• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Kultur Sel

dianggap menyerupai respon sel limfosit terhadap antigen, sehingga uji proliferasi dengan rangsangan mitogen banyak digunakan untuk menguji fungsi sel limfosit.

Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel limfosit T maupun sel limfosit B dalam persentase tinggi. Beberapa mitogen hanya mampu mengaktivasi sel B, beberapa lagi hanya mampu mengaktivasi sel T tapi ada pula mitogen yang mampu mengaktivasi populasi keduanya. Sebagai contoh mitogen concanavalin A (Con A) yang berasal dari bibit jack bean (Canavalia ensiformis) dapat merangsang proliferasi dari sel T, sedangkan mitogen lipopolisakarida (LPS) yang berasal dari dinding sel bakteri gram negatif dapat merangsang proliferasi dari sel B. Untuk mitogen pokeweed (PWM) yang berasal dari tanaman

pokeweed (Phytolacca americana) dapat menstimulasi proliferasi dari sel T maupun sel B (Kuby, 1992).

2. 7 Kultur Sel

Teknik kultur sel adalah salah satu teknik yang digunakan untuk mengembangbiakkan sel diluar tubuh atau dikenal sebagai salah satu teknik in vitro. Pada teknik kultur, spesifisitas sel harus diperhatikan karena pada awalnya didalam tubuh, sel-sel bekerja secara integritas dalam suatu jaringan, sedangkan dalam kultur, sel terpisah-pisah. Selain itu, teknik ini harus dilakukan dalam kondisi steril karena sel tumbuh lebih lambat daripada kontaminan (Freshney, 1994).

Untuk pertumbuhan sel dalam kultur dibutuhkan lingkungan yang kompleks seperti di dalam tubuh. Malole (1990) menyatakan bahwa dalam teknik ini, sel-sel memerlukan media penumbuh yang dapat membuat sel tetap bertahan hidup, berkembang dan berdiferensiasi. Jumlah dan kualitas media menentukan jumlah sel yang dapat ditumbuhkan dalam kultur. Pemilihan media harus didasarkan pada kebutuhan sel yang ditumbuhkan dan disesuaikan dengan tujuan studi yang menggunakan sel tersebut. Walau demikian, menurut Freshney (1994), teknik kultur sel memiliki kelebihan karena lingkungan tempat hidup sel seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2 dapat dikontrol dan diatur sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan.

25 Terdapat beberapa perbedaan karakteristik sel di dalam kultur dengan sel di dalam tubuh, antara lain hilangnya interaksi spesifik antar sel pada jaringan secara in vitro karena sel tersebar dan mudah bergerak. Selain itu siklus pertumbuhan sel akan meningkat karena adanya kemungkinan sel berproliferasi. Lingkungan kultur kekurangan beberapa komponen yang mempengaruhi pengaturan homeostatik tubuh seperti sistem syaraf dan sistem endokrin. Tanpa pengaturan ini, metabolisme selular in vitro menjadi lebih konstan dari in vivo. Kondisi ini kurang mewakili jaringan tempat sel tersebut berasal sehingga dibutuhkan penambahan hormon dalam kultur. Energi yang dibutuhkan dalam metabolisme sel yang dikultur secara in vitro berasal dari glikolisis sedangkan metabolisme sel didalam tubuh berasal dari glikolisis, daur Krebs dan transport elektron (Freshney, 1994).

Fungsi utama media pada teknik kultur sel adalah untuk mempertahankan pH dan osmolalitas essensial untuk viabilitas sel serta penyedia nutrisi dan energi yang dibutuhkan untuk multiplikasi dan pertumbuhan sel (Cartwright dan Shah, 1994). Media untuk pertumbuhan sel harus mengandung asam amino, vitamin, glukosa, garam, berbagai suplemen organik seperti protein, peptida, nukleosida dan lipid serta hormon dan faktor pertumbuhan. Media Roswell Park Memorial Institute atau media RPMI-1640 adalah media kultur sel terbaik untuk menumbuhkan sel limfosit tikus atau mencit dan sel limfosit manusia untuk jangka pendek. (Junge et al., 1970).

Menurut Cartwright dan Shah (1994), serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyaknya faktor pertumbuhan, perlindungan sel dan faktor nutrisi yang dikandungnya. Kandungan tersebut dapat dibagi dalam beberapa polipeptida spesifik yang menstimulasi pertumbuhan sel (growth factor), protein pengangkut, agen pelindung sel, faktor pelekatan dan nutrisi. Beberapa faktor pertumbuhan bersifat essensial karena ketidakberadaannya dapat menginisiasi peristiwa apoptosis.

Menurut Junge et al. (1970), ada lima faktor yang harus diperhitungkan untuk memilih serum sebagai suplemen media, antara lain :

a. Makromolekul yang dapat melindungi atau mendorong pertumbuhan dalam kondisi yang kurang menguntungkan.

26 b. Mikromolekul seperti nukleotida, vitamin, hormon, ko-enzim sebagai nutrisi

esensial yang tidak terdapat dalam media.

c. Faktor yang menetralisir atau berkombinasi dengan stimulan, termasuk antibodi.

d. Kehadiran antibodi ke sisi antigen dengan permukaan reseptor antigen pada antibodi, dimana hal tersebut bisa bersifat sebagai stimulator atau sitotoksik. e. Adanya Antigen asing, dimana serum heterolog akan memberikan banyak

tenaga untuk antigen potensial.

Penambahan antibiotik pada media kultur sel dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Faktor utama untuk memilih jenis antibiotik untuk kultur sel adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba luas, ekonomis dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Agen antibakteri yang banyak digunakan adalah campuran penicilin (100 IU/ml) dan streptomycin (50 µg/ml). Gentamycin 50 µg/ml sering digunakan untuk mencegah kontaminasi mikroba yang daya tahannya lebih besar. Agen antifungi yang banyak digunakan adalah amphotericin B (2,5 µg/ml) dan nystatin sebanyak 25 µg/ml (Cartwright dan Shah, 1994).

Kultur sel secara in vitro membutuhkan kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan di dalam tubuh. Kondisi tersebut akan mempengaruhi proses biologis yang terjadi dalam kultur sel, sehingga dapat berlangsung mendekati keadaan sebenarnya. Pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh tersebut diperoleh dengan aplikasi media pertumbuhan, pH serta fase gas yang sesuai untuk pertumbuhan sel (Malole, 1990). Pengamatan terhadap proses pertumbuhan sel secara in vitro memiliki beberapa kelebihan dibanding metode in vivo antara lain; keadaan lingkungan pertumbuhan dapat stabil karena diamati secara langsung, selain itu karakteristik dari sel yang ingin ditumbuhkan dapat diatur (Harrison dan Freshney, 1997).

Sel limfosit diperoleh dari darah donor pria sehat yang diambil oleh seorang suster di klinik secara aseptis menggunakan tabung vacutainer steril. Pemisahan sel limfosit sebagian besar berdasarkan pada densitas sel yaitu proses sentrifugasi dan penggunaan larutan ficoll-hystopaque. Sel limfosit yang memiliki densitas lebih rendah dibanding komponen darah perifer akan berada pada bagian atas dan dapat dibedakan secara visual sehingga mudah untuk dipisahkan. Setelah

27 sel limfosit berhasil diisolasi, dilakukan proses penghitungan jumlah sel limfosit secara manual dan visual dengan bantuan mikroskop pada perbesaran 400x, hemasitometer dan pewarna biru trifan. Jumlah sel limfosit yang didapat ditepatkan menjadi 2x106 sel/ml dengan cara diencerkan menggunakan media RPMI standar. Dengan jumlah tersebut, diharapkan sel limfosit akan dapat bertahan hidup serta melewati siklus pertumbuhannya selama waktu inkubasi 72 jam. Inkubasi selama 72 jam terhadap sel limfosit bertujuan untuk menyesuaikan siklus pertumbuhan dengan ketersediaan nutrisi dari medium Freshney (1994).

Menurut Freshney (1994), medium pertumbuhan (RPMI) untuk sel limfosit berfungsi maksimal selama tiga hari. Untuk kulturisasi lebih lama harus dilakukan penyegaran media serta penambahan glutamin. Pernyataan tersebut didukung oleh Paul (1972), yang mengemukakan bahwa kultur sel limfosit manusia harus dihitung dalam waktu tidak lebih dari tiga hari, karena bila melewati waktu tersebut akan terjadi kematian pada sel secara perlahan. Jumlah sel limfosit hidup setelah ditambahkan ekstrak akan dibandingkan dengan jumlah sel limfosit hidup tanpa penambahan ekstrak dengan melihat peningkatan ataupun penurunan jumlahnya selama 72 jam.

Penelitian yang menggunakan teknik kultur sel telah diterapkan pada berbagai komoditi pangan. Salah satunya adalah penelitian dari Tejasari (2000) yang meneliti efek proteksi komponen bioaktif oleoresin rimpang jahe terhadap fungsi limfosit secara in vitro. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komponen bioaktif dari jahe yaitu oleoresin, gingerol dan shogaol pada kondisi normal dapat meningkatkan proliferasi sel B secara optimal pada konsentrasi 50 µg/ml, sedangkan peningkatan proliferasi sel T hanya ditunjukkan oleh senyawa gingerol. Pada kondisi stres oksidatif, senyawa oleoresin, gingerol dan shogaol dapat meningkatkan proliferasi sel T pada konsentrasi 50-100 µg/ml, tetapi peningkatan proliferasi sel limfosit B hanya ditunjukkan oleh senyawa gingerol pada konsentrasi 50 µg/ml dengan persentase peningkatan sebesar 90%.

Penelitian lain yang menggunakan teknik kultur sel adalah penelitian dari Amirghofran et al (2000) yang melaporkan bahwa ekstrak tanaman Echium amoneum dengan konsentrasi 10 µg/ml mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit, sedangkan pada konsentrasi di atas 700 µg/ml, ekstrak Echium amoneum

28

Dokumen terkait