• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berawal dari sebuah peristiwa pembelahan komunitas para santri yang ada di Indonesia. Telah memunculkan keragaman dalam pandangan kalangan Islam, baik dalam lingkup lokal maupun secara nasional. Banyak kondisi dalam masyarakat–dalam bentuk variasi ritual dan kepentingan politis–yang turut serta menjadi ‘bahan bakar’ bagi terwujudnya polarisasi komunitas masyarakat menjadi dua kubu, apalagi sebagian besar lebih berupa hubungan yang diametral dalam kehidupan bergama (Islam) atau sebuah konflik pemahaman antar masyarakat itu sendiri. Memang kehidupan masyarakat yang berbeda pemahaman lebih berupa benturan dalam cakupan teologis dan teknis pelaksanaan ibadah yang bersifat normati. Terlebih dimensi intelektual dalam kehidupan beragama Islam telah ikut mendorong terjadinya konflik, meskipun demikian terkadang juga melahirkan sebuah integrasi diantara mainstream pemahaman Islam. Namun, fenomena tersebut telah melahirkan dua komunitas pemahaman beragama –diwakili pihak Muhammadiyah sebagai modernis dan NU sebagai pihak tradisionalis–yang berupa ‘modernis’ vis a vis ‘tradisionalis’dalam parameter Islam.

Menurut Bambang Pranowo (1998), variasi pemahaman beragama (Islam) dalam masyarakat sebagaian dapat dihubungkan dengan kenyataan tidak adanya konsensus di antara para ulama dalam interpretasi tentang ajaran, sejarah Islam maupun metode ‘perjuangan’. Hal tersebut, semakin rumit dengan adanya

hubungan antara dua mainstrem (arus utama) pemahaman dalam parameter Islam– mainstream nash dengan mainstream logika–telah menyebar sampai masyarakat tingkat bawah. Terlebih dalam membangun suatu sistem Islami yang berdasarkan normatif syariah, perbedaan konseptual dan teknis sering menjadi polemik yang berlarut-larut, apalagi fenomena tersebut realitanya terjadi dalam skala lokal, nasional bahkan dunia Islam.

Lahirnya interaksi sosial antara warga Muhammadiyah dengan NU yang ada di dalam lingkup nasional maupun lokal seperti daerah Kabupaten Rembang jelas melahirkan suatu perbedaan tradisi dan paham keagamaan. Fenomena yang berupa identifikasi yang bersifat konversi, akhirnya lebih berupa label yang disematkan pada masyarakat yang memiliki tradisi dan pemahaman yang jelas berafiliasi dalam dua komunitas organisasi Islam terbesar di Indonesia. Tidak ayal lagi, bila di dalam masyarakat telah melahirkan ‘sebutan’ yang disematkan pada masyarakat itu sendiri yang berupa wong Muhammadiyah dan wong NU (Syam,2005:9). Lebih lanjut, ‘sebutan’ terhadap komunitas masyarakat yang terbelah manjadi dua pemahaman Islam, didukung dengan sebuah identifikasi yang terdiri dari pola ritual, pakaian sehari-hari dan kecendrungan dalam kehidupan ekonomi dan politik massa pengikut masing-masing komunitas tersebut.

Ketika berbicara organisasi Islam modern di Rembang yang diwakili oleh Muhammadiyah, memang secara institusional Muhammadiyah di Kabupaten Rembang baru muncul jauh setelah K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi di Yogyakarta. Sebagai salah satu ragam varian keagamaan Islam, Muhammadiyah muncul dan berdiri di Kabupaten Rembang tahun 1953 beberapa bulan setelah

Kepanduan Hizbul Wathon berdiri, sebagai sebuah elemen kepanduan milik Muhammadiyah yang didirikan oleh warga Muhammadiyah di Rembang pada tahun yang sama (Wawancara, Masduki Mas’ud 27 Agustus 2005). Kendati demikian, Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1956, meskipun baru dalam status tingkat cabang.

Pemrakarsa pertama didirikannya Muhammadiyah di Kabupaten Rembang adalah KH. Masduki Mas’ud. Beliau adalah seorang ulama yang mempunyai akar pemikiran dari Nahdlatul Ulama yang akhirnya menjadi warga Muhammadiyah setelah bertemu dengan Prof. Mukti Ali ketika beliau belajar pada sebuah pesantren di Kabupaten Pacitan (Muhadi,1997:34). Berubahnya pemikiran KH. Masduki semakin mantap setelah menikah dengan seorang wanita yang merupakan lulusan Mualimat Muhammadiyah Yogyakarta, salah satu sekolah milik Muhammadiyah (Wawancara, Mohammad Abbas 25 Agustus 2005). Ketika ditelusuri lebih lanjut berdirinya organisasi Muhammadiyah di Kabupaten Rembang, faktor individu bukan motivasi utama lahirnya komunitas masyarakat yang memiliki ciri pemahaman berupa pandangan modern dan cenderung kontradiksi dengan tradisi lokal yang kental terhadap kultur dan tradisi yang bertentangan dengan pemahaman Islam murni.

Kemudian, pertentangan yang muncul antar masyarakat muslim yang terbagi menjadi dua kubu yaitu Muhammadiyah dan NU telah melahirkan keinginan kuat dari komunitas Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi sekaligus sebagai payung untuk mengembangkan pemahaman keagamaan yang dianut warga Muhammadiyah. Di luar faktor dimensi idealisme yang di perjuangkan warga Muhammadiyah, faktor yang cukup dominan mempengaruhi

adalah munculnya ketakutan warga Muhammadiyah berupa resiko yang timbul akibat perbedaan dalam pemahaman beragama (Islam). Keadaan ini dikhawatirkan lebih besar dampaknya bila warga Muhammadiyah di Rembang belum berkumpul dalam sebuah wadah atau organisasi yang resmi. Sementara itu, di samping faktor ‘kenyamanan’, munculnya komunitas Muhammadiyah di daerah Rembang juga berupa kritik sosial terhadap keadaan masyarakat muslim yang memiliki peran yang kurang strategis–khususnya dalam bidang politik, ekonomi dan sosial, apalagi bila dihadapkan pada permasalahan pendidikan yang seringkali kurang diperhatikan secara intern masyarakat muslim itu sendiri. Tidak ayal lagi, bila fenomena pendidikan yang belum memenuhi standar pada masyarakat muslim telah menjadi motivasi dari berbagai organisasi Islam modern yang lahir di Indonesia untuk memperjuangkan sistem normatif Islam sebagai alternatif perubahan sosial di dalam masyarakat dan bangsa.

Senada dengan kenyataan diatas, menurut Aziz Thaba (1996:128-131), faktor yang menjadi motor penggerak lahirnya sekaligus maraknya organisasi Islam modern dilatarbelakangi oleh berbagai kehidupan yang sinkretis dan keterbelakangan peran dan posisi masyarakat Islam di Indonesia. Kendati demikian, faktor generalisasi yang berupa motivasi eksternal dengan mengetengahkan keadaan masyarakat Islam setempat sebagai pendorong lahirnya organisasi modern–termasuk Muhammadiyah yang dalam hal ini mulai dikembangkan di Rembang tahun 1960-an, apalagi mengetengahkan perbedaan pemahaman sebagai tolok ukur dalam perubahan sosial masyarakat itu sendiri. Padahal dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan terdapat faktor internal yang muncul sebagai sebuah motivasi perubahan sosial dalam masyarakat, berupa

keinginan melebarkan sayap organisasi modern Islam seperti Muhammadiyah oleh warganya yang kebetulan banyak yang bekerja di Rembang. Akhirnya, ketika dilihat hal tersebut lebih merupakan perpaduan antara idealisme dan instistusisekaligus dalam tubuh warga dan simpatisan oraganisasi modern– termasuk Muhammdiyah yang didirikan di Rembang. Terlebih keadaan demikian merupakan fenomena yang wajar dalam kehidupan komunitas organisasi dimanapun berada, baik yang bergerak dalam aspek politik, sosial keagamaan maupun perpaduan antara keduannya.

Dalam lingkup daerah Rembang, bertambahnya warga yang memiliki pemahaman dan paradigma modern apalagi sebagian besar merupakan warga pendatang yang bekerja di instansi pemerintah telah menambah keadaan semakin komplek keadaan komunitas masyarakat di Rembang. Ketika pergeseran yang menyangkut wilayah politis semakin besar dan banyak menggeser peran dan posisi warga lokal, akibat kedatangan warga pendatang yang sebagian besar memiliki paradigma modern dalam skope pemahaman agama telah membuka pintu kesenjangan baru di daerah Rembang. Menurut Masduki Mas’ud:

“Maraknya para pendatang yang sebagian besar bergabung dengan kegiatan Muhammadiyah, meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan masih berupa pengajian-pengajian rutin telah melahirkan sifat konfrontatif masyarakat setempat yang notabenennya adalah masyarakat yang telah berpayung dalam organisasi NU” (Wawancara tanggal 27 Agustus 2005).

Fenomena tersebut merupakan sesuatu yang wajar, sebab dalam perkembangannya Muhammadiyah dengan warganya banyak mendapat tekanan dari masyarakat, baik dari kalangan santri tradisional (NU) maupun kalangan abangan yang menginduk dalam PNI (Geertz,1981). Namun, ketika memasuki

awal tahun 1960-an, kegiatan warga Muhammadiyah telah memperlihatkan bentuk dari sebuah eksistensinya, sebagai contoh dikemukakan oleh Rohmat, bahwa pada lebaran tahun 1960 warga Muhammadiyah telah berani mengadakan kegiatan sholat Iedul Fitri di tanah lapang, sesuatu yang berbeda dengan pemahaman masyarakat NU di dalam melaksanakan kegiatan sholat Iedul Fitri selama ini (Wawancara, 23 Nopember 2005).

Gambaran di daerah Rembang pada awal tahun 1960-an, telah menunjukkan bahwa hubungan antara organisasi tradisional yang diwakili oleh NU dengan organisasi Islam modern ketika awal perkembangan Muhammadiyah di Rembang sangat renggang dan cenderung bermusuhan, dan hal itu bersamaan waktunya dengan situasi politik Indonesia yang menempatkan dua kubu organisasi Islam yang berbeda pemahaman dan praktek saling berhadapan. Hal ini senada dengan pendapat Asykuri Ibnu Chamim (2003:26-27) yang menyatakan bahwa, hubungan antara organisasi Islam modern dengan tradisional pada masa penguasa orde lama ketika masih berkuasa sangat rawan konflik yang bersifat horisontal, kecendrungan dominan dalam konflik tersebut dilatarbelakangi oleh faktor politik (kekuasaan), maupun pemahaman dan praktek ibadah.

Selanjutnya, kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan–kebanyakan dalam permasalahan politik dan posisi strategis–banyak di hadapi warga Muhammadiyah yang ada di daerah Rembang, apalagi permasalahan tersebut bukan hanya bersifat kejadian lokal. Ketika Muhammadiyah berdiri di Kabupaten Rembang pada tahun 1956, posisi Muhammadiyah secara nasional juga sangat tidak menguntungkan dari sudut politis, sebab Muhammadiyah termasuk organisasi yang dicurigai penguasa dengan alasan kedekatannya dengan kalangan

Islam politik–kelompok Islam yang berorientasi pada politik praktis (Arifin,1996:286). Sebagai anggota istimewa partai Masyumi, organisasi Muhammadiyah secara langsung terkena dampak dari kebijakan presiden Sukarno, ketika orde lama berkuasa dengan memberlakukan Masyumi sebagai partai terlarang. Di sisi lain, permasalahan yang sarat dengan rekayasa politik terutama berhubungan erat dengan arogansi PKI yang merupakan musuh abadi komunitas Islam, dalam hal ini diwakili oleh Masyumi.

Gejala-gejala yang muncul akibat pertentangan ini dirasakan dan sangat berpengaruh bagi Muhammadiyah di Rembang, karena selalu mendapat tekanan dari kalangan komunis (PKI), nasionalis (PNI) sekaligus kalangan Islam tradisional (NU)–sebuah komunitas Islam yang akhirnya mendirikan sebuah partai politik sekaligus merupakan representasi kalangan tradisional–, kondisi yang mempertemukan PKI, PNI dengan kalangan Islam Politik (Masyumi) yang secara ideologis mempunyai hubungan yang bersifat diametral, di sisi lain, situasi yang mempertemukan antara kalangan Islam tradisional (NU) dengan Masyumi yang dimotori kalangan Islam modernis–setelah NU keluar dan berdiri sebagai partai sendiri–merupakan sebuah pertarungan ideologis yang sangat menegangkan sekaligus merupakan ciri kehidupan politik orde lama.

Sementara itu, tekanan dari kalangan Nasakom yang telah lama menjadi sebuah kekuatan yang cukup signifikan, menyebabkan posisi Muhammadiyah di Kabupaten Rembang menjadi sulit, apalagi dalam masalah publik yang secara langsung di tingkat masyarakat, banyak warga Muhammadiyah dihambat kiprahnya dalam birokasi lokal. Terlebih lagi ketika Muhammadiyah dihadapkan pada keberadaan daerah yang menjadi basis-basis massa anggota atau simpatisan

PKI, sebab daerah Rembang merupakan daerah basis yang pernah dijadikan kegiatan aksi sepihak land reform pada tahun 1965 (Arifin,1996:303). Namun, munculnya pemberontakan PKI tahun 1965 yang disusul dengan penumpasan terhadap anggota dan simpatisan PKI–termasuk pembantaian yang dimotori militer yang berkolaborasi dengan kalangan organisasi Islam–telah memberikan keleluasaan tersendiri bagi Muhammadiyah (Mulkan,2000). Sebab bagi penguasa Orde Baru aksi-aksi yang dilakukan kalangan Islam terhadap PKI adalah bantuan sukarela untuk menumbangkan orde lama, walaupun pada akhirnya kalangan Islam, baik modernis maupun tradisional dijadikan sasaran kebijakan politik berikutnya oleh Orde Baru (Ricklef,2005).

Realitanya daerah yang menjadi sasaran operasi militer dan kalangan organisasi Islam, suatu daerah yang di tenggarai oleh Asykuri (2003) sebagai daerah mengalami perubahan secara drastis dalam komposisi masyarakat terutama perubahan dalam mengamalkan Islam secara formal, apalagi pada ‘periode ketakutan’–masa runtuhnya orde lama dan awal munculnya rezim orde baru. Akibatnya banyak kegiatan di masjid-masjid setempat penuh sesak untuk menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat muslim. Bagi Muhammadiyah, daerah-daerah itu merupakan lahan untuk mengembangkan pemahaman yang selama ini diperjuangkan.

Sementara itu, dalam perspektif NU, munculnya Muhammadiyah di Kabupaten Rembang tahun 1960-an, telah memunculkan permasalahan yang serius terutama menggangu homogenitas pemahaman agama yang selama ini ditradisikan oleh NU. Hal tersebut muncul berkaitan erat dengan munculnya ‘ketakutan’ akan eksistensi dan dominasi dalam kehidupan masyarakat selama ini.

Dari beberapa kecamatan seperti Rembang, Lasem, Pamotan dan Gunem dijadikan sebagai daerah persemaian Muhammadiyah, sehingga dalam periode satu dasawarsa antara tahun 1960-1970, Muhammadiyah telah mampu menggeser dominasi pemahaman NU atau setidaknya mengurangi dominasi NU yang selama ini menjadi tolok ukur kehidupan beragama Islam di daerah Rembang. Keberhasilan penyebaran Muhammadiyah di daerah Rembang telah meningkatkan sikap permusuhan dari masyarakat setempat terutama yang merasa tersisih atas keberadaan Muhammadiyah. Akibatnya ketika melihat fenomena sosial tersebut masyarakat mengakomodasi dengan berbagai macam resistensi, mulai dari sekedar memberikan penilaian miring sampai berupa aksi-aksi sabotase yang sangat mencemaskan kehidupan masyarakat Muhammadiyah.

Menurut Rohmat, resistensi dalam lingkup kecamatan Gunem terhadap Muhammadiyah muncul dengan berbagai faktor baik berupa sosial maupun politis, meskipun salah satu faktor yang mendominasi berupa kecemasan tokoh-tokoh masyarakat akibat perkembangan Muhammadiyah yang sangat pesat (Wawancara, 23 Nopember 2005). Ketakutan akan kehilangan kekuasaan yang melekat pada para tokoh masyarakat terutama dirasakan oleh komunitas abangan yang banyak terdapat dalam organisasi politik PNI. Muhammadiyah dengan visi pemurnian Islam bagi kelangan tradisional dan kalangan abangan sangat mengganggu eksistensi kehidupan ritual yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat. Terlebih sependapat dengan Geertz (1981), pemurnian Islam yang dilakukan organisasi semacam Muhammadiyah dijalankan dengan pemutusan secara radikal atas tradisi dan sosial budaya. Penentangan komunitas Muhammadiyah terhadap praktek Islam yang dilakukan oleh masyarakat NU dan

masyarakat yang masih mempraktekkan tradisi lokal sangat kuat sekali, meskipun validitas komposisi masyarakat pesisir yang mempunyai pemahaman terhadap pola kehidupan sinkretisme (abangan) ketika mengacu pendapat dari Clifford Geertz tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur analisa maupun hipotesa yang valid. Validitas dari temuan Geertz perlu dikritisi, sebab menurut temuan Nur Syam (2005) dan Aziz Thaba (1996), kehidupan riligi dalam masyarakat pesisir– lingkup komunitas Islam tradisional (NU) maupun komunitas Abangan–terjadi tumpang tindih dalam pemahaman dan praktek ritual, sehingga sulit untuk membedakan mana yang tradisi lokal di satu sisi dan pemahaman Islam ‘tardisional’ pada sisi lainya.

Ketika memasuki tahun 1970-an perbedaan pemahaman dalam beragama (Islam) telah menjadi mendorong perubahan sifat agresif warga NU terhadap segala bentuk yang berbau modernitas (Wawancara, Masduki Mas’ud 27 Agustus 2005). Keadaan ini tidak tanggung-tanggung yang akhirnya disambut oleh para ulama NU setempat dengan fatwa ‘sesat’ terhadap Muhammadiyah dengan segala aktifitasnya. Pendekatan yang lugas dari warga Muhammadiyah telah melahirkan permusuhan yang frontal dari masyarakat yang akhirnya sangat menghambat proses penyebaran pemahaman tajdid, meskipun kalangan NU tidak dapat meminimalisir penyebaran pemahaman Muhammadiyah karena beberapa faktor, terutama kedudukan stuktural warga Muhammadiyah di jajaran pemerintah daerah.

Memasuki tahun 1980-an konflik antara Muhammadiyah dengan warga masyarakat semakin mengkristal. Sebagai contoh, sebuah kasus yang merupakan sebuah konflik segitiga antara warga Muhammadiyah dengan warga setempat dan

komunitas Kristen terjadi tahun 1984 di sebuah desa yang bernama Pulo yang merupakan ranting Muhammadiyah termasuk wilayah cabang Rembang. Konflik yang telah terpolarisasi kedalam kelompok masyarakat ini berlangsung sangat lama. Awal munculnya perseteruan konflik warga Muhammadiyah dengan tokoh Kristen yang mengembangkan misinya di daerah Pulo, dengan berbagai pedekatan akhirnya perseteruan yang tajam antara dua kelompok masyarakat ini ‘dimenangkan’ oleh warga Muhammadiyah yang akhirnya ditandai oleh perginya tokoh Kristen dari daerah tersebut serta berubahnya agama masyarakat setempat kedalam agama Islam.

Untuk selanjutnya, konflik mempertemukan antara masyarakat NU yang juga berkepentingan dengan penyebaran pemahaman agama di daerah Pulo dengan Muhammadiyah. Sebagai kekuatan mayoritas, NU mencoba untuk menghalang-halangi penyebaran pemahaman Muhammadiyah dengan berbagai cara sehingga akhirnya menimbulkan bentrok fisik antara warga NU dengan warga Muhammadiyah, sebagaimana contoh sebuah kasus di Desa Pulo. Menurut Lahmudin (seorang mubaligh Muhammadiyah):

“Konflik yang terjadi di daerah Pulo berkaitan erat dengan kecemasan yang melanda tokoh NU atas perkembangan Muhammadiyah yang mulai menarik simpati masyarakat setempat yang semula menganut agama Kristen, meskipun dalam tubuh masyarakat NU yang bersifat patrimonialisme lokal itu terdapat persaingan antar tokoh NU sendiri, sehingga hubungan yang lebih bersifat persaingan ini bukan merupakan persaingan institusi tetapi lebih merupakan persaingan antar elit agama yang sifatnya lokal” (Wawancara 24 Nopember 2005).

Masyarakat terpolarisasi menjadi beberapa kelompok pemahaman dalam kehidupan beragama di daerah Rembang banyak disebabkan oleh motivasi yang bersifat politis. Munculnya motivasi yang berkaitan erat dengan kekuasaan pada

masyarakat disebabkan kehidupan masyarakat Islam Indonesia dipenuhi sifat avonturir politik (Arifin,1996:242). Kesimpulan yang menjadi pernyataan MT. Arifin sangat beralasan, sebab dalam perjalanan sejarah umat Islam Indonesia dipenuhi oleh intrik kekuasaan yang sangat kompleks permasalahannya, terutama berkutat dalam permasalahan kekuasaan. Fenomena talik ulur yang menjadikan obyek berupa masyarakat dalam komunitas islam lebih dipengaruhi hubungan sosial yang cenderung diametral dan menempatkan faktor personal (elite) sebagai sumber permasalahan.

Berkembangnya komunitas-komunitas Muhammadiyah di pedesaan Kabupaten Rembang yang sebagian besar anggotanya petani, menunjukkan argumen bahwa Muhammadiyah tidak sepenuhnya berdimensi urban dan modernis. Demikian juga masyarakat setempat yang mau bergabung menjadi jamaah Muhammadiyah tentu memiliki argumen tersendiri–termasuk banyaknya masyarakat desa Pulo Kecamatan Rembang yang bergabung dengan jamaah Muhammadiyah. Menurut Abdul Munir Mulkan (2000), menyebarnya paham Muhammadiyah di pedesaan yang sebagian besar masyarakatnya yang bekerja di sektor pertanian disebabkan sebuah pendekatan yang cenderung toleran terhadap praktek ritual yang selama ini merupakan sinkretisme dengan budaya lokal, perspektif tersebut didukung oleh Geertz (1981; Mulder, 1983) atau cenderung menjadi sebuah penamaan lain seperti akulturasi yang merupakan pendapat dari Woodward (1988; Masroer, 2004). Namun, dalam realita penyebaran paham Muhammadiyah yang terjadi di Desa Pulo, tidak bisa di samakan dengan hasil temuan dari Mulkan (2000) di daerah Wuluhan Jawa Timur. Terlebih, mengaitkan kondisi yang terjadi di Rembang dengan temuan Abdul Munir Mulkan, yang

mengetengahkan sikap pendekatan yang toleran pada masyarakat pedesaan yang masih memegang tradisi lokal tidak bisa menjadi kesimpulan yang sama dalam kondisi masyarakat yang notabene sebagai petani.

Penyebaran Muhammadiyah di daerah pedesaan Rembang, seperti kasus Desa Pulo Kecamatan Rembang, lebih berupa pendekatan rigid (kaku) dengan pemutusan secara radikal terhadap tradisi lokal–termasuk penghancuran secara sistematis medan budaya tradisi lokal seperti, punden dan pohon keramat. Kendati lebih dahulu berkembang di daerah Pulo, NU sebagai gerakan keagamaan belum secara maksimal dalam mengembangkan sayapnya, keadaan ini berawal dari keadaan masyrakat yang mempunyai latar belakang non-muslim. Akan tetapi, mengacu temuan Mulkan (2000), ketika terjadi pergeseran peran dari kalangan warga Muhammadiyah yang berlatar belakang pendidikan modern dan mengambil alih peran dari ahli syariah Muhammadiyah yang selama ini berperan dalam penyebaran pemahaman Muhammadiyah, telah menjadi ‘kartu truf’ dalam penyebaran pemahaman Muhammadiyah di Rembang selama ini. Sebab di daerah Rembang realita penyebaran pemahaman Muhammadiyah lebih mendekati temuan Geertz (1981), sebab dalam perjalanannya Muhammadiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat, hampir sama dengan temuan Clifford Geertz di daerah Mojokuto Jawa Timur.

Selanjutnya, usaha penyebaran paham Muhammadiyah yang bersifat lokal di daerah Kabupaten Rembang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi nasional, apalagi ketika Muhammadiyah di Rembang mulai menapaki perjuangannya. Memasuki tahun 1970 samapai tahun 1980 merupakan masa kritis bagi organisasi Islam yang memiliki orientasi untuk mewujudkan sistem Islam. Meminjam

analisa yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo yang membagi kehidupan Muhammdiyah dalam dua dekade dan hal ini hanya dibatasi oleh tahun 1970 (Suwarno,2001:45). Dimana sebelum dekade tahun 1970 kalangan Islam seperti Muhammadiyah lebih fokus dengan dinamika kuantitas yang mengetengahkan pada pembahasan tadjid dan pembentukan doktrin Muhammadiyah, sedangkan sejak dekade tahun 1970-1980 fokus Muhammadiyah lebih kepada dinamika kuantitatif yang mengetengahkan gerakan amal yang lebih berdimensi sosial dengan garda pada bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Dengan dampak resistensi dari masyarakat dan kecurigaan pemerintah orde baru terhadap organisasi kemasyarakatan Islam, Muhammadiyah di Rembang menyesuaikan dengan keadaan yang mengharuskan Muhammadiyah untuk memainkan strategi demi kelangsungan organisasinya. Sejak Tahun 1967 organisasi Muhammadiyah di Rembang mulai membangun amal usaha yang bersifat sosial. Realitanya Muhammadiyah berhasil membangun balai pengobatan di daerah Pamotan, dengan tujuan untuk membantu masyarakat yang notabene jauh dari kota dan merupakan daerah mayoritas muslim dengan tingkat ekonomi rendah (Wawancara, Mohammad Abbas 25 agustus 2005). Kendati, berangkat dari respon terhadap kondisi umat Islam, baik skala nasional maupun lokal yang mengharuskan Muhammadiyah untuk lebih serius menangani kegiatan sosial kemasyarakatan, bergesernya Muhammadiyah ke lahan yang bersifat sosial, bukan tidak ada alasan khusus, sebab munculnya kebijakan floating mass dari pemerintah yang membatasi gerakan politik dari organisasi Islam, Muhammadiyah memanfaatkan kebijakan dari pemerintah ketika penguasa orde baru itu sibuk melakukan pembangunan ekonomi dan sosial serta mengecilkan

kehidupan politik yang selama ini sering menjadi sumber ketidakstabilan negara (Sobron, 2003).

Setelah ditelusuri keberhasilan Muhammadiyah di pesisir Utara Jawa dalam perjalanannya baru memasuki proses Islamisasi daripada sebuah bentuk konkrit dari pemurnian pemahaman Islam yang selama ini merupakan sebuah tujuan dari organisasi-organisasi Islam modern. Hal ini senada dengan kesimpulan yang diambil oleh Hasaan (Mulkan, 2000) ketika organisasi Muhammadiyah yang ada di daerah bersentuhan dengan masyarakat lokal yang telah mempunyai tradisi yang telah mengakar. Praktek yang berupa Islamisasi juga dilakukan oleh komunitas Muhammadiyah di daerah Rembang dengan dibalut pelaksanaan amal usaha, merupakan sebuah pendekatan Muhammadiyah ketika pemerintah orde baru berkuasa, sebab ketika menggunakan temuan Nakamura (1980: 92-99),–

Dokumen terkait