara mapan dan lama inilah yang mengakibatkan masyarakat kita sulit untuk membedakan apakah sifat-sifat gender

tersebut dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan dari Tuhan. Namun, Mansour Fakih menegaskan bahwa setiap sifat melekat pada jenis kelamin tertentun dan sepanjang sifat itu bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat. (Fakih, 1999 : 10)

Menurut Wijaya, keberadaan konstruksi sosial gender yang berlangsung dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain :

1. Adat kebiasaan 2. Kultur

3. Lingkuan dan pranata membesarkan dan mendidik anak

4. Lingkungan dan pranata gender, diferensiasi (perbedaan gender) 5. Struktur yang berlaku

6. Kekuasaan

Dari beberapa hal diatas, kemudian terjadi pembentukan stereotype yaitu pelabelan atau penandaan yang dilekatkan pada jenis kelamin, antara lain stereotype laki-laki adalah amskulinitas dan perempuan adalah feminitas. Secara objektif terdapat butir-butir stereotype maskulin yang bernilai positif, yaitu mandiri, agresif, tidak emosional, sangat objektif, tidak mudah dipengaruhi, aktif, lugas, logis, tahu bagaimana bertindak, tegar, pandai membuat keputusan, percaya

diri, ambisius, dan sebagainya. Dan terdapat pula butir-butir stereotype feminine yang bernilai positif seperti tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka terhadap perasaan orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya (Wijaya, 1991 : 156-157).

Stereotype gender adalah keyakinan yang membedakan sifat dan kemampuan antara peran perempuan dan laki-laki untuk peren-peren yang berbeda. Gender sebagai konsep merupakan hasil pemikiran atau hasil rekayasa manusia, sehingga sama sekali tidak bisa disebut sebagai kodrat Tuhan karena sifat-sifat yang ada didalamnya bisa dipertukarkan. (Fakih, 1999 : 72)

2.1.9 Representasi

Menurut John Fiske, yang dimaksud dengan representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya (Fiske, 2004 : 282)

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia yakni dialog, tulisan, video, film, fotografi dan sebagainya. Konsep representasi bisa perubahan ada pemakaian baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri Juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru.

Intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, dan produksi, lewat proses representasi. la adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (Juliastuti; 2000 dalam http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam 'bahasa' yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah media yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena la. beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu.

Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan

image-image yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan: darimana suatu makna berasal ? bagaimana kita

membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau suatu image dari sesuatu ? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai. (http://www.fathurin-zen.com)

Menurut Stuart Hall, ada dan proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konser, tentang `sesuatu' yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, `bahasa', yang berperan penting dalam proses konstruksi makna.

Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam `bahasa' yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem `peta konseptual' kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara `peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara 'sesuatu'. `peta konseptual' dan `bahasa/simhol' adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa (http://www.fathurin-zen.com)

Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu objek yang ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda-tanda. Tanda-tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsure sebuah film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga music. Tanda dan unsure-unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya sehingga makna dibalik tanda tersebut dapat diungkap.

Konsep representasi bisa berubah-ubah selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna akan inheren dalam suatu dunia ini, ia selalu di konstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.

Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditujukan dalam media massa (Eriyanto, 2001 : 113). Dalam Film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar, cara bercerita, scenario, penikohan, dialog dan beberapa unsure lain didalamnya.

Menurut Graeme Turner (1991 : 128), makna film sebagai representasi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi ada ideology kebudayaannya. (Irawanto, 1999 : 15)

2.1.10Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion, yang berarti tanda (Sobur, 2006 : 15). Studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika (Fiske, 2006 : 60).

Oleh Saussure, ilmu tentang tanda dinamainya semiology, sementara oleh Peirce, yang lebih berkembang di Amerika, menghadirkannya dalam peristilahan semiotic. Keduanya merujuk pada kata semiion dalam bahasa Yunani yang berarti tanda Saussure (1974 dalam Kress & Hodge, 1988 : 1) mendaulat semiology sebagai, “the science of the life of signs in society,” sementara Peirce sendiri, mendefinisikan semiotic sebagai, “is something which stands tom somebody for something in some respect or capacity.” (Pateda, 2001 dalam Sobur, 2004 : 41).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda - tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur, 2003 : 15). Pada dasarnya semiotika hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate), dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda (Barthes dalam Alex Sobur, 2003 : 15).

Didalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua. induk yang memiliki dua tradisi dasar berbeda. Pertama, Charles Sanders Pierce, seorang ahli

filsuf yang hidup di peralihan abad lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Pierce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia.

Teori Pierce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika (Budiman, 2005 : 33). Disisi lain, kedua terdapat pula tradisi semiotik yang dibangun berdasarkan teori kebahasaan Ferdinand de Saussure (1857-1973) sebagai seorang sarjana linguistic di Perancis. Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat. Akan tetapi bagian di psikologi sosial, sebagai konsekuensinya, psikologi general. Dan diberi nama semilogi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya (Saussure, 1966 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35).

Semiotika mempunyai tiga bidang studi nama, yaitu : (Fiske dalam buku terjemahan Iriantara dan Subandy, 2007 : 60)

1. Tanda itu sendiri. Hat ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau system yang mengorganisasikan tanda Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini giliranya bergantung pada pengguna kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

2.1.11Shot

Para pembuat film mempergunakan amat banyak istilah dalam hubungan dengan Shot, factor-faktornya yaitu jarak focus, sudut pengambilan, gerak dengan sudut pandang. Shot normal meliputi : Full Shot (shot keseluruhan), shot tiga seperempat, shot menengah (medium shot). Semuanya dirumuskan menurut jumlah bagian dari subyek yang tampak close up, long shot, extreme shot melengkapi lingkungan bebagai jarak.

Shot adalah kata-kataa dalam film, adegan sama dengan kalimat, dengan scene merupakan paragraph. Dengan pengertian peraangkat pembagian ini disusun sesuai dengan urutan meningkat. Shot secara teknis dapat dirumuskan dengan cukup baik sebagai sepotong film.

Sebuah shot bisa berisi informasi sebanyak yang mau kita baca didalamnya dengan satuan-satuan manapun yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri. Dalam hal ini shot yang ada dalam penelitian ini meliputi shot atau pengambilan gambar dari tokoh utama Mae (Nirina Zubir). (Monaco, 1977 : 156)

Dokumen terkait