• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kristal lemak merupakan sifat fisik yang berguna dalam menentukan mutu lemak dan penggunaannya dalam industri pangan. Kristal lemak adalah radikal-radikal asam lemak dalam molekul lemak yang tersusun berjajar dan saling bertumpuk. Ketika suatu lemak didinginkan, hilangnya panas akan memperlambat gerakan molekul-molekul dalam lemak sehingga jarak antara molekul-molekul lebih kecil. Jika jarak antara molekul tersebut mencapai 5 Ao, maka akan timbul gaya tarik menarik antar molekul yang disebut gaya Van der Waals. Gaya inilah yang menyebabkan kristal lemak terbentuk (Winarno, 1980). Gaya Van Der Waals adalah gaya non kovalen yang terbentuk diantara molekul yang berdekatan akibat redistribusi sementara elektron di dalam molekul. Redistribusi sementara elektron ini menimbulkan interaksi elektromagnetik yang saling tarik menarik diantara molekul. Kekuatan ikatan Van Der Waals lebih lemah dibandingkan ikatan kimia yang lain, sehingga mudah terlepas (Anonim, 2007g). Hal inilah yang menyebabkan kristal lemak mudah meleleh.

Menurut Clark (2004), kristalisasi merupakan fenomena yang menarik dan membingungkan, dipengaruhi banyak faktor yang belum dapat dimengerti dengan baik. Hal ini serupa dengan pernyataan Breitschuch dan Windhab (1998) yang dikutip oleh Kumara (2003), bahwa kristalisasi merupakan sistem lemak yang sangat kompleks karena lemak alami merupakan campuran berbagai macam trigliserida. Setiap minyak memiliki sifat yang berbeda-beda. Bentuk polimer yang khas dari suatu lemak tergantung pada kondisi dimana

kristal terbentuk, perlakuan terhadap lemak setelah kristalisasi, dan komponen-komponen asam lemaknya (Winarno, 1980).

Menurut Kumara (2003), lemak dan minyak dapat mengkristal menjadi empat bentuk polimorphik yaitu sub- , , ’, dan . Bentuk ’ juga dikenal memiliki beberapa bentuk peralihan. Bentuk-bentuk ini memiliki perbedaan pada kumpulan rantai dan stabilitas thermalnya. Bentuk merupakan bentuk kristal lemak yang paling tidak stabil terhadap perubahan suhu sedangkan bentuk merupakan bentuk yang paling stabil terhadap perubahan suhu. Kestabilan bentuk ’ terhadap perubahan suhu berada diantara kestabilan bentuk dan . Lemak yang terkristalisasi pada bentuk yang tidak stabil akan berubah menuju kristal yang lebih stabil seiring berjalannya waktu dan berubahnya suhu. Sifat-sifat bentuk polimorphik kristal lemak dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Breitschuch dan Windhab (1998) yang dikutip oleh Kumara (2003), bentuk dan ’ akan berubah menjadi bentuk yang stabil seiring bertambahnya waktu.

Tabel 2. Sifat-sifat kristal lemak

Bentuk Polimer Sifat Ukuran ( m)

Rapuh, tranparan, pipih 5 ’ Berbentuk jarum halus 1

Berukuran besar dan berkelompok

25-50, terkadang mencapai 100 *Sumber : Fennema, 1976 yang dikutip oleh Winarno, 1980

Kristal-kristal ini berbeda sifat dan titik cairnya, mengakibatkan lemak memiliki beberapa titik cair yang merupakan suatu selang suhu. Perlakuan dengan suhu berperan dalam pembentukan kristal yang halus atau kasar sesuai dengan tujuan dalam industri makanan. Kekuatan ikatan antara radikal asam lemak mempengaruhi pembentukan kristal lemak, yang berarti juga mempengaruhi titik cair lemak (Winarno, 1980). Dimick dan Manning (1987) yang dikutip oleh Kumara (2003) menyatakan bahwa karakteristik dan titik leleh kristal lemak dipengaruhi oleh komposisi lemak itu sendiri.

Menurut Kumara (2003), selain kandungan kristal, ukuran kristal, dan bentuk kristal, faktor penting dalam proses solidifikasi lemak adalah

polimorphisme, yaitu keberadaan bentuk kristal lebih dari satu macam. Hoffmann (1989) yang dikutip oleh Kumara (2003) menyatakan bahwa polimorphisme berasal dari pola kumpulan molekuler kristal lemak yang berbeda-beda. Proses ini disebabkan oleh perubahan kristal lemak menuju bentuk yang lebih stabil. Menurut Kumara (2003), setelah bentuk kristal lemak dengan titik leleh rendah terbentuk, perubahan menuju bentuk kristal lemak dengan titik leleh tinggipun terjadi.

Kristalisasi merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus sejak dari pabrik. Kristal yang terbentuk ini kemudian akan berfungsi sebagai seed untuk pertumbuhan kristal selanjutnya. Selama pendinginan, sejumlah besar trigliserida menumpuk pada seed, membentuk kristal, dan pada akhirnya membentuk jaringan kristal lemak. Setelah produk keluar dari pabrik, rekristalisasi berjalan kembali selama penyimpanan membentuk polymorph yang lebih stabil. Pertumbuhan kristal didukung oleh Ostwald ripening, yaitu pertumbuhan kristal berukuran besar dari kristal kecil yang telah terbentuk sebelumnya. Minor lipid seperti monogliserida, digliserida, phospolipid dan sebagainya mampu mempengaruhi kinetika kristalisasi dan struktur jaringan kristal yang terbentuk (Dimick, 1991; Tietz dan Hartel, 2000 dalam Aguilera et al., 2004).

G. MINYAK

Minyak adalah senyawa kimia yang tidak larut dalam air namun larut dalam pelarut organik seperti heksana, karbon tetraklorida, petroleum eter, dan etil eter (Lawson, 1995). Minyak dan lemak dapat larut dalam pelarut organik seperti ester dan kloroform serta memiliki nilai densitas kurang dari satu. Minyak terdiri dari trigliserida yang terbentuk dari kombinasi molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak (Hancock et al., 1999). Menurut Ketaren (1986), minyak dan lemak tidak berbeda pada bentuk umum trigliseridanya dan hanya berbeda dalam wujud. Jika berbentuk cair pada suhu kamar maka disebut minyak sedangkan jika berbentuk padat pada suhu kamar maka disebut lemak.

Trigliserida dapat berwujud padat atau cair, tergantung dari komposisi asam lemak penyusunnya. Asam lemak pada umumnya merupakan rantai yang tidak bercabang dan jumlah atom karbonnya selalu genap. Asam-asam lemak yang ditemukan di alam dapat dibagi menjadi asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak jenuh tidak memiliki ikatan rangkap, sedangkan asam lemak tidak jenuh memiliki ikatan rangkap pada rantai karbonnya. Asam lemak tidak jenuh biasanya berkonfigurasi cis (Winarno, 1997). Komponen asam lemak yang biasanya terdapat dalam minyak dan lemak dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Asam lemak yang penting pada minyak dan lemak

Asam Lemak Jumlah Atom Karbon Jumlah Ikatan Ganda Titik Leleh (oC) Butirat 4 0 -8 Laurat 12 0 44 Miristat 14 0 54 Palmitat 16 0 63 Stearat 18 0 69 Oleat 18 1 14 Linoleat 18 2 -5 Linolenat 18 3 -11 Arakidonat 20 4 -40 Behenat 22 0 80 Eruat 22 1 33 * Sumber : Lawson (1995)

Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, linoleat, atau asam linolenat dengan titik cair yang rendah. Lemak hewani pada umumnya berbentuk padat pada suhu kamar karena banyak mengandung asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair yang tinggi (Ketaren, 1986).

Minyak dan lemak yang diperoleh dari berbagai sumber mempunyai sifat fisiko-kimia yang berbeda satu sama lain karena perbedaan jumlah dan jenis ester yang terdapat di dalamya. Gliserida dalam minyak dan lemak bukan merupakan gliserida sederhana (3 gugus hidroksil dalam gliserol berikatan

dengan 3 asam dari jenis yang sama), tetapi merupakan gliserida campuran yaitu molekul gliserol berikatan dengan gugus-gugus radikal rantai asam lemak yang berbeda (Ketaren, 1986). Menurut Lawson (1995), jika asam lemak penyusunnya sama maka dinamakan trigliserida sederhana. Tetapi pada umumnya trigliserida yang terdapat di alam berupa trigliserida campuran yang disusun oleh asam lemak yang berbeda-beda.

Sifat asam lemak dicerminkan oleh sifat rantai hidrokarbonnya. Secara alamiah asam lemak jenuh mengandung atom karbon C1-C8 berwujud cair,

sedangkan jika lebih besar dari C8 akan berwujud padat. Asam stearat (C18)

mempunyai titik cair 70oC, tetapi dengan adanya 1 ikatan rangkap (disebut asam oleat) maka titik cairnya turun mencapai 14oC. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap pada suatu rantai karbon tertentu maka titik cairnya semakin rendah (Winarno, 1997).

Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan manusia. Selain itu lemak dan minyak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram minyak atau lemak dapat menghasilkan 9 Kkal (Ketaren, 1986).

Minyak memberikan karakteristik yang unik pada produk pangan, termasuk produk-produk coklat dan confectionery. Minyak memainkan peranan yang sangat penting dalam proses pengembangan produk pangan baru untuk mempengaruhi persepsi konsumen terhadap produk. Pemilihan minyak yang tepat dapat mempengaruhi penampilan, tekstur, rasa, kandungan nutrisi, penanganan, dan umur simpan produk secara signifikan (Weyland, 1999 yang dikutip oleh Kumara, 2003). Hal tersebut merupakan faktor penting, tidak hanya untuk pengembangan produk namun juga ketika produk yang sudah ada perlu direformulasi karena faktor ketersediaan bahan baku, kebutuhan penurunan biaya produksi, keberadaan metode produksi yang baru, permintaan konsumen, dan faktor legislasi (Burger, 1994 yang dikutip oleh Kumara 2003).

Minyak yang digunakan pada produk-produk coklat dan confectionery memberikan sifat kemudahan mengalir, mencegah kelengketan pada larutan

dengan kadar gula yang tinggi, dan menghasilkan profil leleh akibat panas yang memberikan sensasi dingin di dalam mulut. Minyak juga merupakan pembawa utama flavor dalam produk (Herzing, 1989 yang dikutip oleh Kumara, 2003). Menurut Jeffery (1991) yang dikutip oleh Kumara (2003), minyak merupakan senyawa yang mengikat semua bahan baku. Sifat fase padat dari minyak adalah faktor yang menentukan karakteristik fisik, rheologi, dan penerimaan dari produk coklat.

1. Minyak Sawit

Minyak sawit berasal dari tanaman sawit (Elaeis guineensis Jacq) yang merupakan tanaman berkeping satu. Nama Elaeis berasal dari bahasa yunani Elaion yang berarti minyak, sedangkan nama spesies guineensis berasal dari kata Guinea yaitu tempat kelapa sawit pertama kali ditemukan oleh seorang ahli bernama Jacquin di pantai Guinea (Ketaren, 1986).

Buah sawit dapat menghasilkan minyak sawit dan minyak inti sawit. Minyak kelapa sawit diperoleh dari daging buah kelapa sawit (mesokarp) sedangkan minyak inti sawit (PKO) berasal dari inti atau biji buah kelapa sawit (American Palm Oil Council, 2004). Minyak sawit pada wujud alaminya berwarna merah-jingga cerah karena mengandung banyak karoten (American Palm Oil Council, 2004). Menurut Lawson (1995), minyak sawit merupakan minyak dari buah sawit, minyak sawit merupakan minyak semisolid yang terekstrak dari kulit buahnya. Asam lemak penyusun minyak sawit yang utama adalah asam lemak palmitat (45%) dan asam lemak dengan jumlah atom karbon 18 (55%) (Weiss, 1983).

Pada dasarnya, minyak sawit terdiri dari bagian stearin dan olein yang diperoleh melalui proses fraksinasi. Stearin adalah bagian yang berwujud lebih padat sedangkan olein adalah bagian yang berwujud cair. Setelah melalui proses fraksinasi, bagian olein umumnya diperoleh sebanyak 85-90% sedangkan bagian stearin sebanyak 10-15% (Basiron, 1996). Bagian stearin merupakan produk samping dari fraksi olein sehingga dijual dengan harga yang lebih rendah (American palm oil

council, 2004). Komposisi asam lemak minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi asam lemak di dalam trigliserida minyak sawit

Asam Lemak Jumlah Atom

Karbon Jumlah (%) Butirat C4:0 - Kaproat C6:0 - Kaprilat C8:0 - Kaprat C10:0 - Laurat C12:0 0,1 – 0,5 Miristat C14:0 0,4 – 0,8 Palmitat C16:0 46,6 – 53,4 Stearat C18:0 2,4 – 4,9 Oleat C18:1 38,2 – 42,6 Linoleat C18:2 6,7 – 11,8 Linoleat C18:3 0,1 – 0,3 Arakidonat C20:0 0,2 – 0,4 * Sumber : Potter dan Hotchkiss (1995)

2. Minyak Rapeseed

Rapeseed berasal dari dua spesies tanaman Brassica yaitu B. napus dan B. campestris. Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat, minyak rapeseed adalah sumber utama ketiga minyak nabati di dunia, setelah kelapa sawit dan kacang kedelai (Sovero, 1993). Dengan demikian minyak ini tersedia dalam jumlah yang cukup banyak. Minyak tanaman ini diperoleh dari penghancuran rapeseed, yang merupakan tumbuhan non laurat, dengan cara penekanan atau dengan penyaringan.

Minyak rapeseed alami mengandung asam euric yang dapat menyebabkan toksik dalam tubuh manusia jika digunakan dalam dosis besar. Namun, dalam jumlah kecil dapat digunakan sebagai zat aditif dalam makanan (Anonim, 2007d). Secara komersial, minyak rapeseed terdiri dari beberapa jenis, yaitu minyak rapeseed dengan kandungan asam euric tinggi, asam euric rendah, dan tanpa asam euric (Swern, 1982).

Minyak rapeseed yang sering digunakan sebagai minyak makan adalah minyak rapeseed dengan asam euric rendah dan minyak rapeseed

tercantum di dalam literatur cukup bervariasi, beberapa diantaranya dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa kandungan dominan dalam minyak rapeseed dengan asam lemak euric rendah dan tanpa asam lemak euric adalah asam lemak oleat. Tipe asam lemak yang terkandung menentukan sifat fisik dan kandungan nutrisi suatu minyak (Anonim, 2006b).

Tabel 5. Distribusi asam lemak dalam minyak rapeseed komersial

Asam Lemak

Jumlah Asam Lemak (%)

Asam Euric Tinggi Asam Euric Rendah Tanpa Asam Euric Swedish Canadian Canadian

14:0 - Trace 1,2 0,9-1,2 0,8 16:0 2.7 3-4,9 4,5-6,0 5,2 16:1 - - - - 18:0 0,6 1,1-2 1,5-2,1 1,8 18:1 9,6 14,3-33,5 48,3-60,7 60,7 18:2 12,4 11,4-13,6 18,8-22,0 19,4 18:3 7,3 4,7-22,3 9,3-10,8 10,2 20:0 - 0,5-0,7 0,6-0,8 0,8 20:1 8,0 0,8-13,5 0,4-4,3 0,7

20:4 - Trace-0,4 Trace-0,2 Trace 20:5 - Trace-0,4 Trace-0,9 Trace

22:0 - - 0,1-0,2 0,8

22:1 59,4 20,1-54,2 0,1-5,1 0,1

24:0 - 0,1-1,4 0,2 Trace

* Sumber : Swern (1982)

Minyak ini sering mengalami modifikasi, terutama hidrogenasi untuk menutupi kekurangannya serta memperluas pemanfaatan minyak rapeseed dalam produk pangan (Niewiadomski, 1990). Menurut Burdock (1997), definisi minyak rapeseed dengan asam euric rendah yang telah terhidrogenasi sebagian adalah minyak makan yang telah dimurnikan, dipucatkan dan dideodorisasi secara penuh dari varietas B. napus dan B. campestris. Minyak rapeseed dengan asam euric rendah secara kimia terdiri dari asam lemak jenuh dan tidak jenuh dengan kandungan asam euric tidak lebih dari 2% dari seluruh komponen asam lemaknya. Minyak ini dapat dihidrogenasi sebagian untuk mengurangi jumlah asam lemak

tidak jenuhnya. Minyak rapeseed dengan asam euric rendah terhidrogenasi sebagian dapat digunakan sebagai minyak makan dan dalam produk pangan, kecuali makanan bayi. Jumlah yang dapat digunakan tidak melebihi Good Manufacturing Practices (GMP) yang berlaku. Menurut Anonim (2006b), minyak rapeseed hasil penyulingan telah digunakan secara luas dalam produksi margarin. Jumlah asam lemak tidak jenuh yang tinggi membuat minyak ini juga menjadi salah satu minyak masak yang sehat.

H. COKLAT BUBUK

Coklat bubuk merupakan sisa dari hasil pengolahan minyak coklat (Clark, 2004). Menurut SNI (01-3747-1995), coklat bubuk adalah produk kakao berbentuk bubuk yang diperoleh dari kakao massa setelah dihilangkan sebagian lemaknya dengan atau tanpa perlakuan alkali. Kakao massa adalah produk berbentuk pasta yang diperoleh dari keping biji kakao melalui perlakuan mekanis tanpa menghilangkan lemaknya. Keping biji kakao sering didefinisikan sebagai biji kakao yang telah dihilangkan kulitnya (Minifie, 1990).

Coklat bubuk diklasifikasikan menjadi dua, yaitu coklat bubuk alkalis dan coklat bubuk non-alkalis. Coklat bubuk alkalis adalah coklat bubuk yang dihasilkan dari kakao massa yang mengalami proses alkalisasi sedangkan coklat bubuk non alkalis adalah coklat bubuk yang tidak mengalami proses alkalisasi (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Krim coklat dapat dibuat dengan penambahan coklat bubuk. Kandungan air coklat bubuk harus dibawah 4% (Matz, 1978). Biasanya coklat bubuk ditambahkan pada level 10% (Matz, 1978). Coklat bubuk berkontribusi dalam menyumbang warna, flavor, lemak, dan jumlah partikel padatan pada krim yang dibuat.

I. GULA

Gula merupakan salah satu sumber karbohidrat yang umum digunakan sebagai pemanis. Bahan pemanis yang biasa digunakan adalah oligosakarida dan monosakarida. Monosakarida merupakan karbohidrat yang terdiri dari

lima atau enam atom karbon, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10 monosakarida. Oligosakarida yang terdiri dari dua molekul disebut disakarida dan jika terdiri dari tiga molekul disebut trisakarida.

Gula yang digunakan adalah gula pasir putih yang umumnya mengandung 99.95% sukrosa pada keadaan kering, sangat mudah larut dalam air, dan pada suhu ruang 1 bagian air dapat melarutkan 2 bagian gula (67%) serta kelarutannya meningkat hingga 83% pada suhu 100oC (Lees, 1999). Sukrosa merupakan disakarida dari gabungan glukosa dan fruktosa dan mencapai keadaan jenuh pada konsentrasi 66.60% apabila dilarutkan di dalam air (Lees, 1999). Sukrosa dapat berasal dari tebu atau gula bit (Potter dan Hotchkiss, 1995) Menurut Winarno (1997), selain sukrosa, pemanis yang sering dipakai adalah glukosa (sirup jagung) dan dekstrosa. Jika dibandingkan dengan sukrosa, maka derajat kemanisan pemanis lain seperti d-galaktosa sebesar 0,4-0,6; maltosa sebesar 0,3-0,5; laktosa sebesar 0,2-0,3; rafinosa sebesar 0,15; d-fruktosa sebesar 1,32; dan xilitol sebesar 0,96-1,18.

J. WHEY POWDER

Menurut De Wit (1989), whey protein adalah senyawa nitrogen utama yang tersisa setelah pengendapan kasein menggunakan asam pada pH 4,6 atau dengan menggunakan rennet pada pH 6,7. Whey protein meliputi grup karakteristik dari protein globular, sebagai contoh adalah -lactoglobulin ( - lg), -lactalglobulin ( -la), bovine serum albumin (BSA), immunoglobulin (Ig-G, Ig-A, Ig-M) dan beberapa protein minor. Mereka dapat disintesis dari kelenjar mamalia atau diturunkan dari darah seperti BSA dan Ig.

Konformasi dan sifat fungsional dari protein whey dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada struktur globular yang terlipat dari molekulnya. Secara khusus, sensitifitas panas dari protein whey dapat mengontrol konformasi dan sifat fungsional tersebut. Selama proses pemanasan susu dan produk makanan, jumlah molekul protein whey menjadi penting untuk menentukan stabilitas produk. Kinetika, proses koagulasi, dan area spesifik dari protein yang tersedia untuk berinteraksi sangat dipengaruhi oleh jumlah molekul protein whey tersebut. Dorongan paling kuat yang mempengaruhi

sifat whey protein adalah suhu, pH, kekuatan ionik, konsentrasi whey protein dan konsentrasi padatan lain (De Wit, 1989).

Perubahan reversible pada struktur protein whey dapat terjadi akibat pemanasan dibawah suhu 60oC. Perubahan ini sering dihubungkan dengan transisi pre-denaturasi yang disebabkan oleh kehilangan sebagian struktur tiga dimensi protein dan perubahan dalam hidrasi protein. Perubahan irreversible atau denaturasi pada struktur protein whey dapat terjadi akibat pemanasan diatas suhu 65oC dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti pH, kekuatan ionik dan konsentrasi protein. Denaturasi protein dapat dianggap sebagai proses dua tahap: tahap tidak terlipat yang dapat bersifat reversible atau irreversible dan tahap agregasi yang secara umum mengikuti pelepasan lipatan irreversible. Pelepasan ikatan protein globular diikuti oleh efek panas endotermal (De Wit, 1989).

Rentannya protein whey terhadap denaturasi akibat panas akan menurun seiring dengan bertambahnya total kandungan padatan (McKenna dan O’Sullivian, 1971 yang dikutip oleh De Wit, 1989). Back et al. (1979), yang dikutip oleh De Wit (1989), menyatakan bahwa interaksi hidrofobik antara protein dan gula lebih besar terlihat pada larutan gula dengan jumlah gula yang besar daripada dalam larutan gula dengan jumlah gula yang sedikit. Mekanisme tersebut dapat menstabilkan protein terhadap denaturasi panas.

Menurut De Wit (1989), protein whey memiliki sifat pengemulsi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah suhu. Secara khusus, kecepatan adsorpsi dan kecepatan pelepasan ikatan meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Umumnya, fenomena ini mempertinggi formasi dan stabilisasi droplet emulsi. Waniska (1981) yang dikutip oleh De Wit (1989), menyatakan bahwa pemanasan emulsi yang distabilisasi menggunakan whey protein pada konsentrasi protein lebih dari 6% menyebabkan gelasi dan penahanan lemak terhadap struktur emulsi. Penahanan lemak dalam sistem ini tidak berarti lemak tersebut masih teremulsi, lemak mungkin terperangkap dalam ruang kosong dan berkontribusi terhadap struktur produk setelah pendinginan sehingga emulsi menjadi sulit mengalir.

Dokumen terkait