• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontekstualisasi Ekonomi Islam

Dalam dokumen TAFSIR AYAT AYAT AL QURAN (Halaman 53-59)

Tauhid sebagai prinsif atau asas sejatinya harus menafasi seluruh sistem ekonomi Islam. Di dalam bukunya Tauhid, Isma’il Raji’ Al-Faruqi menjelaskan dengan cukup baik khususnya pada bab XI dengan judul Tauhid dan Tata Ekonomi. Ia memulai pembahasannya dengan ungkapan yang menurut saya sangat mengesankan. Berikut ini pernyataan Al-Faruqi:

Muhammad Iqbal, pelopor spiritual Pakistan, patut menerima kehormatan sebagai orang pertama di zaman modern ini yang

13 Ahmad Yusam Thabrani, Fikih Kelautan...h. 99

t

¤‚y™uρ

/ä3s9

$¨Β

’Îû

Ï

N≡uθ≈yϑ¡¡9$#

$tΒuρ

’Îû

Ç

Úö‘F{$#

$Yè‹ÏΗsd

ç

μ÷ΖÏiΒ

4

¨

βÎ)

’Îû

š

Ï9≡sŒ

;

M≈tƒUψ

5

Θöθs)Ïj9

š

χρã©3xtGtƒ

∩⊇⊂∪

menegaskan atas nama Islam bahwa “tindakan politik adalah ungkapan spiritualitas Islam.” Kaum muslimin di seluruh dunia sejak saat itu telah meyakinkan diri mereka terhadap kebenaran ini dan dengan bangga mengulang-ulangi kata-kata Iqbal dalam setiap kesempatan. Pintu masih terbuka saat ini bagi setiap pemikir Islam manapun yang sekaliber Iqbal untuk menyatakan kepada dunia atas nama Islam bahwa, “Tindakan ekonomi adalah ungkapan Spiritualitas Islam.” Kaum muslimin niscaya akan meyakinkan diri mereka akan kebenaran pernyataan ini semudah mereka melakukannya terhadap pernyataan Iqbal. Mereka tidak akan meluputkan maksudnya, sebagaimana mereka tidak meluputkan maksudnya Iqbal. Yaitu, bahwa kebalikan dengan ajaran Kristen yang memisahkan Gereja dengan Negara, Islam berpendapat “gereja” memerlukan “negara.” Bahwa eksistensi dan kesehatan negara adalah esensi agama dan demikian pula halnya aktivitas ekonomi. Ekonomi ummah dan kesehatannya adalah esensi Islam. Spiritualitas Islam yang adil tidak akan ada tanpa adanya tindakan ekonomi yang adil.14

Tindakan ekonomi yang adil, akan lahir sepanjang pelaku-pelaku ekonomi menyadari tentang kedudukan Allah SWT. Ungkapan tauhid Islam, La Ilaha Illa Allah mengandung arti bahw tidak ada wujud apapun yang patut diberi sebutan Tuhan kecuali Allah. Tauhid Islam yang tersimpul dalam ungkapan tersebut mencapai dua tujuan sekaligus. Mengukuhkan Tuhan sebagai satu-satunya pencipta alam raya, dan mensederajatkan semua manusia sebagai makhluk Tuhan, yang dikaruniai sifat-sifat esensial manusia yang sama, dengan status kosmik yang sama pula.15

Masih menurut Al-Faruqi, dalam tauhid juga tercakup aspek lain, yaitu aspek aksiologis yang menegaskan la ilaha illa Allah berarti bahwa Allah adalah satu-satunya nilai tertinggi, bahwa segala sesuatu yang lain hanyalah alat yang kenilaiannya tergantung pada Tuhan, dan yang kebaikannya diukur oleh aktualisasinya atas kebaikan ilahiah yang tertinggi. Ia berarti bahwa Tuhan adalah tujuan akhir dari semua kehendak, bahwa Dia adalah satu-satunya Penguasa yang kehendaknya merupakan keharusan yang harus dilaksanakan oleh semua makhluk.

14 Isma;il Raji’ Al-Faruqi, Tauhid, h.161 15Ibid., h. 164

Dalam pandangan ini manusia adalah hamba yang tugas dan takdirnya adalah mengabdi kepada Tuhan, dan memenuhi kehendak Ilahi; yaitu mengaktualisasikan nilai dalam ruang dan waktu.16

Penjelasan Al-Faruqi yang penulis kutip di atas, cukup memberikan definisi apa yang dimaksud dengan tauhid itu sendiri. Berangkat dari perspektif ini, tidak ada perbedaan dikalangan ahli ekonomi Islam untuk menempatkan tauhid sebagai asas dan prinsif ekonomi Islam itu sendiri. Tauhid sejatinya hulu dari seluruh bangunan ekonomi Islam itu sendiri.

Menurut Umar Chafra, batu fondasi keimanan Islam adalah tauhid, di mana konsep ini bermuara semua pandangan dunia dan strateginya. Tauhid mengandung pengertian bahwa alam semesta didesain dan diciptakan secara sengaja oleh Allah yang Maha Kuasa, yang bersifat esa dan unik, dan ia tidak terjadi karena suatu kebetulan atau accident. Segala sesuatu yang diciptakannya, pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang akan memberikan arti dan signifikansi bagi jagat raya, di mana manusia merupakan salah satu bagiannya. Sesudah menciptakan jagad raya ini Allah tetap terlibat dalam segala urusannya dan senantiasa waspada dan mengawasi kejadian yang paling kecil sekalipun.

Syed Nawab Heidar Naqvy ketika mengulas tauhid, mengatakan bahwa, tauhid merupakan konsep utama dalam keseluruhan ajaran Islam, di mana dalam pengertian absolut hanya berhubungan dengan Allah. Manusia bersifat teomorfis karenanya mencerminkan sifat- sifat ilahiyyah (ketuhanan) dalam semua manivestasi duniawinya. Tauhid merupakan konsep yang serba eksklusif sekaligus inklusif.

Pada tingkat absolut ia membedakan Allah dan ciptaannya (khaliq dan makhluq) di mana memerlukan penyerahan tanpa syarat oleh semua makhluk kepada kehendaknya. (Q.S 12;40). Kemudian, seluruh aspek kehidupan manusia hanya ditujukan kepada Allah semata. Jadi tauhid merupakan dimensi vertikal Islam. Semua unsur dalam alam semesta dipadukan dan dipersatukan dalam bingkai ketaatan

kepada Allah. (Q,S. 6:162). Terkahir, tauhid memberikan suatu perspektif yang pasti yang menjamin proses pencarian kebenaran manusia pasti akan tercapai sepanjang menggunakan petunjuk dari Allah sendiri. (Q.S. 10:36).

Tampaknya penjelasan tauhid sebagai asas ekonomi Islam yang cukup memuaskan diberikan oleh Masudul Alam Chowdhury. Beliau menyatakan prinsip ekonomi Islam yang paling utama adalah tawheed and brotherhood (tauhid dan persaudaraan). Secara literal tauhid berarti (men)satu (kan), namun dalam pengertian yang lebih luas hal ini menunjukkan aspek transendensi manusia terhadap Tuhan yang maha satu. Dalam konteks ekonomi, hal ini akan membawa implikasi adanya keharusan ekonomi untuk bertolak dan bersumber dari ajaran Allah, dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Allah, dan akhirnya ditunjukkan untuk ketaqwaan kepada Allah SWT. Persaudaraan mengandung pengertian hubungan antara sesama manusia yang dibingkai oleh rasa kasih sayang, tolong menolong dan keadilan.

Dalam pandangan Islam, tauhid dan persaudaraan merupakan sebuah kesatuan integral. Sikap taqwa kepada Allah akan diikuti rasa persaudaraan kepada sesama, demikian sebaliknya, rasa persaudaraan sesama dibangun atas dasar ketakwaan kepada Allah. Dalam pengertian yang lebih luas, persaudaraan menggambarkan sifat kemanusiaan dari ekonomi Islam. Dengan demikian, ekonomi Islam akan memiliki dimensi ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus.

Tidak kalah menariknya adalah ungkapan Amiur Nuruddin di dalam pengantar bukunya, Dari Mana Sumber Hartamu ?. ia menuliskan: Tauhid adalah landasan filosofis yang paling fundamental bagi kehidupan manusia. Dalam perspektif dunia holistik, tauhid bukan hanya sekedar ajaran tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lebih jauh mencakup pengaturan sikap manusia terhadap Tuhan dan alam semesta. Aspek emansipatoris dari ajaran tauhid berfungsi membangun kualitas individu, sekaligus membina kualitas masyarakat. Tauhid bukan saja mengandung makna keyakinan tentang keesaan Allah (Q.S Al-Baqarah:163: al-Ikhlas:1-4), tetapi juga mencakup kepercayaan tentang “kesatuan penciptaan” (QS Al-An’am:102, AL-Ra’d:1g, Fathir:3, al-Zumar:62, dll), kesatuan

kemanusiaan (QS.al-Baqarah:213, al-Ma’idah:48), kesatuan tuntunan hidup (QS.Ali Imran:85, Al-Nisa’125), serta kesatuan tujuan hidup bagi manusia sebagai hamba Allah (QS al-Taubah:31, Al-Zariyat:56) dan pada saat yang sama juga sebagai khalifah Allah (QS. Al- Baqarah:30, Al-An’am:65). Pengejewantahan pandangan hidup holistik ini di masa-masa awal Islam terlihat jelas sekali pada semua bidang kehidupan, baik bidang sosial politik maupun sosial ekonomi.17

Dalam pandangan tauhid, manusia sebagai pelaku ekonomi hanyalah sebatas “mustakhlif” (trustee), pemegang amanah Allah (QS. Al-Hadid:7). Oleh sebab itu manusia dalam seluruh peran dan aktifitasnya harus mengikuti ketentuan syari’at Allah. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga bersifat teistis (rabbaniyyah), moral dan etis (khuluqiyah).18

Penjabaran tentang implikasi ekonomis dari landasan tauhid ini merupakan fokus utama sekaligus sebagai corak tersendiri dalam analisis ekonomi Islam. Sebagaimana diketahui dalam analisis ekonomi Islam, unit operasional terkecil bukanlah “manusia ekonomi” (homo economicus), melainkan manusia sebagai “khalifah” (homo islamicus)

dalam mengelola amanah yang baik.19

Berangkat dari pernyataan pakar di atas, tauhid sebagai asas ekonomi Islam dapat dilihat dari tiga perspektif.

Pertama, dalam konteks sumber daya alam (material), kita harus meyakini bahwa Allah adalah pemiliki apa yang ada di bumi dan apa yang ada di langit. Allah menjadi pemilik tunggal terhadap kekayaan semesta. Manusia tidaklah disebut sebagai pemilik, melainkan hanya sekedar hamba yang diberi amanah, dimilikkan sesuatu untuk selanjutnya dikelola dan diberdayakan berdasarkan petunjuknya.

17 Amiur Nuruddin, Dari Mana Sumber Hartamu, Jakarta, Erlangga, 2010,

h.viii-ix

18Ibid., 19Ibid.,

Kedua, dalam konteks manusia sebagai makhluk ekonomi, haruslah mengorientasikan segala macam aktivitasnya hanya untuk Allah SWT. Aktivitas ekonominya dimaksudkan sebagai ibadahnya kepada Allah SWT.

Ketiga, dalam konteks hubungan dan interaksinya kepada sesama manusia, aktivitas ekonomi yang dilakukannya mestilah dalam rangka mensejahterakan manusia. Bukankah sebagai khalifah Allah, ia diberi tanggungjawab untuk memakmurkan bumi (wasta’marakum al- ard) dengan segala isinya.

HOMOECONOMIC VS

Dalam dokumen TAFSIR AYAT AYAT AL QURAN (Halaman 53-59)

Dokumen terkait