BAB 5. PEMBAHASAN
5.3 Koordinasi Horizontal
Interdisciplinary adalah suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan, menyatukan tindakan-tindakan, mewujudkan, dan menciptakan disiplin antara unit yang satu dengan unit yang lain secara internal maupun eksternal pada unit-unit yang sama tugasnya (Hasibuan, 2011).
Koordinasi antar bidang dalam satgas berjalan dengan baik. Hal itu terlihat dengan diadakannya kegiatan bersama-sama yang melibatkan antar bidang. Sebagai contoh ketika bagian pelayanan kesehatan melakukan kunjungan ke pengungsian
dalam rangka imunisasi, pada kesempatan yang sama juga bagian ketenagaan dan kesga membagikan PMT dan MP ASI kepada pengungsi. Kegiatan bersama ini hanya bisa terjadi jika ada komunikasi yang baik antar bidang. Seperti yang tertuang dalam KMK nomor 066 Tahun 2006 bahwa secara internal setiap koordinator bidang dalam satgas harus saling berkoordinasi untuk menyiapkan dan mengirimkan tenaga, obat dan perbekalan ke lokasi bencana. Selain itu, penanggulangan gizi darurat berhubungan dengan pelaksanaan surveilans seperti surveilans gizi, dan kegiatan imunisasi.
Koordinasi dalam bidang kesehatan lingkungan, sanitasi dan promosi kesehatan dilaksanakan dengan melakukan kunjungan ke pos pengungsian selain itu masing-masing koordinator memberikan bahan penyuluhan kepada Puskesmas. Setiap kali diadakan kunjungan dilakukan bersama-sama dengan koordinator lain sehingga kegiatan yang dilakukan baik berupa penyuluhan, pembagian sumbangan, pemantauan dan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bersama-sama. Hal ini berguna untuk mengefektifkan waktu sehingga seluruh posko pengungsi dapat dikunjungi.
Depkes RI (2002) menyatakan koordinasi adalah upaya menyatupadukan berbagai sumberdaya dan kegiatan organisasi menjadi suatu kekuatan sinergis, agar dapat melakukan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat akibat kedaruratan dan bencana secara menyeluruh dan terpadu sehingga dapat tercapai sasaran yang direncanakan secara efektif dan efisien secara harmonis.
Interrelated adalah koordinasi antar badan (instansi); unit-unit yang fungsinya berbeda, tetapi instansi yang satu dengan yang lain saling bergantung atau mempunyai kaitan secara intern atau ekstern yang levelnya setaraf. Koordinasi seperti ini memang dilakukan dengan hati-hati dan perlahan-perlahan karena berkaitan dengan organisasi lain yang memiliki keterkaitan kerja namun sederajat sehingga tidak dapat saling memerintah (Hasibuan, 2011).
Penelitian ini menunjukkan bahwa koordinasi lintas sektor satuan tugas penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung tahun 2014 kurang berjalan dengan baik. Penyebabnya adalah tidak adanya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sehingga menyebabkan penanggulangan bencana di lapangan belum sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) menurut UU Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007.
SOP suatu perangkat instruksi atau langkah kegiatan yang dibakukan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (Depkes RI, 2004). SOP pada dasarnya adalah pedoman yang berisi prosedur operasional standar yang ada dalam suatu organisasi yang digunakan untuk memastikan bahwa setiap keputusan, langkah, atau tindakan dan penggunaan fasilitas pemrosesan yang dilaksanakan oleh orang-orang dalam suatu organisasi telah berjalan secara efektif, konsisten, standard dan sistematis (Tambunan, 2008).
Selain itu Dinas Kesehatan juga tidak melakukan koordinasi dalam hal penanggulangan bencana pada masa tanggap darurat dengan membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) bersama instansi lain. SK Mendagri nomor 131 tahun 2006
mengamanatkan adanya TRC, yang anggotanya terdiri atas unsur-unsur Satuan Hansip/Linmas, TNI/Polri, Kesehatan, Kimpraswil, Sosial dan unsur lain yang diperlukan, dengan tugas melakukan pendataan dan membuat perkiraan kebutuhan darurat secara cepat apabila terjadi bencana di wilayahnya. Namun hal ini tidak berjalan sebagaimana mestinya karena berdasarkan fakta di lapangan, Dinas Kesehatan tidak melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait dalam penanganan pengungsi, misalnya untuk penyediaan air bersih, sarana MCK, kelayakan tempat tinggal bagi pengungsian, dapur dan lain-lain. Dinas Kesehatan menganggap masalah tersebut adalah tanggung jawab dari masing-masing instansi yang di berada dalam Tim Satuan Tugas yang dikeluarkan oleh Bupati Karo. Padahal dalam KMK Nomor : 145 Tahun 2007 Dinas Kesehatan bertanggung jawab terhadap standar pelayanan minimal di pengungsian pada saat bencana, walaupun dalam pelaksanaannya instansi lain yang melakukan tugas tersebut.
Koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan Rumah sakit Umum Daerah Kabupaten Karo berjalan dengan baik. Hubungan kerjasama ditandai dengan kemudahan dalam memberikan rujukan apabila pihak Puskesmas ingin merujuk pasien. Kemudahan dalam melakukan rujukan tidak hanya diberikan bagi Dinas tapi juga kepada pihak PMI dan Basarnas. Pihak TNI juga menyatakan tidak pernah mengalami kendala apabila harus melakukan rujukan dan membutuhkan bantuan dari tenaga kesehatan dalam penanggulangan bencana.
Namun agak berbeda dengan yang diutarakan dari PMI. Penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung tahun 2014 melibatkan banyak sektor. Menurut
Bapak A. Silalahi dari PMI dan Basarnas, banyaknya instansi yang terkait kali ini kurang terkoordinir karena masih banyak yang bekerja dengan sendiri-sendiri sesuai dengan bagian masing-masing. Belum terlihat keterpaduan di dalamnya. Hal yang sama juga pernah terjadi pada waktu penanggulangan bencana Erupsi Gunung Sinabung tahun 2010. Menurut Silalahi (2012) menunjukkan bahwa koordinasi lintas sektor satuan tugas penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung tahun 2010 kurang berjalan dengan baik, tidak adanya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sehingga menyebabkan penanggulangan bencana di lapangan belum sesuai dengan SOP yaitu: pada pra bencana tidak dilakukan pertemuan-pertemuan secara regular yang berhubungan dengan kesiapsiagaan bencana di Kabupaten Karo. Pertemuan terjadi saat tanggap darurat, bencana sudah terjadi sehingga fenomena di lapangan menunjukkan setiap sektor bekerja secara sporadis dan sendiri-sendiri tanpa adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas.
Silalahi juga menjelaskan secara struktur kelembagaan pembentukan BPBD merupakan suatu hal yang sangat mendesak karena untuk mengantisipasi kejadian bencana ke depan agar penanggulangan bencana di pemerintahan Kabupaten Karo lebih baik lagi. Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Karo untuk merealisasikan draft rencana kontijensi penanggulangan bencana Gunung Sinabung dalam bentuk peraturan daerah serta pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo.
Peran penanggulangan bencana lebih banyak dilakukan oleh Tim Komando Tanggap Darurat. Menurut Silalahi (2012) dalam penelitian terdahulu mengenai
erupsi Gunung Sinabung tahun 2010, telah mengemukakan bahwa secara struktur dan kelembagaan pembentukan BPBD merupakan sesuatu hal yang mendesak karena untuk mengantisipasi kejadian bencana ke depan agar penanggulangan bencana di Kabupaten Karo lebih baik lagi. Terbukti dengan dibentuknya BPBD Karo pada Januari 2014, dalam pandangan Kepala Dinas Kesehatan, keadaan sudah menjadi lebih baik dan lebih mudah dikoordinasikan. Hal itu ditunjukkan pada saat rapat koordinasi, Dinas Kesehatan dapat memberikan usulan kegiatan untuk penanggulangan bencana bersama dengan BPBD, namun dalam banyak hal BPBD yang baru terbentuk masih dalam dampingan BNPB sehingga masih belum mampu menjadi komando dalam penanggulangan bencana. Selain itu, SOP juga belum terbentuk karena masih dalam proses sehingga dalam pandangan peneliti BPBD yang terbentuk masih belum menunjukkan pengaruh terhadap peningkatan koordinasi antar instansi yang ada di Kabupaten Karo.
5.3.3 Depatermenlisasi Matriks
Menurut Winardi (1999), departemenlisasi matriks adalah mengelompokkan suatu struktur yang menciptakan lini rangkap dari wewenang, menggabungkan departemenlisasi fungsional dan produk. Pengintegrasian peranan-peranan, yang dilakukan oleh manajer produk atau manajer proyek, perlu diciptakan bila suatu produk, jasa atau proyek khusus memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi dan perhatian yang terus menerus dari seseorang.
Depatemenlisasi matriks diwujudkan dengan pembentukan satgas bencana yang dilakukan menurut KMK Nomor 145 tahun 2007. Pembentukan satgas bencana
dilakukan agar dapat mempermudah kegiatan pengkoordinasian sesama staf di Dinas Kesehatan untuk penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung. Selain itu, pembentukan satgas dapat memperjelas tugas dan fungsi staf di Dinas Kesehatan khususnya untuk penanggulangan bencana. Sayangnya, dalam dokumen SK tanggap darurat tidak diuraikan job description masing-masing bagian padahal tugas dari anggota satgas juga dwifungsi yaitu melaksanakan tugas penanggulangan bencana sekaligus bertanggungjawab dengan tugas rutin sehari-hari.