• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoretik

3. Kultur Lingkungan Kerja

Berdirinya sebuah unit usaha dibutuhkan sebuah lingkungan yang digunakan sebagai lahan untuk menjalankan proses produksi. Keberadaan suatu perusahaan harus didukung dengan situasi lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang mendukung akan membawa pengaruh positif dalam melaksanakan proses produksi, baik dari lingkungan fisik atau lingkungan psikisnya. Menurut Soemadji (1982;184) lingkungan kerja mencakup dua unsur utama, yaitu unsur fisik dan psikis. Lingkungan kerja fisik adalah lingkungan kerja berupa kebendaan, yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung dari pekerja pada saat bekerja. Lingkungan

kerja psikis bisa didefinisikan sebagai lingkungan disekitar lingkungan kerja, yang lebih bersifat kejiwaan dan batin, yang mempengaruhi kinerja seseorang. Lingkungan kerja yang bersifat psikis tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor.

a. Hubungan pekerja dengan pemimpin

Dalam lingkungan kerja interaksi antara pekerja atau karyawan dengan pemimpin perusahaan akan sering terjadi. Interaksi dalam bentuk komunikasi akan menghasilkan sebuah hubungan yang baik jika komunikasi diantara kedua belah pihak juga berjalan dengan baik. Hubungan yang terjalin baik antara pekerja dengan pemimpin didalam suatu perusahaan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Hubungan yang baik tersebut mengindikasikan adanya saling pengertian dan saling menghormati antara kedua belah pihak. Dengan demikian pekerja merasa dihargai, diperhatikan oleh perusahaan sehingga pekerja lebih giat dalam hal bekerja. Apabila hubungan antara bawahan dan atasan terjalin dengan baik maka akan mempengaruhi produktivitas kerja (Robbins, 1993).

b. Hubungan dengan rekan kerja

Secara vertikal hubungan baik antara karyawan dengan karyawan akan mendukung waktu selesainya suatu pekerjaan karena pekerjaan yang ada akan terasa lebih ringan dan hubungan tersebut nantinya akan mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas para pekerja. Dalam hubungan yang baik pekerja akan merasa tenang dalam bekerja. Pada dasarnya apabila hubungan dengan rekan kerja dapat terbina dengan baik

akan muncul ide-ide atau gagasan yang lebih baik. Oleh sebab itu diharapkan hasil kerja dari para pekerja dapat dijadikan peluang yang bagi perkembangan perusahaan dimasa mendatang (Robbins, 1993).

c. Keamanan kerja

Keamanan sangat dibutuhkan agar para karyawan tidak merasa was-was terhadap segala sesuatu yang dapat menghambat kinerja dalam menyelesaikan pekerjaan. Keamanan kerja adalah kondisi dimana seseorang merasa aman, tenang dan tanpa kuatir dalam menjalankan pekerjaannya. Perbuatan yang sering tidak dilihat atau tidak disadari sukar diungkapkan dan dibicarakan tetapi bisa dirasakan.

Dari beberapa uraian di atas masih ada definisi-efinisi lain mengenai lingkungan kerja yaitu bahwa lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja dan dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya kebersihan, kebisingan dan lain sebagainya (Soemadji,1996:109). Menurut Michael Amstrong (Wibowo,2004;34) kultur perusahaan merupakan pola sikap, keyakinan, asumsi dan harapan yang dimiliki bersama, yang mungkin tidak dicatat, tetapi membentuk cara bagaimana orang-orang bertindak dan berinteraksi dalam organisasi dan mendukung bagaimana hal-hal tersebut dilakukan. Dalam kamus manajemen pengertian dari lingkungan kerja bisa dikatakan sebagai faktor fisik, psikologis, sosial, dan jaringan hubungan yang berlaku didalam organisasi dan berpengaruh terhadap karyawan.

Kondisi dari kultur lingkungan kerja yang telah tercipta dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah Power Distance (jarak kekuasaan), Individualism dan Collectivism, Masculinity dan Femininity serta Unsertainty Advoidance (Hoffstede, 1980:35-93).

Jarak kekuasaan dalam lingkungan kerja terbagi menjadi dua bagian yaitu jarak kekuasaan tinggi dan jarak kekuasaan rendah. Dalam jarak kekuasaan yang tinggi ada kecenderungan mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Dalam hal ini sebuah lingkungan kerja akan nampak sebuah hirarki yang ketat dan kekuasaan cenderung terpusat. Hubungan antara bawahan dan atasan sering mengedepankan emosional. Perbedaan gaji yang cukup mencolok diantara atasan dan bawahan, serta dimilikinya pendidikan yang rendah diantara para pekerja dan memiliki kedudukan lebih rendah dari pada karyawan yang ada dikantor.

Lingkungan yang memiliki jarak kekuasaan rendah berusaha meminimalkan perbedaan status dan kekuasaan, karena struktur organisasi tidak terlalu ketat. Seperti yang diungkapkan oleh Hofstede (1980) bahwa seorang manajer yang mempertahankan jarak kekuasaan akan menjadi pusat dalam pengambilan keputusan, karena manajer dianggap lebih unggul dalam hal kemampuan atau ilmu pengetahuan. Manajer yang tidak mempertahankan jarak kekuasaan akan memiliki bentuk kerjasama yang lebih baik dengan bawahannya karena atasan selalu memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berkomunikasi atau saling berkonsultasi. Adanya jarak kekuasaan yang

rendah menciptakan sebuah kesetaraan antara atasan dan bawahan sehingga tercipta sebuah kondisi dimana bawahan dan atasan saling memberi pertimbangan dalam kondisi yang sama. Ada kemungkinan sekarang menjadi seorang bawahan besok bisa menjadi atasan tergantung kondisi dan situasi dalam menyelesaikan pekerjaan.

Jarak Kekuasan menjelaskan derajat ketergantungan karyawan pada atasannya. Sehingga semakin dekat jarak kekuasaan, maka hubungan antara bawahan dengan atasannya semakin akrab, dan semakin rendah tingkat ketergantungan bawahan pada atasan yang bersangkutan (Ndraha, 1999:243).

Individualism dan Collectivism dalam lingkungan kerja memiliki pandangan bahwa orang tidak bisa hidup sendiri dalam hidup ini termasuk dalam lingkungan kerjanya. Dalam individualisme hubungan antara atasan dan bawahan didasarkan pada kontrak yang dapat memberikan keuntungan bersama. Kondisi dari masyarakat yang individualistik mengharapkan anggota-anggotanya untuk mandiri atau bebas dan merealisasikan hak-hak pribadinya, sehingga tumbuh kemandirian secara emosional pada instansi atau perusahaan.

Kolektif menekankan atau mengutamakan kewajibannya pada masyarakat atau kelompok daripada hak-hak pribadinya. Bahkan diharapkan untuk mengorbankan kepentingan pribadinya demi tujuan kelompok. Dalam kolektivisme hubungan antara atasan dan bawahan didasarkan pada syarat-syarat moral seperti dalam lingkungan keluarga, manajemennya adalah manajemen bersama dan masing-masing individu memiliki tugas sendiri-sendiri. (Hoffstede, 1980:63-67)

Kondisi yang berbeda antara individualistik dan kolektif akan memberikan perbedaan secara nyata dalam sikap, nilai-nilai, keyakinan dan perilaku yang berkaitan dengan kerja dan perusahaan serta gaya kepemimpinan ideal yang diharapkan.

Untuk mengukur sisi individualisme, digunakan instrumen yang terdiri dari (Ndraha, 1999:245):

a) Personal Time, yaitu pekerjaan (job) yang memberikan waktu luang yang cukup untuk diri sendiri dan keluarga.

b) Freedom, yaitu kebebasan untuk menggunakan cara pendekatan sendiri terhadap pekerjaan.

c) Challenge, yaitu pekerjaan yang menantang, yang memberikan kebanggaan dan kepuasan dalam melaksanakan (sense of accomplishement).

Pengukuran instrumen dari sisi kolektivisme yaitu dengan:

a) Training, yaitu kesempatan untuk mengalami pelatihan guna meningkatkan job performance.

b) Physical Conditions, yaitu adanya lingkungan kerja yang baik (ventilasi, cahaya, ruangan, warna, dsb).

c) Use of skill, yaitu penggunaan keterampilan sepenuhnya dalam melakukan pekerjaan.

Faktor yang ketiga adalah Masculinity dan Femininity atau sifat kelaki-lakian dan sifat kewanitaan. Ini merupakan gaya kepemimpinan seorang atasan dimana seorang atasan yang memiliki sifat kelaki-lakian akan bertindak secara tegas terhadap bawahannya, menekankan pada keadilan, dan penyelesaian masalah pekerjaan diselesaikan dengan kekerasan. Dimensi maskulin menunjukan tingkatan atau sejauh mana suatu masyarakat berpegang teguh pada peran gender atau nilai-nilai seksual yang tradisional yang didasarkan pada perbedaan biologis dan menekankan pada nilai asertivitas, prestasi, dan performansi.

Dalam gaya kepemimpinan yang kewanitaan, seorang atasan menggunakan kemampuannya secara maksimal demi terciptanya kesepakatan bersama, menekankan kesamaan, solidaritas dan kualitas serta menggunakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah pekerjaan sehingga tercipta hubungan interpersonal yang baik, keharmonisan dan kinerja kelompok.

Perbedaaan dalam dimensi ini akan berpengaruh pada struktur organisasi dan corak hubungan dalam suatu perusahaan. Biasanya dalam masyarakat yang memiliki dimensi maskulin tinggi perbedaan antara pria dan wanita menjadi menonjol, remaja pria mengharapkan karir pekerjaan yang bagus dan kurang mentolerir kegagalan. Masyarakat yang memiliki dimensi

feminity menganggap bahwa kerja yang baik menuntut kemampuan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan orang lain dan kurang mengutamakan kepentingan diri sendiri.

Untuk mengukur sisi maskulin digunakan instrumen dari Hofstede, (Ndraha, 1999:246) yang terdiri dari :

a) Earning, yaitu pendapatan: kesempatan mendapat job yang menjanjikan pendapatan yang tinggi

b) Recognition, yaitu pengakuan atau penghargaan masyarakat terhadapat pekerjaan.

c) Advancement, yaitu kesempatan untuk maju dan mendapat kedudukan tinggi.

Sedangkan instrumen untuk sisi feminim :

a) Manager, yaitu adanya hubungan baik atasan dan bawahannya.

b) Cooperation, yaitu kerjasama antar karyawan di dalam perusahaan yang bersangkutan.

c) Living area, yaitu bertempat tinggal di pemukiman yang layak bagi karyawan dan keluarganya.

d) Employment security, yaitu ketenangan bekerja selama karyawan suka, tanpa dihantui oleh pemutusan hubungan kerja.

Faktor yang terakhir adalah Unsertainty Advoidance (menghindari ketidakpastian). Dalam lingkungan kerja terdapat aturan-aturan formal dan aturan non formal yang isinya mengatur hak dan kewajiban dari atasan serta bawahan. Disamping itu terdapat norma atau aturan yang mengawasi jalannya

penyelesaian suatu pekerjaan (Hoffstede, 1980:121). Dimensi Uncertainty Avoidance menunjukkan tingkatan atau sejauh mana masyarakat dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Masyarakat yang memiliki Uncertainty Avoidance tinggi merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi resiko itu. Dalam Uncertainty Avoidance yang tinggi cenderung memiliki kejadian turn over (keluar-masuk karyawan) yang sedikit. Karyawan memiliki ambisi yang rendah sehingga perilakunya kurang berani dalam mengambil resiko dan petualangan, serta perilakunya lebih ritual.

Dalam kondisi Uncertainty Avoidance yang rendah toleransi terhadap situasi yang samar-samar atau tidak pasti masih dirasa kurang. Dalam situasi ini orang akan lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. (Kisni dan Tri Salis Yuhardi, 2003: 277-283)

Menurut Ndraha (1999:247) ada beberapa instrumen yang digunakan untuk mengukur penghindaran ketidakpastian dalam masyarakat:

a. Job stress, yaitu frekuensi meregang atau nervous di tempat kerja atau sewaktu bekerja.

b. Rule orientation, yaitu persetujan terhadap ketentuan bahwa aturan wajib ditaati.

c. Intent to stay with company for a long-term career, yaitu seberapa banyak karyawan yang ingin bekerja untuk jangka waktu lama di perusahaan yang bersangkutan.

Dokumen terkait