• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahirnya Putri Karang Melenu Tempat lahir dan hidup seseorang dapat berbeda. Jaitan

Layar memang jauh dari Hulu Dusun. Namun, kehendak Yang Mahaadil dapat terjadi. Meskipun tempat dan peristiwanya kadang-kadang mirip atau hampir sama. Lain di Jaitan Layar, lain pula di Hulu Dusun. Tepatnya di Kampung Melanti. Kehidupan Petinggi Hulu Dusun dengan istrinya, yang bernama Babu Jaruma, hampir mirip dengan kehidupan rumah tangga Petinggi Jaitan Layar.

Di Hulu Dusun, tepatnya di Kampung Melanti, Petinggi Hulu Dusun dan Babu Jaruma, istrinya, hampir berputus harapan.

Keinginan untuk mendapatkan anak dari perkawinannya selalu hanya dalam penantian. Petinggi Hulu Dusun sudah sangat tua. Kulit tubuhnya mulai keriput dimakan usia. Begitu pula dengan istrinya, Babu Jaruma, badannya tiada mampu tegap seperti ketika dirinya dinikahi oleh Petinggi Hulu Dusun beberapa puluh tahun yang lalu. Petinggi Hulu Dusun memang beruntung. Ia hidup berkecukupan dan dihormati oleh warga kampung yang dipimpinnya. Akan tetapi, harta dan kedudukan itu tidak mampu menghapus kesedihannya. Hatinya gundah. Pikirannya risau. Ia sadar bahwa usia orang

pasti sampai pada batas akhir, yakni kematian. Namun, harapan untuk memiliki anak tiada kunjung datang. Istrinya pun tidak kurang menderitanya. Ia sadar bukan wanita sempurna yang tidak mampu membahagiakan suaminya.

Pada suatu malam selepas bekerja seharian, Petinggi Hulu Dusun duduk bersama istrinya. Setelah terdiam beberapa saat, lelaki tua itu mencoba membuka pembicaraan. “Istriku, usia kita sudah lanjut. Tenagaku sudah menurun jauh. Akan tetapi, ....” Suaranya berhenti tidak dilanjutkan. Ia khawatir akan menyinggung perasaan istrinya.

Namun, Babu Jaruma segera menyahut, “Aku tahu maksudnya. Akan tetapi, aku tidak dapat berbuat banyak. Hidup cukup harta, terhormat, tetapi Tuhan tidak mengizinkan aku mengandung. Apakah Tuhan tiada mendengar doa kita? Atau, kita masih harus menunggu beberapa tahun lagi? Saya harap kita dapat bersabar dulu.”

Setelah mendengar perkataan istrinya, Petinggi Hulu Dusun bertambah haru. Tidak ada niatan di hatinya untuk menyalahkan istrinya. Di dalam hatinya, justru menyalahkan dirinya sendiri. “Istriku, aku tidak menyalahkan dirimu. Mungkin akulah yang tiada punya benih keturunan. Entahlah, kadang kala hatiku gundah. Bahkan, setengahnya aku tidak menerima nasib yang ditetapkan Tuhan kepadaku.” Ucapan itu disampaikannya dengan tatapan wajah kosong sambil ia menatap langit-langit rumahnya.

Sejak percakapan itu, kehidupan suami-istri itu berjalan seperti sedia kala. Pagi berladang, sore pulang ke rumah. Malam bercengkerama sebentar sebelum tidur. Namun, seperti sudah menjadi kehendak Tuhan, suatu hari terjadi keajaiban. Bumi tiba-tiba menjadi gelap gulita. Gelap dengan awan hitam. Sungguh menakutkan. Orang-orang kampung mengira langit akan runtuh. Angin kencang dan guntur tiada henti-hentinya. Dunia seolah akan binasa. Semua orang ketakutan.

Tujuh hari tujuh malam semua penduduk ketakutan. Bumi seolah hendak terbelah. Penduduk tidak berani keluar rumah. Mereka hanya berdoa memohon perlindungan kepada Tuhan. Mereka berharap keadaan segera tenang kembali. Banyak penduduk yang terpaksa menanggung lapar. Bahan makanan sudah habis. Begitu pula dengan Petinggi Hulu Dusun. Persediaan makan keluarga Petinggi Hulu Dusun juga habis. Tinggal sedikit beras. Itu pun tercampur debu. Karena terdorong rasa lapar, Babu Jaruma pergi ke dapur. Maksud hati hendak menanak nasi. Akan tetapi, tiada kayu bakar sepotong pun. Ia memanggil suaminya untuk mencari kayu bakar. Tanpa berpikir panjang Petinggi Hulu Dusun mengambil parangnya. Lalu, dipotonglah kayu kasau rumahnya, dibelah, dan dijadikan kayu bakar.

Dalam satu belahan kayu kasau itu, terdapat seekor ular kecil. Petinggi Dusun diam sejenak. Dilihatnya anak ular itu.

Aneh. Ular kecil itu mengangkat kepalanya dan memandang Petinggi Dusun. Wajahnya tampak mengiba seperti meminta belas kasihan. Petinggi Dusun itu mengerti maksud si ular kecil. Diambilnya ular itu dengan penuh belas kasihan. Dipanggilnya Babu Jaruma. Ketika datang dan melihat si ular, Babu Jaruma menaruh rasa iba yang sangat dalam. Ia meminta kepada suaminya agar ular itu dipelihara. Lalu, anak ular itu ditaruhnya dalam kotak wadah sirihnya. Diberinya makan dan minum.

Sungguh ajaib. Setelah si ular berada dalam kotak sirih, alam seketika menjadi terang-benderang. Seolah seluruh alam tersenyum gembira. Semua orang merasa lega. Penduduk kampung mulai membuka pintu rumahnya. Mereka pergi ke halaman rumah. Dilihatnya langit yang sudah dihiasi matahari. Dipandangnya ayam semua berkokok bersahutan. Bunga-bunga di kebun mekar dan menghamburkan bau wangi. Sungguh, ini aneh dirasa penduduk. Sesama penduduk saling memandang penuh kegembiraan karena merasa telah bebas dari ketakutan akibat alam yang mencekam.

Kehidupan Babu Jaruma juga berjalan biasa. Akan tetapi, berbeda dengan sebelumnya, wanita itu memiliki kesibukan baru setelah mendapatkan seekor ular kecil. Babu Jaruma dengan tekun memberinya makan. Sesekali dielusnya tubuh ular yang semakin bertambah besar itu. Dibelainya dengan kasih sayang. Laksana seorang ibu membelai anaknya, si ular merasa nyaman dalam asuhan Babu Jaruma. Si ular

pun menjadi jinak dan tubuhnya bercahaya. Semua yang melihat tiada takut sedikit pun. Ia seolah ingin menyapa semua orang yang dilihatnya.

Ular itu semakin besar. Tempat sirih tidak mampu menampung tubuhnya. Petinggi Hulu Dusun merasa iba. Khawatir si ular tiada merasa nyaman dalam istirahatnya. Maka, dibuatnya tempat yang agak besar. Yang mampu menampung tubuh si ular yang semakin besar. Namun, dalam hitungan hari dan bulan, tubuh si ular itu menjadi besar. Wadah yang diperuntukkan baginya pun sudah penuh. Bahkan, si ular tampak gelisah. Tubuhnya tiada dapat tertampung dalam wadahnya. Mulai saat itu, Petinggi Hulu Dusun bermaksud membuat kandang bagi ularnya. Maka, dibuatkanlah kandang yang sangat besar. Hampir separuh luas rumah yang ditempati bersama istrinya. Dalam perbincangan dengan istrinya, Petinggi mengatakan, “Istriku, ular kita semakin besar. Wadah itu tiada cukup bagi tubuhnya yang semakin membesar. Bagaimana sebaiknya? Bolehkah aku buatkan kandang yang agak luas agar si ular dapat istirahat dengan nyaman?”

Babu Jaruma mengangguk mendengar ucapan suaminya. “Baiklah, saya juga berpikir seperti itu. Kita buatkan kandang yang luas. Kapan dimulai, Kanda? Sebaiknya, segera saja. Kasihan jika terlalu lama dia tinggal di wadah yang sempit ini.”

Dengan rasa gembira, Petinggi Hulu Dusun menyahut, “Benar, istriku. Kasihan ular ini. Dia harus dibuatkan kandang yang nyaman.”

Segeralah kandang dibuatnya. Petinggi Hulu Dusun meminta bantuan beberapa orang untuk menyiapkan kandang itu. Dalam beberapa hari, si ular sudah dipindahkan ke dalam kandang yang sangat besar. Petinggi Hulu Dusun merasa lega. Ia senang telah dapat menyediakan rumah yang nyaman bagi ular yang dianggapnya sebagai anaknya itu. Makanannya semakin banyak. Tubuhnya tumbuh dengan sangat amat cepat. Hanya dalam hitungan bulan berganti beberapa kali, kandang yang besar itu tidak mampu menampung tubuh si ular. Sekarang ular itu telah berubah menjadi naga yang sangat besar. Petinggi Hulu Dusun mulai merasa risau dan gelisah.

Kabar Petinggi Dusun memiliki naga raksasa semakin tersebar luar. Banyak orang takut melihatnya. Mereka takut digigit oleh naga raksasa itu. Petinggi Hulu Dusun mengajak istrinya duduk sejenak. Ia pun mulai bicara dengan nada tenang walau hatinya risau dan gelisah. “Istriku, aneh sekali. Kandang seluas ini sudah tidak mampu menampung tubuh ular ini. Saya heran. Tubuhnya tumbuh dengan sangat amat cepat. Ular itu sudah menjadi naga raksasa. Saya khawatir tubuhnya semakin membesar. Rumah kita tidak cukup menampungnya. Aku ingin tahu pendapatmu.”

Babu Jaruma sangat memahami perasaan suaminya. Dengan suara tenang ia berkata, “Kanda, saya pun merasa takut. Bagaimana nantinya? Mungkin rumah ini akan roboh. Tubuh si naga membesar dengan sangat amat cepatnya. Aku serahkan Kanda untuk mengambil langkah. Aku menurut saja.” Wanita itu merasa kasihan ketika dilihatnya si naga. Begitu pula sorot mata si naga raksasa itu tampak sedih. Petinggi Hulu Dusun pun terdiam kelu. Takut dan kasihan kepada naga raksasa yang dipelihara dengan kasih sayang sejak dulu.

Pada malam harinya, Petinggi Hulu Dusun berniat tidur di dekat si naga raksasa itu. Ia berkata kepada istrinya. “Begini saja. Naga ini pastilah naga ajaib. Bukan ular sembarangan. Naga ini tiada akan berbuat buruk. Aku ingin tidur di sampingnya nanti malam. Mudah-mudahan aku mendapatkan bisikan untuk mengatasi masalah ini.”

Dengan cepat Babu Jaruma menyambut ucapan suaminya. “Aku sepaham, Kanda. Aku yakin naga itu sangat baik. Nanti malam kita berdua berdoa di sampingnya. Silakan Kanda mandi dahulu. Aku siapkan makan petang nanti. Aku juga akan memberi makan si naga. Dia tampak sudah lapar.”

Waktu terus berjalan. Matahari, sang surya, telah perlahan hendak masuk ke peraduannya. Malam mulai merambat. Lampu minyak telah dinyalakan dan dipasang di dinding dekat si naga raksasa. Sejak mulai malam Petinggi Hulu Dusun dan Babu Jaruma sudah duduk di samping si

naga. Doa tiada henti diucapkan oleh keduanya. Sesekali tangan Babu Jaruma mengelus tubuh si naga. Tubuhnya sangat halus dan bercahaya. Dalam hati Petinggi Hulu Dusun berkata, “O, ya Tuhan. Aku rela merawat si naga ini. Namun, aku tidak mampu menyediakan rumah baginya. Tubuhnya bertambah dengan cepat. Aku mohon kepada-Mu. Berilah jalan yang baik bagiku. Kasihan juga istriku. Ia sangat menyayanginya. Namun, juga takut tidak dapat mengasuhnya lagi.”

Malam itu bulan telah berada di sisi barat. Tanda tengah malam sudah tiba. Petinggi Hulu Dusun pun mengajak istrinya tidur. Matanya sudah menggelayut. Kantuk sudah tidak tertahan lagi. Keduanya tidur di samping si naga. Tangan Petinggi Hulu Dusun dibiarkan menyentuh tubuh halus si naga. Begitu pula kaki Babu Jaruma ditempelkan di tubuh naga. Si naga tampak tidur pulas. Ia merasa nyaman di kandangnya. Malam itu sang naga tampak sangat damai. Ia merasakan betapa besar kasih sayang orang tuanya.

Dalam hitungan beberapa ketukan Petinggi dan Babu Jaruma tertidur pulas. Malam itu Petinggi Hulu Dusun bermimpi. Dalam mimpinya dikatakan dengan suara yang pelan dan sangat jelasnya. “Ayah dan Ibu, aku sudah besar. Tubuhku sangat besar. Aku tahu Petinggi Hulu Dusun dan Babu Jaruma merasa gelisah. Takut tidak bisa merawatku. Penduduk juga takut kepadaku. Aku mohon kepadamu. Buatkanlah tangga agar aku dapat turun dari kandang.

Aku akan pergi.” Suara itu terdengar merdu. Suara seorang wanita yang sangat cantik. “Ibuku, kebaikanmu kepadaku tidak sia-sia. Aku berharap Tuhan membalasnya. Sebentar lagi aku tidak akan menggelisahkanmu.” Petinggi Hulu Dusun terbangun. Ia ingat benar suara gaib dalam mimpinya itu.

Keesokan paginya, Petinggi Dusun menceritakan perihal mimpinya semalam kepada istrinya. “Istriku, semalam aku didatangi seorang gadis cantik, bak bidadari. Aku diminta membuat tangga buat si naga yang kita sayangi itu. Agar dia dapat meluncur turun dan pergi. Bagaimana pendapatmu?” Babu Jaruma berkata, “Syukurlah, segera kita buat tangga. Aku ingin segera tahu apa yang akan dilakukan oleh si naga ajaib itu. Pastilah akan ada kejadian aneh pada dirinya.”

Keduanya sepakat untuk segera membuat tangga. Dengan harapan si naga raksasa dapat turun dengan mudah. Petinggi Hulu Dusun segera memanggil beberapa orang tetangga. Diambilnya kayu bambu dan rotan sebagai pengikat. Dalam waktu yang tidak lama, tangga sudah jadi. Petinggi Hulu Dusun merasa lega. Ia menduga si naga akan turun tanpa kesulitan lagi. Setelah semua beres. Petinggi Hulu Dusun menepuk tubuh si naga. Sambil berkata layaknya berbincang dengan seseorang. Katanya, “Hai, tangga sudah kubuat. Sekarang silakan kau turun. Hati-hati jangan sampai terjatuh.” Ketika itu Babu Jaruma berdiri di samping suaminya.

Tampaknya si naga mengerti perintah Petinggi Hulu Dusun. Mulailah dia menggerakkan tubuhnya. Perlahan kepala dan tubuhnya bergerak hendak mendekati tangga. Namun, naga berhenti bergerak. Tangga runtuh. Tidak mampu menahan berat tubuhnya yang sangat besar. Semua orang di tempat itu terkejut. Seketika itu naga menarik kepalanya. Ia kembali ke kandangnya, kembali melingkar dengan matanya memandang kepada Petinggi Hulu Dusun. Petinggi Hulu Dusun tahu maksud pandangan sorot mata si naga. Segeralah ia berseru kepada orang yang berada di tempat itu, “Sekarang kita buat lagi tangga yang lebih kuat. Sekarang memakai kayu ulin. Badan naga ini sangat besar. Segera siapkan kayu ulin.”

Setelah mendengar perintah Petinggi Hulu Dusun, segeralah semua orang mengangkat kayu ulin yang ada di samping rumah Petinggi Dusun. Mereka bekerja dengan cekatan. Kali ini Petinggi Hulu Dusun yakin berhasil. Si naga turun dengan selamat. Kira-kira empat atau lima jam tangga telah jadi. Segera Petinggi Dusun mendekati dan menepuk tubuh si naga. Dielusnya kepala si naga dengan belas kasihan. Petinggi berkata, “Kau yang kusayangi sejak kecil, aku buatkan tangga dari kayu ulin. Tangga ini lebih kuat dari tangga sebelumnya. Segeralah kau turun sekarang!”

Naga raksasa seolah tahu ucapan Petinggi Hulu Dusun. Kepala diangkat perlahan. Matanya berkedip dua kali sebagai isyarat akan turun segera. Tubuhnya digerakkan

perlahan dan menjulur menuju arah tangga. Kepalanya sudah berada di anak tangga pertama. Tubuhnya terus bergerak menuruni tangga ulin itu. Akan tetapi, memang suratan takdir. Keanehan terjadi. Ketika seperlima panjang tubuhnya berada di atas tangga, tiba-tiba tangga patah. Runtuh. Hancur berantakan. Semua orang yang melihatnya tertegun. Heran. Petinggi Hulu Dusun juga bingung. Babu Jaruma hanya diam termanggu. Dipandangnya si naga. Ada rasa kasihan yang menggelayut di hatinya. “Kasihan naga ini. Maafkan, aku tidak bisa menyiapkan tangga yang baik untukmu,” katanya.

Si naga hanya terkedip diam. Segera kepalanya ditarik ke atas. Ia kembali melingkarkan tubuhnya di kandang. Setelah diam sejenak, Petinggi Hulu Dusun berkata kepada semua orang yang ada di rumahnya. “Kalian telah bekerja dengan baik. Tangga ulin sudah kita buat. Akan tetapi, hancur. Tiada mampu menopang tubuh anakku, naga ini. Sekarang, aku izinkan kalian pulang. Lain waktu aku beri kabar kembali. Datanglah sewaktu-waktu aku mintai bantuan. Aku akan memohon petunjuk Yang Maha Pengasih dalam beberapa hari ke depan. Semoga mendapatkan petunjuk nantinya.”

Seperti biasanya, Petinggi Hulu Dusun dan istrinya tidur bersama si naga. Sebelum tidur, doa pun dilantunkan. Dalam tidurnya Petinggi Hulu Dusun seolah merasa bermimpi. Ia mendengar suara yang sangat tenang. “Petinggi,

berusahalah agar aku dapat turun dari kandangku. Buatlah tangga dari kayu pilihan. Jangan memakai sembarang kayu. Pilihlah kayu lampung. Anak tangga buatlah dengan bambu. Untuk mengikatnya, gunakan akar lembiding. Pasti aku dapat turun memakai tangga itu.” Petinggi Hulu Dusun mendengar suara itu adalah suara si naga. Belum sempat terbangun, ia mendengar suara gaib lagi, seolah dalam mimpi. “Nanti, aku akan menuju tepian. Sekejap saja aku akan membenamkan diriku di air sungai besar itu. Ajaklah Babu Jaruma yang telah merawatku sejak kecil ke tepian. Lalu, perhatikan dan amatilah. Ketika aku tenggelam nanti akan tampak buih yang banyak. Suruhlah Babu Jaruma mengikuti ke mana arah buih itu pergi. Terima kasih atas kebaikan kalian.”

Suara hilang seketika. Tepat saat Petinggi Hulu Dusun bangun. Ia terkejut dan hanya bisa terdiam. Ia membangunkan istrinya. Diceritakan suara dalam mimpinya itu. Istrinya sangat gembira. “Kanda Petinggi, itu suara si naga milik kita. Besok pagi-pagi segeralah menyuruh beberapa orang mencari kayu lampung, bambu, dan akar lembiding. Di pinggir hutan sana mudah ditemukan. Aku percaya, si naga akan dapat turun. Aku akan mengikuti ke mana pun dia pergi sampai menghilang. Sesuai dengan pesan yang kauterima dalam mimpi.”

Petinggi Hulu Dusun menjawab, “Baiklah, nanti pagi-pagi aku segera meminta tolong kepada tetangga. Beberapa orang. Untuk mencari kayu lampung, bambu, dan akar

lembiding. Segeralah masak air. Tanak nasi untuk orang-orang yang bekerja membantu kita nanti.”

Istrinya segera bergegas ke dapur. Petinggi menyiapkan parang dan mandau-nya. Ia berniat segera bekerja pagi itu. Petinggi Hulu Dusun memanggil beberapa orang. Pada saat itu Petinggi Hulu Dusun berkata, “Dengarlah, semalam aku tidur di samping si naga. Tengah malam aku mengantuk sekali. Lalu, aku bermimpi. Dalam mimpiku, si naga berkata kepadaku. Di suruhnya aku mencari kayu lampung, memotong beberapa buluh bambu, dan mencari akar lembiding. Kita membuat tangga dari kayu lampung, bambu, dan diikat dengan akar lembiding. Setelah makan, pergilah ke hutan. Carilah kayu lampung, bambu, dan akar lembiding. Hari ini pula kita buat tangga. Sekali ini aku yakin, si naga akan turun dengan selamat.”

Orang-orang itu bekerja dengan cekatan. Belum sampai tengah hari, tangga sudah selesai dibuatnya. Lalu, Petinggi Hulu Dusun mendekati si naga peliharaannya. “Dengarkan, jika benar tadi malam itu suaramu, sekarang telah kupenuhi. Tangga sudah jadi. Turunlah segera dan berjalanlah sesukamu. Aku dan istriku akan mengikutimu ke mana kaupergi.” Si naga mengangkat kepalanya. Matanya berkedip-kedip. Dengan wajah ceria, si naga turun melewati tangga. Kali ini naga dapat turun dengan selamat. Naga itu terus berjalan menuju tepian sungai. Tiada menoleh. Banyak orang yang mengiringinya. Babu Jaruma berada di

belakangnya. Wanita itu tidak sabar lagi. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi. Petinggi Hulu Dusun pun memiliki pikiran yang sama.

Setiba di tepi Mahakam, si naga menceburkan dirinya ke sungai. Ia berenang kian kemari, ke hilir dan ke hulu. Babu Jaruma dan Petinggi Hulu Dusun termangu di tepi sungai. Kemudian, naik sampan ke tengah sungai. Aneh memang. Kala itu alam seakan berduka. Langit tiba-tiba gelap gulita. Hujan turun dengan dahsyatnya. Angin bertiup kencang tidak tentu arahnya. Semua orang panik karena keadaan yang mencekam dan menakutkan. Air Mahakam berdebur kencang. Petinggi dan istrinya bergegas mengayuh sampan ke tepi. Dengan susah payah, keduanya bisa mencapai tepi sungai. Keanehan terjadi lagi. Tiba-tiba Sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Air tidak tampak lagi. Petinggi Hulu Dusun dan istrinya segera naik ke atas perahu. Dikayuhnya dengan sepenuh tenaganya. Ia bergegas menuju anak Sungai Mahakam. Sungai Sudiwo namanya. Ketika sedang mengayuh perahunya, Petinggi Hulu Dusun dan istrinya mendengar tangis seorang bayi. Suara tangis itu semakin jelas terdengar. Sungguh memilukan suara itu. Petinggi Hulu Dusun mempercepat perahunya menuju ke arah munculnya suara tangis bayi itu. Dalam hatinya, berdebar, “Kejadian apa lagi ini? Ada suara tangis bayi yang baru lahir. Sedang seisi sungai hanya ada buih bergumpal-gumpal.” Istrinya hanya terdiam. Keduanya melihat ke kiri dan ke kanan.

Tidak diduga, Petinggi Hulu Dusun dan istrinya melihat pelangi menghujam ke sebuah buih. Buih itu tampak menggunduk seperti bukit buih di tengah lautan buih. Dilihatnya langit. Tampak awan bergerak menuju ke atas gundukan buih di tengah sungai itu. Seolah sang awan memayungi bukit buih. Dari tempat itulah suara tangis bayi muncul. Namun, perlahan suara itu mulai menghilang hingga tiada terdengar. Dipandangnya tepi sungai dekat gundukan buih itu. Bunga liar tampak subur. Bunganya bermekaran, dengan bau mewangi semerbak.

Babu Jaruma tidak lepas memandang gundukan buih. Sebentar kemudian, dia berbisik kepada suaminya, “Kanda, lihat! Gundukan buih itu.” Suaminya memasang mata mengamati gundukan buih dengan saksama. “Istriku, jangan lengah, lihatlah terus.” Dari dalam buih muncullah sebuah kemala yang bercahaya. Indah berkilauan cahayanya. Dengan sigap, Petinggi Hulu Dusun dan Babu Jaruma mengayuh perahunya. Keduanya mendekati munculnya kemala itu. Setelah dekat tampak dengan jelas. Ternyata, seorang bayi mungil terbaring di atas sebuah gong besar. Gong itu bercahaya keemasan.

Petinggi berbisik kepada istrinya, “Lihat, ada bayi mungil di atas gong. Tenang dulu. Apa yang akan terjadi?” Istrinya mengangguk sambil tetap memandang bayi di atas gong emas itu. Perlahan-lahan, gong meninggi sedikit demi sedikit. Tampaklah seekor naga raksasa menyangga gong besar tadi.

Sekarang tampak jelas karena telah berada di atas tumpukan buih. Petinggi Hulu Dusun tetap diam dan waspada. Naga itu duduk kokoh di atas seekor sapi besar. Sapi keemasan warnanya. Kakinya bertaji dan berbelalai. Itu bukan sapi biasa. Punggungnya memiliki sayap indah keemasan. Sapi itu bertaji seperti burung garuda, bertaring laksana singa, dan berekor laksana seekor naga raksasa. Bahkan, seluruh tubuhnya berhiaskan sisik keemasan. Sungguh kokoh. Lembu

Dokumen terkait