• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA

V.2. Kualitas Pelayanan Publik

V.2. Kualitas Pelayanan Publik

1. Bukti Langsung ( Tangable ).

Ukuran kualitas pelayanan publik yang pertama yaitu dilihat dari bukti langsung yang dapat dilihat yaitu meliputi fasilitas fisik, pegawai, perlengkapan, dan sarana komunikasinya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Asisten Penanganan Keluhan Lembaga Ombudsman, ternyata diperoleh informasi bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik selama ini banyak ditemui aparatur yang sering bermalas-malasan, arogan, bahkan sampai meminta imbalan kepada masyarakat dalam memberikan pelayanan. Informasi tersebut diperoleh dari laporan-laporan masyarakat kepada Pihak Lembaga Ombudsman selama ini. Jika dilihat dari fakta tersebut, maka dapat dinilai bahwa kondisi aparatur pelayanan publik saat ini masih dikatakan dalam keadaan buruk, apalagi bagi aparatur yang meminta imbalan kepada masyarakat, padahal mereka digaji oleh negara yang sesungguhnya berasal dari pajak masyarakat memang untuk

menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat, jadi tidak etis bila mereka masih juga meminta imbalan kepada masyarakat yang dilayani. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik saat ini belum diterapkan prinsip pelayanan publik berupa kedisiplinan, keramahan, dan kesopanan.

2. Daya Tanggap ( Responsiveness).

Ukuran kualitas pelayanan publik selanjutnya yaitu daya tanggap atau responsivitas dari instansi maupun aparatur pemerintah atas kebutuhan masyarakat. Daya tanggap tersebut menyangkut kepekaan dari para aparatur penyelenggara negara akan suatu situasi yang dialami oleh masyarakat. Masih berdasar informasi yang didapat dari informan yang sama, diketahui bahwa daya tanggap oleh Aparatur Pemerintah dalam melayani masyarakat masih sangat lamban. Salah satu kelambanan daya tanggap aparatur Pemerintah yaitu pernah adanya kejadian jalan rusak di lingkungan seorang warga namun ternyata setelah dilaporkan tidak juga mendapat respon dari Pemerintah. Hal tersebut di atas menunjukkan masih lemahnya perhatian dan kesadaran dari aparatur penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Dan dapat dikatakan bahwa aparatur pemerintah belum menunaikan prisip pelayanan publik yang bertanggung jawab.

3. Keadilan ( Reliability ).

Keadilan merupakan salah satu aspek yang menunjang terciptanya kualitas pelayanan publik yang baik. Keadilan yang dimaksud berupa komitmen para aparatur penyelenggara negara untuk memberikan pelayanan yang menjanjikan

dengan segera dan memuaskan, di mana dalam pemberian pelayanan tersebut harus dihindari praktek diskriminasi dalam bentuk apapun.

Dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik selama ini, masih didapati banyaknya perilaku diskriminasi yang dilakukan oleh para aparatur negara dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Tidak jarang para aparatur lebih mengutamakan pelayanan kepada masyarakat yang berduit ketimbang masyarakat kecil yang tidak berpunya. Hal tersebut menggambarkan bahwa rasa keadilan pada diri para aparatur sangatlah tipis sekali. Hal tersebut juga menyingkap bahwa para aparatur negara belum menerapkan prinsip-prinsip pelayanan publik dalam menjalankan tugasnya.

4. Jaminan ( assurance ).

Jaminan merupakan salah satu aspek yang penting yang wajib dipenuhi dalam menciptakan suatu kualitas pelayanan yang baik. Jaminan dalam pelayanan publik antara lain mencakup kemampuan para aparatur memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, bebas dari kesalahan dan sifat dapat dipercaya yang ditunjukkan oleh para aparatur penyelenggara negara tersebut.

Namun dalam prakteknya selama ini, lagi-lagi didapati masih banyaknya aparatur yang menempati posisi yang tidak sesuai dengan kemampuan, sehingga banyak pelayanan publik yang dilakukan ternyata berada di luar kompetensinya. Dari data laporan masyarakat yang diterima Lemabaga Ombudsman selama tahun 2006 hingga tahun 2007 tercatat ada 9 laporan dari masyarakat yang mengeluhkan adanya aparatur yang melakukan pelayanan yang sebenarnya berada di luar kompetensinya, akibatnya dalam hal ini banyak

kesalahan yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas pelayanan publik sehingga lagi-lagi masyarakat lah yang harus menjadi korbannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa jaminan yang ditawarkan oleh aparatur penyelenggara negara masih belum dapat membuat masyarakat merasa percaya dan tenang, serta belum diterapkannya prinsip keamanan dan kejelasan serta akurasi dalam pemberian pelayanan publik.

5. Empati ( Emphaty )

Definisi pengukur kualitas pelayanan publik yang terkahir yaitu Empati atau kounikasi yang baik antara apartur penyelenggara dengan masyarakat dalam pelaksanaan tugas pelayanan publik. Komunikasi yang baik tersebut termasuk adanya perhatian yang diberikan oleh aparatur penyelenggara negara atas kebutuhan mayarakat.

Dalam penyelengaraan pelayanan publik selama ini ternyata rasa empati dari pihak aparatur pemerintah kepada masyarakat masih cukup buruk. Hal ini dilihat dari masih banyaknya kesulitan yang dialami masyarakat dalam mengurus suatu urusan administrasi. Masih banyak aparatur yang tidak memberikan informasi dan komunikasi yang baik kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi kebingungan ketika harus mengurus keperluannya. Hal tersebut menunjukkan masih lemahnya perhatian dan rasa peduli dari para aparatur kepada masyarakat. Dan menunjukkan belum terlaksananya prinsip pelayanan publik dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan negara.

V.3. Implementasi Kebijakan Undang-Undang No.37 Tahun 2008 dalam Meningkatkan Kualitas Pelayana Publik

Kebikan publik yang telah ditetapkan dan disetujui seharusnya dilaksanakan secara maksimal untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Pelaksanaan kebijakan publik ini disebut dengan implementasi yang memiliki tahapan yang bersifat praktis dan tentunya dibedakan dengan tahapan formulasi yang bersifat teoritis. Implementasi kebijakan merupakan proses administratif yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah atau pelaksana teknis sesuai dengan ketetapan yang ada di dalam kebijakan itu sendiri dengan mendayagunakan setiap sumber daya dan sumber dana yang ada.

Implementasi Kebijakan Undang-Undang No.37 Tahun 2008 dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik ini dapat dilihat dari model implementasi Van Meter Dan Van Horn, yang dilihat melalui variabel-variabel di bawah ini :

1. Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan merupakan sesuatu yang harus diterapkan dalam setiap proses implementasi sebuah kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Ketika standar dan sasaran kebijakan terlalu ideal maka akan sulit direalisasikan. Standar dan sasaran kebijakan tersebut juga harus dipahami dengan baik oleh para pelaksana pelaksana kebijakan (implementors).

Pada Lembaga Ombudsman Republik Indonesia khususnya Perwakilan Sumatera Utara sasaran yang hendak dicapai adalah mewujudkan negarahukum yang demokratis, adil, dan sejahtera; mendorong penyelenggaraan negara pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik; membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme; meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan. Dalam mewujudkan sasaran itu, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara sudah membentuk Standard Operating Procedure (SOP), namun dalam pencapaian sasaran tersebut masih tidak terarah. Hal ini disadari oleh pihak Lembaga Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara terlihat dari belum tercapainya target yang ditetapkan dan sementara untuk berkas yang diurus tidak memiliki target dalam pengurusannya.

2. Sumber Daya

Disamping standar dan sasaran implementasi peraturan daerah, yang perlu mendapat perhatian dalam proses implementasi adalah masalah sumber daya. Karena sumber daya merupakan faktor utama dalam melaksanakan dan merealisasikan jalannya suatu kebijakan. Tak terkecuali dengan dana yang dibutuhkan, peralatan yang akan digunakan selama proses implemetasi hingga

suber daya manusia yang tergolong mampu dan cakap dalam melaksanakan tugas serta tanggungjawabnya.

Ketersediaan sumber daya manusia dalam pengimplementasian Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik merupakan hal yang sangat penting. Meskipun demikian perlu juga diketahui bahwa jumlah manusia (pegawai) tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi suatu kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah pegawai yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Ini juga dipengaruhi oleh kemampuan yang dimiliki oleh pegawai, namun di sisi lain kurangnya pegawai juga akan menimbulkan persoalan menyangkut implementasi kebijakan yang efektif. Artinya kebutuhan akan sumber daya manusia dalam melaksanakan suatu kebijakan harus terpenuhi secara kualitas dan kuantitasnya. Lembaga Ombudsman Pewakilan Sumatera Utara memiliki 8 Anggota yang aktif bekerja saat ini, hal ini tentu saja sangat tidak efisien dan efektif dilihat dari jumlah laporan yang masuk yang akan ditanganin. Memiliki jumlah pegawai yang minim mengganggu implementasi kebijakan.

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, Lembaga Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara dalam pengimplementasian Undang_Undang No. 37 Tahun 2008 dalam meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik, jika dilihat dari segi sumber daya manusia dan sumber daya non manusia (sarana dan prasarana) masih memiliki kekurangan. Dalam hal ini Lembaga Perwakilan masih kekurangan jumlah pegawai dalam pengurusan pelaporan dari masyarakat. Hal ini tentunya

akan menghambat pengimplementasian Undang_Undang No. 37 Tahun 2008 dalam meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik.

3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas

Sebelum sebuah kebijakan diimplementasikan, pelaksanaan kebijakan harus menyadari bahwa suatu keputusan yang telah dibuat dan perintah untuk melaksanakannya telah dikeluarkan, sehingga mereka bekerja dengan memiliki wewenang masing-masing. Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi yang akurat, jelas, konsisten, menyeluruh serta koordinasi yang telah dilakukan apakah koordinasi horizontal, vertikal.

Van Meter dan Van Horn mengatakan bahwa komunikasi yang baik pada setiap implementor dalam pelaksanaan sebuah kebijakan publik sangat berpengaruh terhadap setiap hasil pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. Para implementor kebijakan harus memperoleh informasi melalui pengkomunikasian secara konsisten dan seragam. Hal ini bertujuan untuk memberi pemahaman bagi para implementor tentang tugas dan fungsinya dalam pelaksanaan kebijakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Lembaga Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara Komunikasi dan koordinasi yang dilakukan Kepala Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara kepada bawahannya sejauh sudah berjalan dengan baik. hal ini terlihat dari adanya pembagian tugas dalam pengurusan pelapor dari masyarakat. Dimana Kepala Perwakilan membagi anggotanya kedalam beberapa bagian yang mengurus segala sesuatu yang didalamnya walaupun dibatasi oleh kekurangan pegawai yang memungkinkan pegawai untuk melakukan tugasnya walaupun beban kerja setiap pegawainya berbeda. Dengan adanya pembagian tugas ini maka koordinasi dapat

dikatakan sudah baik. sehingga dalam penimplementasian Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

4. Karakteristik Agen Pelaksana

Van Meter dan Van Horn menyatakan bahwa selain kejelasan standar dan tujuan kebijakan, kesiapan sumber daya dan komunikasi yang baik antara agen pelaksana kebijakan, karakteristik agen pelaksana juga menjadi hal yang sangat berperan dalam menentukan berhasil atau tidaknya sebuah kebijakan publik. Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan karakteristik yang baik dari para agen pelaksana kebijakan tersebut. Karakteristik tersebut mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan SOP (Standard Operating Procedures).

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Lembaga Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara bahwa struktur organisasi Lembaga Ombudsman Republik Indonesia tidak disesuaikan dengan Undang-Undang No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Di Kantor Lembaga Perwakilan ini terdapat 8 anggota berada didalamnya yaitu Kepala Perwakilan (merangkap anggota), Wakil Kepala (merangkap anggota dan aisten pengawasan), Asisten Pencegahan (merangkkap anggota), Asisten Penanganan Laporan (merangkap anggota), Staf Keuangan, Staf Administrasi, Pramubakti, Sekuriti. Setiap bidang, dikerjakan sesuai struktur organisasi yang telah ada, walaupun kadangkala tidak berjalan seperti itu disebabkan oleh minimnya sumberdaya manusia (pegawai) dibandingkan dengan data pelapor yang masuk.

Standard Operating Procedures (SOP) dikembangkan sebagai respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan keinginan untuk

menciptakan keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Lembaga Ombudsman Perwakilan ini telah memiliki SOP sehingga dalam pengimplementasian UU. No.37 Tahun 2008 dapat dilaksanakan walaupun belum sepenuhnya maksimal.

5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik

Selain kondisi internal yang mempengaruhi implementasisebuah kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengatakan bahwa kondisi eksternal yakni kondisi sosial, ekonomi, dan politik juga dapat mempengaruhi implementasi kebijakan. Sama halnya dengan keberhasilan atau kegagalan implementasi UU No. 37 Tahun 2008 dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Namun , sesuai dengan hasil wawancara, peneliti menganalisis bahwa keadaan ekonomi masyarakat Lembaga Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara tidak mempengaruhi masyarakat dalam melakukan pelaporan.

6. Disposisi Implementor

Disposisi merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan. Kecenderungan yang dimaksud disini adalah watak dan karakteristik implementor seperti kejujuran, keikhlasan, komitmen, tanggung jawab, netral atau tidak pilih kasih dan demokratis. Selain itu disposisi implementor juga meliputi pemahaman para pelaksana kebijakan terhadap kebijakan yang mereka jalankan. Kecenderungan-kecenderungan implementor bisa menjadi penghambat, tetapi apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka ia dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

Disposisi implementor ini juga berkenaan dengan kesediaan dari implementor untuk carry out UU No. 37 Tahun 2008 dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik, kecakapan Lembaga Perwakilan saja tidak mencukupi, diperlukan kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Respon dari para agen pelaksana terhadap UU No. 37 Tahun 2008 dan UU. No.25 Tahun 2009 cenderung positif dan menerima diterapkannya undang-undang tersebut, dengan alasan guna meningkatkan kualitas pelayanan publik. Undang-undang tersebut perlu diimplementasikan guna meningkatkan kualitas pelayanan publik di Indonesia khusus nya di daerah perwakilan juga. Dengan adanya undang-undang tersebut maka diharapkan akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik.

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran atas Implementasi Undang-Undang No. 37 tahun 2008 dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

VI.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Lembaga Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka untuk melihat keberhasilan proses implementasi Implementasi Undang-Undang No37 Tahun 2008 dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik, diperlukan standar dan sasaran kebijakan yang realistis, sumber daya yang kurang memadai, komunikasi yang baik antar organisasi, karakteristik agen pelaksana yang baik, kondisi sosial,ekonomi dan politik yang mendukung, dan respon yang positif dari para implementor.

2. Berdasarkan hasil penelitian, maka terlihat bahwa Undang-Undang No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman republik Indonesia dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik dengan tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan, ternyata menjadikan masyarakat mengalami kemudahan dalam melakukan pengaduan terhadap pelayanan publik yang tidak efektif dari instansi yang terkait dan maladministrasi yang terjadi.

3. Terdapat beberapa kendala dalam pengimplementasian Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik yaitu

keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Lembaga Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara. Belum lagi, keterbatasan dana yang diturunkan oleh pusat dan hal ini mempengaruhi kinerja Lembaga perwakilan terhadap pelaksanaan kegiatan dan sarana maupun prasarana yang dibutuhkan.

VI.2 Saran

Saran yang diberi peneliti atas Undang-Undang NO. 37 Tahun 2008 dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik ini adalah :

1. Dengan keterbatasan kualitas dari sumber daya manusia yang ada di Lembaga Ombudsman perwakilan Sumatera Utara, maka perlu adanya pengajuan permohonan kembali kepada Kepala Ombudsman Republik Indonesia untuk penambahan jumlah pegawai yang memiliki kualitas yang baik guna meningkatkan kualitas pelayanan publik.

2. Pembentukan Standard Operating Procedure (SOP) di Lembaga Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara, sebaiknya dilakukan secepatnya agar adanya kejelasan dan transparansi dalam pengurusan pengaduan masyarakat.

3. Dengan keterbatasan sarana dan prasarana atau kondisi fisik yang terlihat sebaiknya Lembaga Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara memberikan permohonan kepada Kepala Ombudsman Republik Indonesia untuk dapat menurun dana guna membantu meningkatkan kualitas pelayanan publik

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said Zainal.2004. Kebijakan Publik. Jakarta : Yayasan Pancur Siwah Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta

Budiono, B. 2003. Pelayanan Prima Perpajakan. Jakarta : Rieneka Cipta

Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys. Yogyakarta: Gava Media

Parsons, Wayne. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Grup

Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Safi’i. 2007. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah. Malang : Averroes Pres

Singarimbun, Masri. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES

Singarimbun,Masri,Effendi,Sofian.2006.Metode Penelitian Survei.Jakarta:LP3ES Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada

Subarsono, A.G. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Pustaka Pelajar

Suyanto, Bagong. 2005. Metode Penelitian Sosial ( Berbagai Pendekatan Alternatif). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: YPAPI

Wahab, Solichin, A. 2004. Analisa Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jakarta: Med Press Zuriah, N. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan : Teori-Aplikasi.

Jakarta: Bumi Aksara

Undang-undang :

Undang-undang Ombudsman Republik Indonesia No.37 Tahun 2008 Undang-undang No.25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Sumber Lain :

publik.html (diakses pada tanggal 27 Oktober 2013, Pukul 20.08 WIB)

www.Ombudsman Sumut Terima 157 Laporan Pengaduan, Terbanyak Pemerintah Daerah _ Orbit Koran Digital (diakses pada tanggal 29 Oktober 2013, Pukul 10.00 WIB)

Pukul 10.30 WIB.

Dokumen terkait