• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTEKS SOSIO-KULTURAL, EKONOMI DAN POLITIK DALAM

PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH

A. Konteks Sosio-Kultural dan Sejarah Perkembangan Muhammadiyah

Pembahasan ini1 meliputi corak gagasan, pendirian (stand-point) dan arah perjuangan atau misi organisasi yang pada gilirannya berpengaruh

1Pembahasan konteks sosio-kultural, ekonomi dan politik sekitar perkembangan Muhammadiyah merupakan aspek penting dalam memetakan faktor-faktor yang memengaruhinya; terutama yang memengaruhi ide pendirinya, Ahmad Dahlan dan teman seperjuangannya. Dalam rangka merekonstruksi corak gagasan, pendirian (stand-point) dan arah perjuangan atau misi Muhammadiyah diperlukan data-data menyangkut para pendiri-nya. Namun, yang tersedia secara memadai adalah data mengenai Ahmad Dahlan yang dipandang sebagai pendiri dan pengembang Muhammadiyah yang paling dominan dibandingkan dengan pendiri lainnya yang sering disebut sebagai murid atau sahabatnya. Kajian tentang ideologi Muhamma-diyah selalu dikaitkan dengan perjalanan hidupnya, berikut riwayat pendi-dikan, pandangan hidup dan respons terhadap dinamika sosial budaya, ekonomi politik serta pendapatnya tentang perempuan dan keluarga. Tidak ter-hindarkan, pembahasan tentang konteks sosial budaya, politik dan ekonomi perkembangan Muhammadiyah akan mengetengahkan Ahmad Dahlan se-bagai representasi kultural dari para pendirinya dan masyarakat muslim kota pada umumnya. Dalam rangka merekonstruksi corak gagasan, pendirian (stand-point) dan arah perjuangan atau misi Muhammadiyah diperlukan data-data menyangkut para pendirinya. Namun, yang tersedia secara memadai adalah data mengenai Ahmad Dahlan yang dipandang sebagai pendiri dan pengembang Muhammadiyah yang paling dominan dibandingkan dengan pendiri lainnya yang sering disebut sebagai murid atau sahabatnya. Kajian tentang ideologi Muhammadiyah selalu dikaitkan dengan perjalanan hidup-nya, berikut riwayat pendidikan, pandangan hidup dan respons terhadap dinamika sosial budaya, ekonomi politik serta pendapatnya tentang

perem-terhadap konstruksi gender yang ideal. Muhammadiyah merupakan organisasi besar yang telah teruji selama hampir satu abad dan bertahan dalam gelombang perubahan budaya, sosial, politik dan ekonomi di Indonesia.

Tentu ada elan perjuangan kuat yang membuat Muhammadiyah dapat bertahan dan berkembang pesat jika dibandingkan dengan organisasi modernis lainnya seperti Wal Fadjri yang didirikan di Yogyakarta pada 1920-an. Blackburn menengarai bahwa organisasi ini jauh lebih reformis dan dinamis dibandingkan dengan Muhammadiyah, setidaknya, jika dilihat dari pandangan-pandangan Nahdlotul Fataat sebagai sayap organisasi wanitanya tentang hak-hak perempuan dan reformasi hukum perkawinan dalam Kongres Perempuan 1928.2 Demikian pula, perkem-bangan dari Jamiat Kheir yang didirikan oleh kalangan keturunan Arab pada 1905 –yang disebut Alwi Shihab– sebagai inspirator berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah.3

Muhammadiyah adalah suatu gerakan sosial yang muncul akibat terjadinya ambivalensi kultural dari konservatisme agama, feodalisme tradisional dan kolonialisme Barat. Ambivalensi tersebut telah membuat umat Islam terpuruk dalam kemunduran dan kemiskinan. Cita-cita Mu-hammadiyah adalah membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benar-nya yaitu masyarakat yang sejahtera yang diridhai Allah.4 Secara

puan dan keluarga. Pembahasan tentang konteks sosial budaya, politik dan ekonomi perkembangan Muhammadiyah juga akan mengetengahkan Ahmad Dahlan yang merupakan representasi kultural dari para pendirinya dan masya-rakat Muslim kota pada umumnya.

2Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (Jakarta: Yayasan Obor, 2007), hlm. xxxiv.

3 Alwi Shihab, Pembendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 19898), hlm. 108.

4Misi organisasi ini diwariskan secara antar generasi dan dinyatakan secara eksplisit dalam berbagai keputusan resmi seperti Keputusan Muktamar Mu-hammadiyah ke-38 pada 1971 tentang pentingnya merevitalisasi zakat dan amal usaha guna mencapai misi organisasi dalam menciptakan masyarakat

ideologis, Muhammadiyah hendak mengakhiri ambivalensi kultural dan ketegangan sosial ini dengan ideologi pembaruan Islam yang reformis yang mencakup tindakan dan sekaligus merupakan diskursus intelektual sebagai reaksi positif terhadap situasi yang berkembang dan refleksi dari kehendak mewujudkan konsistensi logis antara pengetahuan dan kesadaran yang dihayati dari kenyataan sosial pada saat itu.”5

Alwi Shihab mensinyalir bahwa berdirinya Muhammadiyah bersifat multi faktor yang kompleks sementara faktor determinannya masih di-perdebatkan. Faktor pertama, tersebarnya gagasan pembaruan Islam Timur Tengah di Nusantara pada awal abad ke-20. Kedua, merupakan respons dari pertentangan teologis-ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa. Ketiga, terpuruknya kondisi masyarakat Muslim karena kolonialisasi Barat dan penetrasi misi Kristen.6 Namun Nakamura me-nempatkan faktor internal ketegangan Muslim Jawa sebagai faktor deter-minan lahirnya Muhammadiyah.7 Meski tidak mengklaim bahwa sekuensi faktor-faktor di atas menunjukkan derajat penentu (determinant), Alwi Syihab menyiratkan bahwa sikap kritis Ahmad Dahlan sudah tampak sejak ia masih menempuh pendidikan di pesantren.

Sikap kritis merupakan produk dari kesadaran yang secara sosiologis bersandar pada pengetahuan. Sistem pengetahuan menurut Merton dipengaruhi oleh faktor-faktor substantif yang terdapat dalam

masyara-Islam sejahtera, Pimpiman Pusat Muhammadiyah, 95 Langkah Perjuangan Muhammadiyah (Yogyakarta: LPI- PP Muhammadiyah, tanpa tahun), hlm. 230. 5Taufik Abdullah, “Kilasan Sejarah Pergerakan Wanita Islam di Indo-nesia”, dalam Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman (ed.), Wanita Islam Indonesia: Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 81.

6 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), hlm.126-127.

7Mitsuo Nakamura, The Cresent Arises over the Banyan Tree, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 45-50.

kat atau budaya tertentu.8 Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam memetakan sistem pengetahuan. Pertama, faktor-faktor sosial-budaya apa yang secara esensial memengaruhi pengetahuan. Kedua, apa saja manifes-tasi dari kegiatan mental yang dapat diamati dan bagaimana tingkatan atau bentuk pengaruh antara keduanya.9 Meski kalangan sosiologi positivistik dan kalangan fenomenologi berbeda pendapat tentang sumber pengetahuan yakni apakah merupakan bentukan sosial ataukah kompetensi subjektif yang otonom, tetapi mereka sepakat bahwa faktor lingkungan merupakan basis material bagi konstruksi pengetahuan. Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Mannheim yang menjadi rujukan utama studi sosiologi pengetahuan. Konteks sosial mungkin bukan faktor determinan pembentuk pengetahuan atau keyakinan tetapi menyediakan lingkungan bagi proses pembelajaran suatu keyakinan. Dengan kata lain dan sebagai revisi terhadap pendapat Marx bahwa kesadaran seseorang merupakan manifestasi kepentingan kelas (class interest) yang berperan sebagai faktor determinan terhadap keyakinan. Menurut Abercrombie yang terpenting bukan menunjukkan mengapa suatu keyakinan terkait dengan kelas sosial tertentu tetapi menjelaskan mengapa suatu keyakinan tertentu (dan bukan keyakinan yang lain) bersesuaian dengan suatu kelas sosial tertentu.10

Dengan kerangka di atas dapat dijelaskan bahwa sikap kritis Ahmad Dahlan terhadap urgensi reformasi Islam karena tantangan-tantangan kelompok santri kota yang berhadapan dengan modernisasi kolonial dan pergerakan kelompok elite pada masanya. Oleh sebab itu reformasi

8Piort Sztompka, Robert K. Merton: an Intellectual Profile (London: Mc.Millan, 1986), hlm. 37-40.

9Lihat juga “Robert K. Merton, Sociology of Knowledge”, dalam Nicholas Abercrombie, Class, Structure and Knowledge (Oxford: Basil Blackwell, 1980), hlm. 2.

10Nicholas Abercrombie, Class, Structure and Knowledge: Problems in the sociology of Knowledge (Oxford: Basil Backwell, 1980), hlm. 9-10.

tersebut lebih bersifat induktif-praksis daripada melalui proses kon-templatif-intektual. Ahmad Dahlan merupakan representasi kegelisahan santri kota menghadapi perubahan sosial yang dinamis dan kompleks, terutama pada akhir abad ke-19 ketika pemerintah kolonial mengubah kebijakan dari monopoli menjadi lebih liberal dan humanis yang pro-pribumi. Kebijakan tersebut telah mengubah wajah kota yang segregatif rasial menjadi ruang publik yang relatif terbuka, terutama bagi kalangan pribumi. Kebijakan tersebut mendorong tumbuhnya ekonomi pribumi, terbukanya akses pendidikan serta mobilitas vertikal pada posisi admi-nistratif kolonial yang menandai proses modernisasi di Indonesia.11

Meski demikian, pemerintah kolonial bersikap ambivalen terhadap kebijakan dengan perilaku diskriminatif rasial dan agama meski para pejabat didominasi oleh kalangan liberal etis dan sosialis progresif seperti Van Deventer, Abendanon dan von Kol.12 Akses pendidikan hanya diberi-kan pada kalangan elite yang kebanyadiberi-kan adalah kalangan ningrat dan priayi abangan. Terhadap kalangan santri, pemerintah kolonial tidak memberikan perhatian pendidikan yang sama bahkan cenderung me-nutup kesempatan tersebut. Kebangkitan ekonomi santri, terutama di daerah perkotaan tidak serta-merta menjadi tangga mobilitas vertikal, termasuk pendidikan modern. Ketertinggalan pendidikan tersebut bukan semata masalah pribumi tetapi dirasakan sebagai diskriminasi agama ketika pemerintah kolonial memberikan dukungan kebijakan dan subsidi finansial pada gereja-gereja untuk menyelenggarakan pendidikan pribumi. Banyak pengamat kolonialisme, di antaranya Alwi Shihab dan Kumari Jayawardena menganggap kebijakan tersebut sebagai misi Kristenisasi terstruktur:

11Robert van Niel, Muncul Elite Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya) 1984, hlm. 43.

Even though in most cases education began as a process of proselytization and for the training of the local administrative cadres... Ultimately this education also became the means of imparting a knowledge of modern science. 13

Marginalisasi dan diskriminasi di atas membangkitkan kesadaran kalangan santri kota yang mayoritas pedagang dan pemilik perusahaan kecil terhadap pentingnya pendidikan modern bagi pribumi dan umat Islam. Dalam pandangan van Neil, kalangan ini berada pada posisi dilematis antara ketercerabutan dari pola hidup tradisional dan ketidak-sanggupan kembali pada praktik-praktik kehidupan lama namun juga berada pada tepi-tepi kebudayaan Barat karena kota pada akhirnya di-bangun dan dikuasai orang Barat.14

Menghadapi peluang dan tantangan modernisasi pada waktu itu yakni menjelang abad ke-20, kelompok-kelompok Muslim memberikan respons yang berbeda-beda: Pertama, respons reaktif-isolatif yaitu sikap yang cenderung memberikan ‘counter’ nilai dan sekaligus mengisolasi diri atau membatasi diri dari mengaruh modernisasi, termasuk cara ber-pakaian dan corak pendidikan.15 Kedua, reaktif-konfrontatif yaitu sikap ‘counter’ nilai yang bersifat menentang dan mempertahankan identitas kelompok (collective identity). Ketiga, responsif-adaptatif yaitu kelompok yang memiliki respons yang selektif terhadap modernisasi guna menye-jajarkan umat Islam dengan Barat. Menurut kelompok ini ada aspek men-dasar dari modernisasi yang sejalan dengan prinsip Islam yaitu pemi-kiran rasional. Pemipemi-kiran rasional dalam Islam inilah yang bersesuaian (compatible) dengan modernisasi seperti perkembangan ekonomi,

13Kumari Jayawadena, Feminism and Nationalism in the Third World (London: Zed Books, 1986), hlm. 6.

14Robert van Neil, Munculnya Elite Modern Indonesia (1984), hlm. 42. 15Howard M. Federspiel, Indonesia Muslim Intelelctuals of the 20th Century, ( Singapore: ISEAS, 2006), hlm. 33.

demokrasi, hak-hak hukum (legal rights) dan sebagainya.16 Dalam hal ini, Muhammadiyah memberikan tiga fokus respons sekaligus melaku-kan pemetaan lebih sederhana: respons terhadap modernisasi, respons terhadap diskursus agama dan respons terhadap budaya lokal. Pemetaan ini tidak dimaksudkan menetapkan aspek-aspek tersebut dalam kerangka konsekuensi logis bahwa aspek yang pertama adalah aspek determinan bagi aspek berikutnya. Aspek-aspek tersebut diperlakukan sebagai faktor determinan yang setara dalam memberikan pengaruh terhadap muncul-nya Persyarikatan Muhammadiyah.

1. Respons Muhammadiyah terhadap Modernisasi Kolonial Muhammadiyah muncul pada masa peralihan kebijakan kolonial pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang disebut dengan politik-etis (Ethice Politiek). Kebijakan ini muncul dari desakan kelompok politik-etis, baik dari sayap sosialis maupun liberal seperti van Dendem, Abendanon, van Deventer dan van Kol agar mengubah wajah kolonialisasi dari mo-nopoli-eksploitatif cultuur stelsel menjadi humanis-etis. Mereka menuntut restitusi dari surplus keuntungan yang selama ini dinikmati oleh Belanda untuk peningkatan taraf kehidupan pribumi.17 Mereka menuntut agar:

Tujuan terakhir dari politik kolonial seyogianya berupa peningkatan ke-sejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evaluasi ekonomi dan bukannya eksploitasi kolonial, melainkan pertanggung jawaban moral.18 Politik etis menggunakan trisila slogan tentang kesejahteraan pribumi yang meliputi irigasi dengan tujuan sebagai berikut:

16Charles Kurzman. Liberal Islam: A Source Book (Oxford: Oxford Univer-sity Press, 1998), hlm. 6.

17Robert van Niel, Muncul Elite Modern Indonesia (1984), hlm. 57. 18Suryanto Sastroatmodjo, “Kelir Belakang Politik Penjajahan Belanda Sebelum, Sesama dan Sesudah R.A. Kartini “ dalam Tragedi Kartini (Yogya-karta: Penerbit Narasi, 2005), hlm. 106.

Perkebunan membutuhkan teknik irigasi yang lancar. Pabrik-pabrik yang banyak jumlahnya, kantor-kantor dagang dan cabang-cabang perusahan lainnya menyebabkan timbulnya kebutuhan pada pegawai-pegawai yang cukup inteligensianya, tegasnya berpendidikan Barat.19

Kebijakan tersebut membawa dampak perkembangan kota menjadi lebih dinamis dan terbuka bagi interaksi kultural dari berbagai kelompok masyarakat pribumi, Belanda dan Eropa, Arab, India, China dan lainnya. Kebijakan ekonomi liberal menyebabkan transformasi sosial dan politik yang makin luas. Cara dan jangkauan komunikasi yang lebih mudah dan luas dengan ditemukannya telegram dan jasa pos, serta kemajuan sistem transportasi dengan penemuan kapal uap, pembukaan terusan Suez dan jalur kereta api membawa dampak perubahan yang cukup signifikan di berbagai kota besar.20

Di samping itu, pendidikan memainkan peranan yang sangat krusial dalam transfer pengetahuan modern. Meski awalnya dimaksudkan untuk mendidik tenaga administrasi dan proses pemurtadan (proselytazion) namun pendidikan pada akhirnya menumbuhkan tradisi baca (literacy) secara meluas di kalangan pribumi.

Tradisi literasi tersebut semakin meluas dengan berbagai perkem-bangan di bidang percetakan, transportasi dan komunikasi yang mem-perluas ekspansi ekonomi secara lebih efektif dan efisien. Pengembangan prasarana kereta api dan kanal-kanal memperlancar mobilitas antar daerah. Perekonomian kota-kota besar berkembang pesat yang meng-akibatkan gelombang urbanisasi dan migrasi sehingga menciptakan ruang-ruang publik yang plural dan kompleks. Pribumi tidak lagi menjadi pemilik utama kota karena harus berbagi ruang dengan para pemilik modal Eropa, Arab, China dan India.

19Ibid.

20Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan Hindia Belanda (Jakarta: Obor, 2007), hlm. 18.

Sistem ekonomi liberal ini memungkinkan kalangan pribumi berpartisipasi dalam mengembangkan usaha dagangnya secara lebih baik karena dihapuskannya monopoli yang dilakukan oleh VOC. Namun politik segregasi rasial dan agama tetap menjadi penghalang kemajuan usaha pribumi. Persaingan dagang antara China yang dilindungi oleh pemerintah kolonial dan pribumi terus berlangsung sehingga menjadi isu politik dengan berdirinya Sarekat Dagang Islamiyah (SDI) yang dipelopori oleh Samanhoedi di daerah Laweyan, Surakarta.21

Di sisi lain, kegundahan kalangan santri kota juga dipicu oleh kebijakan diskriminatif kolonial dalam penyelenggaraan pendidikan yang hanya diperuntukkan bagi kalangan Eropa, etnis China dan elite pribumi yang terbatas pada kalangan ningrat dan para birokratnya. Meski mendapatkan desakan dari kalangan liberal-etis atau sering disebut liberal progresif (sebagai lawan dari liberal konservatif) di parlemen Belanda untuk melakukan balas budi (politik etis) kepada pribumi, namun pelaksanaannya masih setengah hati. Para petinggi kolonial dibayangi oleh kekhawatiran kesadaran akan gerakan-gerakan radikal kemerdekaan. Pemberian pendidikan bagi pribumi termuat dalam pidato Ratu Belanda tentang ‘kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat Hindia Belanda.22

Desakan tersebut juga sejalan dengan kepentingan para pejabat perkebunan yang membutuhkan tenaga kerja terdidik yang lebih murah dari kalangan pribumi. Hal itu dilakukan untuk menghemat biaya karena mendatangkan tenaga terdidik menengah dari Belanda sangat mahal. Pada 1870 diangkat Inspektur Pendidikan Pribumi untuk memperluas akses pendidikan kalangan pribumi. Pendidikan untuk kalangan pribumi hanya sampai sekolah rendah kelas satu dan dua sedangkan kalangan

21Alwi Shihab, Membendung Arus, hlm. 101-104.

22Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta: pustaka Jaya, 1984), hlm. 54-55.

elite diperbolehkan secara terbatas memasuki sekolah-sekolah tinggi Belanda yang pada gilirannya memunculkan priayi sebagai elite baru.23

Dari penelusuran di berbagai literatur, kelompok santri kota meng-alami diskriminasi pada dua aspek, yaitu akses ekonomi dan pendidikan. Terbatasnya akses pendidikan menjadi hambatan bagi penyerapan ide-ide modernisasi yang tengah berkembang. Sedangkan diskriminasi ekonomi menyebabkan lemahnya upaya pemberdayaan sosial politik dibandingkan dengan kelompok priayi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya respons kalangan Islam berbeda-beda yaitu respons reaktif-isolatif, reaktif-konfrontatif, responsif-adaptatif dan responsif-adoptif. Muhammadiyah lebih mendekati kategori ketiga yang sejalan dengan pendapat para reformis seperti Al-Afghani, Abduh dan Iqbal, bahwa modernitas memiliki akar-akar dalam pemikiran rasional Islam yang dapat bersesuaian dengan rationalisme modern.24 Sikap responsif adaptatif atau dalam istilah Haedar Nashir disebut akomadatif-kritis Muhammadiyah sering dikaitkan dengan sikap Ahmad Dahlan yang apolitis, toleran dan bahkan akomodatif dan kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Ada beberapa aspek yang sering digunakan sebagai indikator sikap ako-modatif-kooperatif Muhammadiyah, di antaranya:

...sejak awal berdirinya 1912 di era penjajahan Belanda, Muhammadiyah menerima subsidi dari pemerintah Belanda untuk kegiatan pendidikan yang dikelolanya. Sikap ini diambil dengan tanpa terlalu ingin terjebak pada sikap non-kooperasi dan kooperasi yang cukup meruncing di kalangan pergerakan kebangkitan nasional waktu. Muhammadiyah dikelompokkan sebagai gerakan kooperasi dengan pemerintah Belanda.25

23Hellwig, Citra Kaum Perempuan (2007), hlm. 29-30.

24Charles Kurzman, Liberal Islam: A Source Book (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm.6. Tentang rasionalisme Islam akan dibahas lebih lanjut pada subbab berikut.

25Haedar Nashir, Dinamika Politik Muhammadiyah (Malang: UMM, 2006), hlm. 89.

Bagi sebagian kalangan, seperti Munir Mulkhan dan Haedar Nashir kategorisasi tersebut tidak relevan untuk Muhammadiyah sebagai gerakan sosial. Pengelompokan itu terlalu statis. Sikap yang diambil Muhamma-diyah hanyalah strategi dalam mengamankan amal usahanya. Dalam menanggapi subsidi pemerintah kolonial, Djarnawi Hadikusuma ber-argumentasi bahwa bantuan itu berasal dari pajak umat Islam dan dari kekayaan bumi Indonesia. Di samping itu subsidi kepada lembaga Kristen dan Katholik jauh lebih besar.26

Terkait dengan sikap politis Ahmad Dahlan, banyak sumber, ter-masuk Alwi Syihab dan Deliar Noer menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan bukanlah seorang yang apolitis sebab sebelumnya ia telah aktif ber-gabung dengan Budi Utomo sebagai gerakan nasionalis kalangan priayi yang dibentuk pada 1908. Latar belakang priayi dan gagasannya yang moderat menjadikan pandangan-pandangannya dengan cepat diterima oleh kalangan priayi intelektual, pegawai pemerintah dan guru sekolah kolonial.27 Di sisi lain, profesinya sebagai pedagang pribumi memungkin-kannya bergabung dalam Sarekat Dagang Islam pimpinan Samanhoedi dan HOS Cokroaminoto yang aktif membela para pedagang pribumi dari berbagai tekanan politik ekonomi Kolonial Belanda.

Keterlibatan politis tersebut tidak menjadi misi organisasi Mu-hammadiyah. Setidaknya ada dua faktor yang mendasari berdirinya Muhammadiyah. Pertama, belajar dari pengalaman pahit Abduh ketika bergerak secara politis ketika umat Islam belum siap secara mental dan pengetahuan. Abduh menyesali jatuhnya korban akibat perlawanan yang tidak seimbang. Kedua, seperti disinyalir oleh Alwi Shihab bahwa Ahmad Dahlan bermaksud mempersiapkan kondisi ekonomi, mental dan pe-ngetahuan masyarakat Muslim dengan memberdayakan ekonomi dan

26Ibid., hlm. 90.

27Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (London: Oxford University Press, 1973), hlm. 75.

memperbanyak kalangan terdidik dalam mengimbangi misi Kristen dalam menyiapkan sumber daya.

Bahkan setelah mendirikan Muhammadiyah Ahmad Dahlan tidak lagi secara tajam mengkritik kebijakan kolonial yang merugikan umat Islam. Ahmad Dahlan juga bergaul dengan sangat akrab dengan ka-langan Kristen dan bersahabat dengan pastor dan pendeta. Alwi Shihab menggarisbawahi bahwa kedekatan tersebut hanya merupakan strategi dan tidak mengubah pandangannya bahwa Kristen merupakan ancaman nyata umat Islam pada masanya. Karena sikap yang kooperatif’ dan akomodatif tersebut, Muhammadiyah sempat dikucilkan oleh gerakan-gerakan Islam dan politik yang mengambil sikap oposisi dan konfrontasi terhadap pemerintah kolonial.28

Sikap responsif-adaptatif atau akomodatif Muhammadiyah mampu menyeleksi aspek-aspek modernitas sebagai elemen kemajuan, modernitas sebagai politik dominasi kolonial kapitalistik dan modernitas sebagai strategi misionaris Kristen. Pandangan semacam ini meluas di kalangan kelompok Islam reformis di Mesir dan India seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Chiragh Ali, Muhammad Abduh, Amir Ali, Qosim Amin dan yang lainnya.29

Proses selektif tersebut merupakan manifestasi dari sikap nasionalis-me yang berakar pada agama, ras dan bahkan etnisitas pada bangsa-bangsa terjajah. Nasionalisme modern menjadi pilihan kalangan reformis, termasuk reformis Islam yang tidak memandang perlu merestorasi sistem monarki Islam seperti Kesultanan Ottoman Turki dan kerajaan Moghal di India. Transformasi sosial pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 diakibatkan oleh kontestasi politik antara kolonial dan kekuasaan tradisional, konservatisme modernisme dan feodalisme,

28Ahmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Muhammadiyah Masa Awal (Surabaya: LPAM, 2002), hlm. 121.

29Mansoor Moaddel dan Kamran Talattof (ed,) Modernist and Fun-damentalist Debates in Islam: A Reader (New York; McMillan, 1999), hlm. 1-2.

liberalisme kapitalistik dan misionaris Kristen dan ulama Islam ortodoks. Sedang kan secara kultural muncul kontestasi diskursif antara rasional dan pemikiran tradisional mistik (superstition), teknologi dan mitos, feodalisme dan liberalisme, kesetaraan dan kebebasan dan desposisme, kesetaraan gender dan patriarkis serta kemajuan (civilization) dan keterbelakangan (savagery).30

Pengamatan yang sama juga ditemukan oleh Jayawerdana terhadap perjuangan kemerdekaan di Asia yang lebih diarahkan pada struktur masyarakat baru dalam mencapai kemerdekaan politik modern, mene-gaskan identitas nasional serta modernisasi sosial. Berbeda dengan kalangan revolusioner yang dalam istilah Mansoor Moaddel disebut kelompok fundamentalis, kelompok reformis lebih memilih upaya-upaya transformatif seperti: pertama, kebutuhan untuk melakukan reformasi internal untuk melakukan modernisasi sosial. Kedua, merombak struktur masyarakat pra-modern terutama keberadaan dinasti-dinasti yang ber-kuasa dan ortodoksi agama. Ketiga, menegaskan identitas nasional untuk memobilisir perjuangan semesta mengusir kolonialisem dan imperialis-me. Dalam beberapa hal ditemukan strategi paradoksal dengan