• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apakah kontrak tersebut bersifat mutlak?

Dalam dokumen BAB I BAB V DAFTAR PUSTAKA (Halaman 50-58)

jaminannya langsung dieksekusi? Jika tidak, mengapa?

9. Apakah kontrak tersebut bersifat mutlak?

10.Bagaimana akad pembiayaan mudarabah di Bank BNI Syariah Yogyakarta

Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)

Pertama : Ketentuan Pembiayaan:

1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. 2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik

dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.

3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).

4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi

mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan

pengawasan.

5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada

jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan

penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme

pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan

memperhatikan fatwa DSN.

9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.

10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan. Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:

1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi,

atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. 3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh

penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:

a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.

c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.

b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.

c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari

mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai

perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.

b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.

c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Ketiga : Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:

karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Menimbang:

a. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan jasa perbankan syariah kepada masyarakat diperlukan jumlah kantor bank syariah yang semakin banyak yang dapat menjangkau masyarakat secara luas termasuk memperkuat keberadaan unit usaha syariah pada bank umum konvensional;

b. bahwa unit usaha syariah harus berkembang secara sehat dan dikelola secara professional sehingga diperlukan dukungan dari manajemen dan modal yang cukup agar dapat tumbuh secara sehat dan tangguh (sustainable);

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b maka diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai unit usaha syariah dalam suatu Peraturan

Bank Indonesia.

Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007

Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut BUK adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri;

2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;

3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja dari BUK yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah;

4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan syariah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia;

5. Kantor Cabang Syariah yang selanjutnya disebut KCS adalah kantor cabang UUS yang bertanggung jawab kepada UUS yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor cabang pembantu syariah dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri;

6. Kantor di bawah Kantor Cabang Syariah adalah kantor cabang pembantu syariah dan kantor kas syariah;

7. Kantor Cabang Pembantu Syariah yang selanjutnya disebut KCPS adalah kantor cabang pembantu UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCPS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor di bawah kantor cabang pembantu syariah atau kantor kas syariah dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri;

8. Kantor Kas Syariah yang selanjutnya disebut sebagai KKS adalah kantor kas UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS atau KCPS induknya, kecuali memberikan pembiayaan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KKS tersebut melakukan usahanya;

9. Layanan Syariah yang selanjutnya disebut LS adalah kegiatan penghimpunan dana, pembiayaan dan pemberian jasa perbankan lainnya berdasarkan Prinsip Syariah yang dilakukan di kantor cabang konvensional atau kantor cabang pembantu konvensional untuk dan atas nama KCS pada bank yang sama; 10. Kegiatan Perbankan Elektronis adalah kegiatan pelayanan jasa bank syariah

yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis yang dimanfaatkan untuk pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank

a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah-pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak permanen antara lain kas mobil, kas terapung atau counter bank non permanen;

b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara BUK yang memiliki UUS dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga; c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas atau non kas yang

dilakukan secara elektronis untuk memudahkan nasabah antara lain dalam rangka menarik atau menyetor secara tunai atau melakukan pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, termasuk ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi melalui kerja sama dengan pihak lain;

12. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan UUS agar sesuai dengan Prinsip Syariah;

13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur UUS dan/atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional bank seperti kepala divisi, atau pemimpin KCS;

14. Pemisahan (spin-off) adalah pemisahan usaha dari satu BUK menjadi dua badan usaha atau lebih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

15. Hari adalah hari kalender.

BAB II PERIZINAN Bagian Kesatu

Pembukaan Unit Usaha Syariah Pasal 2

(1) BUK yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS.

(2) Rencana pembukaan UUS harus dicantumkan dalam rencana bisnis BUK. Pasal 3

(1) Pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.

(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk izin usaha.

Pasal 4

(1) Modal kerja UUS ditetapkan dan dipelihara paling kurang sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah).

Pasal 5

(1) Permohonan izin usaha UUS diajukan oleh BUK disertai dengan antara lain: a. rancangan perubahan anggaran dasar yang paling kurang memuat kegiatan

usaha UUS;

b. identitas dan dokumen pendukung Direktur yang akan bertanggung jawab penuh terhadap UUS, calon anggota DPS dan calon Pejabat Eksekutif;

c. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; dan

d. rencana bisnis (business plan) UUS untuk tahun pertama dan jangka menengah.

(2) BUK yang mengajukan permohonan izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan penjelasan mengenai keseluruhan rencana pembukaan UUS.

Pasal 6

(1) BUK yang telah mendapat izin usaha UUS wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha diberikan.

(2) UUS wajib melaporkan pelaksanaan kegiatannya paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha.

(3) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha diberikan BUK belum melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, maka izin usaha yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.

Pasal 7

BUK yang telah mendapatkan izin usaha UUS wajib mencantumkan secara jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama BUK dan logo iB pada kantor UUS yang bersangkutan.

BAB III

Dalam dokumen BAB I BAB V DAFTAR PUSTAKA (Halaman 50-58)

Dokumen terkait