• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Konversi Lahan di Kawasan Pesisir

Kawasan pesisir dan wilayah pulau-pulau kecil Indonesia memiliki ekosistem yang cocok bagi pengembangan kegiatan budidaya udang di tambak air payau. Pengoperasian tambak udang biasanya dikembangkan di daerah pasang surut. Di kawasan tersebut tersedia air setinggi 0.8-1.5 m selama periode rata-rata pasang tinggi, yang dapat digunakan untuk budidaya udang dan untuk pengeringan secara sempurna pada saat diperlukan (BPPT, 1995).

Konversi lahan mangrove di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi pertambakan memiliki dampak potensial, antara lain: (a) mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove sebagai nursery ground pada stadium larva, (b) menurunkan kemampuan mangrove untuk mengikat bahan pencemar, (c) pendangkalan perairan pesisir akibat sedimentasi, (d) intrusi garam melalui saluran tambak buatan manusia yang bermuara ke laut, dan (e) erosi pantai (Koesoebiono, 1996).

Terdapat beberapa kerugian jika pembuatan tambak dilakukan di lahan mangrove, meskipun ada juga beberapa keuntungan yang bisa diraih. Naamin (1990) menjelaskan beberapa keuntungan membangun tambak di lahan mangrove yakni: (a) biaya pemilikan lahan relatif murah karena diangggap merupakan lahan marginal; (b) biaya penggalian tambak dan pemasokan air lebih mudah, karena elevasinya rendah; (c) pergantian air lebih mudah, terutama pada daerah pasang surut yang berkisar 1-3 m; (d) perairan pantai di sekitar hutan mangrove merupakan sumber benur dan nener; (e) bila pembangunannya memperhitungkan jalur hijau (green belt), lahan tambak akan terlindung dari

erosi dan badai; dan (f) sifat fisik dan mekanik lahan mangrove baik untuk tambak dan dapat menahan air tambak. Sementara itu kerugiannya adalah: (a) pembersihan lahan dan konstruksi tambak sangat sulit dilakukan terutama pada lahan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora;(b) predator dan hama udang relatif lebih banyak dan (c); kondisi tambak kurang baik, karena terbukanya sedimen terhadap udara dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi pirit menjadi asam sulfat, sehingga tanah menjadi sangat asam. Karenanya, budidaya udang dengan teknologi maju (intensif)cenderung tidak dilakukan di lahan mangrove, namun pada lokasi yang elevasinya lebih tinggi dari pasang tertinggi yang umumnya berupa sawah atau tegalan marjinal. Menurut Singh (1980), dan Hamilton dan Snedaker (1984) dalam Naamin (1990) kondisi ini dapat menyebabkan: (i) pertumbuhan udang maupun ikan lambat dan kematian tinggi karena lahan dan airnya terlalu asam. Dalam keadaan asam pertumbuhan udang menurun. Pada pH di bawah 5.0 pertumbuhan terhenti dan pada pH sekitar 4.0 akan terjadi kematian; (ii) respon pupuk sangat rendah; (iii) produksi pakan alami rendah; dan (iv) erosi tanggul menyebabkan air tambak menjadi asam.

Untuk menjamin kelestarian mangrove mesti disediakan jalur hijau

(green belt)sebagai kawasan sempadan pantai, yang secara ekologis bermanfaat

untuk mempertahankan ekosistem pesisir beserta biotanya agar fungsi dan kekhasannya dapat terpelihara dan berkelanjutan. Namun, sejalan dengan pemenuhan kebutuhan manusia dan semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan, membuat masyarakat cenderung untuk memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama pemanfaatan hutan mangrove yang dijadikan pertambakan (PKSPL-IPB, 2001).

Penentuan kawasan jalur hijau pantai sudah ditetapkan melalui Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Penerapannya harus mempertimbangkan tatalguna lahan nasional, tatalguna lahan kesepakatan, keadaan sosial ekonomi, budaya masyarakat setempat dan kepentingan pertahanan dan keamanan. Lebar jalur hijau pantai ditetapkan mulai dari garis air surut terendah, ke arah darat atau dari laut ke batas tanggul tambak.

Jalur hijau mangrove berkelanjutan dapat terwujud jika pola penggunaan lahan di belakang jalur hijau memperhatikan kesesuaian lahan dan aspek-aspek yang mendukung kelestarian ekosistem mangrove. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: (a) kegiatan budidaya pada kawasan mangrove diupayakan tetap mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove, (b) kegiatan budidaya tambak tidak menimbulkan limbah yang dapat merusak ekosistem mangrove, (c) kegiatan eksploitasi kayu di kawasan mangrove harus sesuai dengan sistem silvikultur yang dianjurkan, (d) regenerasi alami/buatan pada kawasan mangrove perlu dijaga dan dipertahankan untuk mendukung hasil panen yang lestari, dan (e) setiap bentuk kegiatan yang melakukan pembukaan lahan mangrove perlu menyiapkan dan melakukan kegiatan rehabilitasinya.

Pembukaan lahan mangrove yang kurang cermat untuk pertambakan dapat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan akibat terjadinya perubahan ekologi. Kapestky (1982) menjelaskan bahwa perusakan daerah estuaria dapat menyebabkan laju sedimentasi dari pembasuhan suspensi bahan organik, sehingga menurunkan produktivitas perairan. Akibat lainnya adalah penghancuran struktur tanah pantai (Darsidi dan Liang, 1986) dan terancamnya berbagai jenis fauna penghuni hutan mangrove (Suwelo dan Maanan, 1986). Oleh karena itu dengan terjadinya penyusutan luas mangrove akan berdampak negatif dan menjadi penyebab utama degradasi sumberdaya perikanan. Untuk itu konversi mangrove ke pertambakan harus dilakukan secara rasional dan berwawasan lingkungan.

Menurut Soemarno (1986), Ilyas (1987), dan Poernomo (1988), lebar jalur hijau 50 m merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pembukaan tambak. Jalur hijau yang dipertahankan tidak saja yang berada di sepanjang pantai dan alur sungai, namun juga di areal antara tiap unit tambak. Dalam Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dijelaskan, untuk pengelolaan hutan mangrove, ditetapkan beberapa ketentuan berikut: (a) perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai, yaitu berupa daratan sepanjang tepian yang lebarnya minimal 100 m dari titik pasang

tertinggi ke arah darat (pasal 13 dan 14), atau paling sedikit selebar 130 kali beda tinggi pasang surut (tidal range); dan (b) perlindungan terhadap sempadan sungai untuk melindungi sungai agar fungsi sungai dan kualitas airnya tidak terganggu, yaitu sekurang-kurangnya 100 m dari kiri kanan sungai besar dan 50 m dari kiri kanan sungai kecil, atau 10-50 m dari sungai yang terletak di kawasan pemukiman (pasal 15 & 16).

Dengan demikian, keputusan yang diambil untuk memilih lahan yang sesuai untuk pertambakan harus mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan

(adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan

nilai (kelas) lahan serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan dan kelestariannya (Hardjowigeno, 2001). Kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian lahan secara sistematik dengan mengkategorikannya berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kelayakan suatu usaha atau penggunaan tertentu. Untuk tujuan pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan untuk kegiatan pertambakan udang, maka klasifikasi kesesuaian lahan ditujukan untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan, serta menjamin kegiatan pertambakan udang tersebut dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan (integrated and

sustainable development),ditinjau secara ekologis maupun sosial ekonomis.

Dokumen terkait