• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES SOSIAL DALAM NOVEL TIBA-TIBA MALAM KARYA PUTU WIJAYA

4.3.1 Kontak Sosial

Kontak sosial menurut Dirdjosisworo (1985: 273) mengandung arti bersama- sama menyentuh secara fisik (persinggungan badani). Maka kontak sosial dapat diartikan sebagai hubungan- hubungan melalui percakapan satu dengan lain.

Dalam novel ini banyak percakapan-percakapan yang terjadi dalam setiap cerita yang disampaikan oleh pengarang. Tetapi dalam penelitian ini untuk lebih memperkecil gambaran tentang kontak sosial dalam novei Tiba-Tiba Malam ini karena bamyaknya yang menjadi bagian dari kontak sosial, penulis hanya membatasi kontak sosial yang sangat erat kaitannya dengan jalan cerita. Karena banyaknya percakapan ataupun yang menjadi bagian dari kontak sosial, penulis hanya menyampaikan hal-hal yang dianggap menjadi pendorong cerita ataupun yang dianggap sebagai permasalahan dalam cerita yang termasuk ke dalam syarat-syarat interaksi sosial yaitu kontak sosial.

Dalam novel ini, kontak sosial dimulai dari percakapan antara warga desa yang banyak membicarakan tentang pernikahan Sunatha dengan Utari.

“Ah,” kata seorang istri tua menyindir-nyindir suaminya yang terlalu sibuk memikirkan keajaiban itu, “orang kawin diributkan. Kan sudah waktunya dia kawin, dari pada diuber-uber banyak orang. Malahan aku aman sekarang! Kan sudah dari dulu aku nasehati juga. Utari pesti memilih guru itu, mana mau dia dengan orang bulukan seperti kamu!” (Hal. 1- 2)

Di Balai Desa, beberapa anak muda juga mempercakapkan kejadian yang mendadak itu. Mereka lebih suka melihat kejadian itu sebagai sesuatu yang lucu.

“Aku kira Sunatha tadinya wangdu (impoten) akhirnya dapat Utari, hebat juga dia!”

“Jangan- jangan Utari sudah begini, ya?” sambil menggambarkan perut bunting. (Hal. 3)

Pada malam pernikahan Sunatha dan Utari, Renti berusaha berbicara dengan ibu Utari. Percakapan terjadi diantara mereka.

“Sini sebentar,” katanya sambil menarik wanita itu. “Ada apa?”

“Diam. Pokoknya perlu!”

Perempuan itu dibawanya minggir dari pertunjukan drama. “Ada pesan.”

“Dari siapa?” “Dari siapa lagi!”

Renti mengeluarkan bungkusan kecil dari sakunya. “Mengapa Utari dilepas?”

Orang tua itu kebingungan, Renti menyerahkan bungkusan itu.

“Bodoh! Sudah dibelikan mobil. Dibuatkan rumah. Apalagi yang kurang? Kok dilepas begitu saja!”

Perempuan itu mulai mengerti. Tapi ia menanggapinya dengan basa- basi. (Hal. 11- 12)

Pada waktu di pelabuhan ketika Sunatha akan pergi ke Kupang, terjadi kontak sosial antara Sunatha dan David. Percakapan itu sangat serius. David mengatakan tentang desa mereka yang akan hancur jika mereka selalu melaksanakan kebiasaan-kebiasaan yang lama.

Sementara itu, kelihatannya ada diskusi kecil antara Sunatha dan orang asing itu. “Saya tidak percaya,” kata Sunatha.

“Ya, Saudara boleh membela diri, itu semacam kompensasi dari perasaan salah dan kecewa. Desa Saudara akan hancur kalau segala tata-krama yang tidak praktis terus diikuti. Perkawinan Saudara saja, maaf, sebetulnya hanya menghambur-hamburkan uang.

Padahal, di desa sudah terlalu banyak penduduk, penghasilan tidak ada, dan usaha-usaha lain tidak ada.” (Hal. 21- 24)

Bentuk kontak sosial yang lain dapat pula kita lihat dari pertikaian yang terjadi antara Subali dan keluarga Utari.

“Ini menantu saya, saya bertanggung jawab. Buruk atau baik, sayalah yang harus memeliharanya selama Sunatha tidak ada.”

“Tapi dia ingin pulang.”

“Rumahnya sekarng di sini. Makan atau tidak makan dia harus di sini.” Uteri meronta.

“Aku mau pulang! Aku sudah diguna- guna.” Subali memegangnya agak keras.

“Diam! Kamu bilang apa! itu fitnah!

“Meme bawa aku pulang. Aku tidak mau disini. Bawa aku pulang!”

Perang mulut akhirnya terjadi. Ayah dan Ibu Utari mulai percaya bahwa ada sesuatu yang tak beres.

Subali menyeret Utari pulang “Tolong! Tolong!” (Hal 31- 33)

Kontak sosial antara David dan Subali pun terjadi. David berupaya menerangkan kepada Subali agar hidup dengan hal- hal yang praktis. David juga berusaha mengajak Subali agar mau diajak ke Denpasar untuk memulai suatu perubahan dalam keluarganya.

“Tapi ada yang lebih penting. Saya ada rencana, ini malam membawa Bapak ke Denpasar. Kita menginap di hotel kelas satu Bali Beach. Kita ke Tuban melihat kapal terbang. Sudah itu kita omong- omong tentang rencana kita itu. Bapak harus bikin pembaruan di desa ini. Kalau tidak siapa lagi? Di sini harus ada rumah-rumah sekolah, harus ada listrik, dan harus hidup lebih praktis.”

“Tapi sudah berapa kali saya tidak muncul di desa gara-gara ikut David.”

“Normal, kan. Bapak tidak salah. Kalu Bapak tidak bisa datang masak harus datang, itu omong kosong.”

“Tapi bagaimana kata orang nanti?”

“Sudahlah. Jadilah orang praktis, jangan tenggelam dengan sistem yang sudah bobrok ini. Sebab coba…..”

David mulai menerangkan. (Hal. 51- 52)

Kontak sosial juga terjadi saat Weda menjelaskan kenapa Subali tidak datang pada saat rapat desa berlangsung.

Rapat gemuruh. “Apalagi kata David?”

“Dia bilang kita semua bodoh. Pemalas. Kita sudah menyalahgunakan hak-hak desa untuk membuat……”

Weda bercerita panjang lebar. Kebenciannya pada David membuat ia sedikit menambah-nambah. (Hal. 68)

Subali akhirnya mengikuti perkataan David. Pada malam itu Subali akan pergi bersama David, Sunithi marah karena bapaknya sudah tidak pernah lagi mengikuti kegiatan di desa.

“Tapi meme sakit. Bapak tidak boleh pergi. Bapak tidak ikut kerja ke pura sekarang?”

Subali diam saja. David mencoba menerangkan untuk mengusut. Tapi kemudian Subali marah.

“Bapak sekarang tidak peduli sama meme lagi!”

“Diam! Anak mulai kurang ajar. Berani-berani kamu sekarang!”

Sunithi ketakutan. Dia belum pernah dibentak bapaknya. Dia belum pernah melihat perangai bapaknya seperti itu. Waktu itu didengarnya ada yang memanggil di luar. Ia bergegas ke luar. (Hal. 72)

Sifat Weda yang pencemburu akibat kedekatan Sunithi dengan David membuat Weda marah. Weda melempar rumah Sunithi, pertikaian dan sekaligus berupa kontak sosial pun terjadi saat itu.

Mereka bertengkar. Akhirnya mereka berkelahi. Sunithi melawan karena merasa benar. Weda memukul Sunithi. Sunithi membalas.

“Kalau begitu kita putus!” teriak Weda. “Ayo putus kalau mau putus. Biar!”

“Biar kamu ditipu orang asing itu. Biar bapakmu dikeluarkan krama desa. putus!” “Biar! Biar! Aku tidak mau peduli!”

Weda terus lari sambil mengacungkan telunjuknya. Sunithi membalas. Tapi kemudian dia sadar dia sudah terlalu mengikuti perasaannya. Waktu Weda lenyap ke jalan, dia berteriak-teriak memanggil-manggil. Weda tak kembali. (Hal. 73- 74)

Akhirnya desa memutuskan untuk mengucilkan Subali. Ngurah dan kepala desa datang ke rumah Subali. Kepala desa mengatakan kepada Sunithi mengenai keputusan yang telah disepakati oleh desa.

“Tak usah begini saja. Begini, katakana kepada bapak kalau nanti pulang, sudahlah, tidak usah lagi ikut kerja di pura. Kalau memangselalu repot kami juga tidak memaksa. Tapi tentunya demikian juga sebaliknya nanti. Jelasnya, kami memutuskan untuk mengeluarkan bapak dari ikatan krama- desa. Ini, supaya Nyoman tahu saja.” (Hal. 85)

Suki datang menemui Sunithi ingin menceritakan apa yang dilihatnya di Tabanan yaitu melihat Ngurah dan Utari. Suki menceritakann segala sesuatunya kepada Sunithi.

Sunithi terhenyak. Ia melemparkan matanya ke halaman. Rasa-rasanya ia tahu apa yang hendak diucapkan Suki. Ia mencoba menyabar-nyabarkan hatinya, akan tetapi mukanya menjadi begitu muram. Lalu tiba-tiba saja ia menangis. Suki jadi berat meneruskan cerita.

“Teruskan. Kenapa dia?”

“Tapia pa kamu kuat mendengarnya?”

“Tentu saja tidak. Tapi mau apalagi. Apa dia ada di Tabanan sekarang?” “Benar.”

“Saya dengar dia berobat kesana. Betul berobat?” “Saya tidak tahu.”

“Dengan siapa dia disana?” Suki tidak menjawab. “Dengan Ngurah?” Suki mengangguk. “Dengan Ngurah?”

“Dia tinggal di keluarga Ngurah, tapi saya tidak tahu apa Ngurah juga tinggal di sana.”

“Dimana lagi kalau tidak disana. Kok tega benar?” (Hal. 108- 109)

Sunatha akhirnya mengetahui bahwa istrinya telah menjalin hubungan dengan Ngurah. Langsung saja Sunatha mendatangi rumah Utari. Kemarahan Sunatha tidak bisa ditahan lagi.

“Mana istriku! Mana!”

Orang tua itu bermaksud untuk menjawab. Tapi suaranya tidak keluar. Sunatyha makin jengkel. Ia masuk ke dalam rumah memeriksa.

“Jangan menyembunyikan istriku! Mana istriku!”

“Kalau tidak setuju, dari dulu bilang! Saya akan tuntut ini ke pengadilan! Melarikan istri orang. Bangsat!” (Hal. 215)

Cerita ini pun diakhiri dengan percakapan antara Sunatha dan Ngurah. Sunatha akhirnya merelakan Utari kepada Ngurah. Dia tidak sanggup lagi berharap agar Utari kembali kepadanya karena perut Utari yang telah membuncit.

“Saya serahkan Utari dengan rela.”

Ngurah menerima pernyataan itu dengan wajar. Ia menjabat tangan Sunatha. “Benar- benar dengan rela?”

“Ya.”

“Terima kasih. Mudah-mudahan Hyang Widhy membalas keluhuran budi seperti ini. Saya terima Utari. Saya akan merawat dia sebaik- baiknya.”

Mereka bersalam- salaman lagi meski hati mereka hancur. (Hal. 230) 4. 3. 2 Komunikasi Sosial

Komunikasi sosial menurut Basrowi (2005: 143) adalah suatu proses saling memberikan tafsiran kepada atau dari perilaku pihak lain. Melalui tafsiran pada perilaku pihak lain, seseorang mewujudkan perilaku sebagai reaksi terhadap maksud atau peran yang ingin disampaikan oleh pihak lain itu.

Komunikasi sosial dalam novel Tiba-Tiba Malam ini dapat kita lihat pada kutipan berikut:

Diam-diam ia menyentuh tangan Utari. Wanita itu membalas dan mencubit tangan Sunatha. (Hal. 6)

Jelas dapat kita lihat bahwa Sunatha memberikan tafsiran kepada Utari, dan Utari pun menanggapi tafsiran yang diberikan oleh Sunatha.

Tatkala upacara peresmian pernikahan dilangsungkan, orang asing itu berusaha memotret dari tempat yang agak tinggi. Tapi ia kurang memperhatikan sekitarnya, sehingga secara tak sengaja ia menaiki sebuah sanggah untuk sesajen di halaman. Banyak orang melihat, akan tetapi semuanya hanya tersenyum- senyum saja memaafkan. Hanya Ngurah yang tak tahan melihat hal itu. Ia mulai marah (Hal. 7)

Tindakan yang dilakukan oleh David dianggap hal yang wajar oleh warga desa. tetapi Ngurah tidak menyukai hal tersebut, ia mulai marah.

Dia membukakan pintu dan mengejapkan mata pada renti. Baru pengawal itu mengerti. Begitu saja keluar siulannya. (Hal. 56)

Renti menangkap tindakan yang dilakukan oleh Ngurah. Ngurah memberi tanda dengan mengejapkan mata pada Renti disambut baik oleh Renti. Komunikasi sosial telah terjalin dengan baik dari tindakan Ngurah dengan Renti. Ngurah membalas tanda yang diberikan oleh Ngurah sebagai bukti bahwa ia telah memahami maksud dari tanda yang diberikan oleh Ngurah.

Lalu terdengar kentongan memanggil orang untuk kerja bakti. Pemukul kentongan yang tua itu memukul kentongannya dengan serius sekali. Ia memperhatikan

ke sekitarnya, ia terus juga memukul. Di kejauhan terdengar juga kentongan-kentongan kecil meneruskan suara kentongan itu. Ia mengangguk-angguk. Lalu tak lama kemudian dilihatnya penduduk desa telah turun ke jalan. Semuanya mengalir ke pura. Penduduk desa lain yang juga ikut bertanggung jawab pada pura itu muncul pula dari berbagai arah. Para lelaki, perempuan juga tak ketinggalan beberapa orang anak-anak, terutama para pemuda. Semuanya datang berduyun-duyun. (Hal. 71)

Tanda yang diberikan oleh seorang laki- laki tua dapat ditafsirkan dengan baik oleh para warga. Ketika seorang tua tersebut memukul kentongan, warga desa mengetahui maksud dari pukulan kentongan tersebut. Ketika kentongan dipukul, warga langsung pergi untuk rapat dan berkumpul dengan warga yang lainnya, misalnya dalam melaksanakan kerja bakti.

Ia mengulurkan segenggam uang yang tadi disisipkan oleh David.

Kepala Desa terpaku. Semua orang terpaku. Uluran tangan itu tidak disambut. Subali jadi gugup. Tapi kemudian dia memegang tangan Kepala Desa dan meletakkan uang itu disana. Waktu itu David cepat menjepret.

“Semuanya masih diam. Semuanya masih memperhatikan Kepala Desa. orang tua itu gemetar. Ia menggenggam uang ditangannya. Tak ada yang berani bicara. Orang tua itu berusaha menahan dirinya. Kemudian ia memperhatikan dengan sedih orang-orang di sekelilingnya.

“Puluhan tahun Bapak memimpin kamu semuanya. Puluhan tahun Bapak memimpin desa ini. Kita semua rukun seperti saudara satu sama lain. Kita tidak pernah bertengkar. Tapi sekali ini Bapak merasa sudah tua sekali. Mungkin dunia sudah berubah. Bapak takut mengatakan apa-apa, takut nanti salah di belakang hari. Tapi Bapak benar- benar merasa seperti muka Bapak dikentuti oleh orang yang Bapak anggap mengerti tata karma desa!” (Hal. 77- 78)

Kepala desa tidak menyambut baik tindakan yang diberikan oleh Subali dengan memberikan amplop kepada kepala desa sebagai pengganti karena Subali tidak bisa ikut dalam kerja bakti di desa.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait