• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hari/ Tanggal wawancara : Sabtu/ 19 Maret 2011

Nama kapal : Alpin Jaya Nama nelayan : Isdrajat

Pekerjaan : pemilik kapal nelayan (Juragan)

Usia : 67 tahun

Jenis alat tangkap : jaring dogol

Spesifikasi Jaring : Panjang kantong = 16 m, lebar kantong = 10 m, panjang selambar = 8 m, bahan benang terbuat dari plastik

Ukuran mata jaring : kantong = 1,5 inch – 4 inch, selambar = 8 inch Jenis perahu : sopean (depan dan belakang kapal meruncing) Ukuran perahu (GT) : 5 GT

Jumlah ABK : 5 – 7 orang

Daerah penangkapan : sekitar Teluk Jakarta

Biaya operasional : Rp. 400.000,00 – Rp. 500.000,00 Penghasilan : Rp. 1.000.000,00 – Rp. 3.000.000,00

Jenis ikan tertangkap : ikan kuniran, ikan kurisi, ikan pepetek, ikan pari, ikan-ikan demersal lainnya

Lampiran 13 (lanjutan)  

Hari/ Tanggal wawancara : Sabtu/ 19 Maret 2011

Nama kapal : Makmur

Nama nelayan : Ahmad

Pekerjaan : pemilik kapal nelayan (Juragan)

Usia : 61 tahun

Jenis alat tangkap : jaring dogol

Spesifikasi Jaring : Panjang kantong = 30 m, lebar kantong = 10 m, panjang selambar = 1000 m, bahan benang terbuat dari plastik

Ukuran mata jaring : kantong = 1 inch – 3 inch, selambar = 20 inch Jenis perahu : sopean (depan dan belakang kapal meruncing) Ukuran perahu (GT) : 6 GT

Jumlah ABK : 5 – 7 orang

Daerah penangkapan : sekitar Teluk Jakarta Biaya operasional : ±Rp. 500.000,00

Penghasilan : Rp. 30.000,00 – Rp. 1.000.000,00

Jenis ikan tertangkap : cumi-cumi, sotong, tapi-tapi, ikan kembung, ikan kuniran, ikan kurisi, ikan pepetek, ikan pari, ikan-ikan demersal lainnya

       

RINGKASAN

Austin Efflin Winda Ruth. C24070055. Kajian Stok dan Analisis Ketidakpastian Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus Cuvier 1829) dengan Menggunakan Sidik Frekuensi Panjang yang Didaratkan di TPI Cilincing Jakarta. Dibimbing oleh Mennofatria Boer dan Achmad Fahrudin.

Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan kelompok ikan demersal dan jenis ikan lepas pantai, termasuk salah satu tangkapan dominan setelah ikan pepetek dan ruca yang ditangkap di perairan Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing Jakarta. Statistik perikanan TPI Cilincing Jakarta tahun 2010 menunjukkan jumlah produksi penangkapan ikan kuniran mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Meningkatnya kebutuhan manusia menyebabkan permintaan yang tinggi terhadap sumberdaya ikan kuniran karena harga jualnya terjangkau oleh berbagai kalangan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola pertumbuhan dan mortalitas ikan kuniran melalui analisis sidik frekuensi panjang masing-masing berdasarkan jenis kelamin serta menduga peluang ketidakpastian dari segi produksi dan harga bagi ikan kuniran sehingga dapat dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan

Pengambilan data primer untuk identifikasi spesies ikan, jenis kelamin ikan, tingkat kematangan gonad dan pengukuran panjang total dan bobot basah ikan berlangsung dari tanggal 23 Oktober 2010 sampai dengan 18 Desember 2010 dengan interval waktu pengambilan contoh selama empat belas hari. Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) yang diamati dari lima kali pengambilan contoh mencapai 540 ekor, terdiri dari 203 ekor betina dan 247 ekor jantan. Komposisi jumlah ikan jantan dan ikan betina menunjukkan rasio kelamin yang tidak seimbang yaitu 1 : 1,2. Panjang maksimum teoritis ikan betina mencapai 139,76 mm dan ikan jantan mencapai 133,36 mm. Ikan kuniran betina dan jantan memiliki nilai koefisien pertumbuhan masing-masing 0,26 dan 0,25.

Laju mortalitas total (Z) ikan kuniran (Upeneus sulhureus) di perairan Teluk Jakarta adalah 0,7915 per tahun untuk ikan betina dan 0,8655 per tahun untuk ikan jantan dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,3879 per tahun untuk ikan betina dan 0,3820 per tahun untuk ikan jantan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa mortalitas penangkapan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) sebesar 0,4036 per tahun untuk ikan betina dan 0,4835 per tahun untuk ikan jantan. Laju eksploitasi ikan Upeneus sulphureus di Teluk Jakarta sebesar 0,5099 untuk ikan betina serta 0,5586 untuk ikan jantan. Nilai ini menunjukkan bahwa laju eksploitasi optimum telah terlampaui (E > 0,5).

Peluang ketidakpastian pada ikan kuniran dapat terjadi dari analisis produksi dan harga. Faktor yang mempengaruhinya antara lain keadaan cuaca dan upaya penangkapannya yang tradisional pada lokasi penangkapan di Teluk Jakarta dengan letak fishing ground di sekitar perairan Pulau Damar, Kepulauan Seribu. Laju mortalitas penangkapan yang diperoleh menunjukkan rendahnya mortalitas alami sehingga ikan kuniran dapat mengalami kondisi sedikit tangkap lebih (overfishing) berupa growth overfishing. Mengatur upaya penangkapan dengan cara mengurangi

upaya merupakan salah satu pengelolaan perikanan agar ketidakpastian produksi rendah.

Kata kunci : ikan kuniran (Upeneus sulphureus), TPI Cilincing Jakarta, sidik frekuensi panjang, pertumbuhan, ketidakpastian

1.1. Latar Belakang

Perairan Teluk Jakarta adalah sebuah teluk yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa yang masuk ke dalam kawasan Laut Jawa. Teluk Jakarta merupakan salah satu lokasi kegiatan perikanan tangkap di DKI Jakarta baik perikanan pelagis, demersal, maupun karang. Terdapat empat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di sekitar wilayah Jakarta, yaitu TPI Muara Angke, TPI Muara Baru, TPI Kali Baru dan TPI Cilincing. TPI Cilincing merupakan salah satu tempat pendaratan ikan di Jakarta Utara yang berdiri pada tahun 1999. Penangkapan ikan terjadi setelah melewati musim barat yang berlangsung antara bulan Juni hingga Nopember.

Potensi permintaan ikan yang tinggi dari penduduk DKI Jakarta dan permintaan pasar (ekspor dan lokal) yang tinggi dan terus meningkat, merupakan peluang bagi usaha penangkapan untuk dapat meningkatkan produksinya. Hasil tangkapan para nelayan khususnya yang didaratkan di TPI Cilincing adalah ikan demersal seperti, kuniran, kurisi, layur, bawal dan pepetek.

Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan salah satu produk perikanan pantai di Laut Jawa yang termasuk dalam kelompok ikan demersal dan jenis ikan lepas pantai. Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) ini berpotensi tinggi untuk dikonsumsi dengan nilai jual yang relatif terjangkau bagi semua kalangan ekonomi masyarakat. Selain dalam pemenuhan gizi, ikan kuniran (Upeneus sulphureus) juga berperan dalam peningkatan lapangan kerja masyarakat sekitar melalui jasa pengolahan ataupun perniagaan ikan tersebut. Masyarakat sekitar pelelangan mengolah ikan kuniran sebagai produk ikan asin, terasi, otak-otak siomay, maupun krupuk ikan. Selain itu dapat dimanfaatkan sebagai campuran makanan ternak dan ikan.

Tingginya potensi yang dimiliki ikan kuniran, maka dibutuhkan suatu kajian informasi dasar biologi perikanan, dinamika dan stoknya untuk menunjang upaya pengelolaan sumberdaya ikan kuniran yang berkelanjutan demi mewujudkan terciptanya penangkapan ikan yang lestari dan ramah lingkungan. Ikan kuniran perlu dilakukan analisis kajian stoknya karena ikan kuniran merupakan salah satu ikan

demersal yang mudah dianalisis untuk mengetahui status stoknya. Selain itu, harga ikan kuniran relatif terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah dalam mencukupi asupan gizi.

Pengkajian stok ikan merupakan gambaran mengenai nilai dugaan besarnya biomasa ikan berdasarkan kelompok jenis ikan dalam waktu tertentu menggunakan aplikasi ilmu statistika dan matematika sehingga diperoleh status stok ikan secara kuantitatif untuk kepentingan pendugaan stok ikan dan alternatif kebijakan ke depan. Sebaran frekuensi panjang dan hubungan panjang bobot merupakan informasi dasar yang sangat penting untuk melihat laju pertumbuhan dan merupakan salah satu faktor pertimbangan utama dalam menetapkan strategi pengelolaan perikanan suatu sumberdaya ikan tertentu.

Gambar 1. Alur dinamika stok ikan kuniran yang dieksploitasi

1.2. Rumusan Masalah

Sifat dasar sumberdaya ikan adalah milik bersama (common property) yang pemanfaatannya dapat digunakan pada waktu bersamaan oleh lebih dari satu individu atau satuan ekonomi (open acces). Sifat sumberdaya ikan terbatas dan dapat rusak, jika dilakukan upaya penangkapan skala besar semakin mengurangi stok ikan di perairan. Upaya penangkapan yang tinggi mengakibatkan tingginya peluang ketidakpastian produksi. Perikanan memiliki sifat ketidakpastian yang

Pertumbuhan

 

Rekruitmen Stok ikan yang dieksploitasi Mortalitas alami Mortalitas penangkapan Ketidakpastian produksi dan harga

meliputi ketidakpastian produksi, harga, dan tekhnologi penangkapan. Mengatasi hal perikanan tersebut, diperlukan pengelolaan yang dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Informasi pertumbuhan sangat penting, baik berdasarkan panjang maupun bobot, serta belum tersedianya informasi tentang ikan kuniran. Dibutuhkan suatu kajian penelitian tentang penyebaran kelompok umur berdasarkan analisis frekuensi panjang berikut hubungan antara panjang total dan bobot tubuh yang dapat menggambarkan kondisi ikan kuniran. Kajian mengenai stok ikan dan analisis ketidakpastian produksi dan harga dilakukan untuk menerapkan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan.

1.3. Tujuan

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menduga parameter pertumbuhan populasi ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta. 2. Menduga mortalitas ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta serta keterkaitannya

dengan pengelelolaan stok yang berkelanjutan.

3. Menganalisis ketidakpastian volume produksi dan harga sumberdaya ikan kuniran yang didaratkan di TPI Cilincing

4. Menduga kondisi stok ikan kuniran untuk menentukan alternatif pengelolaan bagi sumberdaya ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta.

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi biologi berupa laju pertumbuhan, kisaran ukuran panjang ikan kuniran yang tertangkap, hubungan panjang bobot, mortalitas dan status stok serta analisis ketidakpastian nilai produksi ikan kuniran yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan di TPI Cilincing khususnya dan propinsi DKI Jakarta umumnya.

2.1. Ikan Kuniran

2.1.1. Klasifikasi dan tata nama

Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Percoidei Famili : Mullidae Genus : Upeneus

Spesies : Upeneus sulphureus (Curvier, 1829)

Nama Umum : Sulphur goatfish, yellow goatfish, beach goatfish

Nama Lokal : Kuniran (Jakarta)

Gambar 2. Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus) Sumber : www.fishbase.org (1 Desember 2010)

2.1.2. Karakter biologi dan distribusi

Kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan salah satu ikan demersal dengan bentuk badan yang memanjang hingga mencapai panjang maksimum 23 cm, memilliki dua garis kuning, dan agak pipih. Pada sirip dorsal terdapat 8 jari-jari keras dan 9 jari-jari lemah, sirip anal terdapat 1 jari-jari keras dan 7 jari-jari lemah, sirip pektoral terdapat 15-16 jari-jari lemah. Tubuh tertutup oleh sisik stenoid dengan jumlah sisik pada lateral line sebanyak 34-37 buah sisik (hingga pangkal ekor). Tinggi badan pada sirip pertama hingga sirip terakhir bagian dorsal kurang lebih 29-30% dari panjang standarnya (SL), tinggi pada bagian ekor hingga

peduncle sekitar 11-12% dari panjang standarnya, dan tinggi maksimum kepala adalah 23-35% dari panjang standarnya. Ikan ini banyak ditemukan di kedalaman 10-90 meter yang dekat dengan perairan pantai. Hidupnya bergerombol dan tersebar pada iklim tropis yang berada antara 400 LU-300 LS (Cuvier 1829 in

www.fishbase.org 2009).

lkan kuniran (Upeneus sulphureus) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan kedalaman, laju tangkap tertinggi ikan kuniran terdapat pada kedalaman perairan 30-40 meter. Secara ekologis mullidae menghuni habitat di dasar atau di dekat dasar perairan. Seperti diketahui, kelompok ikan demersal mempunyai ciri-ciri: bergerombol tidak terlalu besar, aktifitas relatif rendah dan gerak ruaya juga tidak terlalu jauh. Sehingga dari ciri-ciri yang dimiliki tersebut, kelompok ikan demersal cenderung relatif rendah daya tahannya terhadap tekanan penangkapan (Badrudin 2006 in Ernawati dan Sumiono 2006).

2.2. Alat Tangkap Ikan Kuniran

Ikan kuniran dapat ditangkap menggunakan alat tangkap demersal seperti jaring arad, cantrang, jaring dogol, lampara dasar, jaring jogol, jaring insang, dan pukat pantai. Berdasarkan data yang diperoleh dari TPI Cilincing ikan kuniran ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring dogol.

Alat penangkap ikan berdasarkan Undang-Undang No.9 Tahun 1985 adalah sarana dan perlengkapan atau benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan. Alat tangkap jaring dogol merupakan pukat kantong yang digunakan untuk

menangkap ikan dasar (demersal fish). Terdapat sedikit perbedaan antara jaring dogol dengan cantrang, yaitu pada bagian atas mulut jaring (dogol) agak lebih menonjol ke depan sehingga hampir menyerupai jaring trawl. Pada prinsipnya, alat tangkap ini terdiri dari bagian badan berbentuk seperti trapesium memanjang. Selanjutnya pada bagian-bagian tersebut ditautkan tali penguat dan dihubungkan dengan tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (foot rope) serta dilengkapi dengan pelampung dan pembobot (Subani dan Barus 1989 in Sari 2008).

Gambar 3. Cara pengoperasian jaring dogol Sumber : www.beritanyata.blogspot.com

Spesifikasi alat tangkap dogol adalah tali selambar sepanjang 8 m, jenis tali marlon dan jaring ukuran panjang 16 m, lebar 10 m. Memiliki ukuran mata jaring bagian kantong 1 inchi – 3 inchi dan ukuran mata jaring bagian selambar 8 inchi. Jenis kapal yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini adalah kapal motor dengan ukuran 5-6 GT.

2.3. Sebaran Frekuensi Panjang

Metode pendugaan stok menggunakan masukan data komposisi umur. Data komposisi umur pada perairan beriklim sedang biasanya diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras ikan di tubuhnya, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya (Sparre dan Venema 1999).

Metode numerik mulai dikembangkan dan memungkinkan dilakukannya konveksi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur sehingga pendugaan stok spesies tropis adalah analisis frekuensi panjang total ikan. Tujuan analisis data berdasarkan sidik frekuensi panjang untuk menentukan umur terhadap kelompok- kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre dan Venema 1999).

Fungsi analisis frekuensi panjang adalah untuk menentukan umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur lebih rumit (Pauly 1984). Penentuan umur harus menggunakan contoh yang banyak dengan selang waktu yang lebar, diperoleh dari hasil tangkapan awal sehingga dapat diketahui kelompok umur pertama.

2.4. Pertumbuhan

Pertumbuhan individu merupakan suatu pertambahan ukuran panjang atau berat pada periode waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi adalah pertambahan jumlah, yang kemudian sering disebut bahwa pertumbuhan merupakan proses biologi kompleks yang secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari luar maupun dari dalam. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan berupa suhu air, kandungan oksigen terlarut, ammonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktor lainnya seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makanan, umur, serta tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. Faktor dalam yang umumnya sangat sulit dikontrol antara lain keturunan, umur, parasit, dan penyakit (Effendie 2002).

Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan penentuan ukuran badan sebagai suatu fungsi umur. Penentuan umur ikan pada kawasan yang beriklim sedang dapat diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian-bagian keras ikan seperti sisik dan otolit (Sparre dan Venema 1999). Namun hal tersebut sangat sulit dilakukan pada wilayah beriklim tropis, sehingga untuk menduga pertumbuhan biasa menggunakan analisis kuantitatif.

2.5. Hubungan Panjang Bobot

Dalam perhitungan untuk menduga suatu pertumbuhan terdapat dua model yang dapat digunakan yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model yang berhubungan dengan panjang (Effendie 1979). Model-model tersebut menggunakan persamaan matematik untuk menggambarkan suatu pertumbuhan

Analisis pola pertumbuhan menggunakan data panjang bobot. Persamaan hubungan panjang bobot ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 1979).

Effendie (2002) menjelaskan bahwa jika nilai panjang dan bobot dipltkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb. Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b) yaitu harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan pertumbuhan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b≠3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pertumbuhan allometrik positif (b>3) menyatakan pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan allometrik negatif (b<3) menyatakan pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot.

2.6. Faktor Kondisi

Turunan penting dari pertumbuhan adalah faktor kondisi. Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam angka (Lagler 1961 in

Effendie 1979). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi. Kondisi disini mempunyai arti dapat memberi keterangan baik secara biologis atau secara komersial. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan (Effendie 2002). Effendie (1979) menyatakan bahwa nilai faktor kondisi suatu jenis ikan dipengaruhi oleh

umur, makanan, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad (TKG). Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kali akan menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan pertumbuhan karena sebagian dari makanan digunakan untuk perkembangan gonad.

2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Mortalitas suatu kelompok ikan merupakan salah satu aspek dalam dinamika stok ikan. Suatu stok yang mengalami eksploitasi perlu dibedakan antara mortalitas alami dengan mortalitas penangkapan. Mortalitas dapat terjadi karena adanya aktivitas penangkapan yang dilakukan manusia dan alami yang terjadi kematian karena predasi, penyakit, dan umur (Sparre dan Venema 1999). Laju mortalitas total merupakan jumlah dari mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas alami (M). Secara matematis dapat dituliskan menjadi Z=F + M (Spare dan Venema 1999).

Keterkaitan nilai laju mortalitas alami dan nilai parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu K dan L. Hal ini menyatakan bahwa ikan yang pertumbuhannya cepat yang dinyatakan dengan nilai koefisien yang tinggi mempunyai nilai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil, sedangkan ,mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Spare dan Venema 1999).

Laju eksploitasi didefinisikan sebagai jumlah ikan yang mati karena penangkapan dibagi dengan jumlah total ikan yang mati baik karena factor alami ataupun penangkapan (Spare dan Venema 1999). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimal maka laju mortalitas penagkapannya (F) akan setara dengan laju mortalitas alaminya (M) atau dapat dinyatakan bahwa laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Laju eksploitasi penting untuk diketahui sehingga dapat menduga kondisi dari perikanannya.

2.8. Nisbah Kelamin

Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Reproduksi akan berlangsung pada sebagian besar individu yang hidup dengan cara yang berbeda- beda tergantung kondisi lingkungan (Fujaya 2004).

Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Untuk beberapa spesies ikan, perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal dan Rao 1984 in Rizal 2009). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006).

Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina.

2.9. Kondisi Lingkungan Perairan

Dibutuhkan informasi lingkungan perairan yang berperan penting dalam menjelaskan hubungan antara spesies target dengan lingkungannya. Parameter yang perlu diketahui merupakan parameter yang secara langsung berpengaruh terhadap potensi perikanan tersebut.

Suhu memberikan pengaruh yang besar terhadap proses fisika, kimia, dan biologi perairan yang mampu mengendalikan kondisi ekosistem. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai untuk menunjang pertumbuhannya. Peningkatan suhu akan meningkatkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik yang kemudian meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 3-4 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut (Effendie 2002). Kelarutan oksigen dan gas-gas berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar (Effendie 2002).

2.10. Analisis Ketidakpastian

Perikanan merupakan sistem yang kompleks dan saling terkait. Undang- undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan didefinisikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber ketidakpastian dalam perikanan yang dijelaskan oleh FAO (2002) in Widodo dan Suadi (2006) muncul karena adanya keterbatasan, ketidaktersediaan, dan rendahnya kualitas data yang tersedia (seperti data hasil tangkapan, upaya, ekonomi, dan komunitas). Kondisi ini diperlemah oleh keterbatasan ilmu pengetahuan tentang sumberdaya ikan sehingga mendorong upaya pengelolaan sumberdaya ikan ke arah yang tidak berkelanjutan (unsustainable) (Widodo dan Suadi 2006). Sumber ketidakpastian cakupannya sangat luas, baik dari sisi alamiah maupun sisi manusia atau manajemennya (Tabel 1).

Tabel 1. Sumber-sumber ketidakpastian dalam sistem perikanan

Sumber yang bersifat alami Sumber yang bersifat dari manusia

Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar

Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya korbanan

Predator-prey Perubahan tekhnologi

Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan

Migrasi Sasaran nelayan

Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen

Interksi ikan dengan lingkungan Sumber : Charles (2001)

Permasalahan dan resiko yang terjadi dalam suatu sistem perikanan akibat dari ketidakpastian mempengaruhi keberlanjutan perikanan di masa yang akan datang. Apabila tidak diatasi, maka dapat mengancam sistem perikanan tersebut (Charles 2001). Oleh karena itu dilakukan pengelolaan yang tepat agar perikanan dapat tetap terjaga dan termanfaatkan secara optimum.

Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001), yaitu:

1. RandomnessProcess Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak).

2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam:

a. Observation Uncertainty, ketidakpastian karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variabel perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya

Dokumen terkait