• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik terhadap Pembaca

Dalam dokumen KRITIK SASTRA JAWA PERIODE 1981 1997 (Halaman 71-76)

ORIENTASI KRITIK SASTRA JAWA MODERN

3.4 Kritik terhadap Pembaca

Kehidupan kesastraan Jawa modern tidak hanya didukung oleh adanya kritik terhadap pengarang, karya sastra, dan penerbitan/penye- barluasan, tetapi juga oleh kritik terhadap pembaca (masyarakat penik- mat). Penulisan kritik terhadap masyarakat pembaca sangat penting artinya dalam memacu perkembangan sastra Jawa. Namun, tulisan- tulisan yang berisi kritik terhadap pembaca ternyata sangat sedikit. Pada periode 1981--1997, para kritikus sastra Jawa lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada kritik karya sastra. Hal ini dapat dimengerti karena masalah yang dapat digali dari kalangan pembaca Jawa jauh lebih sedikit

jika dibandingkan dengan masalah-masalah yang muncul di dalam karya sastra itu sendiri.

Sastra Jawa memang berbeda dengan sastra Indonesia. Oleh karena itu, sastra Jawa memiliki peminat tersendiri. Hal itu diungkapkan dalam tulisan yang berjudul “Masihkah Kita Memerlukan Sastra Jawa?” (1993) karya Setyo Yuwono Sudikan. Menurut Sudikan, secara diam- diam sastra Jawa memang mempunyai peminat (pembaca) tersendiri. Para peminat ini pada umumnya terdiri atas golongan menengah ke bawah. Kebanyakan dari mereka adalah para guru, pamong desa, pelajar di pedesaan, dan petani. Merekalah yang selama ini menghidupi sastra Jawa. Hal ini terbukti ketika Keluarga Penulis Semarang (KPS) menye- lenggarakan lomba penulisan cerita pendek berbahasa Jawa dan lomba pembacaan puisi Jawa, para pesertanya terutama dari golongan tersebut. Terlihatlah di sini bahwa mereka masih mengakrabi sastra Jawa. Oleh karena itu, karya sastra Jawa juga banyak digali dari pedesaaan. Hal senada diungkapkan dalam tulisan yang berjudul “Sastra Minoritas” (1998) karya Jakob Sumardjo. Dalam tulisan tersebut, Sumardjo menga- takan bahwa memang rakyat kecil-lah pembaca sastra daerah (termasuk sastra Jawa). Para pembaca dari golongan inilah yang menghidupi sastra daerah (Jawa). Dibandingkan dengan pembaca sastra Indonesia, sebenarnya pembaca sastra Jawa sebenarnya jauh lebih banyak. Akan tetapi, sesuai dengan selera yang berkembang, kebanyakan sastra Jawa yang terbit adalah karya-karya populer. Para pembaca sastra Jawa itu cenderung membaca sastra Jawa hanya sebagai media hiburan di kala senggang tanpa didasari pretensi estetis atau filosofis.

Pembaca sastra Jawa kebanyakan adalah orang Jawa yang tinggal di pedesaan. Kenyataan ini membawa suasana dan masalah tersendiri bagi kehidupan sastra Jawa. Dalam tulisan yang berjudul “Sastra Jawa Mendekam di Rak Museum” (1998) karya Poer Adhie Prawoto masalah itu juga disinggung. Menurut Prawoto, kondisi sosial- ekonomi para pembaca sastra Jawa belum memungkinkan untuk sadar berlangganan, membaca, dan menikmati karya-karya sastra lewat maja- lah dan koran-koran yang ada. Bagi masyarakat pedesaan, majalah dan koran masih dianggap sebagai barang luks yang harus dipertimbangkan kegunaannya ketika seorang ibu membeli tempe atau seorang bapak membeli rokoktingwe. Di samping itu, budaya baca masyarakat belum meluas sampai ke pelosok-pelosok desa (walau desa tersebut sudah bebas buta aksara). Petani-petani desa rupanya sedang diasyikkan

dengan budaya pandang karena tanpa banyak mengeluarkan energi pun perasaan sudah terhibur. Hal ini berbeda sekali bila dibandingkan dengan kalau mereka harus membaca novel, cerita pendek, atau puisi.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pembaca sastra Jawa, secara ekonomi, sangat lemah. Dalam menghadapi sastra Jawa, pembaca Jawa masih dihadapkan oleh dua pilihan, yaitu kepentingan sekunder (membaca) atau kepentingan primer (makan). Dua kepentingan tersebut sebenarnya dapat dibalik, tetapi kenyataan itu masih sangat sulit ditemukan di kalangan pembaca sastra Jawa, terutama di pedesaan. Kondisi seperti ini tentu saja sangat mempengaruhi mutu penerbitan sastra Jawa itu sendiri. Penerbit akan kesulitan untuk menebitkan buku karena pembaca sastra Jawa belum memandang buku sebagai bagian kepentingan primer kehidupan mereka. Dengan kata lain, penerbit buku tidak akan menuai keuntungan karena buku-buku yang mereka terbitkan tidak laku di pasaran. Pembaca sastra Jawa dari golongan intelektual masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan populasi orang Jawa itu sendiri.

Kritik terhadap pembaca sastra Jawa tampaknya terarah pada visi yang cukup beraneka. Selain membicarakan tentang latar belakang sosio-ekonomi pembaca, kritik yang dapat ditemukan dalam tulisan- tulisan di media massa juga berkait dengan masalah lain. Dalam tulisan yang bejudul “Novel Jawa dan Problematika Masyarakat” (Kedaulatan Rakyat, 29 Februari 1984) karya Y. Sarworo Soeprapto, misalnya, terungkap pula masalah kritik terhadap pembaca. Melalui tulisannya itu, Soeprapto ingin menerangkan bahwa kondisi perbukuan sastra Jawa memang sudah sangat memprihatinkan karena banyak penerbit buku yang enggan menerbitkan karya sastra Jawa. Hal itu pada satu sisi menimbulkan masalah, dan pada sisi yang lain menumbuhkan pemi- kiran-pemikiran alternatif. Seretnya penerbitan sastra Jawa disebabkan oleh formula kebutuhan pembaca. Jika pembaca tidak diberikan suatu sistem pemerolehan buku, otomatis pembaca sastra Jawa akan meng- alami kesulitan dalam mengakses buku-buku sastra Jawa. Oleh karena itu, pembaca Jawa yang tidak begitu setia dengan sastra Jawa tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan karena mereka sendiri sudah hidup dalam suatu komunitas yang serba kompleks. Kekompleksan itu, pada akhirnya, akan menimbulkan pilihan-pilihan yang simplistis. Ditegaskan oleh Soeprapto bahwa masyarakat Jawa yang terbuka dan hadirnya unsur-unsur kebudayaan lain kian memacu polarisasi masyarakat Jawa

ke arah peninggalan etnosentrisme. Penyodoran alternatif nilai budaya lebih bebas dan beragam sehingga sodoran nilai dari dunia sastra daerah yang berbau etnosentrisme dianggap salah satu kemungkinan dari berbagai kemungkinan alternatif. Namun, suatu kemungkinan dapat saja tidak dipergunakan dan dimanfaatkan ketika kebutuhan dan lingkungan menuntut penerapan nilai budaya lain.

Keterbatasan peminat atau pembaca karya sastra Jawa modern selalu mendapat perhatian dalam kritik sastra Jawa. Tulisan yang berjudul “Sastra Jawa Nanti Dulu” (Kedaulatan Rakyat, 3 Mei 1984) karya Bambang Soeharto, misalnya, mencoba memaparkan masalah itu. Perhatikan kutipan berikut.

Sekarang, minat baca akan dihidupkan melalui kurikulum yang telah dirintis oleh pemerintah. Tentu saja hal ini merupakan angin baru bagi para pengarang sastra Jawa. Akan tetapi, angin baru ini merupakan rencana jangka panjang sehingga anak-anak SD atau TK nantinya (ketika dewasa) akan menikmati sastra Jawa. Masalahnya, siswa SD dan SLTP pada saat ini (1984) sulit untuk dijangkau kemampuannya dalam sastra Jawa karena sejak dini tidak diajarkan memahami sastra Jawa.

Dari tulisan itu dapat dilihat bahwa penempatan kurikulum yang tepat diharapkan akan membantu minat baca terhadap sastra Jawa, terutama untuk anak-anak SD. Masalah minat baca, sebenarnya, tidak cukup hanya diatasi oleh munculnya karya-karya yang baik dan bermutu, tetapi juga bermula dari pendidikan yang diberikan. Jika sejak kecil anak-anak tidak diberikan pendidikan yang memadai, otomatis ketika dewasa anak- anak itu tidak akan dapat menikmati sastra Jawa.

Pada sisi yang lain, Soeharto juga menegaskan bahwa agar sastra Jawa dibaca oleh masyarakat, hendaknya hal ini harus dimulai dari guru. Lebih jauh ia mengatakan sebagai berikut.

Di samping pemerintah berusaha melalui kurikulum 1984, hendaknya para guru yang akan mengajar itu pun ditatar dan dididik. Sebab tidak jarang guru sekolah dasar hanya asal-asalan saja dalam membaca sastra Jawa.

Dengan pendapat seperti itu, Soeharto ingin mengatakan bahwa minat baca siswa sekolah akan dapat ditingkatkan tidak hanya melalui kuri- kulum pendidikan, tetapi juga dapat ditingkatkan lewat guru-guru yang memahami sastra. Guru-guru yang baik adalah guru yang dapat meng- ajak siswanya memahami sastra dengan benar.

Sementara itu, dalam artikel “Pertentangan Sastra Jawa Klasik dengan Sastra Jawa Modern” yang dimuat dalam bukuWawasan Sastra Jawa Modern (1993) hasil suntingan Prawoto, Christanto P. Rahardjo menyatakan bahwa sastra Jawa klasik telah memiliki pembaca yang kuat. Sebab, sastra klasik amat variatif, baik dari segi jenis maupun konsep keindahan, seperti dongeng, wayang, babad, kakawin, tembang, dan sebagainya yang memiliki sistem penyebaran yang kuat melalui komu- nitas-komunitas budaya Jawa. Bahkan, di zaman elektronik sekarang ini, katanya, masyarakat Jawa di kota-kota besar dapat kembali menikmati sastra klasik dengan mudah.

Sebaliknya, persepsi pembaca (masyarakat) terhadap sastra Jawa modern yang memiliki konsep keindahan yang berbeda itu semakin menjauh. Fakta itu didukung oleh banyak penelitian yang lebih mene- kankan perhatian pada jenis sastra yang sudah mapan itu daripada sastra modern. Akibatnya, sastra modern semakin terpojok di tengah komunitas pembaca sastra Jawa yang sebagian besar telah memiliki persepsi tentang sastra klasik yangadiluhung itu. Menurut Christanto Rahardjo, para peneliti sastra modern menjauhi mekanisme kerja hermeneutik karena oleh mereka teknik itu dianggap mubazir. Para peneliti sastra modern cenderung mendekati sastra dengan analisis kultural yang dinamis atas dasar persepsi bahwa sastra tidak dapat dilepaskan dari dinamika budaya serta fungsinya dalam masyarakat.

Satyagraha Hoerip, dalam artikel “Pertahankan Sastra Jawa Mendekam di Rak Musium” yang diantologikan dalam buku Wawasan Sastra Jawa Modern (1993) suntingan Prawoto, juga menyatakan pesimisme terhadap pembaca sastra Jawa. Dalam artikel tanggapan atas tulisan Prawoto berjudul “Sastra Jawa Mendekam di Rak Musium” yang semula dimuat di Kompas itu Hoerip menegaskan bahwa para pembaca sastra Jawa akan semakin menurun dari tahun ke tahun walaupun di tengah-tengah mereka telah muncul beberapa orang doktor sastra Jawa.

Selain itu, Hoerip juga menolak anggapan yang menyatakan rendahnya ekonomi pedesaan menyebabkan majalah berbahasa Jawa tidak terbeli oleh masyarakat di desa. Sebab, pada kenyataannya, bila ada

produk luar yang masuk ke desa, dengan cepat barang itu laku. Jadi, tidak benar bila masyarakat pedesaan tidak mampu membeli surat kabar atau majalah Jawa yang relatif murah itu. Jadi, menurut Hoerip, perma- salahannya adalah sebagian masyarakat Jawa tidak lagi merasa memiliki dan akrab terhadap sastra daerahnya. Penyebab utamanya ialah karena sebagian besar masyarakat Jawa sudah lebih dekat dengan bahasa Indonesia (bahkan bahasa asing). Kendati begitu, kata Hoerip, roh sastra Jawa akan tetap menjelma dalam karya, misalnya karya Umar Kayam, Linus Suryadi Ag., Darmanto Yatman, Sugiarto Sriwibowo, dan seba- gainya. Baginya, percuma memaksa-maksa anak-anak kita untuk berbahasa ibu karena hal itu tidak banyak manfaatnya bagi laju perkem- bangan ekonomi. Jadi, menurutnya, biarkan sastra Jawa mendekam di musium.

Hal serupa dibicarakan juga oleh Setyo Yuwono Sudikan dalam artikel “Masihkah kita Memerlukan Sastra Jawa?” yang dimuat dalam bukuWawasan Sastra Jawa Modern (1993). Dalam artikel ini Sudikan menunjukkan fakta bahwa pada saat ini pembaca (peminat) sastra Jawa sudah amat sedikit. Hal itu disebabkan telah terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat karena kini di antara kita tidak ada lagi beban mental bila kita melakukan kesalahan kultural, baik dalam berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Anak-anak muda tidak lagi mengenal pepatah seperti ora ilok mangan ning ngarep lawang; ora ilok yen nglungguhi bantal, dan saru yen diwuwus. Mereka juga jauh dari buku-buku niti

seperti Wedhatama, Wulangreh, Wulang Sunu, dan Babad Tanah Jawi

sehingga kesetiaan mereka kepada bahasa dan sastra Jawa luntur.

Dari data yang dapat ditemukan, pada periode 1981--1997 sangat jarang tulisan atau kritik yang ditujukan kepada dunia pembaca. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kehidupan kritik dalam dunia sastra Jawa cenderung lebih didominasi oleh kritik terhadap karya sastra. Kritik terhadap pembaca lebih dikesampingka, padahal, kalau dilihat secara objektif, peran pembaca dalam pertumbuhan sastra Jawa sangat penting. Dalam konteks ini, peran pembaca menjadi bagian yang sangat minim dalam sambung-sinambung kehidupan sastra Jawa.

Dalam dokumen KRITIK SASTRA JAWA PERIODE 1981 1997 (Halaman 71-76)

Dokumen terkait