• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian

5.1. Konsumsi Makanan Anak Balita

5.1.1. Konsumsi Makanan Menurut Jenis Makanan

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa jenis makanan pokok yang dikonsumsi oleh semua anak balita adalah beras/ nasi. Pola pangan untuk pangan pokok dapat menggambarkan salah satu ciri dari kebiasaan makan dan bisa juga diartikan bahwa cara seseorang atau sekelompok untuk memilih makanan juga sangat diperoleh oleh produksi dan ketersedian pangan setempat. Ini dapat diketahui bahwa dalam memenuhi kebutuhan makanan pokok terutama beras Kecamatan Sorkam Barat masih sangat mudah diperoleh yaitu dimana sebagian kecil penduduknya mata pencahariannya adalah bertani.

Menurut Khumaidi (1994) bahwa pola makan masyarakat di Indonesia pada umumnya diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang diproduksi di daerah setempat, sehingga pola makan dapat memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan mempunyai ciri khas untu suatu kelompok masyarakat tertentu.

Jenis makanan protein hewani lebih sering mengkonsumsi ikan basah, hal ini disebabkan karena daerah Kecamatan Sorkam Barat masyarakatnya sebagian besar dengan mata pencaharian nelayan sehingga untuk mendapatkan ikan lebih mudah. Untuk protein nabati yang dikonsumsi adalah tempe, tahu dan telur, didapatkan masyarakat harus membelinya terlebih dahulu. Untuk jenis sayuran yang paling sering dikonsumsi yaitu sayur daun ubi, kangkung, bayam dan buncis. Bahkan ada

anak yang hanya mengkonsumsi satu jenis sayuran saja misalnya daun ubi. Menurut Moehji (2003) lazimnya anak-anak kurang menyukai sayuran dalam makanan, untuk itu ibu penting dalam kebiasaan memilih bahan makanan yang baik pada usia ini, dalam hal ini ibu harus bertindak sedemikian rupa untuk mengajak memakan bahan- bahan yang berfaedah.

Dari jenis buah-buahan yang diambil dalam penelitian ini yaitu pepaya, pisang, jambu dan jeruk, yang paling jarang dikonsumsi adalah jeruk. Karena untuk mengkonsumsi jeruk mereka harus membelinya terlebih dahulu, sedangkan pepaya, pisang dan jambu mereka dapat dengan memetik di kebun mereka. Untuk jajanan yang dikonsumsi biskuit, kue, dan ini diperoleh dari membelinya terlebih dahulu serta juga didapatkan pada waktu pemberian makanan tambahan di Posyandu. Untuk minuman susu dan syrup juga diperoleh dengan membelinya terlebih dahulu itupun kalau lagi banyak uang.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Fauziah (2009) yang menyatakan bahwa pola konsumsi pangan sangat mempengaruhi status gizi anak balita yang tinggal di daerah rawan pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Dapat dilihat diatas pola konsumsi makan anak balita penderita gizi kurang berdasarkan jenis dan frekuensi makan masih kurang bervariasi, kurang mengetahui tentang makanan bergizi, hal ini akan berpengaruh terhadap pemilihan dan pemberian makan dalam keluarga khususnya balita sehingga dapat mempengaruhi pola makan.

Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh karena kurangnya makanan yang harus dikonsumsi atau makanan kurang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan anak. Selain itu juga disebabkan karena kurangnya pola asuh anak dalam keluarga,

khususnya pada praktek pemberian makan dan perawatan kesehatan dan hasil penelitian pola asuh dalam hal ini menunjukkan praktek pemberian makan dan perawatan kesehatan pada kategori kurang yakni sebanyak (84,1%) dan (82,1%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ritayani (2008) yang menyatakan bahwa pola asuh ibu dapat mempengaruhi status gizi anak balita.

Ketersediaan bahan pangan ditingkat keluarga dipengaruhi oleh daya beli yang ditentukan oleh pendapatan dan harga pangan. Keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Kaitan konsumsi pangan dengan kesehatan sangat erat dan sulit dipisahkan, karena konsumsi pangan yang keliru akan mengakibatkan gizi kurang (Sagung, 2001).

Penelitian konsumsi pangan, sering dimaksudkan sebagai studi konsumsi, yang kadang-kadang merupakan satu-satunya cara yang digunakan untuk meneliti status gizi. Selama studi konsumsi tersebut dapat dipakai untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi yang dimakan, hal tersebut membantu menunjukkkan zat gizi yang persediaannya kurang (Suhardjo, 1986).

5.1.2. Konsumsi Makanan Menurut Frekuensi Makanan

Frekuensi makan nasi pada anak balita adalah 3x/hari dengan jumlah yang cukup, biasanya dengan jadwal makan jam 08.00 WIB, jam 12.00 WIB dan jam 18.00 WIB. Hal ini sejalan dengan pendapat Berg (1986) bahwa di Asia Tenggara termasuk di Indonesia, pada umumnya frekuensi makan adalah 1-2x sehari.

Frekuensi makan ikan pada anak balita yang terbanyak adalah 3x/hari, umumnya anak balita diberikan makan dengan kuah (air makanan yang dimasak/

diolah dari lauk ataupun sayuran yang dimasak, tetapi tidak dengan lauknya. Frekuensi makan tempe pada anak balita yang terbanyak adalah 1x/hari, yakni 15 anak (23,8%).

Diketahui frekuensi makan untuk sayuran pada umumnya 3x/hari, yakni sayur daun ubi. Untuk frekuensi makan buah-buahan yakni buah pepaya. Untuk frekuensi makan biskuit pada anak balita terbanyak adalah 1x/ hari yakni sebanyak 11 anak (39,6%). Biskuit yang dikonsumsi biasanya berupa biskuit jajanan. Untuk minuman syrup pada anak balita terbanyak adalah 1x/minggu yakni 43 anak (68,3%).

Jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi jumlah intake zat gizi pada tubuh, artinya jumlah makanan yang tidak mencukupi akan memberikan jumlah zat gizi pada tubuh kurang dari yang dibutuhkan. Sebaliknya jumlah makanan yang cukup banyak akan memberikan jumlah zat gizi pada tubuh sesuai dengan yang dibutuhkan. Dalam hal faktor pemeliharaan dan penyimpanan bahan makanan, kebiasaan makan, kepercayaan terhadap makan, kemampuan daya beli pada makanan, kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat sangat berpengaruh pada jumlah, jenis dan kualitas bahan makanan. Demikan pula cara pemilihan bahan makanan pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan yang berbeda, misalnya kelompok penduduk yang tingkat pendidikannya rendah berbeda dengan kelompok penduduk yang pendidikannya tinggi (Johari, 1990).

5.2. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Anak Balita Penderita Gizi Kurang

Dokumen terkait