BAB II KONTEKS DALAM STUDI LINGUISTIK
B. Konteks Internal dan Konteks Eksternal
Konteks dalam studi bahasa secara garis besar dapat dipilah menjadi dua, yakni konteks internal dan konteks eksternal. Konteks internal bertali-temali dengan aspek-aspek intrakebahasaan. Adapun konteks eksternal bertautan dengan aspek-aspek ekstra kebahasaan. Dalam menentukan maksud atau makna pragmatik, kedua jenis konteks itu saling berkontribusi. Hanya saja, kontribusi konteks eksternal lebih dominan daripada konteks internal di dalam studi pragmatik. Selain itu, besar kecilnya jenis konteks tertentu dalam
kontribusi penentuan maksud dipengaruhi pula oleh jenis studi pragmatik yang sidang dilakukan. Pragmatik sistemik lebih menggarisbawahi kontribusi konteks internal secara dominan dalam mengintepretasi maksud. Sekalipun konteks eksternal mulai dilibatkan di dalam mengintepretasi maksud penutur, peran konteks internal tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dalam studi pragmatik interkultural dan antarkultural, misalnya saja, peran konteks sosial dan konteks sosietal serta konteks kultural tentu sangat besar. Akan tetapi di dalam pragmatik umum (general pragmatics), peran dari konteks situasional lebih dominan sekalipun konteks sosial, sosietal, dan kultural juga memiliki peran yang signifikan dalam menentukan maksud dalam studi pragmatik umum. Dalam perbincangan pragmatik siber, konteks yang berjenis empat di atas itu tetap dipertimbangkan, hanya saja konteks digital dan perkembangan teknologi tidak bisa diabaikan. Wujud datanya pun sangat dipengaruhi secara lokasional karena perjumpaan antarwarga masyarakat virtual yang tidak berbatas itu memungkinkan hadirnya sumber data dan data yang melimpah-limpah untuk dianalisis. Konteks internal banyak dilibatkan dalam pemaknaan maksud penutur khususnya dalam studi pragmatik sistemik.
Hal demikian disebabkan saat awal lahirnya pragmatik sistemik itu dominasi studi ilmu makna (semantics) masih sangat kuat. Studi makna bahasa secara internal pada akhirnya dirasakan belum mencukupi untuk memaknai tuturan, dan mulai dengan saat itulah pemikiran tentang studi pragmatik secara utuh sebagai bidang ilmu eksternal bahasa mulai menggelora. Aspek-aspek internal bahasa yang berpengaruh dalam menentukan maksud tuturan itu di antaranya adalah tekanan, durasi, intonasi, dan semacamnya. Dengan perkataan lain, aaspek-aspek suprasegmental bahasa tidak dapat dipisahkan dalam studi maksud secara pragmatik itu di awal perkembangannya. Selain aspek-aspek suprasegmental, terdapat pula aspek-aspek segmental yang ikut menentukan
maksud tuturan. Contohnya adalah kolokasi kata, lingkungan kata, dan semacamnya.
Kolokasi kata dimaknai sebagai kemampuan sanding sebuah kata. Kemampuan sanding kata tersebut mengendalai kata-kata lain yang tidak memiliki kemampuan sanding termaksud. Dalam pemaknaan maksud tuturan, kemampuan sanding kata demikian itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Selanjutnya yang dimaksud dengan lingkungan kata dalam tulisan ini adalah entita kata atau mungkin kata-kata yang mendahului dan yang mengikuti kata yang sedang dimaknai. Konteks yang berteli-temali dengan lingkungan kata demikian itulah yang dimaksud dengan konteks dalam studi linguistik. Demikian pula kemampuan sanding data atau kolokasi kata seperti yang dijelaskan di depan itu, menjadi koteks dalam memaknai sebuah tuturan dalam studi pragmatik. Aspek-aspek suprasegmental yang disebutkan di depan tadi juga jelas sekali sangat berpengaruh dalam memaknai sebuah tuturan. Intonasi yang menurun dan intonasi yang mendatar, atau mungkin bahkan menaik, akan sangat berpengaruh terhadap pemaknaan sebuah tuturan.
Demikian pula tekanan kata tertentu, akan sangatberpengaruh terhadap penyampaian maksud tuturan. Durasi pengucapan kata juga harus disadari merupakan entitas suprasegmental yang sangat menentukan pemaknaan sebuah tuturan. Jadi demikianlah peran dari konteks internal dalam menentukan maksud sebuah tuturan. Selanjutnya, aspek-aspek konteks eksternal dapat mencakup hal-hal berikut ini. Pertama, aspek kemasyarakatan dan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Aspek yang mencakup dua sisi sekaligus di atas melahirkan konteks sosial, konteks sosietal, dan konteks kultural. Dikatakan demikian karena masyarakat dan budaya sesungguhnya merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan. Pencermatan terhadap masyarakat dan budaya yang berbeda akan melahirkan manifestasi konteks sosial, sosietal, dan
kultural yang tidak sama. Sebagai ilustrasi di dalam masyarakat Jawa terdapat kaidah-kaidah sosio-kultural yang khas, yang mungkin sekali tidak dapat ditemukan di masyarakat dan budaya yang lain.
Demikian pula dalam masyarakat Madura, atau mungkin juga masyarakat-masyarakat yang lain, tentu terdapat kekhasan dan kekhususan nilai sosial-budaya. Itulah yang oleh penulis buku ini pernah disebut sebagai nilai-nilai yang bersifat ideosinkretis di dalam masyarakat dan budaya tersebut. Sebagai imbangan dari aspek-aspek keideosinkretisan, terdapat pula aspek-aspek yang bermanifestasi sama. Kesamaan-kesamaan yang berlaku universal dalam berbagai masyarakat dan budaya itulah yang dimaksud dengan nilai-nilai kenomotetisan. Jadi, di dalam masyarakat yang bermacam-macam, selalu ada dimensi-dimensi universal yang menyamakan. Bahasa-bahasa yang serumpun bahkan mungkin juga yang tidak serumpun, diyakini memiliki keuniversalan kaidah-kaidah kebahasaan.
Dalam istilah penulis, dimensi-dimensi keuniversalan tersebut entah dalam konteks bahasa, entah dalam kontes budaya atau masyarakat, dapat disebut dengan kenomotetisan. Selanjutnya perlu ditegaskan pula bahwa konteks eksternal itu sejatinya berwujud asumsi-asumsi personal dan komunal yang melatarbelakangi sebuah tuturan. Terkait dengan asumsi-asumsi personal sebagai salah satu dimensi konteks eksternal dapat dijelaskan bahwa latar belakang filosofis yang dimiliki oleh seseorang, pasti akan dapat memberi corak tersendiri di dalam kehidupan orang tersebut. Orang yang menganut aliran filsafat tertentu, pasti akan mengendalai pemikiran dan sikap dan perilakunya dalam masyarakat. Demikian pula dengan seseorang yang memiliki paham atau alirah tertentu, dipastikan keyakinan dan paham itu berpengaruh dalam kehidupan seseorang tersebut dalam kesehariannya.
Secara komunal juga demikian. Kelompok orang-orang tertentu yang sudah sangat terbiasa dengan diskusi-diskusi
ilmiah, biasa berdebat dan berbantah secara ilmiah dalam forum akademik, akan sangat berbeda dengan kelompok masyarakat yang barangkali cenderung tertutup dalam kehidupan sosialnya. Kecenderungan untuk menjadi mudah tersinggung dan emosional akan lebih banyak terjadi pada kelompok sosial yang biasanya hidup secara tertutup tersebut. Jadi, itulah yang dimaksud dengan ‘sets of shared assumptions’ atau seperangkat asumsi-asumsi yang sama yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur, bahkan mungkin juga pihak di luar penutur dan mitra tutur tersebut.
Dalam konteks pragmatik siber, kesamaan pandangan tentang asumsi-asumsi personal dan komunal inilah yang sangat menentukan kualitas komunikasi dan interaksi. Sekalipun dalam media sosial orang tidak saling mengenal, bertemu secara tatap muka saja mungkin sekali juga belum pernah dilakukan, dapat dimungkinkan untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi secara baik karena pihak-pihak tersebut memiliki seperangkat asumsi yang dimiliki bersama dan dipahami secara bersama-sama pula.