• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Air

Dalam dokumen SKRIPSI. Diajukan kepada OLEH: (Halaman 41-48)

A. Hasil Penelitian

A.4. Kualitas Air

Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian menunjukkan bahwa kadar oksigen terlarut (DO) berkisar antara 0.5-4 ppm, pH 6-7, suhu pemeliharaan antara 25-28oC (Tabel 4.9.)

Tabel 4.9. Kualitas air selama pemeliharaan

Kode Perlakuan Parameter

DO (ppm) Suhu (⁰C) pH Ammonia (ppt) K Kontrol 1.77 - 3.68 25.3 - 27.5 7.05 - 7.08 0.038 P1 Rendam 1.18 - 3.68 25.3 -27.6 7.08 - 7.13 0.046 P2 Oral 0.49 - 3.68 25.3 - 28 6.97 - 7.08 0.047 P3 Injeksi 0.53 - 3.68 25.3 - 27.1 7.04 - 7.08 0.044 B. Pembahasan

Penyakit Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) dapat menyebabkan kematian benih ikan lele dumbo antara 80-100% dalam waktu yang relatif singkat (Ghufran & Kordi, 2004). Vaksinasi merupakan salah satu pencegahan terhadap penyakit ikan dengan merangsang kekebalan ikan yang divaksin terhadap suatu penyakit tertentu pada ikan. Pengendalian penyakit dengan vaksinasi sangat efisien dan juga tidak menimbulkan efek samping bagi ikan seperti halnya pada penggunaan antibiotik (Supriyadi & Rukyani, 1990).

Pengembangan vaksin dari daerah Jawa Timur dilakukan untuk mencegah penyakit Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) pada lele dumbo (Clarias sp.) yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila yang ada di Jawa Timur. Penelitian sebelumnya melakukan uji imunogenesitas isolat A. hydrophila dari berbagai daerah di Jawa Timur (Lampiran 8) sebagai kandidat vaksin. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa isolat A. hydrophila yang dapat digunakan untuk vaksin adalah isolat A. hydrophila dari daerah Pare (JTP).

Hasil uji LD70 menunjukkan bahwa konsentrasi bakteri yang dapat mematikan 70% populasi ikan adalah 3,24 x 105 sel/ikan. Konsentrasi tersebut digunakan dalam efikasi vaksin polivalen. Bakteri A. hydrophila yang digunakan termasuk dalam kategori bakteri virulen karena memiliki nilai LD70 sebesar 105 sel/ikan (Mittal et al., 1980). Stevenson (1988) mengelompokkan isolat A.

hydrophila dengan LD50 sebesar 104-105 sel/ml dinyatakan virulen, sedangkan isolat A. hydrophila dengan LD50sebesar 107sel/ml dinyatakan nonvirulen.

Penelitian Supriyadi (1986), menunjukkan bahwa lele sangat rentan terinfeksi oleh bakteri A. hydrophila. Hal ini ditunjukkan dalam penelitiannya salah satunya menggunakan ikan lele (Clarias batrachus) dan ikan gurame (Osphronemus gouramy), yang ditantang melalui injeksi peritoneal dengan tiga level dosis yaitu 103, 105, dan 107 sel/ikan. Hasilnya menunjukkan bahwa mortalitas tertinggi berada pada konsentrasi 105 sel/ikan dengan hasil bahwa ikan gurami lebih resisten dari pada ikan lele. Sementara itu Rajan et al., (2001) juga melaporkan bahwa infeksi Vibrio alginolyticus pada jevenil ikan Cobia (Rachycentron canadum) menyebabkan kematian ikan 50% sebesar 4,4–6 x 106 sel/ikan melalui penyuntikan injeksi intramuskular dan injeksi intraperitoneal.

Akhlagi (1999) melaporkan bahwa infeksi Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus (ukuran 4-5 cm) menyebabkan kematian pada ikan uji dengan nilai LD50 sebesar 4,5 x 106 sel/ikan melalui injeksi intramuscular, intraperitoneal, dan intravenal. Penelitian lain yang dilakukan. Isnansetyo (1996) menyebutkan bahwa untuk menyuntik A. hydrophila pada Clarias sp. berukuran 10 cm membutuhkan 8,88 x 108sel/ml untuk mematikan 80 % populasi ikan, kematian total terjadi pada penyuntikan ikan dengan kepadatan 1010-1011 sel/ml. Perbedaan tingkat keganasan antara A. hydrophila yang digunakan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian lain diduga karena perbedaan strain A. hydrophila yang digunakan (Mulia & Purbomartono, 2007).

Hasil uji efikasi vaksin pada ikan lele telah membuktikan bahwa vaksinasi dapat meningkatkan sintasan. Hal ini terjadi karena meningkatnya sistem pertahanan tubuh secara sepesifik pada ikan yang divaksin, sehingga diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila aktif, ikan-ikan yang divaksin lebih mampu bertahan hidup dibandingkan ikan yang tidak divaksin. Kondisi ini dipertegas dengan meningkatnya produksi titer antibodi pada ikan yang divaksin dibandingkan yang tidak divaksin, yang pada akhirnya mampu melindungi ikan terhadap serangan bakteri penyebab penyakit.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh nyata pemberian vaksin terhadap sintasan ikan. Mulia (2007) menggunakan vaksin A. hydrophila jenis

antigen O (AgO) dan antigen H (AgH) pada gurami, hasil sintasan mencapai 56,00-58,00%, dibandingkan kontrol 10,00%. Olga & Aisiah (2007) menggunakan vaksin produk ekstraseluler A. hydrophila dengan dosis 2,5-10 µg pada ikan patin dan memberikan tingkat perlidungan 44,87-92,31%. Lund et al. (2002) menunjukkan bahwa vaksin multivalen Aeromonas salmonicida menghasilkan tingkat efikasi yang lebih tinggi daripada vaksin monovalen pada vaksinasi ikan spotted wolfish (Anarchicas minor O.) serta memberikan tingkat perlindungan yang lebih baik.

Ada tiga faktor utama yang saling mempengaruhi untuk menentukan efektivitas suatu vaksin, yaitu sifat dan bentuk antigen, ukuran ikan, dan metode pemberian vaksin (Ellis, 1988). Hasil uji sidik ragam dari masing-masing pengamatan sintasan lele selama uji tantang, tampak bahwa antar metode pemberian vaksin menunjukkan beda nyata (P<0,05). Metode yang paling baik dari hasil penelitian ini adalah metode injeksi intraperitoneal dengan sintasan mencapai 87,5%, dilanjutkan dengan metode rendaman (72,13%), kemudian metode oral (40%) dan sintasan terendah didapat dari perlakuan yang tidak diberi vaksin (kontrol) yaitu 13,33%. Ellis (1988) menambahkan bahwa sampai saat ini metode suntikan intraperitonial merupakan metode paling baik dalam merangsang sistem kekebalan humoral dan seluler dengan baik. Namun, modifikasi dan peningkatan teknik yang digunakan pada metode perendaman (Zhou et al., 2002) memberikan efek imunogenisitas yang sama dengan metode suntikan. Hal ini sesuai dengan penelitian ini dimana metode vaksinasi injeksi peritonial tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan vaksinasi rendaman.

Triyanto et al. (1996) menyatakan bahwa tingkat perlindungan relatif (RPS) yang baik dari suatu vaksin di atas 50 %. Hasil uji sidik ragam pada tingkat perlindungan relatif (RPS) selama penelitian menunjukkan bahwa ada beda nyata (P<0,05) antar perlakuan. RPS tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan injeksi yaitu 86,11%, kemudian disusul oleh rendaman (67,47%), sedangkan RPS terendah ditunjukkan oleh perlakuan oral yaitu 30,09%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Evelyn (1984), bahwa pada umumnya tingkat perlindungan tertinggi diperoleh dari vaksinasi secara injeksi, disusul rendaman, kemudian baru oral. Hasil ini menunjukkan bahwa metode vaksinasi sejalan dengan hasil titer antibodi dan dikuatkan oleh hasil sintasan ikan pada masing-masing metode vaksinasi, sehingga

metode vaksinasi terbaik selama penelitian ini didapat pada metode vaksinasi injeksi secara intraperitonial.

Penelitian lain tentang tingkat perlindungan relatif (RPS) suatu vaksin telah dilakukan oleh Nitimulyo (1997) dimana vaksin polivalen A. hydrophila menghasilkan rerata RPS sebesar 40,52%. Penelitian lain yang dilakukan Osman et al. (2009) menghasilkan RPS sebesar 72% dengan vaksin polivalen A. hydrophila secara oral dan 81 % dengan vaksin polivalen secara rendaman.

Peningkatan titer antibodi pada ikan yang divaksin mengindikasikan adanya pengaktifan respon imun spesifik terhadap antigen (whole cell A. hydrophila). Nilai titer antibodi menunjukkan seberapa besar antigen menstimulasi respon imun. Semakin tinggi respon imun terhadap antigen maka produksi antibodi semakin tinggi. Meskipun demikian tinggi rendahnya titer antibodi bukan merupakan satu-satunya ukuran terhadap perlindungan penyakit (Nitimulyo, 1990). Hasil titer antibodi dengan menggunakan ikan lele dumbo sebagai ikan uji menunjukkan bahwa vaksin polivalen A. hydrophila cenderung meningkatkan produksi antibodi. Hal ini terbukti dengan nilai titer antibodi ikan yang divaksin relatif lebih tinggi dibandingkan ikan yang tidak divaksin.

Perlakuan vaksinasi dengan metode injeksi menunjukkan memiliki titer antibodi yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil ini juga sesuai dengan beberapa penelitian lainnya seperti pada vaksin polivalen vibrio (Kamiso et al., 2005) dan vaksin A. hydrophila (Mulia et al., 2010). Hal tersebut disebabkan antigen lebih efektif masuk ke dalam tubuh dan akan mudah direspon oleh sel-sel imun. Berbeda dengan metode rendaman dimana Ellis (1988) menyatakan bahwa antigen masuk melalui pori-pori tubuh ikan seperti kulit dan linea lateralis dengan insang sebagai jalur utama masuknya antigen atau metode oral dimana sebagian antigen ada yang terdegradasi oleh enzim enzim pencernaan di saluran pencernaan seperti protease, amilase, dan lipase.

Titer antibodi lele menurun setelah uji tantang. Namun pada umumnya jumlah titer antibodi akan meningkat setelah masuknya antigen dalam tubuh (Tizard, l988). Penurunan antibodi ini dipicu oleh kerja limfosit yang berfungsi menghasilkan antibodi mengalami penurunan karena aktivitasnya terganggu dengan adanya infeksi. Aktivitas antibodi ini akan tertekan dalam waktu yang relatif

singkat dengan masuknya bakteri A. hydrophila sebagai antigen dalarn jumlah yang relatif banyak.

Imunogenisitas suatu antigen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran, kompleksitas, dan bentuk antigen. Ukuran antigen merupakan faktor yang paling penting dalam imunogenisitas antigen. Sebagian besar antigen yang imunogenik (imunogen) memiliki berat molekul 10 kDa atau lebih. Bentuk antigen juga mempengaruhi imunogenisitas antigen. Antigen yang tidak mudah larut air lebih imunogenik dibanding antigen yang mudah larut air karena antigen yang tidak larut air akan siap ditangkap oleh makrofag sebagai sel yang bertugas memperkenalkan antigen (antigen presenting cells, APC) kepada sel T (Madigan et al., 2003). Akhlagi et al. (1996) menambahkan juga bahwa ukuran ikan yang memberikan daya tahan maksimal artinya mampu membentuk antibodi tertinggi adalah ikan yang berukuran lebih besar dari 2,1 gram.

Hasil uji sidik ragam pada rerata waktu kematian (MTD) lele dumbo selama penelitian menunjukkan bahwa ada beda nyata (P<0,05) antar perlakuan. MTD tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan injeksi yaitu 282 jam (11,75 hari) kemudian disusul oleh rendaman yaitu 272 jam (11,3 hari), oral mencapai 217 jam (9 hari), dan MTD terendah ditunjukkan oleh perlakuan kontrol (tanpa vaksinasi) yaitu 168,6 jam (7 hari). Hasil ini menunjukkan bahwa vaksinasi dapat meningkatkan ketahanan hidup lele terhadap A. hydrophila, dibandingkan dengan perlakuan yang tidak divaksinasi.

Peningkatan MTD pada lele yang divaksinasi terjadi karena vaksin tersebut meningkatkan ketahanan tubuh lele dan menimbulkan kekebalan aktif (Kordi & Ghufran, 2004) terhadap infeksi A. hydrophila selama uji tantang. Penelitian lain yang dilakukan Nitimulyo & Triyanto (1991) menunjukkan bahwa RWK lele dumbo yang diberi vaksin polivalen secara rendaman mencapai 7,9 hari dan oral sebesar 4,5 hari. Olga dkk. (2011) menjelaskan bahwa vaksinasi selain menurunkan kematian ikan juga dapat membuat rerata waktu kematian lele dumbo yang divaksin lebih tinggi dibandingkan kontrol.

Pertumbuhan merupakan proses yang terjadi dalam tubuh organisme yang menyebabkan pertambahan berat atau panjang dalam jangka waktu tertentu (Effendi, 2002). Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi umur dan ukuran ikan sedangkan faktor eksternal meliputi ketersediaan makanan bagi ikan dan kondisi perairan (Lagler et al., 1977). Laju pertumbuhan spesifik baik panjang dan berat antara perlakuan vaksinasi dengan kontrol (tanpa vaksinasi) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberian vaksin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ikan. Menurut Nitimulyo dkk. (1997), pertumbuhan lebih dipengaruhi keadaan lingkungan daripada vaksinasi. Solichah (2004) menambahkan bahwa pemberian vaksin polivalen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ikan.

Efektifitas vaksinasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah kualitas air. Kualitas air dapat mempengaruhi fisiologi ikan dalam hubungannya dengan pembentukan antibodi (Isnansetyo, 1996). Kisaran suhu optimal untuk kegiatan budidaya ikan adalah berada pada kisaran 25-30oC, dan pH antara 6,5-8,6 (Effendie, 2003). Suhu air selama pemeliharaan ini berkisar antara 25,3-280C, pH berkisar antara 6,97-7,13 dan kandungan ammonia antara 0,038-0,047 ppt. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas air masih dalam kondisi normal dalam pemeliharaan ikan.

Agustina et al., (2010) menambahkan bahwa syarat atau parameter kualitas air yang optimal untuk budidaya lele dumbo yaitu suhu berkisar 22oC-34oC (dengan suhu optimum yaitu 30oC). Oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan lele > 1 mg/l, dan CO2 maksimal 12 mg/l.Nilai amoniak yang dapat ditoleransi hewan akuatik berkisar 0,1-1 mg/l, nitrit maksimal 0,1 mg/l dan salinitas untuk budidaya lele berkisar antara 0-15 ppm, serta salinitas yang optimum untuk pertumbuhan lele yaitu 6 ppm.

Kandungan oksigen terlarut (DO) selama penelitian berkisar 0,5-3,68 ppm. Kandungan DO tersebut masih dalam kisaran normal untuk kelangsungan hidup lele dumbo. Secara umum lele memiliki alat pernafasan tambahan (arborescent organ) yang terletak di bagian kepala. Alat pernapasan ini berwarna kemerahan dan berbentuk seperti tajuk pohon rimbun yang penuh kapiler-kapiler darah (Najiyati, 1992). Dengan adanya alat pernapasan tambahan ini, ikan lele dapat hidup pada air dengan kadar oksigen yang rendah. Dengan demikian, kualitas air bukan merupakan faktor penyebab kematian lele dumbo dalam penelitian ini.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pemberian vaksin polivalen dengan metode rendaman, oral, dan injeksi intraperitoneal dapat meningkatkan sintasan (SR), tingkat perlindungan relatif (RPS), titer antibodi, dan rerata waktu kematian (MTD) tetapi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan spesifik lele (Clarias sp.) baik panjang maupun berat selama 14 hari pemeliharaan

2. Metode pemberian vaksin terbaik untuk untuk menanggulangi MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada lele (Clarias sp.) adalah metode vaksinasi injeksi intraperitoneal dengan nilai sintasan 87,5%, RPS 86,11%, dan MTD 282 jam.

B. Saran

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan uji efikasi vaksin polivalen A. hydrophila skala lapangan dengan waktu penelitian yang lebih lama, kurang lebih 2-3 bulan untuk melihat sejauh mana efektivitas vaksin dalam penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicaemia) pada lele (Clarias sp.). Selanjutnya, penelitian ini disarankan untuk dicobakan pada ikan air tawar lain, seperti gurami, karper, tawes, maupun nila.

Dalam dokumen SKRIPSI. Diajukan kepada OLEH: (Halaman 41-48)

Dokumen terkait