• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KREDIT

A. Kredit Perbankan di Indonesia

Dalam memberikan kredit, bank selalu memakai prinsip 5 C, yaitu The Five Principles of Credit Analysis (Character, Capacity, Capital, Condition dan Collateral), yang menghendaki penelitian yang seksama mengenai watak dan kemampuan berusaha debitur, modal apa yang sudah di milikinya, jaminan apa yang dapat diberikan dan keadaan perekonomian Negara pada umumnya yang sekiranya dapat mendukung usaha debitur. Untuk mengurangi risiko kemungkinan terjadinya kredit macet, selain melakukan analisa yang akurat berdasarkan asas 5 C di atas, bank juga akan melakukan monitoring usaha debitur secara berkesinambungan.29

Pemberian krediat adalah salah satu kegiatan usaha yang sah bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Kedua jenis bank tersebut merupakan badan usaha penyalur dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit disamping lembaga keuangan lainnya.

Landasan hukum yang pokok untuk kegiatan kredit perbankan di Indonesia pada saat ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan selanjutnya disebut UU Perbankan . Undang-undang tersebut mengatur tentang kelembagaan dan

29

Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, (Jakarta : FH UI, 2007) hal. 14

operasional bank komersial di Indonesia, yaitu bank yang berfungsi melayani kebutuhan jasa perbankan masyarakat.

Dalam UU Perbankan Indonesia terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan pemberian kredit, di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Kredit Berkaitan dengan Penyaluran Dana ke Masyarakat

Pasal 1 angka 2 UU Perbankan menetapkan pengertian bank sebagai berikut. “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Penyaluran kredit memungkinkan masyarakat untuk melakukan investasi, distribusi, dan juga konsumsi barang dan jasa, mengingat semua kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi selalu berkaitan dengan penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian masyarakat. Melalui fungsi ini bank berperan sebagai Agent of Development

b. Pengertian Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa latin “credere” yang berarti kepercayaan. Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur atau pihak yang memberikan kredit (bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah penerima kredit)

mempunyai kepercayaan bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan kredit yang bersangkutan30

Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan . Undang-undang tersebut menetapkan: “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana tersebut di atas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :31 1) Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

penyediaan uang

2) Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain

3) Adanya kewajiban melunasi utang 4) Adanya jangka waktu tertentu 5) Adanya pemberian bunga kredit

30

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003). Hal. 236.

31

M. Bahsan, Hukum jaminan dan jaminan kredit perbankan Indonesia , (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007) hal 77

Kelima unsur yang terdapat dalam pengertian kredit sebagaimana yang disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat disebut sebagai kredit di bidang perbankan. Walaupun istilah kredit banyak pula digunakan untuk kegiatan perutangan lainnya di masyarakat, hendaknya untuk istilah kredit dalam kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan pengertian yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan .32 c. Pemberian Kredit adalah Usaha yang Sah bagi Bank

Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b UU Perbankan masing-masing menetapkan kredit sebagai usaha bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dengan dicantumkan pemberian kredit sebagai usaha bank dalam ketentuan undang-undang, maka kegiatan pemberian pinjaman uang ke masyarakat yang dilakukan bank telah mempunyai dasar hukum yang kuat. Bank dengan demikian tidak dapat digolongkan sebagai rentenir atau lintah darat yang sering tidak disukai oleh masyarakat. Pemberian kredit adalah usaha yang sah bagi bank sebagai badan usaha dan sesuai dengan salah satu fungsi utamanya sebagai penyalur dana masyarakat.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyaluran kredit mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Goldsmith (1969), Mc Kinon (1973), dan Shaw (1973) menyatakan bahwa dana berlebih (surplus fund) yang disalurkan secara efisien bagi unit yang mengalami defisit akan meningkatkan kegiatan produksi. Selanjutnya kegiatan tersebut akan meningkatkan pertumbuhan

32

ekonomi. Pada level mikro Gertler dan Gilchrist (1994) membuktikan bahwa adanya kendala dalam penyaluran kredit dapat berdampak pada kehancuran usaha - usaha kecil.33

d. Pelaksanaan Pemberian Kredit

Menurut Pasal 8 UU Perbankan Indonesia 1992/1998, dalam melaksanakan kegiatan usahanya yang berupa pemberian kredit, bank antara lain:

1) Wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan (Pasal 8 ayat (1));

2) Memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 8 ayat (2));

Sehubungan dengan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemberian kredit tersebut di atas, maka Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat wajib melakukan analisis kredit yang mendalam atas permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitur, dan memiliki serta menerapkan pedoman perkreditan dalam melaksanakan perkreditannya

Berikut penjelasan mengenai kedua hal tersebut :. a) Analisis kredit

33

Billy Arma Pratama, St, Analisis Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Penyaluran Kredit Perbankan (Studi Pada Bank Umum Di Indonesia Periode Tahun 2005 - 2009), (Semarang, Universitas Diponegoro, 2010) hal 1

Mengenai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan ang diperjanjikan, maka hal itu dijelaskan lebih lanjut oleh penjelasan Pasal 8 ayat (1).

Berdasarkan analisis kredit yang dilakukannya, bank akan memberikan keputusan menolak atau menyutujui permohonan calon debitur. Oleh karena itu, setiap analisis kredit harus memuat penilaian yang lengkap dan sempurna sehingga dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan peraturan intern dan peraturan perundang-undangan lainnya. Permohonan kredit dinyatakan lengkap dan sempurna bila telah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk pengajuan permohonan menurut jenis kreditnya. Misalnya dalam hal agunan maka agunan harus lengkap kelengkapan dan integritas dari agunan.

b)Pedoman perkreditan

Kewajiban memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan pasal 8 ayat (2) lebih lanjut diatur dengan SK Direksi BI No. 27/162/KE/DIR. tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bagi Bank Umum; SK Direksi BI tersebut menetapkan kewajiban semua Bank Umum untuk memiliki dan menerapkan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KBP) dalam pelaksanaan kegiatan perkreditannya dan juga melampirkan Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB).

KPB yang kemudian disertai dengan Petunjuk Palaksanaan Kredit (PPK) merupakan peraturan intern masing-masing Bank yang harus dipatuhi dalam pelaksanaan pemberian kreditnya.

e. Batas Maksimum Pemberian Kredit

Pasal 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang berlaku antara lain untuk pemberian kredit oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam atau pihak yang terkait dengan bank. BMPK yang ditetapkan bagi peminjam atau sekelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah tidak melebihi 30% dari modal bank34 yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan bagi pihak yang terkait35 dengan bank tidak melebihi 10% dari modal bank. Ketentuan lebih lanjut mengenai BMPK tersebut diatur oleh PBI No 7/3/PBI/2005 Tentang. Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum

Selanjutnya, dari penjelasan Pasal 11 yang menjelaskan tentang B<PK tersebut dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut.

dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.

34

PBI No 7/3/PBI/2005 Pasal 1 ketentuan Umum, Modal adalah:

a. modal inti dan modal pelengkap bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia; atau

b. dana bersih kantor pusat dan kantor-kantor cabang lainnya di luar negeri (Net Head Office Fund), bagi kantor cabang bank asing, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.

35

Pihak Terkait adalah perseorangan atau perusahaan/badan yang mempunyai hubungan pengendalian dengan Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan atau keuangan.

1) Pemberian kredit mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat yang disimpan di bank.

2) Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada debitur atau kelompok debitur tertentu.

Terhadap pelanggaran ketentuan BMPK di kenakan sanksi oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam PBI No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006. Bank yang melakukan Pelanggaran BMPK dan atau Pelampauan BMPK dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.36

f. Pemberian Kredit Terkait dengan Ketentuan Pembinaan dan Pengawasan Bank

Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan menetapkan bahwa dalam pemberian kredit, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank

36

Bank Indonesia, Direktorat Penelitian dann Pengaturan Perbankan ,Pedoman Standar Pengendalian Intern Bagi Bank Umum, September 2003

Dari penjelasan Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diketahui hal sebagai berkut.

1) Bank wajib memiliki dan menerapkan system pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

2) Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang dismpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank oerlu terus menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.

Dengan memperhatikan ketentuan pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Indonesia 1992/1998 dan penjelasannya tersebut, pemberian kredit harus mendapat pengawasan berdasarkan system pengawasan intern yang berlaku pada masing-masing bank agar dapat menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat kepadanya. Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang efektif merupakan komponen penting dalam manajemen Bank dan menjadi dasar bagi kegiatan operasional Bank yang sehat dan aman. Sistem Pengendalian Intern yang efektif dapat membantu pengurus Bank menjaga aset Bank, menjamin tersedianya pelaporan keuangan dan manajerial yang dapat dipercaya, meningkatkan kepatuhan Bank terhadap ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

serta mengurangi risiko terjadinya kerugian, penyimpangan dan pelanggaran aspek kehati-hatian.

Demikian beberapa hal yang diatur oleh ketentuan UU perbankan Indonesia 1992/1998 yang berkaitan dengan kredit perbankan. Hal lain mengenai pengaturan pemberian kredit adalah yang berkaitan dengan ketentuan sanksi pidana dan administratif yang tercantum dalam undang-undang tersebut37

g. Unsur-unsur kredit, terdiri dari:

1) Kepercayaan: Kredit diberikan atas dasar kepercayaan 2) Waktu: Kredit selalu ada jangka waktunya

3) Risiko: Setiap kredit selalu mengandung unsur risiko

4) Prestasi: Kredit mengandung prestasi berupa pembayaran bunga

Walaupun pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, tetapi penilaian atas kepercayaan tadi harus memenuhi kriteria Five C’s (Character, Capacity, Capital, Condition dan Collateral), serta didokumentasikan, sehingga siapapun yang membaca dasar penilaian pemberian kredit mempunyai persepsi yang sama. Hal ini dikarenakan penelitian yang seksama mengenai watak dan kemampuan berusaha debitur, modal apa yang sudah di milikinya, jaminan apa yang dapat diberikan dan keadaan perekonomian Negara pada umumnya yang 37

M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,(Jakarta : 2002) hal. 74-8

sekiranya dapat mendukung usaha debitur. Untuk mengurangi resiko kemungkinan terjadinya kredit macet, selain melakukan analisa yang akurat berdasarkan asas 5 C tersebut di atas, bank juga akan melakukan monitoring usaha debitur secara berkesinambungan.38

h. Tujuan Pemberian Kredit

1) Bagi bank: a) Profitability, artinya ada keuntungan yang diperoleh secara wajar b) Safety, artinya harus aman dengan risiko yang telah dimitigasi sebelumnya.

2) Bagi nasabah: memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat luas, dan meningkatkan produktivitas usaha.

3) Bagi masyarakat umum: dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, dan meningkatkan kesempatan kerja.

i. Prosedur Kredit

1) Merencanakan Pasar Sasaran. Bank harus mempunyai perencanaan, pasar mana yang akan dituju dalam memasarkan kreditnya, misalkan fokus pada sektor ritel

2) Menentukan kriteria risiko yang dapat diterima. Bank hanya memasarkan kredit apabila kriteria risikonya jelas dan dapat dimitigasi, misalkan dengan: menetapkan limit exposure, jenis 38

usaha (dibuat ratingnya, dan rating apa saja yang layak dibiayai), lokasi dsb nya.39

3) Menentukan kriteria nasabah kredit yang diberikan, berdasar pada kriteria nasabah yang jelas. Nasabah digolongkan berdasarkan kemampuan dan golongan kredit yang di mohonkan.

j. Putusan Kredit

Setiap pemberian kredit harus melalui mekanisme proses dan prosedur baku, antara lain:

1) Ada permohonan kredit secara tertulis

2) Dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan 3) Disertai dengan proposal kredit

4) Dibuat rekomendasi dan putusan kredit

5) Dibuat pemberitahuan putusan kredit secara tertulis 6) Melakukan perjanjian kredit secara hukum

7) Proses pencairan kredit

8) Melakukan pengawasan dan evaluasi

Pada dasarnya tujuan pemberian kredit haruslah didasarkan pada kelayakan usaha, agar usaha yang dibiayai dapat berkembang,

39

Limit exposure dibutuhkan pada semua area kegiatan bank yang mengandung risiko penyaluran dana. Limit ini membantu untuk meyakini bahwa kegiatan penyaluran dana yang dilakukan bank cukup terdiversifikasi.. Limit dari suatu transaksi akan efektif dalam mengelola profil risiko kredt, karenanya limit secara umum harus diikat dan tidak dikendalikan oleh permintaan nasabah.

menyerap tenaga kerja, dan pada akhirnya dapat menyumbang peningkatan ekonomi masyarakat disekitarnya.40

Dokumen terkait