• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Tidur a. Pengertian Tidur

Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall, 1997). Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang terjadi berulang-ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). Menurut Chopra (2003), tidur merupakan dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang dan aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak sedang bekerja lebih keras selama periode bermimpi dibandingkan dengan ketika beraktivitas di siang hari.

Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi bola dunia yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus 24 jam antara lain diperlihatkan oleh menyingsing dan terbenamnya matahari, layu dan segarnya tanam-tanaman pada malam dan siang hari, awas waspadanya manusia dan bintang pada siang hari dan tidurnya mereka pada malam hari (Harsono, 1996).

Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang bekerja (Harsono, 1996). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular activating system (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak (Potter & Perry, 2005)

RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005).

c. Tahapan Tidur

Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau Rapid Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2005).

Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).

2) Tidur stadium dua

Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010). Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005). 3) Tidur stadium tiga

Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010). 4) Tidur stadium empat

Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010).

Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun (Japardi, 2002).

Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).

Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter & Perry, 2005).

Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono, 2008).

Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:

Gambar 2.2. Tahap-tahap siklus tidur (Potter & Perry, 2005)

Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter & Perry, 2005).

e. Mekanisme Tidur

Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan kumpulan parameter fisiologis. NREM ditandai oleh denyut jantung dan frekuensi pernafasaan yang stabil dan lambat serta tekanan darah yang rendah. NREM adalah tahapan tidur yang tenang. REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan tiba-tiba, peningkatan saraf otonom dan mimpi. Pada tidur REM terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas. Keadaan ini disertai dengan penurunan tonus otot dan peningkata aktivitas

otot involunter. REM disebut juga aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh yang lumpuh atau tidur paradoks (Ganong, 1998).

Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5-20 menit, rata-rata timbul setiap 90 menit dengan periode pertama terjadi 80-100 menit setelah seseorang tertidur. Tidur REM menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur NREM tingkat I dengan gelombang beta, disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi jantung dan nafas tidak teratur (pada mata menyebabkan gerakan bola mata yang cepat atau rapid eye movement), dan lebih sulit dibangunkan daripada tidur gelombang lambat atau NREM.

Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh sistem yang disebut Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular Activity System ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas Reticular Activity System menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktivitas Reticular Activity System (RAS) ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, histaminergik (Japardi, 2002).

f. Gangguan tidur pada lanjut usia

Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia) dimana pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik,psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara fisik maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lanjut usia (Sarwono, 2010).

Perubahan spesifik pada lansia dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya hidup, stressor, dan lingkungan. Perawat harus mengetahui proses perubahan normal tersebut sehingga dapat memberikan pelayanan tepat dan membantu adaptasi lansia terhadap perubahan, salah satunya adalah perubahan neurologis. Akibat penurunan jumlah neuron fungsi neurotransmitter juga berkurang. Lansia sering mengeluh kesulitan untuk tidur, kesulitan untuk tetap terjaga, kesulitan untuk tidur kembali tidur

setelah terbangun di malam hari, terjaga terlalu cepat, dan tidur siang yang berlebihan. Masalah ini diakibatkan oleh perubahan terkait usia dalam siklus tidur-terjaga (Potter & Perry 2009).

Insomnia pada lansia merupakan keadaan dimana individu mengalami suatu perubahan dalam kuantitas dan kualitas pola istirahatnya yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gaya hidup yang di inginkan.Gangguan tidur pada lansia jika tidak segera ditangani akan berdampak serius dan akan menjadi gangguan tidur yang kronis. Secara fisiologis, jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh dapat terjadi efek-efek seperti pelupa, konfusi dan disorientasi (Asmadi, 2008). Menurut National Sleep Foundation tahun 2010 sekitar 67% dari 1.508 lansia di Amerika usia 65 tahun keatas melaporkan mengalami insomnia dan sebanyak 7,3 % lansia mengeluhkan gangguan memulai dan mempertahankan tidur atau insomnia

Kebanyakan lansia beresiko mengalami insomnia yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti pensiunan, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan obat-obatan, dan penyakit yang dialami. Di Indonesia insomnia menyerang sekitar 50% orang yang berusia 65 tahun, setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% lansia melaporkan adanya insomnia dan sekitar 17% mengalami insomnia yang serius. Prevalensi insomnia pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67% (Puspitosari, 2011) Insomnia pada lansia disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu dari faktor status kesehatan, penggunaan obat-obatan, kondisi lingkungan, stres psikologis, diet/nutrisi, gaya hidup Insomnia pada usia lanjut dihubungkan dengan penurunan memori, konsentrasi terganggu dan perubahan kinerja fungsional. Perubahan yang sangat menonjol yaitu terjadi pengurangan pada gelombang lambat, terutama stadium empat, gelombang alfa menurun,dan meningkatnya frekuensi terbangun di malam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur karena seringnya terbangun. Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan,

kalau seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia, ia lebih sering terbangun (Darmojo, 2005).

Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan. Selama tidur malam, seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia, ia lebih sering terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur total lansia hampir sama dengan dewasa muda. Ritmik sirkadian tidur-bangun lansia juga sering terganggu. Jam biologik lansia lebih pendek dan fase tidurnya lebih maju. Seringnya terbangun pada malam hari menyebabkan keletihan, mengantuk, dan mudah jatuh tidur pada siang hari, dengan perkataan lain bertambahnya umur juga dikaitkan dengan kecenderungan untuk tidur dan bangun lebih awal. Toleransi terhadap fase atau jadual tidur-bangun menurun, misalnya sangat rentan dengan perpindahan jam kerja. Adanya gangguan ritmik sirkadian tidur juga berpengaruh terhadap kadar hormon yaitu terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan, prolaktin, tiroid, dan kortisol pada lansia. Hormon-hormon ini dikeluarkan selama tidur dalam. Sekresi melatonin juga berkurang. Melatonin berfungsi mengontrol sirkadian tidur. Sekresinya terutama pada malam hari. Apabila terpajan dengan cahaya terang, sekresi melatonin akan berkurang (Guyton, 2007)

Pengertian insomnia adalah keadaan dimana seseorang dimana tidak bisa tidur dalam waktu yang cukup. Keluhan dari penderita insomnia adalah mereka tidak dapat memejamkan mata atau mengistirahatkan pikirannya walaupun hanya untuk sejenak. Ada banyak alasan seseorang menderita insomnia mulai dari kegelisahan hingga ke bipolar disorder. Namun terkadang tidak ada penyebab nyata dan hanya dapat terjadi karena suatu alasan, tapi terlalu banyak kegiatan fisik dan rasa sakit juga dapat membuat seseorang untuk sulit tidur di malam hari.Mencari penyebab dari insomnia merupakan kunci untuk mencari obat untuk masalah ini. ternyata tidak makan juga memberikan efek negatif berupa sulit tidur pada seseorang (Farlane, 2012).

Insomnia ada 3 jenis, yaitu: insomnia sementara (bisa terjadi dimana saja dari satu malam hingga beberapa hari), insomnia akut (sulit tidur dalam jangka waktu satu minggu untuk 3-6 bulan), dan insomnia kronis (dimana si penderita mengalami kesulitan tidur setiap malam selama satu bulan atau bahkan lebih) (Farlane, 2012).

Dokumen terkait