• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. PENELITIAN UTAMA

2. Kualitas Biodiesel

diterapkan pada skala industri. Penelitian pada skala pilot menunjukkan pengembangan proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar yang lebih optimal.

Beberapa proses pembuatan biodiesel biji jarak pagar yang telah dilakukan pada skala pilot diantaranya dilakukan oleh Syah (2006). Katalis yang digunakan adalah KOH 1%, suhu reaksi sebesar 600 C dan waktu reaksi selama 90 menit. Syah (2006) mereaksikan 25 kg minyak jarak pagar dengan 5 kg metanol serta katalis KOH sebanyak 0.25 kg. Dari proses transesterifikasi diperoleh 24.13 kg biodiesel, 4.54 kg gliserol, dan 1.71 kg emulsi. Selain itu ada pula produksi biodiesel kapasitas 1.5 ton/hari yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Produksi biodiesel ini dilakukan di Puspitek Serpong. PT. Energi Alternatif Indonesia (PT EAI, tahun 2005) juga memproduksi biodiesel dengan kapasitas 1 ton/ hari, pabrik ini berlokasi di Jakarta Utara. PT. Rajawali Nusantara Indonesia juga membuka pabrik biodiesel jarak pagar pada skala 250 liter/hari di Jatitujuh, Jawa Barat. Pabrik biodiesel lainnya yang berproduksi pada skala pilot adalah PT. Multi Inovasi Mandiri (MIM) yang memproduksi biodiesel minyak jarak pagar pada skala 30 liter/hari di Mojokerto, Jawa Timur.

Aplikasi proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada skala industri perlu memperhatikan pula penanganan bahan, terutama metanol dan heksan. Berdasarkan Material Safety Data Sheet (MSDS), metanol merupakan bahan kimia yang mudah terbakar dan bersifat sangat toksik pada pernafasan. Sedangkan heksan juga merupakan bahan kimia yang sangat mudah terbakar. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan dan penyimpanan bahan dengan benar. Metanol dan heksan harus disimpan pada wadah yang tertutup rapat di tempat yang berventilasi baik dan jauh dari sumber nyala dan panas, penyimpanan sebaiknya di tempat dengan suhu < 300C.

2. Kualitas Biodiesel 

Karakterisasi mutu biodiesel yang dilakukan pada penelitian ini meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan ester, viskositas, dan kadar abu. Bilangan asam merupakan salah satu parameter penting dalam standar biodiesel. Bilangan asam menunjukkan jumlah asam lemak bebas yang dihitung berdasarkan bobot molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak. Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah milligram KOH 0.1 N yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram sampel biodiesel. Berdasarkan nilai ini, dapat diketahui jumlah asam lemak bebas yang masih bersisa dalam biodiesel yang dihasilkan. Nilai bilangan asam biodiesel seharusnya sekecil mungkin, karena asam lemak bebas bersifat korosif yang akan menyebabkan kerusakan pada komponen-komponen mesin diesel. Selain itu, bilangan asam yang tinggi dapat menyebabkan deposit bahan bakar sehingga menyebabkan pompa dan filter lebih cepat mengalami kerusakan.

Bilangan penyabunan dinyatakan dalam jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram sampel biodiesel. Pada analisis biodiesel jarak pagar, nilai ini menunjukkan konsentrasi molar gugus fungsi ester pada metil ester jarak pagar. Bilangan penyabunan minyak jarak pagar menggambarkan besarnya bobot molekul minyak, dimana keduanya berbanding terbalik. Semakin tinggi bobot molekul minyak, maka bilangan penyabunan akan semakin rendah.

25

Bilangan penyabunan juga dipengaruhi oleh senyawa-senyawa seperti tri-, di-, dan mono gliserida yang masih terdapat setelah proses transesterifikasi (Gambar 13). Keberadaan senyawa-senyawa tersebut akan menyebabkan bilangan penyabunan biodiesel menjadi lebih rendah karena bobot molekulnya yang tinggi. Jika konversi trigliserida menjadi metil ester sempurna maka bilangan penyabunan akan menjadi tinggi karena bobot molekul metil ester lebih rendah. Selain itu bilangan penyabunan juga dipengaruhi oleh komposisi asam lemak pada bahan baku. Minyak yang didominasi asam lemak tidak jenuh mempunyai bilangan penyabunan yang lebih kecil.

Gambar 13. Tahapan reaksi transesterifikasi

Bilangan ester dihitung sebagai selisih antara bilangan penyabunan dan bilangan asam. Meskipun tidak menunjukkan kuantitas senyawa ester sebenarnya, tetapi secara teoritis, bilangan ini dapat memperkirakan jumlah asam lemak yang bersenyawa sebagai ester. Semakin tinggi bilangan penyabunan dan bilangan ester, maka semakin murni biodiesel yang dihasilkan dan semakin efektif proses transesterifikasi karena trigliserida yang dikonversi menjadi metil ester semakin banyak.

Viskositas adalah parameter utama dalam proses transesterifikasi. Hal ini dikarenakan tujuan utama proses transesterifkasi adalah untuk menurunkan viskositas yang tinggi pada minyak hasil ekstraksi. Viskositas pada minyak lebih tinggi daripada metil ester. Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen intermolekular dalam asam lemak di luar grup karboksil. Viskositas akan meningkat seiring dengan panjang rantai asam lemak dan alkohol dalam ester asam atau dalam hidrokarbon alifatik. Percabangan memiliki efek yang tidak signifikan terhadap viskositas dibandingkan adanya ikatan rangkap, namun posisi ikatan rangkap tidak terlalu mempengaruhi viskositas. Alkohol bercabang tidak mempengaruhi viskositas secara signifikan dibandingkan rantai lurus, sedangkan adanya asam lemak bebas akan meningkatkan viskositas secara nyata (Knothe dan Steidley, 2005).

Viskositas biodiesel juga dipengaruhi oleh kandungan trigliserida yang tidak bereaksi dengan metanol, komposisi asam lemak penyusun metil ester serta senyawa intermediet seperti monogliserida dan digliserida yang mempunyai polaritas dan bobot molekul yang cukup tinggi. Minyak yang mengandung asam-asam lemak berbobot molekul rendah cenderung memiliki viskositas lebih rendah dibandingkan minyak dengan derajat ketidakjenuhan sama yang hanya mengandung asam-asam lemak berbobot molekul tinggi (Formo, 1979). Viskositas juga diartikan sebagai ukuran ketahanan bahan bakar untuk mengalir. Viskositas berpengaruh secara langsung pada penetrasi pola semprotan pada bilik pembakaran, sehingga juga berpengaruh pada atomisasi bahan bakar, efisiensi pembakaran. Semakin tinggi kandungan metil ester, maka semakin rendah nilai viskositasnya. Dilihat dari asam

Trigliserida (TG) + R’OH Digliserida (DG) + R’COOR1

Digliserida (DG) + R’OH Monogliserida (MG) + R’COOR2

26

lemak penyusunnya, viskositas biodiesel berkurang seiring bertambahnya ketidakjenuhan (Allen et al., 1999). Menurut Jain dan Sharma (2010) komposisi minyak jarak pagar didominasi oleh asam lemak tidak jenuh (Gambar 14) yaitu asam oleat (36.5-41%) dan asam linoleat (35.3-42.1%), oleh karena itu viskositas biodiesel jarak pagar lebih rendah dibandingkan dengan biodiesel minyak nabati lainnya, seperti minyak kelapa. Asam lemak dominan pada minyak kelapa merupakan asam lemak jenuh yaitu asam laurat (46.7%) dan asam miristat (18.3%).

Gambar 14. Asam lemak dominan penyusun minyak jarak pagar

a. Bilangan Asam

Berdasarkan penelitian ini, bilangan asam biodiesel yang dihasilkan berkisar antara 0.20 – 0.26 mg KOH/g. Berdasarkan Standar Biodiesel Indonesia untuk bilangan asam biodiesel ditentukan maksimal 0.8 mg KOH/g, sehingga biodiesel yang dihasilkan dari penelitian ini sudah memenuhi standar dan layak untuk digunakan. Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan, serta rasio metanol/heksan/bahan tidak memberikan pengaruh terhadap bilangan asam biodiesel. Nilai bilangan asam biodiesel hampir semuanya bernilai 0.2 mg KOH/g kecuali pada perlakuan A2B1C3 dan A2B2C3 yang bernilai 0.26 mg KOH/g. Perbedaan nilai ini tidak terlalu signifikan. Tingginya nilai bilangan asam pada perlakuan A2B2C3 dan A2B1C3 dapat dikarenakan sebagian trigliserida yang terdapat pada bahan belum terkonversi menjadi metil ester secara sempurna.

H (CH2)7COOH C cis C H (CH2)7CH3 Asam oleat H (CH2)7COOH C cis C H CH2 H C cis C CH3(CH2)4 H Asam linoleat

27

Keterangan:

A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam)

B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm)

C : rasio metanol/heksan/bahan (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1, dan C3 = 5:1:1)

Gambar 15. Bilangan asam biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai perlakuan

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap bilangan asam, waktu reaksi, kecepatan pengadukan, dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan asam. Perlakuan yang menghasilkan rendemen biodiesel tertinggi (perlakuan A2B2C1) memiliki bilangan asam sebesar 0.20 mg KOH/g dan telah memenuhi Standar Biodiesel Indonesia. Sedangkan perlakuan yang berdasarkan biaya produksi, konsumsi energi, serta efek lingkungan terendah (perlakuan A1B1C2) juga memiliki bilangan asam sebesar 0.20 mg KOH/g dan telah memenuhi Standar Biodiesel Indonesia. Dari hasil ini dapat terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan nilai bilangan asam pada kedua perlakuan tersebut, sehingga untuk produksi biodiesel pada skala pilot dipilih perlakuan A1B1C2. Hal ini dikarenakan perlakuan ini lebih efektif dan efisien.

b. Bilangan Penyabunan

Bilangan penyabunan biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 186.54–194.10 mg KOH/g (Gambar 16). Semakin lama waktu reaksi, maka semakin banyak trigliserida yang terkonversi menjadi metil ester sehingga semakin tinggi bilangan penyabunannya. Namun pada penelitian ini hanya pada perlakuan A1B1C2 dan A1B1C3 yang mengalami kenaikan bilangan penyabunan, sedangkan pada perlakuan lainnya mengalami penurunan tetapi tidak terlalu signifikan.

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 A1 A2 Bilangan asam (mg KOH/g) Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3

28

 

Keterangan:

A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam)

B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm)

C : rasio metanol/heksan/bahan (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1, dan C3 = 5:1:1) Gambar 16. Bilangan penyabunan biodiesel yang dihasilkan dari proses

transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai perlakuan

Bilangan penyabunan yang tinggi menunjukkan bahwa jumlah senyawa-senyawa intermediet (monogliserida dan digliserida) telah berkurang karena terkonversi menjadi metil ester. Semakin tinggi kecepatan pengadukan, semakin tinggi pula bilangan penyabunan. Pada penelitian ini, hanya perlakuan A1B1C2 yang mengalami peningkatan bilangan penyabunan seiring dengan meningkatnya kecepatan pengadukan. Penambahan heksan akan membantu dalam proses ekstraksi minyak dari bahan, oleh karena itu penambahan heksan meningkatkan jumlah trigliserida yang diekstraksi sehingga jumlah metil ester yang dihasilkan pun akan semakin meningkat. Pada penelitian ini bilangan penyabunan dari perlakuan A1B1C1 (rasio metanol/heksan/bahan sebesar 3:3:1) mengalami peningkatan bilangan penyabunan seiring dengan jumlah heksan yang ditambahkan.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap bilangan penyabunan, waktu reaksi, kecepatan pengadukan, dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan penyabunan biodiesel. Perlakuan yang menghasilkan rendemen biodiesel tertinggi (perlakuan A2B2C1) memiliki bilangan penyabunan sebesar 186.54 mg KOH/g. Sedangkan perlakuan yang berdasarkan biaya produksi, kosumsi energi, dan efek lingkungan terendah (perlakuan A1B1C2) memiliki bilangan penyabunan sebesar 189.20 mg KOH/g. Dari bilangan penyabunan yang diperoleh pada kedua perlakuan tersebut, dapat dilihat bahwa biodiesel pada perlakuan A1B1C2 memiliki bilangan penyabunan

0 50 100 150 200 A1 A2 Bilangan penyabunan (mg KOH/g) Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3

29

yang lebih tinggi. Bilangan penyabunan yang tinggi ini mengindikasikan bahwa biodiesel yang dihasilkan memiliki kemurnian yang tinggi pula, karena penyusunnya didominasi oleh metil ester yang dihasilkan selama proses transesterifikasi.

c. Bilangan Ester

Bilangan ester biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 186.34–193.84 mg KOH/g (Gambar 17). Bilangan ester berhubungan dengan bilangan asam dan bilangan penyabunan. Semakin tinggi bilangan ester maka tingkat kemurnian biodiesel semakin tinggi. Semakin lama waktu reaksi, bilangan ester biodiesel semakin tinggi. Pada penelitian ini hanya perlakuan A1B1C2 dan A1B1C3 yang mengalami kenaikan bilangan ester seiring dengan lamanya waktu reaksi. Semakin tinggi kecepatan pengadukan, bilangan ester biodiesel yang dihasilkan juga semakin tinggi. Pada penelitian ini, hanya perlakuan A1B1C2 dan A1B1C3 yang mengalami peningkatan bilangan ester seiring dengan meningkatnya kecepatan pengadukan.

Keterangan:

A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam)

B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm)

C : rasio metanol/heksan/bahan (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1, dan C3 = 5:1:1) Gambar 17. Bilangan ester biodiesel yang dihasilkan dari proses

transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai perlakuan

Penambahan heksan akan membantu dalam proses ekstraksi minyak dari bahan, oleh karena itu penambahan heksan meningkatkan jumlah trigliserida yang diekstraksi sehingga jumlah metil ester yang dihasilkan pun akan semakin meningkat. Pada penelitian ini bilangan penyabunan dari perlakuan A1B1C1 (rasio metanol/heksan/bahan sebesar 3:3:1) mengalami peningkatan bilangan

0 50 100 150 200 A1 A2 Bilangan ester (mg KOH/g) Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3

30

penyabunan seiring dengan penambahan heksan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap bilangan ester, waktu reaksi, kecepatan pengadukan, dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan ester. Perlakuan yang menghasilkan rendemen biodiesel tertinggi (perlakuan A2B2C1) memiliki bilangan ester sebesar 186.34 mg KOH/g. Sedangkan perlakuan yang berdasarkan biaya produksi, kosumsi energi, dan efek lingkungan terendah (perlakuan A1B1C2) memiliki bilangan ester sebesar 189 mg KOH/g. Dari bilangan ester yang diperoleh pada kedua perlakuan tersebut, dapat dilihat bahwa biodiesel pada perlakuan A1B1C2 memiliki bilangan ester yang lebih tinggi. Sama halnya dengan bilangan penyabunan, bilangan ester yang tinggi juga mengindikasikan bahwa biodiesel yang dihasilkan memiliki kemurnian yang tinggi pula, karena penyusunnya didominasi oleh metil ester yang dihasilkan selama proses transesterifikasi.

d. Viskositas

Viskositas biodiesel hasil penelitian ini berkisar antara 3.45 – 5.42 cSt. Standar Nasional Indonesia untuk mutu biodiesel menyatakan bahwa standar viskositas biodiesel berkisar antara 2.3 – 6 cSt. Hal ini berarti bahwa viskositas biodiesel yang dihasilkan memenuhi standar dan layak untuk digunakan.

Keterangan:

A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam)

B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm)

C : rasio metanol/heksan/bahan (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1, dan C3 = 5:1:1) Gambar 18. Viskositas biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in

situ biji jarak pagar pada berbagai perlakuan

Berdasarkan Gambar 18, semakin lama waktu reaksi, viskositas biodiesel yang dihasilkan semakin meningkat kecuali pada perlakuan A1B1C2

0 1 2 3 4 5 6 A1 A2 Vi skosi tas (cSt) Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3

31

dan A1B2C3. Sedangkan semakin tinggi kecepatan pengadukan viskositas biodiesel relatif semakin turun, kecuali pada perlakuan A2B2C2. Tingginya viskositas juga dipengaruhi oleh kesempurnaan reaksi transesterifikasi. Tingginya viskositas pada perlakuan dengan rasio metanol/heksan/bahan sebesar 3:3:1, menunjukkan bahwa reaksi pembentukan metil ester tidak berjalan dengan sempurna. Jika reaksi tidak berjalan dengan tuntas, akan terdapat banyak trigliserida yang tidak diubah menjadi metil ester. Keadaan ini berdampak pada tingginya nilai viskositas karena trigliserida lebih kental daripada metil ester.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap viskositas, waktu reaksi, kecepatan pengadukan, dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas biodiesel. Perlakuan yang menghasilkan rendemen biodiesel tertinggi (perlakuan A2B2C1) memiliki viskositas sebesar 4.21 cSt. Sedangkan perlakuan yang berdasarkan biaya produksi, kosumsi energi, dan efek lingkungan terendah (perlakuan A1B1C2) memiliki viskositas yang lebih rendah yaitu 3.52 cSt. Berdasarkan hal tersebut, kondisi proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar dipilih sesuai perlakuan A1B1C2 (waktu reaksi 4 jam, kecepatan pengadukan 200 rpm, dan rasio metanol/heksan/bahan sebesar 4:2:1).

e. Kadar Abu

Kadar abu menunjukkan adanya senyawa organologam (Cu, Fe, Mg) maupun mineral yang terdapat dalam bahan. Dari hasil analisis mutu biodiesel (Tabel 6), didapatkan kadar abu biodiesel bernilai 0% kecuali pada perlakuan A1B1C3 (0.008%), A1B2C3 (0.018%), dan A2B2C3 (0.02%). Standar Nasional Indonesia untuk mutu biodiesel menetapkan bahwa kadar abu biodiesel maksimal bernilai 0.02%, sehingga biodiesel hasil penelitian ini sudah memenuhi standar.

Tingginya kadar abu pada biodiesel dapat disebabkan terlarutnya sejumlah logam yang berasal dari peralatan transesterifikasi ataupun pada peralatan pengujian kadar abu. Pengujian kadar abu biodiesel merupakan pengujian yang sangat peka, kebersihan peralatan akan sangat menentukan nilai kadar abu yang diperoleh, juga air yang digunakan untuk mencuci peralatan tersebut. Tingginya kadar abu dalam biodiesel sebagai bahan bakar akan berbahaya dikarenakan senyawa organologam tersebut akan mengendap dan menyebabkan karat serta kerak pada mesin diesel. Biodiesel harus mengandung senyawa organologam atau mineral serendah mungkin untuk meningkatkan kinerja motor pada mesin diesel, karena abu dapat mengkikis unit-unit injektor pada motor. 

Dokumen terkait