• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kultur Jaringan Famili Alliaceae

Penelitian kultur jaringan pada Alliaceae bertujuan: 1. mendapatkan metode perbanyakan yang efisien untuk mendapatkan bibit yang sehat dan

berkualitas baik. 2. mendapatkan varian-varian baru antara lain tahan terhadap serangan hama atau penyakit tertentu. Species yang paling banyak diteliti adalah

Allium cepa L. (bawang bombay) dan Allium sativum L. (bawang putih).

Penelitian Hussey (1979) dalam George dan Sherrington (1994) pada bawang bombay menggunakan eksplan umbi lapis dengan basal plate dan berhasil mendapatkan tunas mikro pada media MS dengan penambahan 1 – 4 mg L-1 BAP dan 0.5 mg L-1 NAA. Yoo et al. (1990) berhasil menumbuhkan umbi lapis denganbasal plate pada media MS dengan kinetin sampai 100 M, begitu pula Kamstaityte dan Stanys (2004) menumbuhkan tiga cv. bawang bombay pada media MS dengan kinetin 10.6 M.

Matsubara dan Chen (1989) berhasil menginduksi tunas mikro dari tunas adventif bawang putih pada media MS dengan penambahan BAP dan NAA masing-masing dengan konsentrasi 0.01 mg L-1. Bulblet diperoleh setelah tunas dipindah pada media yang sama atau media dengan NAA 0.1 mg L-1 dan BA 0.01 mg L-1. Bulblet yang terbentuk berhasil diaklimatisasi pada media tumbuh

vermikulit, rockwool dan tanah. Mohamed-Yasseen et al. (1994) juga berhasil menginduksi tunas dan bulblet dengan memotong bagian tunas adventif dengan menyertakan basal plate. Media terbaik untuk induksi pertunasan adalah MS dengan BAP 8 M dan NAA 0.1 M. Bulblet terbentuk pada media MS dengan sukrosa 120 g L-1 dan arang aktif 5 g L-1. Selanjutnya Roksana et al. (2002) berhasil menginduksi bulblet setelah 4 kali sub kultur (84 hari) pada media terbaik MS dengan 2ip dan NAA masing-masing pada konsentrasi 0.5 mg L-1. Penelitian Haque et al. (2003) yang mengkulturkan meristem akar dan tunas adventif bawang putih berhasil membentuk tunas dan bulblet. Tunas tunggal terbentuk pada media MS tanpa ZPT atau dengan NAA dan BA. Bulblet terbentuk dengan bobot dan diameter tertinggi pada media MS dengan sukrosa 12%. Kim et al.

(2003) mendapatkan hasil bahwa intensitas cahaya dan suhu berpengaruh terhadap proliferasi tunas dan pembentukan bulblet. Proliferasi tunas terbaik terjadi pada intensitas cahaya 50 mol m-2 s-1 pada suhu 25 oC. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan bulblet bawang putih dipengaruhi konsentrasi sukrosa, asam jasmonat, dan retardan dengan konsentrasi terbaik berturut-turut 9 % sukrosa, 10 M asam jasmonat dan 100 mg L-1

Penelitian kultur in vitro pada tanaman bawang merah A. cepa var.

aggregatum baik perbanyakan tunas dan induksi bulblet telah dilakukan Mohamed-Yasseen et al. (1994); Cohat (1994); Hidayat (1997); Fletcher et al. (1998); Le Guen-Le Saos et a.l (2002); dan Zheng et al (1999 dan 2005). Mohamed-Yasseen et al. (1994) berhasil menginduksi dan menggandakan tunas pada kultur bawang merah cv. Red California. Eksplan yang digunakan tunas dari lapisan terdalam yang berukuran tinggi 8 sampai 12 mm. Sebelumnya umbi lapis divernalisasi pada suhu 4 oC selama 3 bulan. Eksplan dipotong dengan menyertakan basal plate dan ditanam pada media MS. Multiplikasi tunas tertinggi diperoleh pada media dengan penambahan thidiazuron 0.15 M dan 0.1 M NAA. Induksi bulblet diperoleh pada media MS dengan penambahan sukrosa 120 g L-1 dan arang aktif 5 g L-1 tanpa zat pengatur tumbuh dengan lama penyinaran 18 jam.

Perbanyakan tunas dan bulblet bawang merah in vitro cv Sumenep berhasil dilakukan Hidayat (1997). Eksplan disiapkan seperti metoda yang dilakukan Mohamed-Yasseen et al. (1994). Hasil penelitiannya menunjukkan jenis sitokinin TDZ yang dikombinasikan dengan picloram terbaik menginduksi tunas. Media perbanyakan tunas terbaik diperoleh pada konsentrasi 1 mg L-1 TDZ dengan 0.1 mg L-1 picloram. Bulblet diperoleh setelah tunas ditanam pada media BDS dengan sukrosa 150 g L-1 tanpa zat pengatur tumbuh. Tunas in vitro bawang merah berhasil diinduksi pada media MS dengan penambahan 2ip 6 mg L-1 dan NAA 0.5 mg L-1 (Septiari & Dinarti 2003). Pemberian BAP (Royno 2003) dan kinetin (Handayani et al. 2005) tidak menghasilkan tunas lebih banyak dibanding penambahan 2ip. Tunas yang diperoleh berukuran kecil, tidak tegar dan banyak yang vitrous. Hal ini diduga disebabkan tunas terlalu lama (8 minggu) dalam media dengan sitokinin tinggi. Tunas mikro bawang merah yang vitrous dapat dikurangi dengan penambahan calcium panthotenate ke dalam media perbanyakan sehingga ketegaran dan kadar serat tunas meningkat (Parsini 2005). Tunas mikro bawang merah dapat berakar dengan baik pada media MS ½ konsentrasi atau dengan penambahan IBA 1 mg L-1 (Nur 2005).

Penelitian Le Guen-LeSaos et al. (2002) menunjukkan bahwa pembentukan bulblet dipengaruhi konsentrasi sukrosa, keberadaan GA3 dan

kualitas cahaya. Bulblet terbentuk dengan baik pada media dengan 30-70 g L-1 sukrossa. Pemberian zat penghambat tumbuh (retardan) pada konsentrasi 10 M meningkatkan pembentukan dan bobot basah bulblet. Kualitas cahaya meningkatkan persentase terbentuknya bulblet, ukuran, persentase dan bobot bulblet pada kultur yang mendapatkan penyinaran cahaya fluoresen dan

incandescent dibandingkan hanya cahaya fluoresen.

Tunas mikro bawang merah yang ditanam pada media dengan sukrosa 90 g L-1 (Fardani 2005) tidak mampu membentuk umbi lapis mikro. Tidak terbentuknya umbi lapis mikro kemungkinan karena pada media ditambahkan sitokinin dan pengumbian dilakukan pada kondisi tanpa cahaya. Pemberian SADH sampai konsentrasi 90 mg L-1 (Rahmawati 2007) dan CCC sampai konsentrasi 100 mg L-1 (Purnawati 2008) dengan sukrosa 120 g L-1 tidak menginduksi umbi lapis mikro bawang merah. Umbi lapis mikro bawang merah terbentuk pada media tanpa SADH dengan sukrosa 120 g L-1 (Rahmawati 2007; Purnawati 2008).

Aklimatisasi

Aklimatisasi adalah proses suatu organisme untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dari tempat sebelumnya. Tanaman in vitro

bersifat heterotrof hidup pada kondisi kelembaban tinggi, cahaya dengan intensitas rendah dan suhu rendah. Pada saat diaklimatisasi planlet akan diadaptasikan sehingga secara perlahan tanaman akan bersifat autotrof. Pengaturan lingkungan mikro terutama suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya pada saat aklimatisasi mutlak diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi. Pengaturan kelembaban pada saat aklimatisasi akan membantu proses adaptasi selama di pembibitan. Menurut Hazarika (2003) untuk mendukung proses aklimatisasi dapat didekati dengan upaya peningkatan intensitas cahaya sebelum planlet dikeluarkan dari botol, pemberian gula pada media tumbuh tidak kurang dari 3%, pemberian retardan pada planlet dan pemberian antitranspiran.

Ketika planlet in vitro dikeluarkan dari botol kultur, tanaman membutuhkan media baru yang mendukung pertumbuhannya. Media tumbuh tersebut memerlukan persyaratan khusus mengingat akar planlet yang terbentuk

sangat rapuh dan memerlukan penyokong yang baik sehingga planlet tidak stres dan persentase pertumbuhan tinggi. Media tumbuh yang baik mempunyai struktur yang gembur atau porous dan terjaga aerasi dan drainasenya, ringan, tidak mengandung patogen, mampu menyerap air dengan baik sekaligus mempertahankan kelembaban media dengan pH netral. Menurut Argo (1997) untuk pertumbuhan akar dan tunas yang baik, media perakaran harus menunjang 4 fungsi yaitu 1) untuk menyediakan air, 2) untuk menyuplai hara, 3) mendukung pertukaran gas ke dan dari akar, dan 4) untuk menyokong tubuh tanaman. Aklimatisasi planlet bawang putih berhasil dilakukan dengan persentase hidup 85% baik itu pada media tanah, vermikulit dan rockwool (Philips & Luteyn 1989). Planlet bawang merah yang dihasilkan Nur (2005) tidak berhasil diaklimatisasi pada media kompos, arang sekam, cocopeat dan kombinasinya. Media tumbuh yang tersedia di pasar dan dapat dipergunakan pada aklimatisasi planlet (tunas dan bulblet) bawang merah adalah kompos, cascing, arang sekam, serbuk sabut kelapa (coco peat), rockwool, green leaf.

Pertumbuhan dan perkembangan planlet selama periode aklimatisasi selain membutuhkan media tumbuh yang sesuai juga memerlukan hara yang mencukupi. Hara tersebut diperlukan untuk menjalankan proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Adaptasi juga dilakukan terhadap faktor hara karena planlet akan menjadi autotrof sehingga tanaman akan melakukan proses penyerapan unsur hara dan berfotosintesis penuh. Unsur hara yang diberikan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimum pada fase bibit berbeda untuk setiap tanaman. Hara yang sebaiknya diberikan pada pembibitan bawang bombay adalah pupuk NPK dengan komposisi 20N-8.6P-16.6K.

Penanaman planlet pada masa aklimatisasi dapat dilakukan dengan sistem

plug tray. Sistem ini memudahkan penanganan pertumbuhan dan perkembangan bibit untuk produksi masal sehingga efisien. Ukuran plug tray bervariasi berkaitan dengan kepadatan bibit yang ditanam serta volume setiap container. Menurut NeSmith dan Duval (1997) ukuran plug tray berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit. Hasil penelitian Kemery dan Dana (2001) menunjukkan ukuran sel plug tray yang besar akan menghasilkan bobot kering tajuk yang tinggi. Perlu dipertimbangkan waktu yang dibutuhkan selama fase

pembibitan dalam plug tray untuk meningkatkan efisiensi selama pembibitan. Menurut penelitian Mondal et al. (1986) kepadatan bibit menurunkan ukuran umbi lapis bawang bombay. Hasil penelitian Chen et al. (2002) menunjukkan bentuk container yang besar pada plug tray meningkatakan pertumbuhan dan perkembangan bibit kubis Cina.

(EFFECT OF BULB STORAGED DURATION ON SHALLOT

MICRO SHOOT PROPAGATION)

Abstrak

Umbi lapis bibit bawang merah disimpan di ruangan pada suhu tinggi (30- 45 oC) selama dua sampai empat bulan. Tujuan petani melakukan proses tersebut untuk mematahkan dormansi sehingga umbi lapis bibit akan segera bertunas saat ditanam di lapangan

.

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur simpan umbi lapis terhadap pembentukan tunas mikro bawang merah dan mendapatkan umur simpan umbi lapis terbaik sebagai sumber eksplan dalam media perbanyakan tunas. Percobaan menggunakan Rancangan Acak lengkap yang disusun dalam faktor tunggal yaitu umur simpan umbi lapis. Terdapat empat taraf umur simpan yaitu 1, 2, 3 dan 4 bulan. Setiap perlakuan terdiri atas 16 ulangan dan setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanam satu eksplan. Eksplan berupa ½ bagian umbi lapis yang dipotong melintang basal plate

dengan menyertakan dua lapisan terdalam umbi lapis. Hasil percobaan menunjukkan umur simpan umbi lapis bawang merah dua bulan memberikan hasil terbaik pada peubah jumlah tunas mikro, jumlah daun, dan akar serta sedikit terdapat vitrifikasi. Tunas mikro yang berumur empat minggu di media perbanyakan terbaik dipergunakan untuk propagul dalam pengumbian mikro bawang merah.

Kata kunci : Bawang merah (Allium ascalonicum L.), 2ip (N6-(Delta2- isopentenyl)-adenine), umur eksplan, multiplikasi tunas, Gamborg/B5 vitamin.

Abstract

Shallot bulb need storage at high temperature (30-45 oC) for two to four months before planting. Storage the bulb is intended to break the bulb dormancy. The bulb will be easier to grow when it is planted. The objective of this

experiment was to evaluate the effect of shallot bulb storage duration (1, 2, 3 and 4 months) on micro shoot production and to determine the best bulb storage duration as source of explants for propagation. Experiment was designed set in a Completely Randomized Design. Bulb storage was arranged as treatment factor. There were four levels of bulb storage i.e : 1, 2, 3 and 4 months. Each treatment was repeated 16 times and each experimental unit consisted of one planted explant. Explant was one half of basal plate cut vertically with two inner scales. The result showed that bulb duration storage significantly influenced culture growth. Bulb with 2 months storage gave the best performance on number of micro shoot, number of leaves and roots and less vitrification. Four-week old micro shoots was the best for propagules of shallot micro bulb induction.

Key words: Allium ascalonicum L., 2ip (N6-(Delta2-isopentenyl)-adenine), explant age, shoot multiplication, Gamborg/ B5 vitamin.

Pendahuluan

Bawang merah merupakan salah satu sayuran penting di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai rempah dalam berbagai jenis masakan dan obat tradisional. Permintaan bawang merah setiap tahunnya cenderung meningkat dan pada saat musim hujan produksi nasional mengalami penurunan sehingga impor dilakukan. Impor bawang merah setiap tahun meningkat dan menempati tempat tertinggi diantara sayuran yang diproduksi di Indonesia. Impor dilakukan untuk konsumsi dan diduga sebagian dipergunakan untuk bibit. Pada tahun 2006 umbi lapis bawang merah impor mencapai 78 462 ton dan pada tahun 2010 mencapai 80 000 ton (Direktorat Jendral Hortikultura 2011).

Perbanyakan bawang merah sampai saat ini umumnya dilakukan secara vegetatif menggunakan umbi lapis. Umbi lapis bawang merah untuk bibit disimpan di ruangan bersuhu tinggi (38-45 oC) selama 2-2.5 bulan. Beberapa petani menyimpan umbi lapis hasil panen sampai 4 bulan yang bertujuan untuk mematahkan dormansi (Petani Indonesia 2009). Umbi lapis disimpan sebagai bibit untuk musim tanam berikutnya. Umbi lapis bibit bawang merah yang dibutuhkan untuk setiap hektar sekitar satu ton. Luas areal pertanaman bawang merah di

Indonesia yang mencapai 104 000 ha memerlukan umbi lapis bibit yang sangat banyak.

Salah satu masalah yang dihadapi dalam budidaya bawang merah adalah kualitas bibit. Penggunaan bibit yang berasal dari produksi hasil pertanaman sebelumnya akan menyebabkan penyakit degeneratif. Bibit yang tidak berkualitas akan memengaruhi pertumbuhan di lapangan, produksi dan produktivitas.

Penyediaan bibit bawang merah dapat dibantu melalui kultur jaringan. Perbanyakan melalui kultur in vitro sudah berhasil dikembangkan pada banyak tanaman. Penyediaan bibit melalui kultur jaringan memiliki keunggulan diantaranya bebas penyakit (terutama virus) dan tidak bergantung musim.

Eksplan untuk perbanyakan bawang merah in vitro dapat berasal dari biji, bagian bunga dan bagian cakram umbi. Pertumbuhan dan perkembangbiakan dalam kultur in vitro dipengaruhi berbagai faktor antara lain umur eksplan (Hunter & Burritt 2002; Ozyigit et al. 2007; Dhavala et al. 2009; Youssef et al. 2011). Umbi lapis bawang Bombay yang disimpan pada suhu 5 oC mempercepat tumbuhnya tunas (Khokhar 2009). Umur simpan yang baik untuk eksplan bawang merah perlu diketahui untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangbiakan tunas dalam media perbanyakan in vitro. Jumlah tunas yang optimal pada umur eksplan tertentu akan sangat berpengaruh dalam penyediaan jumlah propagul tunas untuk pengumbian mikro.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur simpan umbi lapis bibit bawang merah terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan tunas mikro pada media perbanyakan sebagai propagul untuk pengumbian mikro

Dokumen terkait