• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.6.1. Pengertian Konsumsi

Secara umum konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Sementara itu konsumen adalah pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pengeluaran konsumsi terdiri atas konsumsi pemerintah (government

consumption) dan konsumsi rumah tangga/masyarakat (household

consumption/private consumption). Penelitian ini memfokuskan pada pengeluaran konsumsi rumah tangga sebab pengeluaran konsumsi rumah tangga memiliki porsi terbesar dalam total pengeluaran agregat sehingga mempunyai pengaruh yang sangat besar pula terhadap stabilitas perekonomian.

Berbeda dengan konsumsi pemerintah yang bersifat eksogenus, konsumsi rumah tangga bersifat endogenus, artinya besarnya konsumsi rumah tangga berkaitan erat dengan faktor-faktor lain yang dianggap mempengaruhinya (Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, 2002)

Perkembangan masyarakat yang begitu cepat menyebabkan perilaku-perilaku konsumsi juga berubah cepat. Hal ini merupakan salah satu alasan yang membuat studi tentang konsumsi rumah tangga tetap relevan.

Konsumsi merupakan pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas

makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi atau digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dinamakan barang konsumsi (Dumairy, 2004).

Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan di antar tingkat konsumsi rumah tangga dalam perekonomian dengan pendapatan nasional (pendapatan disposibel) perekonomian tersebut. Fungsi konsumsi dapat dinyatakan dalam persamaan:

C = a + bY ... (2.2) Dimana a adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah nol, b adalah kecondongan konsumsi marginal, C adalah tingkat konsumsi dan Y adalah tingkat pendapatan nasional.

Konsep untuk mengetahui sifat hubungan antara pendapatan disposibel dengan konsumsi dan pendapatan disposibel dengan tabungan ada dua yaitu yaitu konsep kecondongan mengkonsumsi dan kecondongan menabung.

Kecondongan mengkonsumsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu kecondongan mengkonsumsi marginal dan kecondongan mengkonsumsi rata-rata. Kecondongan mengkonsumsi marginal dapat dinyatakan sebagai MPC (Marginal Propensity to Consume), dapat didefenisikan sebagai perbandingan di antara pertambahan konsumsi (∆C) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan disposibel (∆Yd) yang diperoleh.

Nilai MPC dapat dihitung dengan menggunakan formula : MPC =

∆Yd

Kecondongan mengkonsumsi rata-rata dinyatakan dengan APC (Average Propensity to Consume), dapat didefenisikan sebagai perbandingan di antara tingkat pengeluaran konsumsi (C) dengan tingkat pendapatan disposibel pada ketika konsumsi tersebut dilakukan (Yd).

Nilai APC dapat dihitung dengan menggunakan formula: APC =

Yd C

2.6.2. Faktor-Fakor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi

Ada banyak faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga, faktor-faktor tersebut secara garis besar adalah:

a. Faktor-Faktor Ekonomi

1. Pendapatan rumah tangga (household income)

Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Pada umumnya semakin tinggi tingkat pendapatan maka tingkat konsumsi akan semakin tinggi pula karena ketika tingkat pendapatan meningkat kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi makin besar. Kemungkinan besar juga pola hidup menjadi semakin konsumtif, atau setidak-tidaknya ada tuntutan untuk kualitas hidup yang lebih baik.

2. Kekayaan rumah tangga (household wealth)

Yang termasuk dalam pengertian kekayaan rumah tangga adalah kekayaan riil (misalnya rumah, tanah, dan mobil) dan kekayaan finansial (seperti deposito berjangka, saham, cek, dan surat-surat berharga lainnya). Kekayaan-kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi

karena menambahkan pendapatan yang disposabel. Contohnya dalam hal ini, bunga deposito yang diterima tiap bulan dan deviden yang diterima setiap tahun menambah pendapatan rumah tangga. Demikian juga rumah, tanah, dan mobil yang disewakan akan menambah pendapatan rumah tangga. Penghasilan-penghasilan yang demikian disebut sebagai penghasilan nonupah (non wages income). Sebagian dari tambahan penghasilan tersebut akan dipakai sebagai konsumsi, dan tentunya akan meningkatkan pengeluaran konsumsi.

3. Tingkat bunga (interest rate)

Tingkat bunga yang tinggi dapat mengerem keinginan konsumsi, baik dilihat dari sisi keluarga yang memiliki kelebihan uang maupun yang kekurangan uang. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi (opportunity cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin mahal. Bagi mereka yang ingin mengonsumsi dengan berutang dulu, misalnya dengan meminjam dari bank atau menggunakan fasilitas kartu kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik menunda/mengurangi konsumsi. Sama halnya dengan mereka yang memiliki banyak uang, jika tingkat bunga tinggi menyebabkan menyimpan uang di bank terasa lebih menguntungkan ketimbang dihabiskan untuk konsumsi. Sebaliknya jika tingkat bunga rendah, bagi keluarga kaya menyimpan uang di bank menyebabkan ongkos menunda konsumsi terasa lebih besar. Sementara bagi keluarga yang kurang mampu biaya meminjam yang menjadi lebih rendah akan meningkatkan keberanian dan gairah konsumsi.

4. Perkiraan tentang masa depan (household ekspectation about the future) Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin baik, mereka akan merasa lebih leluasa untuk melakukan konsumsi, maka pengeluaran konsumsi cenderung meningkat. Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin jelek, merekapun berusaha menekan pengeluaran konsumsi.

Faktor-faktor internal yang dipergunakan untuk memperkirakan prospek masa depan rumah tangga antara lain adalah: apakah orang tua yakin akan tetap mendapat pekerjaan? Apakah penghasilan dan karir mereka akan meningkat? Berapa banyak anggota keluarga yang telah dan akan bekerja? Berapa penghasilan/gaji mereka?

Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi prediksi rumah tangga tentang masa depannya antara lain kondisi perekonomian domestik dan internasional, jenis-jenis dan arah kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah.

b. Faktor-Faktor Demografi (Kependudukan) 1. Jumlah penduduk

Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, meskipun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relatif rendah. Contohnya, walaupun tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia lebih rendah daripada penduduk Singapura, tetapi secara absolut tingkat pengeluaran konsumsi Indonesia lebih besar daripada Singapura karena jumlah penduduk Indonesia sangat jauh lebih banyak bibandingkan dengan penduduk Singapura. Pengeluaran

konsumsi suatu negara akan sangat besar bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan per kapita sangat tinggi

2. Komposisi penduduk

Komposisi penduduk suatu negara dapat dilihat dari beberapa klasifikasi, diantaranya: usia (produktif dan tidak produktif), pendidikan (rendah, menengah, tinggi), dan wilayah tinggal (perkotaan dan pedesaan). Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi secara sederhana dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Makin banyak penduduk yang berusia kerja atau usia produktif (15-64 tahun), makin besar tingkat konsumsi, terutama bila sebagian besar dari mereka mendapatkan kesempatan kerja yang tinggi, dengan upah yang wajar atau baik sebab makin banyak penduduk yang bekerja maka penghasilan juga makin besar. 2. Makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, tingkat konsumsinya

juga makin tinggi sebab pada saat seseorang/suatu keluarga semakin berpendidikan tinggi kebutuhan hidupnya juga semakin banyak. Mereka tidak hanya sekedar harus memenuhi kebutuhan akan makanan dan minuman, melainkan juga kebutuhan informasi, pergaulan masyarakat yang lebih baik, serta kebutuhan akan pengakuan orang lain terhadap keberadaannya (eksistensinya). Biasanya biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan ini jauh lebih tinggi daripada biaya pemenuhan untuk kebutuhan makanan dan minuman.

3. Makin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban), pengeluaran konsumsi juga makin besar sebab pada umumnya pola hidup masyarakat perkotaan lebih konsumtif dibandingkan dengan masyarakat pedesaan.

c. Faktor-Faktor Non-Ekonomi

Faktor-faktor non-ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat. Sebagai contoh, berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat (tipe ideal). Contoh paling kongkret di negara kita adalah berubahnya kebiasaan berbelanja dari pasar tradisional ke pasar swalayan. Demikian pula dengan kebiasaan makan, dari makan masakan yang tersedia di rumah menjadi kebiasaan makan di restoran atau di pusat-pusat jajanan yang menyediakan makanan siap saji (fast food). Contoh lain, sekarang ini rumah bukan hanya sekedar tempat berlindung dari panas dan hujan, melainkan juga merupakan ekspresi dari keberadaan diri, maka tak heran bila ada keluarga yang mengeluarkan uang ratusan juta bahkan miliaran rupiah untuk membeli atau membuat rumah idaman.

Pada prakteknya sulit memilah-milah faktor apa yang mempengaruhi apa sehingga menyebabkan terjadinya perubahan/peningkatan konsumsi. Dikatakan sulit karena ketiga faktor diatas saling berkaitan erat dan saling mempengaruhi

2.6.3. Teori-Teori Konsumsi

A. Teori Keynes (Keynesian Consumption Model)

Sedikitnya ada empat teori konsumsi yang perlu dipelajari untuk dapat mengikuti perkembangan teori-teori mutakhir, salah satu diantaranya adalah teori yang diajukan John Maynard Keynes yang biasa disebut dengan Teori Keynes tentang konsumsi (Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, 2002)

a. Hubungan Pendapatan Disposabel dan konsumsi

Keynes menjelaskan bahwa konsumsi saat ini (current consumption) sangat dipengaruhi oleh pendapatan disposabel saat ini (current disposable income). Menurut Keynes ada batas konsumsi minimal yang tidak tergantung tingkat pendapatan. Artinya tingkat konsumsi tersebut harus dipenuhi walaupun tingkat pendapatan sama dengan nol. Itulah yang disebut dengan konsumsi otonomus (autonomous consumption). Jika pendapatan disposabel meningkat maka konsumsi juga akan meningkat, hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan disposable.

C = Co + b Yd ……… (2.1)

Dimana:

C = konsumsi

Co = konsumsi otonomus

B = marginal propensity to consume (MPC) atau kecenderungan

mengonsumsi marginal Yd = pendapatan disposable 0 < b < 1

Koefisien parameter b adalah MPC.

Sebagai contoh diperlihatkan dalam tabel 2.1. di bawah ini:

Tabel 2.3. Hubungan Antara Pendapatan Disposabel dan Konsumsi

Pendapatan Disposabel Konsumsi Δ Pendapatan Disposabel Δ Konsumsi 0 500 1000 1500 2000 2500 100 500 900 1300 1700 2100 - 500 500 500 500 500 - 400 400 400 400 400

Sumber: Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar, Manurung Mandala

Pada saat tingkat pendapatan disposable sama dengan nol, tingkat konsumsi adalah 100. Hal ini berarti bahwa konsumsi minimal (autonomous

consumption) sama dengan 100. Ketika pendapatan disposabel meningkat

menjadi 500, 1000, 1500, 2000, dan seterusnya konsumsi juga meningkat menjadi 500, 900, 1300, 1700 dan seterusnya. Kenaikan konsumsi tersebut disebabkan setiap 500 unit kenaikan pendapatan disposabel, sebanyak 400 digunakan untuk tambahan konsumsi. Terlihat bahwa tambahan konsumsi tidak sebesar tambahan pendapatan disposabel. Tingkat pendapatan 500 merupakan tingkat pendapatan minimal agar rumah tangga mampu membiayai seluruh konsumsinya tanpa harus mengorek tabungan.

b. Kecenderungan Mengonsumsi Marjinal (Marginal Propensity to Consume) Kecenderungan Mengonsumsi Marjinal (Marginal Propensity to Consume) atau MPC adalah konsep yang memberikan gambaran tentang berapa konsumsi akan bertambah bila pendapatan disposabel bertambah satu unit

MPC = ӘC……… (2.2)

Seperti pada penjelasan Tabel 2.1., jumlah tambahan konsumsi tidak akan lebih besar daripada tambahan pendapatan disposabel, sehingga angka MPC tidak akan lebih besar dari satu. Angka MPC juga tidak mungkin negatif, dimana jika pendapatan disposabel terus meningkat, konsumsi terus menurun sampai nol (tidak ada konsumsi). Karena manusia tidak mungkin hidup di bawah batas konsumsi minimal maka 0 < MPC < 1.

MPC akan semakin kecil pada saat pendapatan disposabel meningkat. Pertambahan konsumsi semakin menurun bila pendapatan disposabel terus meningkat.

B. Teori dengan Hipotesis Pendapatan Permanen

Teori dengan hipotesis pendapatan permanen dikemukakan oleh Milton Friedman. Menurut teori ini pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi dua yaitu pendapatan permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory income).

Pengertian pendapatan permanen adalah :

1. Pendapatan yang selalu diterima pada setiap periode tertentu dan dapat diperkirakan sebelumnya, misalnya pendapatan dari gaji, upah.

2. Pendapatan yang diperoleh dari semua faktor yang menentukan kekayaan seseorang (yang menciptakan kekayaan).

Pengertian pendapatan sementara adalah pendapatan yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya (Mangkoesoebroto, 1998). Friedman menganggap pula bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan sementara dengan pendapatan permanen, juga antara konsumsi sementara dengan konsumsi permanen, maupun konsumsi sementara dengan pendapatan sementara.

C. Teori dengan Hipotesis Siklus Hidup

Teori dengan hipotesis siklus hidup dikemukakan oleh Franco Mondigliani. Franco Mondigliani menerangkan bahwa pola pengeluaran konsumsi masyarakat mendasarkan kepada kenyataan bahwa pola penerimaan dan pola pengeluaran konsumsi seseorang pada umumnya dipengaruhi oleh masa dalam siklus hidupnya. Karena orang cenderung menerima penghasilan/pendapatan yang rendah pada usia muda, tinggi pada usia menengah dan rendah pada usia tua, maka rasio tabungan akan berfluktuasi sejalan dengan perkembangan umur mereka yaitu orang muda akan mempunyai tabungan negatif (disaving), orang berumur menengah menabung dan membayar kembali pinjaman pada masa muda mereka, dan orang usia tua akan mengambil tabungan yang dibuatnya di masa usia menengah.

Selanjutnya Mondigliani menganggap penting peranan kekayaan (assets) sebagai penentu tingkah laku konsumsi. Konsumsi akan meningkat apabila terjadi kenaikan nilai kekayaan seperti karena adanya inflasi maka nilai rumah dan tanah meningkat, karena adanya kenaikan harga surat-surat berharga, atau karena peningkatan dalam jumlah uang yang beredar. Akhirnya hipotesis siklus kehidupan ini akan menekan hasrat konsumsi, menekan koefisien pengganda, dan melindungi perekonomian dari perubahan-perubahan yang tidak diharapkan, seperti perubahan dalam investasi, ekspor, maupun pengeluaran-pengeluaran lain (Suparmoko, 2001).

D. Teori dengan Hipotesis Pendapatan Relatif

James Dusenberry dalam Reksoprayitno (2000) mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama oleh tingginya pendapatan yang pernah dicapainya. Pendapatan berkurang, konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluaran untuk konsumsi. Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, terpaksa mengurangi besarnya saving.

Kenyataan ini terus kita jumpai sampai tingkat pendapatan tertinggi yang telah kita capai tercapai kembali. Sesudah puncak dari pendapatan sebelumnya telah dilalui, maka tambahan pendapatan akan banyak menyebabkan bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi, sedangkan di lain pihak bertambahnya saving tidak begitu cepat (Reksoprayitno, 2000). Dalam teorinya, Dusenberry dalam Reksoprayitno (2000) menggunakan dua asumsi yaitu:

1. Selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran yang dilakukan oleh orang sekitarnya.

2. Pengeluaran konsumsi adalah irreversibel. Artinya pola pengeluaran seseorang pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami penurunan.

Dokumen terkait