• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motif dagang dari migrasi Hadrami ke nusantara, yang bisa diistilahkan "diaspora perdagangan" (trade diaspora), pada praktiknya tidak hanya terbatas pada kegiatan ekonomi semata. Melainkan, hal itu juga berarti perjumpaan budaya (cultuural ecounter). Dalam hal ini, para pedagang Arab sekaligus bertindak sebagai pialang yang memperkenalkan budaya Arab-Islam kepada masyarakat nusantara. Sebagaimana umumnya masyarakat yang mengalami diaspora, perumusan identitas senantiasa menjadi satu tema penting. Ini beihubungan dengan fakta bahwa posisi mereka di tengah masyarakat suatu

Negara kerap kali rentan dengan perubahan-perubahan sosial dan politik.95 Dan hal demikian itu pula yang dialami masyarakat Hadrami di Indonesia masa penjajahan Belanda.

Sebagaimana diketahui, imigran Arab di Indonesia harus menerima kenyataan bahwa kebijakan pemerintah kolonial Belanda telah menempatkan mereka (bersama kaum minoritas lain, yakni Cina dan India) dalam satu kelompok sosial tersendiri, yang disebut "Masyarakat Timur Asing" (Vreemde

Oosterlingen). Posisi ini berada di tengah Antara masyarakat Eropa dan pribumi.

Bersamaan dengan itu, berbagai regulasi juga ditetapkan pemerintah Belanda-seperti surat jalan-yang semakin mempersempit ruang gerak mereka. Peraturan ini tampaknya berimplikasi penting bagi keberadaan masyarakat Hadrami di Indonesia. Ia tidak hanya menghambat proses integrasi secara mulus dengan masyarakat Indonesia, tapi juga membawa masyarakat Hadrami (dan Arab secara umum), cenderung mendefinsikan diri mereka "berbeda" dengan masyarakat pribumi.

Kendati secara tradisional terbagi ke beberapa kelas social sebagaimana telah disinggung, namun setibanya di nusantara, perlahan-lahan strata social kaum Hadrami tersebut mengalami pergeseran-pergeseran. Segregasi social berdasarkan pekerjaan di negeri asal, misalnya, tak lagi berlaku setibanya di nusantara. Hampir semua imigran asal Hadramaut, tanpa melihat latar belakang status social, terlibat

95

Lihat Syed Farid Alatas, "Hadramaut and the Hadrami Diaspora: Problem in Theorethical History", dalam Ulrike Freitag dan \flilliam G. Clarence-Smith, (ed.), "Hadhrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s (Leiden-New York-Koln: E.J. Brtll,1997). lihat juga Jajat Jajat Burhanudin, "Diaspora Hadrami di Nusantara", Studia Islamika, vol. 6, no. l, 1999, h. 181-201.

dalam aktifitas ekonomi yang sama yaitu perdagangan. Menururt van den Berg, system stratifikasi ini sebenarnya sudah runtuh di akhir abad 19.96 Hal ini dipicu, antara lain, oleh kebijakan pemerintah Hindia-Belanda di atas. Di samping itu, kesediaan pemerintah Hindia-Belanda mengangkat ‘pejabat’ Arab dari kalangan non-sayyid juga mempengaruhi pergeseran dimaksud. Pejabat Arab ini diberi gelar hoofd der Arabieren atau kadang-kadang digelari Luitenant atau Kapitein. Pejabat Arab ini biasanya diangkat ketika populasi Arab di sebuah kota berkembang pesat. Pengangkatan pertamanya bertempat di Semarang pada tahun 1819. Kemudian diikuti oleh kota-kota lain sepanjang abad 19.97 Kebijakan pemerintah Hindia-Belanda ini, sedikit banyak, mereduksi kedudukan istimewa kaum sayyed terutama di hadapan non-sayyid di Hindia-Belanda. Tapi di saat bersamaan para sayyid baca; Habaib berhasil memperoleh kedudukan social istemewa baru, terutama di hadapan para penduduk local yang beragama Islam.

Sejarah masyarakat Hadrami yang ada di Indonesia adalah bagian dari sejarah diaspora dari generasi awal (first generation) menjadi generasi hibrida yang tersebar di sepanjang Negara-negara di pesisir Samudera Hindia. Proses hibridasi ini umumnya terjadi melalui asimilasi perkawinan. Para imigran Hadrami, yang sebagian besar terdiri dari kaum Adam, menikahi wanita-wanita lokal di Negara tujuan. Budaya patriarkhal, tampaknya, cukup berpengaruh dalam mendorong para wullaity untuk menikah dengan penduduk nusantara tanpa harus takut kehilangan jatidiri sebagai Hadrami. Sistem penentuan nasab berdasarkan garis kebapakan ini lumrah berlaku di hampir seluruh wilayah Timur-Tengah.

96

Van den Berg. h. 189.

97

Oleh karena itu, keturunan dari seorang pria Hadrami dan seorang wanita lokal Indonesia dapat dianggap sebagai Hadrami.98 Hal ini, di sisi lain, membuat posisi kaum Hadrami menjadi unik. Di satu sisi mereka menikmati privillage dalam kasta social pemerintahan Hindia-Belanda sebagai bangsa Timur-Asing, tapi pada saat bersamaan, muwallad Hadrami tetap menyandang status ‘’pribumi’’ dari garis keturunan ibu.99 Pada masa-masa selanjutnya, hal ini berimpilikasi pada perumusan identitas kebangsaan mereka statehood. Antara mempertahankan Hadramaut sebagai tanah air wathan dalam spirit patriotisme teritorial atau menjadi orang Indonesia sepenuhnya.

Hingga awal abad ke-20, identitas "ke-Arab-an" Masyarakat Hadrami, yang disandangnya sejalan dengan peran mereka sebagai "pemimpin umat Islam" diterima luas di kalangan masyarakat Nusantara. Klaim bahwa mereka datang untuk "mengislamkan orang pribumi" makin memperkuat posisi superioritas mereka di kalangan masyarakat Nusantara. Posisi demikianlah yang kemudian membuat kehadiran masyarakat Hadrami di Nusantara bisa diterima kalangan Muslim Nusantara. Sifat-sifat ke-Arab-an yang terus diperlihara masyarakat Hadrami, sebagai wujud perumusan diri mereka, justru dipahami Muslim Nusantara sebagai artikulasi keislaman. Karena itu, dibanding misalnya masyarakat Cina, proses integrasi masyarakat Hadrami dengan masyarakat Nusantara berlangsung lebih mulus. Meskipun, harus pula diakui bahwa klaim

98

Frode F. Jacobsen, Hadrami Arabs in Present-day Indonesia: An Indonesia-oriented

Group with an Arab Signature, (London and New York: Routledge, 2009), hlm. 19

99Hasan Bahanan, “Abdul Rahman Baswedan: Peran dan Komitmennya Bagi Ke-Indonesiaan”, Makalah, disampaikan dalam seminara Naional “AR. Baswedan: Sejar dan

Perannya dalam Merajut Ke-Indonesiaan”, diselenggakan oleh Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya, 9 Maret 2011.

mereka sebagai ras lebih tinggi tetap bertahan dalam kesadaran masyarakat Hadrami.

Gerakan nasionalisme Indonesia pada awal abad ke-20 telah menempatkan kalangan Hadrami pada posisi dilematis. Masyarakat Hadrami benar-benar berada di persimpangan jalan; apakah tetap menjadi Hadrami atau melepaskan sama sekali identitas ke-Hadrami-annya dan menjadi "orang Indonesia". Tidak mudah mereka memberikan respon terhadap persoalan ini. Bahkan, ketika respon diberikan, tidak ada format tunggal. Di sinilah menariknya sejarah kaum Hadrami di Indonesiai, yaitu tarik menarik antara kalangan konservatif yang ingin mempertahankan ke-Hadrami-an mereka, dengan kalangan yang berpikir moderat, bahwa ke-Hadrami-an tidak perlu dipertahankan lagi. Sampai kira-kira dua dekade awal abad 20, kaum Hadrami masih berkutat di perdebatan seputar identitas itu.