• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Kualitas Air

Hasil pengamatan terhadap beberapa peubah kualitas air yang meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, karbondioksida, alkalinitas total, total amonium nitrogen (TAN), amoniak, nitrit, nitrat, BOD5, TSS dan VSS selama penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai rataan dan kisaran kualitas air media pemeliharaan pada setiap perlakuan selama penelitian

Parameter Rataan dan kisaran nilai

A (150:0) B (150:300) C (150:600) Suhu (oC) 28 (27-30) 28 (27-30) 28 (27-30) pH 6,8 (6,1-7,7) 6,9 (6,3-7,5) 7,0 (6,4-7,6) Alkalinitas (mg/L CaCO3 eq) 116 (101-140) 155 (122-196) 154 (132-173) DO (mg/L) 4,21 (2,24-8,14) 2,65 (1,48-4,79) 2,89 (1,16-5,59) CO2 (mg/L) 12,92 (11,88-15,94) 20,12 (16,83-23,92) 23,84 (19,80-29,89) TAN (mg/L) 0,31 (0-0,81) 0,26 (0-0,44) 0,26 (0-0,50) NH3 (mg/L) 0,005 (0-0,023) 0,003 (0-0,009) 0,003 (0-0,011) NO2 (mg/L) 0,240 (0,003-0,726) 0,075 (0,025-0,223) 0,040 (0,016-0,066) NO3 (mg/L) 0,404 (0,128-0,860) 0,214 (0,109-0,338) 0,282 (0,150-0,368) BOD5 (mg/L) 4,73 (3,64-7,30) 5,33 (3,87-7,60) 5,40 (4,03-7,50) TSS (mg/L) 35,68 (20,80-46,00) 48,70 (43,47-53,40) 85,10 (52,40-161,40) VSS (mg/L) 3,34 (0,80-6,32) 7,74 (5,76-9,52) 17,22 (9,55-11,63)

Hasil pengukuran suhu air pada semua kolam perlakuan tidak menunjukkan perbedaan (Tabel 6) dan berada dalam batas yang layak bagi pertumbuhan ikan lele dan udang galah. Menurut Wedemeyer (1996) suhu air yang ekstrim dan bervariasi mempengaruhi kesehatan ikan pada budidaya intensif. Kisaran yang paling baik untuk pertumbuhan udang galah adalah 25 – 30oC (New 2002; Pillay & Kutty 2005). Variasi suhu pada setiap kolam perlakuan relatif kecil dengan suhu terendah terjadi pada jam 06.00 dan dan tertinggi pada jam 16.00 (Gambar 7). Perubahan suhu yang cepat sebesar 10oC atau lebih dapat mengaktifkan infeksi laten (Wedemeyer 1996).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pH air pada setiap perlakuan berada pada kisaran di bawah optimum akibat dari sumber air yang berasal dari sungai yang hanya mengandung pH 6,1 akan tetapi mengalami kenaikan seiring waktu pemeliharaan dan masih layak bagi kelangsungan hidup serta pertumbuhan udang galah dan lele (Tabel 6). Berdasarkan New (2002) pH ekstrim bagi udang galah berada pada kisaran di atas 9. Sedangkan pH optimum bagi udang galah berada pada kisaran 7-8,5 (New 2002; Pillay & Kutty 2005).

24 25 26 27 28 29 30 31 32 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Waktu (Jam) S uhu ( o C)

A-M1 A-M2 A-M3 A-M4 A-M6 B-M1 B-M2 B-M3

B-M4 B-M6 C-M1 CM-2 CM-3 CM-4 CM-6

Gambar 7 Suhu diurnal pada setiap perlakuan selama penelitian

Alkalinitas merupakan ukuran konsentrasi total substansi alkalin (basa) terlarut dalam air. Pada budidaya ikan intensif direkomendasikan alkalinitas sebesar 100- 150 mg/L untuk memberikan kapasitas penyangga yang dibutuhkan untuk mencegah fluktuasi pH yang lebar (pH ekstrim 9,0), meningkatkan pertumbuhan alga, mencegah pelepasan logam berat dan penggunaan senyawa copper untuk pengobatan penyakit (Wedemeyer 1996). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa alkalinitas pada perlakuan A (150:0) berada pada kisaran optimum bagi akuakultur. Sedangkan perlakuan B (150:300) dan C (150:600) yang ditumbuhkan bakteri heterotrof mengalami kondisi dimana nilai alkalinitas lebih tinggi dan berada pada kisaran yang lebih lebar. Pada perlakuan A (150:600) diduga fitoplankton dan bakteri nitrifikasi tumbuh lebih banyak daripada perlakuan lainnya. Fitoplankton dan bakteri nitrifikasi akan memanfaatkan alkalinitas sebagai sumber karbon anorganik (Ebeling et al. 2006). Menurut Azim dan Little (2008) budidaya berbasis biofloc mengalami fluktuasi alkalinitas yang sangat besar yang mengindikasikan bahwa sistem biofloc kehilangan kapasitas penyangga dan selanjutnya sering kali membutuhkan penambahan NaHCO3. Alkalinitas optimum bagi ikan lele adalah minimal 20 mg/L

(Peteri et al. 1992) dan bagi udang galah adalah 20-60 mg/L (New 2002).

Pada budidaya intensif dibutuhkan oksigen terlarut yang cukup, karena konsentrasi yang terlalu rendah dapat mempengaruhi kesehatan ikan yang meliputi anorexia, stres respiratori, hypoxia jaringan, hilang kesadaran dan berakhir dengan kematian (Wedemeyer 1996). Menurut Peteri et al. (1992) ikan lele masih dapat

tumbuh dengan baik pada oksigen terlarut 1,7 mg/L. Sedangkan menurut New (2002) kisaran optimum oksigen terlarut untuk udang galah adalah 3-7 mg/L dengan batas lethal kurang dari 1 mg/L.

Hasil pengukuran oksigen terlarut diurnal pada setiap perlakuan disajikan pada Gambar 8. Nampak bahwa perlakuan A (150:0) tidak mengalami kejadian penurunan oksigen terlarut sampai level kritis hingga akhir penelitian. Sedangkan perlakuan B (150:300) dan C (150:600) atau yang ditambahkan udang galah dan ditumbuhkan bakteri heterotrof mengalami kejadian penurunan konsentrasi oksigen terlarut sampai level kritis pada waktu-waktu tertentu pada malam hingga pagi hari. Pada minggu ke-1 sampai ke-2 saat suplai oksigen dari mesin blower sebesar 18 liter/menit, terjadi kondisi oksigen terlarut kritis pada hari ke-14. Dimana perlakuan B (150:300) mengalami kejadian oksigen terlarut kritis selama sekitar 6 jam dengan konsentrasi oksigen terlarut terendah sebesar 1,76 mg/L. Perlakuan C (150:600) mengalami kejadian oksigen terlarut kritis selama sekitar 8 jam dengan konsentrasi oksigen terlarut terendah sebesar 1,69 mg/L. Pada minggu ke-3 sampai ke-4 saat suplai oksigen dari mesin blower ditingkatkan menjadi sebesar 36 liter/menit, terjadi kondisi oksigen terlarut kritis pada hari ke-28. Dimana perlakuan B (150:300) mengalami kejadian oksigen terlarut kritis selama sekitar 8 jam dengan konsentrasi oksigen terlarut terendah sebesar 1,48 mg/L. Perlakuan C (150:600) mengalami kejadian oksigen terlarut kritis dalam selang waktu yang sama yaitu sekitar 8 jam, namun konsentrasi oksigen terlarut terendah sangat ekstrim yaitu sebesar 1,16 mg/L. Pada minggu ke-5 sampai ke-7 suplai oksigen dari mesin blower ditingkatkan menjadi sebesar 50 liter/menit. Pada hari ke-42 telah terjadi kondisi oksigen terlarut ektrim pada perlakuan C (150:600) selama sekitar 6 jam dengan konsentrasi oksigen terlarut terendah sebesar 1,72 mg/L. Perlakuan B (150:300) tidak mengalami kejadian oksigen terlarut ekstrim rendah pada hari ke-42.

Berdasarkan data biomassa rata-rata bakteri heterotrof yang terbentuk (Tabel 5) dan persamaan reaksi bakteri heterotrof dari Ebeling et al. (2006) diketahui rata-rata oksigen yang digunakan untuk membetuk biomassa bakteri heterotrof adalah 1,76 g (A), 97,45 g (B) dan 170,97 g (C), perhitungan disajikan pada Lampiran 9. Nampak bahwa bakteri heterotrof pada perlakuan C menggunakan oksigen yang lebih besar daripada perlakuan B dan A. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan bakteri heterotrof berperan terhadap kejadian oksigen kritis.

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Waktu (jam) K on s e nt ra s i ok s ige n t e rl ar ut ( m g/ l)

AM1 AM2 AM3 AM4 AM6 BM1 BM2 BM3

BM4 BM6 CM1 CM2 CM3 CM4 CM6

Gambar 8 Oksigen diurnal pada setiap perlakuan selama penelitian

Nilai rata-rata BOD5 pada air kolam yang ditumbuhkan bakteri heterotrof (B

dan C) berturut-turut adalah 5,33 dan 5,40 mg/L, lebih tinggi daripada air kolam yang tidak ditumbuhkan bakteri heterotrof yaitu 4,73 mg/L. Hari et al. (2004) mendapatkan nilai BOD berkisar antara 3,5-4,5 mg/L pada budidaya udang windu dengan pengaturan rasio C/N melalui penambahan karbohidrat dalam bak indoor.

Konsentrasi nitrogen anorganik terlarut (TAN, NO2-N dan NO3-N) pada setiap

perlakuan selama periode penelitian ditunjukkan pada Gambar 9. Nampak bahwa konsentrasi TAN, NO2-N dan NO3-N berfluktuasi selama periode penelitian serta

pada perlakuan A (150:0) yang tanpa penambahan karbon secara keseluruhan mempunyai kecenderungan lebih tinggi daripada perlakuan B (150:300) dan C (150:600) yang ditumbuhkan bakteri melalui penambahan karbon. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hari et al. (2004) bahwa konsentrasi nitrogen anorganik terlarut yang terdiri dari TAN, NO2-N dan NO3-N pada media air pemeliharaan

dengan penumbuhan biofloc lebih rendah daripada media air pemeliharaan tanpa biofloc. Nilai nitrit dan nitrat yang lebih tinggi pada perlakuan A (150:0) yang tidak ditumbuhkan bakteri heterotrof, mengindikasikan bahwa bakteri nitrifikasi pada perlakuan ini tumbuh lebih banyak. Menurut Ebeling et al. (2006) proses autotrofik merupakan pesaing bagi proses heterotrofik, dan dan laju nitrifikasi akan menurun seiring peningkatan konsentrasi karbon organik. Kisaran nilai NH3-N, NO2-N dan

NO3-N pada setiap perlakuan (Tabel 6) berada pada kisaran layak bagi pertumbuhan

0,05 mg/L bagi ikan lele. Sedangkan nilai NH3-N, NO2-N dan NO3-N bagi udang

galah berturut-turut adalah < 0,3 mg/L, < 2 mg/L dan < 10 mg/L (New 2002).

Gambar 9 Nitrogen anorganik pada setiap perlakuan selama penelitian: TAN (a); NO2-N (b); dan NO3-N (c)

Konsentrasi CO2 terlarut pada perlakuan A, B dan C berturut-turut adalah 12,92,

20,12 dan 23,84 mg/L. Nilai CO2 pada semua perlakuan berada pada kisaran layak

bagi kelangsungan hidup serta pertumbuhan ikan dan udang. Menurut Wedemeyer (1996) untuk memastikan kondisi kesehatan dan fisiologi yang baik, spesies ikan warmwater hendaknya tidak dipelihara pada konsentrasi CO2 terlarut lebih dari 20-30

mg/L untuk waktu yang lama. Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi CO2 terlarut

berkorelasi dengan kebutuhan oksigen terlarut dimana kebutuhan oksigen terlarut akan meningkat pada kondisi CO2 terlarut tinggi.

Padatan tersuspensi total (TSS) merupakan sejumlah bahan partikulat yang berada dalam air. TSS pada teknologi akuakultur berbasis biofloc dianjurkan berkisar 200-1000 mg/L (De Schryver et al. 2008). Pada penelitian ini nilai TSS masih berada jauh di bawah kisaran yang dianjurkan. Namun demikian rata-rata TSS pada perlakuan dengan penumbuhan bakteri (B dan C) berturut-turut adalah 48,7 dan 85,1 mg/L, lebih tinggi dari pada perlakuan tanpa penumbuhan bakteri (A) yaitu 35,7 mg/L. Hal ini sesuai dengan penelitian tentang budidaya ikan nila berbasis biofloc pada kolam indoor yang dilakukan Azim dan Little (2008) dimana level TSS pada kolam biofloc sebesar 597 mg/L dan kolam kontrol tanpa biofloc sebesar 16 mg/L.

Volatile Suspeded Solid (VSS) merupakan sejumlah bahan organik dalam bentuk partikulat dalam air. Walaupun belum ada data yang tersedia yang dapat

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 2 3 5 6 N it ri t ( m g/ L)

Waktu (minggu ke-)

A (150:0) B (150:300) C (150:600 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 2 3 5 6 N it rat ( m g/ L) 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 2 3 5 6 T A N ( m g/L) (a) (b) (c)

dianjurkan pada budidaya berbasis biofloc namun VSS dijadikan sebagai parameter utama dan penting bagi keberadaan biofloc pada sistem budidaya dengan teknologi biofloc (De Schryver et al. 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata VSS pada air kolam yang ditumbuhkan bakteri (B dan C) berturut-turut adalah 7,74 dan 17,22 mg/L, lebih tinggi daripada VSS pada air kolam yang tidak ditumbuhkan bakteri (A) yaitu 3,34 mg/L. Pada budidaya channel catfish (Ictalurus punctatus) dengan tanpa intensifikasi bakteri diperoleh TSS dan VSS masing-masing 30,6 dan 8,6 mg/L (Schwartz & Boyd 1994 diacu dalam Frimpong et al. 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa padatan tersuspensi di kolam berasosiasi dengan biomassa fitoplankton dan detritus turunan fitoplankton.

Dokumen terkait