• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju Konversi Lahan

Dalam dokumen SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN (Halaman 66-69)

Analysis of Economic Land Rent Changes on Community Forest Conversion in Upstream Ciliwung Watershed

B. Laju Konversi Lahan

Besarnya arus wisata ke Puncak dan meningkatnya kebutuhan sarana dan prasarananya seperti jalan, pertokoan, villa dan penginapan menyebabkan terjadinya konversi lahan yang semula merupakan lahan bervegetasi menjadi bangunan. Alih fungsi lahan yang terjadi di DAS Ciliwung hulu dapat dilihat dari hasil interpretasi peta citra Landsat ETM .

Untuk interpretasi citra Landsat ETM , Harimurti (1999) dan Janudianto (2004) mengelompokkan lahan menjadi katagori hutan lebat, kebun teh, semak/belukar, kebun campur, permukiman, sawah, ladang/tegalan dan lahan terbuka. Hutan lebat adalah wilayah yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan, baik alami maupun yang dikelola, dengan tajuk yang rimbun dan lebat. Kebun teh adalah daerah yang digunakan sebagai perkebunan teh. Semak belukar merupakan hutan yang telah dirambah / dibuka, merupakan area transisi dari hutan lebat menjadi kebun atau lahan pertanian. Kebun campuran adalah daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campuran baik dengan pola acak maupun teratur. Permukiman merupakan kombinasi antara jalan, bangunan, pekarangan, dan bangunan. Sawah merupakan daerah yang ditanami padi sebagai tanaman utama. Sedangkan tegalan merupakan daerah yang umumnya ditanami tanaman semusim. Lahan terbuka merupakan daerah yang tidak ditemukan vegetasi berkayu, umumnya hanya jenis rerumputan. Berdasarkan pengelompokan ini hasil analisis terhadap peta citra satelit dari tahun 1995 dan 2003, terhadap perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua ditampilkan pada Tabel 1.

+ +

Gambar ( ) 1. Kondisi penggunaan lahan pada tahun 1995 dan 2003 di Kecamatan

Ciawi, Megamendung dan Cisarua (Sumber: Peta Citra Landsat ETM tahun 1995 dan 2003) (

)

Figure

+

Land use changes between 1995 and 2003 in Ciawi, Megamendung and Cisarua subdistricts (Source: Landsat ETM images of 1995 and 2003)

Hasil analisis citra satelit menunjukkan bahwa di kawasan DAS Ciliwung hulu selama kurun waktu 8 tahun perubahan luasan penggunaan lahan yang paling cepat adalah permukiman (Gambar 1). Yang tercepat terjadi di Kecamatan Megamendung yaitu mencapai 187,14 ha/tahun. Tipe penggunaan lahan yang mengalami laju penyusutan tercepat di Megamendung berturut-turut hutan, kebun campur, dan hutan belukar. Sedangkan di Cisarua berturut-turut kebun campur, hutan dan tegalan/ladang.

Tabel ( ) 1. Luas (ha) dan laju pertumbuhan (%) penggunaan lahan di Kecamatan

Cisarua, Megamendung dan Ciawi antara tahun 1995 dengan 2003 ( )

Table

Land conversion growth in Cisarua, Megamendung and Ciawi subdistricts between 1995 and 2003 Pertumbuhan (Growth) Kecamatan (Subdistricts) Tipe penggunaan lahan (Land use type)

1995 2003 Total /th Hutan 2.417,34 39% 1339,11 21% -1.078,20 -134,78 Kebun teh 775,26 12% 1047,42 17% 272,16 34,02 Kebun Campuran 2.197,62 35% 169,92 3% -2.027,70 -253,46 Pemukiman 441,27 7% 1938,42 31% 1.497,15 187,14 Tegalan/Ladang 325,98 5% 1406,61 23% 1.080,63 135,08 Semak Belukar 57,79 1% 0 0% -57,79 -7,22 Lahan Terbuka 34,56 1% 323,91 5% 289,35 36,17 Badan Air/Sawah 0,45 0% 14,22 0% 13,77 1,72 Megamendung JUMLAH 6.250,36 100% 6.239,97 100% Hutan 2.903,85 39% 2.340,63 32% -563,22 -70,40 Kebun The 1.988,82 27% 1.227,42 17% -761,40 -95,18 Kebun Campuran 1.020,87 14% 139,68 2% -881,19 -110,15 Pemukiman 703,62 9% 2.566,17 35% 1.862,55 232,82 Tegalan/Ladang 684,27 9% 525,60 7% -158,67 -19,83 Semak Belukar 34,38 0% 0 0% -34,38 -4,30 Lahan Terbuka 70,65 1% 606,96 8% 536,31 67,04 Badan Air/Sawah 2,43 0% 4,23 0% 1.8 0,23 Cisarua JUMLAH 7.408,89 100% 7.410,69 100%

Sumber (Source): Analisis peta citra satelit (Satelite image interpretation)

Kawasan hutan yang ada di DAS Ciliwung hulu sebagian besar merupakan hutan lindung. Produksi hutan rakyat di DAS Ciliwung hulu, seperti halnya hutan rakyat pada umumnya di Pulau Jawa, diperoleh dari tanaman tahunan yang tumbuh dalam bentuk hutan murni, kebun-kebun campuran atau hutan belukar. Berdasarkan hasil pengamatan, di DAS Ciliwung hulu hutan rakyat didominasi oleh kebun campuran, yaitu lahan yang ditanami

campuran tanaman kehutanan misalnya mindi ( ), sengon (

), dan kayu afrika ( ), holtikultura tahunan misalnya pepaya (

), pisang ( sp.), pala ( ), dan holtikultura semusim misalnya nanas

( ), kunyit ( ), singkong ( ). Hutan murni pada

umumnya masuk dalam kawasan hutan milik negara, sedangkan semak atau belukar kebanyakan juga ditemukan dalam kawasan hutan negara, yang berada di lahan-lahan curam atau jurang di antara lahan hutan atau kebun teh (Gambar 1). Dari hasil analisis citra satelit, selama kurun waktu 6 tahun lahan-lahan yang berhutan mengalami pertumbuhan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi konversi hutan negara maupun hutan rakyat yang cepat di DAS Ciliwung hulu. Di Kecamatan Cisarua, penyusutan kebun campur, hutan dan hutan

Melia azedarach Paraserianthes falcataria Maesopsis emenii Carica papaya Musa Myristica fragrans

belukar mencapai 110,15 ha, 70,40 dan 4,30 per tahun, di Kecamatan Megamendung 253,46 ha, 134,78 ha dan 7,22 ha per tahun.

Untuk mengetahui pola konversi hutan rakyat di DAS Ciliwung hulu dilakukan analisis terhadap perubahan penggunaan lahan per tahun berdasarkan peta citra satelit dari tahun 1995 dan 2003. Setiap tahun di Kecamatan Megamendung perubahan lahan kebun campur ke penggunaan lainnya (hutan, kebun teh, pemukiman, ladang, semak/belukar, lahan terbuka dan sawah) menunjukkan konversi hutan rakyat selama 8 tahun rata-rata sebesar 253,46 ha/tahun, sedangkan di Cisarua rata-rata 110,15 ha/tahun. Dari hasil analisis diketahui bahwa penyebab utama penyusutan hutan rakyat di Megamendung maupun Cisarua adalah konversi menjadi pemukiman dan ladang/tegalan, yaitu seluas 225,90 ha/tahun. Berdasarkan peta interpretasi citra satelit, pada tahun 1995 hutan rakyat dalam bentuk kebun campur masih banyak tersebar di desa-desa di Kecamatan Megamendung. Namun pada tahun 2003, seperti hasil pengecekan di lapangan pada tahun 2005, hutan rakyat dalam bentuk kebun campur yang relatif luas hanya tertinggal di Desa Gadog Kecamatan Megamendung. Di tempat-tempat lain sudah jarang ditemukan kebun campur. Lahan kebun campur banyak yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman, kebun campur yang tersisa ditemukan terpencar dalam luasan-luasan yang sempit di lahan-lahan miring.

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum penggunaan lahan untuk kebun campuran dengan tanaman tahunan secara ekonomi kurang menguntungkan daripada penggunaan lahan untuk padi, atau penggunaan lainnya seperti palawija, villa atau permukiman. Hasil analisis terhadap usaha agroforestri menunjukkan nilai ekonomi lahan sebesar Rp 553 /m /th. Nilai ekonomi lahan ini sebenarnya masih dapat ditingkatkan karena sebagian besar lahan agroforestri tidak dikelola secara optimal. Dengan mengoptimalkan sistem silvikultur maka sebenarnya nilai ekonomi lahan dari agroforestri di wilayah ini dapat meningkat.

Di Gadog dan Sukakarya nilai ekonomi lahan untuk pertanian seperti padi dan sayuran atau palawija lebih tinggi daripada kegiatan agroforestri, yaitu Rp 2.273 /m /th. (padi), Rp 2.271 /m /th. (ubi cilembu). Selain itu tingkat konversi hutan rakyat dari tahun ke tahun terus terjadi karena cepatnya pertambahan penduduk yang diikuti dengan semakin bertambahnya permintaan akan perumahan. Nilai ekonomi lahan untuk pemukiman di Gadog dan Sukakarya adalah sebesar Rp 33.197 /m /th.

Di Desa Batulayang dan Tugu Utara, persaingan antara agroforestri dengan budidaya lainnya lebih berat dibanding dengan di Gadog dan Sukakarya. Di kedua desa ini nilai ekonomi lahan untuk tanaman padi Rp 2.563 /m /th, bawang daun Rp 3.852 /m /th, perumahan Rp 37.466 /m /th., dan villa Rp 29.278 /m /th, jauh lebih menguntungkan dibanding nilai ekonomi lahan untuk hutan rakyat.

Konversi hutan rakyat menjadi hutan, kebun teh dan hutan belukar tidak menimbulkan permasalahan lingkungan di DAS Ciliwung hulu, karena perubahan ke arah tipe-tipe penggunaan lahan tersebut tidak mengurangi luasan lahan yang tertutupi vegetasi, atau mungkin perubahan tersebut justru meningkatkan perannya dalam konservasi lahan. Konversi hutan rakyat akan menimbulkan permasalahan lingkungan ketika berubah ke arah

C. Perbedaan

Dalam dokumen SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN (Halaman 66-69)

Dokumen terkait