• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : Kajian Pustaka

C. Konstruksi Sosial

Teori kontruksi sosial pertama dicetuskan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman. Peter Ludwing Berger biasa disebut Berger. Berger dilahirkan tahun 1929 di Vienna Austria, ia menjadi professor madya di Seminari Teologi Harford pada tahun 1958, selanjutnya berkarir dan menjadi professor muda di Amerika Serikat dan Universitas Nort Carolina pada tahun 1956 hingga 1958. Ia banyak berkarir dibidang Akademik yang mana tonggaknya sebagai Profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers dan Boston College. Sementara Thomas Luckman merupakan sosiolog dari University of Frankfrut. Teori konstruksi sosial ini, sosiologi pengetahuan merupakan rumusan yang dijadikan sebagai kajian teoritis oleh Berger dan Luckman.

Penjelasan tentang paradigma konstruktivis, tidak jauh dari realitas sosial yang merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia yang melakukan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Pemikiran yang digagas oleh kedua akademisi ini adalah proses pembentukan perspektif fenomenologi. Konstruksi sosial atas realitas (sosial contruction of reality) dapat diartikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi di mana individu menciptakan secara berlangsung suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara

55

subjektif.56 Yang mana dapat diartikan oleh setiap orang terhadap lingkungan dan aspek di luar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi dan objektivasi. Berger dan Luckman menyatakan pemikiran masyarakat tercipta dan dipertahankan melalui tindakan dan interaksi manusia. Meski masyarakat sosial terlihat nyata secara menyeluruh, namun pada nyatanya semua dibangun secara subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang sama dalam hal pemikiran.57

Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran yang terlampau bebas dalam memberikan pemaknaan kepada kenyataan yang dihadapinya. Kesadaran manusia ini memaknai dirinya dan objek-objek dalam kehidupannya berdasarkan sifat-sifat yang didapatnya atau sensasi yang dialaminya saat berhubungan dengan objek tersebut. Tetapi dalam kehidupan manusia yang setiap saat merasakan sensasi karena terus berhubungan dengan objek di luar dirinya, dapat dibayangkan bagaimana makna-makna akan terus mengalir dalam kesadarannya. Kesadaran manusia tidak memiliki arah, dan sifat dari kesadarannya ini mengutuknya ke dalam ketidakpastian dan ketidaktenteraman.58

Di dalam dunia yang diliputi ketidakpastian ini, manusia merupakan makhluk yang secara instingtual berorientasi pragmatis dalam mencari keamanan untuk hidupnya. Ketika tindakan manusia dirasakan bisa memenuhi salah satu kebutuhan mendasarnya maka manusia akan terus mengulang tindakan tersebut dan menjadikannya sebuah kebiasaan. Sebuah kebiasaan dapat melindungi

56 Poloma, Sosiologi Kontemporer. 301

57

Bagus Maulana Al-Jauhar, Ali Imron, Konstruksi Masyarakat Terhadap Mantan

Narapidana Paradigma, 1 (2014). 14

58 Geger Riyanto, Peter L. Berger Perspektif Matateori Pemikiran (Pustaka LP#S

manusia dari ketidakpastian. Apabila bagi manusia tindakan yang sudah dibiasakannya itu sudah memberikannya kenyamanan maka dia tidak harus melakukan tindakan lain. Pada dasarnya, bagi manusia memilih lagi atau mencoba hal baru adalah tindakan yang menakutkan, sementara rutinitas menyediakan kenyamanan psikologis bagi manusia.

Dalam kehidupan sosialnya, kecenderungan manusia untuk memenuhi tindakannya inilah yang mengawali terbentuknya institusi. Institusi dalam kesadaran manusia terasa sebagai sesuatu yang hadir di luar manusia sebagaimana ia ada. Kesadaran manusia bersifat caterogical imperative, atau selalu berusaha mengolah pergerakan dan dinamika dari segala objek yang dipersepsikannya untuk menemukan kaidah atau hukum yang berada dibaliknya. Tindakan sekelompok manusia yang terpola dan berulang-ulang menimbulkan kesan pada kesadaran manusia bahwa itulah hukum yang tetap. Pada tahapan ini, tindakan-tindakan yang dijalankan manusia tersebut mengalami objektivitas dalam kesadaran mereka yang mempersepsikannya.59

Berger mengabstraksikan proses pembentukan institusi ini sebagai proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Dialektika di antara manusia dan masyarakat terjadi melalui tiga proses, dua diantaranya adalah eksternalisasi dan objektivasi.

1. Dalam proses eksternalisasi, mula-mula sekelompok manusia menjalankan sejumlah tindakan. Bila tindakan tersebut dirasa tepat dan berhasil menyelesaikan persoalan mereka bersama pada saat itu maka tindakan

59

tersebut akan diulang-ulang.

2. Tahapan objektivasi, di mana sebuah institusi menjadi realitas yang objektif setelah melalui proses ini. Setelah tindakan-tindakan itu mengalami pengulangan yang konsisten, kesadaran logis manusia akan merumuskan bahwa fakta tersebut terjadi karena ada kaidah yang mengaturnya.

3. Melalui tahapan internalisasi, manusia menjadi produk dari pada (dibentuk oleh) masyarakat. Internalisasi memiliki fungsi mentransmisikan institusi sebagai realitas yang berdiri sendiri terutama kepada anggota-anggota masyarakat baru, agar institusi tersebut tetap dapat dipertahankan dari waktu ke waktu meskipun anggota masyarakat yang mengonsepsikan institusi sosial itu sendiri juga terus mengalami internalisasi, agar status objektivitas sebuah institusi dalam kesadaran mereka tetap kukuh.

Ketiga proses ini menjadi siklus dialektis dalam hubungan antara manusia dan masyarakat. Manusia membentuk masyarakat, namun kemudian manusia balik dibentuk oleh masyarakat. Internalisasi terjadi melalui mekanisme sosialisasi. Dalam hal ini, Berger mengikuti teori Mead dalam aliran interaksionisme simbolik. Manusia hidup dalam institusi yang mengatur posisinya dan posisi ego-ego lain. Prilaku dan tindakan manusia di tengah konteks sosialnya menunjukkan perannya. Karena itu, prilaku manusia di tengah konteks sosialnya selalu bersifat simbolik, merujuk kepada sebuah pesan atau makna. Seorang manusia yang belum mengenal kaidah-kaidah atau tatanan dari sebuah institusi bisa mempelajarinya melalui tindakan atau prilaku ego-ego lain yang sifatnya

simbolik.60

Melalui internalisasi, realitas sosial yang objektif di luar manusia (sebagai institusi) menjadi realitas yang juga objektif di dalam manusia (sebagai bagian dari kesadaran). Melalui internalisasi, realitas sosial menjadi sesuatu yang diterima tanpa dipersoalkan bagi manusia. Masyarakat sebagai realitas sosial, diterima begitu saja sebagai fakta yang berada di luar diri manusia. Tetapi menurut Berger, sosialisasi tidak pernah sempurna. Institusi yang diwariskan kepada anggota-anggota baru selalu dapat dipertanyatakan ulang, karena anggota baru mungkin sadar bahwa situasi kehidupan mereka berbeda dengan situasi yang dihadapi oleh anggota lama. Mereka tidak memiliki kesadaran kolektif seperti yang dimiliki generasi sebelumnya, sehingga mereka melihat bahwa persoalan dalam kehidupan mereka berbeda dengan persoalan di masa lalu. Bahkan bagi anggota lama yang memiliki pengetahuan yang lebih luas misal karena pernah berhubungan dengan institusi lain yang memahami dan menyelesaikan persoalannya secara berbeda realitas yang pernah dikonsepsikannya itu dapat dipersoalkan olehnya sendiri.

Untuk mempertahankannya, sebuah institusi harus dilandasi legitimasi. Legitimasi meletakkan penjelasan berdasarkan pembuktian logis mengenai relevansi dari sebuah institusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyoal institusi tersebut, saat institusi itu mulai dirasa kurang atau tidak relevan dalam menjawab persoalan-persoalan yang timbul. Legitimasi merupakan upaya manusia dalam merumuskannya, upaya yang mengobjektivasi institusi dengan

60

memberikannya status ontologis dan epistemologis. Legitimasi adalah proses objektivasi kedua setelah objektivasi pertama terjadi pada saat institusionalisasi.61

Terdapat empat tingkatan legitimasi. Semakin tinggi tingkatannya menunjukkan bahwa legitimasi tersebut semakin koheren dan teoritis sifatnya. Tingkatan pertama dari legitimasi adalah bahasa. Bahasa merupakan representasi dari pada realitas yang paling mendasar. Ketika teks-teks diucapkan atau ditulis, teks langsung menimbulkan bayangan akan objek yang dirujuknya pada orang yang membacanya tanpa perlu ditanyakan lagi mengapa objek tersebut dinamakan demikian. Tingkatan kedua dari legitimasi adalah proposisi kasar, memberikan penjelasan tentang akibat yang dimungkinkan dari tindakan konkret. Legitimasi tingkat ketiga adalah teori yang dirumuskan oleh anggota masyarakat yang dianggap fasih akan hal-hal terkait.62

Dokumen terkait