• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebab lahirnya anak luar nikah adalah nikah siri/nikah tidak tercatat adalah nikah yang dilakukan oleh seorang perempuan dan laki-laki tanpa diketahui oleh petugas pencatat nikh, atau tidak didaftarkan pada petugas pencatat nikah, dengan kata lain nikah siri/nikah tidak tercatat adalah nikah yang disembunyikan, namun pada dasarnya, tidak mungkin nikah tersebut disembunyikan, karena pada hakekatnya nikah, tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh dua orang saja, namun setidak disaksikan pula oleh orang

lain, yang menjadi saksi, hanya tidak dicatat.51

Pengertian dicatat adalah didaftarkan dan dilaksanakan oleh petugas yang berwenang melakukan pencatatan pernikahan, yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Dengan demikian, pernikahan yang tidak tercatat adalah pernikahan yang secara administrasi tidak tidak terdaftar pada petugas pencatat nikah, sehingga tidak memenuhi syarat undang- undang, meskipun memenuhi ketentuan agama.

Nikah siri berasal dari kata nikah atau perkawinan dan siri. Kata siri

berasal dari bahasa Arab sirrun yang berarti rahasia, atau sesuatu yang

disembunyikan.52 Melalui akar kata ini, nikah siri diartikan sebagai nikah

yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan dan diumumkan, atau bahkan dirayakan dalam bentuk pesta pernikahan.

Di Indonesia, nikah siri adalah nikah yang dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan baik memenuhi ketentuan agama maupun tidak, tetapi tidak dicatat atau disaksikan oleh petugas yang berwenang, yaitu Pegawai Pencatat Nikah atau Penghulu, sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

51

Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kerjsama UIN Jakarta dengan Balitbang Departemen Agama RI, 2010), h. 32

52

perkawinan.53 Dengan demikian, nikah siri adalah nikah yang dilakukan baik memenuhi persyaratan agama maupun tidak memenuhi persyaratan agama, tetapi tidak dicatat atau terdaftar pada KUA bagi yang beragama Islam dan Catatan Sipil bagi non muslim. Nikah siri dapat diartikan sebagai nikah yang disembunyikan atau tidak diumumkan dengan berbagai alasan.

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Pancasila, yang berdasarkan hukum, bukan negara Islam. Sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengenal istilah kawin siri atau nikah siri, apalagi mengatur secara khusus kawin siri di dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, perkawinan siri sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, meskipun praktik perkawinan

siri hingga kini masih banyak terjadi.54

Perkawinan siri meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum. Oleh karena itu, perempuan yang dikawin siri oleh seseorang laki-laki tidak mungkin memperoleh kutipan akta nikah dari KUA, dimata hukum pernikahannya dianggap tidak sah. Kawin siri sangat banyak merugikan bagi para isteri dan perempuan pada umumnya, termasuk anak-anak yang diperoleh dari perkawinan secara siri tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal sebagai berikut:

a. Akibat hukum perkawinan siri. Meski secara agama atau adat istiadat

dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah di KUA tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum.

53

Undang undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (2) “Tiap tiap perkawinan dicatat menurut prraturan perundang undangan yang berlaku”. Pencatatan sebagai

sebuah pengakuan hukum, pencatatan hanya merupakan prosedur administrasi yang harus dipenuhi, meskipun persyaratan norma agama mengakui nikah siri, namun secara adminsitrasi cacat dari segi hukum.

54

b. Perkawinan siri tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah kawin siri dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2).

c. Dampak dari perkawinan siri terhadap isteri, adalah sangat merugikan

bagi isteri dan perempuan pada umumnya, baik secara hukum maupun secara sosial. Secara hukum isteri tidak dianggap sebagai isteri, isteri tidak berhak atas nafkah dan warisan jika suami meninggal dunia, jika isteri tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan siri dianggap tidak pernah terjadi, sedangkan secara sosial, isteri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan siri sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (kumpul kebo) atau isteri

dianggap menjadi isteri simpanan.55

d. Dampak terhadap anak, sementara terhadap anak, tidak sahnya

perkawinan siri menurut negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan, yakni: Pertama, status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Artinya anak tidak mempunyai hubungan terhadap ayahnya (pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan) dan pasal 100 KHI. Di dalam akta kelahirannya statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama ayah akan berdampak sangat

mendalam secara sosial dan psikologis bagi anak dan ibunya. Kedua,

ketidak jelasan status anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan

antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya.

Secara filosofis nikah siri hanya bertujuan menguntungkan pihak laki-laki, tetapi merugikan pihak isteri maupun anak yang dilahirkan. Kerugian ini akan muncul mana kala para pihak menemukan masalah, tetapi tidak bisa diselesaikan melalui jalur hukum, karena pernikahan siri tidak mendapat pengakuan hukum. Persoalan persoalan hukum akan muncul mana kala para pihak menghadapi berbagai persoalan, misalnya persoalan waris, hak asuh anak, sengketa harta dan lain lain, maka persoalan persoalan tersebut tidak dapat dibawa ke ranah hukum, karena hukum tidak mengakui pernikahan siri, yang dirugikan tentu saja isteri dari pernikahan siri dan anak-anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan siri tersebut.

Dari sisi normatif, dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku bukan sebagai pengamat merupakan suatu bentuk

pemikiran teologis.56

Secara normatif, dalam Islam tidak ada yang mengatur bahwa pernikahan harus dicatat pada lembaga pernikahan seperti KUA tetapi

Islam dalam berbagai mazhab fikih,57 hanya mengatur tentang

persyaratan pernikahan, yaitu adanya calon suami dan calon isteri, ijab kabul, wali, saksi dan maskawin atau mahar. Adapun pencatatan merupakan persyaratan administrasi kenegaraan, agar pernikahan yang dilakukan oleh

56

Eric J Sharpe, Comparativ Religion Of History (London : Duckwort, 1986), h. 313.

57

AbdurrahmanAl-Jảziri, al-Fikih ‘ala Mazhab al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 342.

setiap warga Negara tercatat secara tertib administrasi, dan mendapat perlindungan hukum bagi yang melakukan pernikahan tersebut. Dalam norma agama, pernikahan sah jika telah memenuhi persyaratan tersebut di atas, tetapi hal seperti ini masih diverifikasi agar tidak terjadi dualisme dalam hukum di Indonesia, yaitu pengakuan hukum agama dan pengingkaran bagi hukum positif.

Dari aspek Psikologi atau ilmu jiwa yaitu ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala prilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Darajat, perilaku sesorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya merupakan

gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama.58 Ilmu

jiwa agama sebagaimana diungkapkan Zakiah Darajat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut

terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.59

Dalam ajaran agama sering dijumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang sadik (jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.

Dalam ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang dapat juga digunakan sebagai alat untuk memasukan agama ke dalam jiwa seseorang, sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.

Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melaui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini,

58

Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama,Cetakan, I (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 76.

maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.

Dari uraian tersebut, ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teologi, sosiologi, antropologi, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Di sini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh

persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.60

Nikah siri dapat menimbulkan persoalan psikologis, yaitu persoalan kejiwaan dan mantal serta prilaku bohong bagi pihak suami, dan prilaku tertekan terutama isteri maupun anak akibat dari pernikahan siri, setidaknya pihak perempuan yang menjadi isteri siri dan anak yang dilahirkan dari pernikahan siri, secara psikologis memiliki berbagai perasaan dan prilaku yang membuat dirinya tidak nyaman. Seorang perempuan yang menjadi korban nikah siri, secara psikologis tidak dapat menuntut secara hukum apa apa yang menjadi haknya, oleh karena itu, dampak yang timbul secara psikologis isteri nikah srri adalah ketidak nyamanan, baik tidak nyaman dalam lingkungan keluarga maupun dalam masyarakat, karena biasanya nikah siri dilakukan oleh laki-laki yang telah memiliki isteri yang sah, tetapi kemudian ingin melakukan poligami tetapi takut tidak mendapat izin isteri pertama, sehingga dilakukan secara siri atau diam diam dan tidak dicatat di KUA.

Nikah siri, penting juga dilihat dalam perspektif sosiologis. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan perserikatan hidup itu

60

Abudinata, Metodologi Studi Islam, Cetakan ke 12 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011), , h. 39

serta pula kepercayaannya, keyakinan yang meberi sifat tersendiri kepada

cara hidup bersama itu dalam tiap tiap persekutuan hidup manusia.61 Dalam

sosiologi juga dibahas proses proses sosial, mengingat bahwa pengetahuan perih struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran

yang nyata mengenai kehidupan bersama dalam masyarakat.62

Sosiologi kemudian digunakan sebagai pendekatan dalam

memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat

apabila menggunakan jasa bantuan Ilmu Sosiologi.63 Tanpa ilmu-ilmu

sosial terdapat banyak persoalan agama yang sulit dijelaskan dan dipahami

maksudnya dengan baik dan proporsional.64

Dalam perspektif sosiologis, pernikahan merupakan sesuatu yang penting untuk diketahui, oleh karena itu, hampir di seluruh bagian masyarakat memandang penting upacara pernikahan tersebut diadakan, bahkan kadang bagi masyarakat tertentu, upacara pernikahan harus dilakukan semeriah mungkin. Bahkan sebagian masyarakat ada yang merayakan upacara pernikahan yang diselenggarakan sampai 3 hari atau bahkan 1 minggu.

Secara sosiologis, nikah siri merupakan nikah yang disembunyikan, padahal dalam tradisi adat masyarakat, bahwa nikah yang ideal adalah nikah yang diselenggarakan secara terbuka, bahkan dalam acara yang meriah. Nikah yang dilakukan demikian secara sosiologis mendapat kecaman dari masyarakat, bahkan sangat mungkin bisa dinilai sebagai nikah kecelakaan. Biasanya nikah siri dilakukan oleh beberapa sebab, antara lain karena tidak mendapat izin dari isteri pertama, atau karena akibat lain yang berlawanan dengan hukum. Nikah siri biasanya dilakukan akibat telah melakukan

61

Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Cetakan IX, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 1.

62

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,Cetakan I, (Jakarta: CV Rajawali, 1992),h. 18 dan 35.

63

Abudinata, Op Cit., h, 51.

pelanggaran hukum, maka dengan menikah siri, berarti telah melakukan pelanggaran hukum berikutnya, secara sosiologis akan akan mendapat cemoohan dari masyarakat.

Nikah siri, akan mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum, dan akibat adanya ketidakpastian hukum tersebut, maka dampaknya adalah munculnya persoalan pada hak hak isteri dan anak-anak yang dilahirkan dari

nikah siri tersebut.65 Jika si suami tidak memenuhi kewajibannya sebagai

suami, maka baik isteri maupun anak tidak memiliki kekuatan hukum untuk menuntut secara ekonomi, karena di mata hukum dianggap tidak pernah ada pernikahan, tentu yang dirugikan dalam hal ini adalah pihak perempuan yaitu isteri dan anak. Demikian halnya dengan hak hak waris, pihak isteri siri maupun anaknya tidak dapat menuntut apa-apa, dengan demikian secara ekonomis anak dan isteri sangat dirugikan.

Berbagai tinjauan tersebut di atas, meliputi tinjauan filosofis, normatif, yuridis, psikilogis, sosiologis, maupun ekonomis, merupakan cara pandang, atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat, mengatakan, bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan

mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.66

Persoalan nikah siri muncul, karena persoalan pencatatan yang seharusnya dilakukan oleh petugas pencatat nikah diabaikan, akibatnya pernikahan yang dilakukan secara siri, tidak diakui secara hukum, ia bahkan tidak memiliki kekuatan hukum.

Walaupun pernikahan siri dianggap sah secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan kabul serta wali nikah dan pengantin sudah cukup umur, perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum negara, maka anak-anak yang lahir dari

65

Nurul Irfan, Op. Cit., h.27

66

Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Cetakan II (Jogyakarta : Tiara Wacana Yogyakarta, 1990), h. 92.

perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya. Dalam perspektif fikih, tidak mengenal

adanya pencatatan perkawinan.67 Meskipun dalam beberapa ayat Al-Qur‟an

maupun hadis menganjurkan agar ada pencatatan dalam setiap transaksi

muamalah.68

Secara yuridis dengan tegas dinyatakan dalam undang undang nomor 1 tahun 1974, khususnya pada pasal 2 ayat (2) Tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku. Pernyataan sebagaimana termaktub dalam pasal tersebut, bahwa pernikahan harus dicatat, oleh karena itu, pencatatan merupakan prasyarat adminstrasi sahnya

nikah,69 Dengan demikian nikah siri merupakan perbuatan hukum yang

masih dalam kajian hukum privat atau keperdataan dan belum masuk ke

dalam ranah pidana jika terjadi pelanggaran hukum di dalamnya.70 Hal ini

sesungguhnya merupakan keprihatinan yang mendalam bagi perjalanan hukum Islam di Indonesia karena di satu sisi negara ini mengharuskan perkawinan warga negaranya untuk dicatat, namun di sisi lain terjadi kekeringan hukum karena masih terjadi pelanggaran hukum perkawinan dengan mengatasnamakan agama, yang menganggap sah pernikahan siri.

Problem mendasar apologi agama bagi pelaku nikah siri adalah adanya dikhotomi antara hukum negara dan hukum Islam. Padahal, jika

ingin mengikuti perintah Tuhan secara kaffah, maka perintah untuk taat

kepada pemimpin yang tidak memerintahkan kepada kemaksiatan adalah kewajiban yang mutlak. Dan perintah negara untuk mencatat setiap

67

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta-Leiden: INIS, 2002), h. 139.

68

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakrata, Kencana Prenada Media Grup, Cetakan I, 2004),h, 136.

69

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993. Lihat juga Mukhtar, Kamal., Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

70

perkawinan tidak terdapat sedikitpun unsur kemaksiatan di dalamnya,

melainkan sebaliknya, yakni kemaslahatan.71

Dengan berpikir positif atas berlakunya hukum perkawinan sebagai sebuah produk fikih Indonesia maka tentunya bisa diraih kemaslahatan yang lebih besar. Apalagi jika dilihat hukum perkawinan dari segi

taklifiyyah, di mana hukum perkawinan menjadi haram ketika adanya niatan untuk menyakiti. Dan dalam hal ini, kegiatan pernikahan siri lebih banyak terjadi semata-mata karena, (1) ingin mencari suasana baru dan tidak berani untuk izin dengan isteri yang pertama, (2) ketakutan terhadap aturan hukum karena menjadi pejabat publik atau abdi negara, dan lagi-lagi tidak berani untuk meminta izin dengan isteri yang pertama, dan yang (3) takut ketahuan

pimpinan karena adanya kontrak kerja yang mengharuskan status single.

Melalui beberapa alasan di atas, maka jelaslah bahwa kebohongan menjadi alasan utama yang disembunyikan, dan jika kebohongan yang diutamakan maka perkawinan perkawinan seperti itu tidak dapat dihukumkan mubah.

Dengan demikian, hukum Islam Indonesia juga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan justifikasi teologis terhadap peraturan perundang-undangan negara, tentunya setelah melalui proses konfirmasi

yang mendalam, agar sesuai dengan maqȏshid syarȋ’ah. Berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan tersebut, dapat dikatakan bahwa pencatatan nikah dapat dianggap sebagai bagian upaya menemukan hukum Islam

kontemporer72. Bila pemahaman seperti di atas dapat diterima, seiring

dengan perkembangan dan kebutuhan yang ada dalam konteks ke-Indonesiaan, maka rukun perkawinan yang menjadi syarat sahnya perkawinan di Indonesia tidak hanya lima syarat, akan tetapi jumlahnya bisa menjadi enam, yakni ditambah dengan ketentuan pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh petugas yang berwenang menurut ketentuan peraturan

71

Amiur Nuruddin, Op. Cit., h.137

72

Toha Andiko, Ilmu Qowaidul Fikihiyyah, Pandunan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jogyakarta : Penerbit Teras, 2011), h. V.

perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini, Petugas Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama.

Jika kita tarik ke ranah maqȏṣid syarȋ’ah,73 bahwa tujuan hukum

dalam Islam adalah mewujudkan kemaslahatan, maka demikian halnya dalam pencatatan perkawinan, tujuannya adalah mewujudkan kemaslahatan, baik kemaslahatan bagi isteri, anak, maupun kemaslahatan dari sisi perlindungan hukum, maka kemaslahatan dalam pencatatan nikah adalah sebuah keniscayaan.

Dalam perspektif ushul, yang bertujuan menemukan hukum baru terhadap peroalan persoalan yang belum ada hukumnya, melalui metode

istimbaṭ hukum,74 maka pencatatan nikah bisa dipahami sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan bagi keluarga, isteri, dan anak-anak yang dilahirkan dari ikatan perkawinan, karena dengan pencatatan nikah, meskipun hanya merupakan persyaratan adminstratif, akan tetapi dampaknya akan membawa kemaslahatan, yakni akan terjaga kemaslahatan isteri dan anaknya, baik secara hukum, psikologis, sosiologis maupun ekonominya.

Pencatatan pernikahan, jika dikaitkan dengan kemaslahatan,

maslahah mursalah, maka sangat jelas, bahwa tujuan pencatatan secara

hukum negara adalah untuk mewujudkan kemaslahatan.75

Pencatatan dapat juga dikatakan sebagai pendekatan Sadduzzari’ah

yakni menutup jalan perbuatan dosa, atau kemaksiatan. Dengan menggunakan metode ini, nikah siri itu tidak dibolehkan. Memang pada dasarnya nikah itu boleh bahkan wajib jika sudah memenuhi syarat, tapi jika dilakukan dengan cara siri ditambah lagi pada masa sekarang ini, bisa menjadi haram, karena akan sangat merugikan dari pihak wanita. Selain itu

73

Al-Syᾱṭibῖ, Al-Muwfaqot fi Uṣul al Ahkm, jilid III, (Dr el Fikr, tt), h. 150. Lihat juga, Suyatno, Dasar dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jogyakarta : ARRUZ MEDIA, 2011), h. 154.

74

Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, Cetakan ke IV (Jakarta : Kencana Praneda Media Group, 2009), h. 48.

75

Abdul Wahhab Khalaf, Kaedah Kaedah Hukum Islam, Ilmu Ushulul Fiqih, Cetakan ke VIII, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 123.

juga melanggar undang-undang yang telah jelas melarang nikah siri, bahkan pelaku, wali dan yang menikahkan akan dikenai sanksi dan denda.

Berdasarkan pemaparan di atas maka menuntut fikih perkawinan

yang lebih responsif dengan kaidah berpikir bangsa Indonesia, yaitu pemahaman yang menjadikan pencatatan nikah sebagai bagian terpenting yang harus diterapkan di dalam hukum perkawinan di Indonesia, karena nilai positifnya lebih besar dibandingkan dengan pernikahan yang tidak menggunakan pencatatan perkawinan di dalamnya. Sehingga pada akhirnya wanita-wanita yang dinikahi tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum dalam perjalanan pernikahannya, demikian juga anak-anak yang

Dokumen terkait