• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Laju Erosi

5.2.5. Laju Erosi Pada Areal Bekas Pemanenan Hutan

Dari dua metode pengukuran laju erosi dihasilkan data seperti pada Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8. Laju erosi pada RKT 2008 TPTI menjadi yang terbesar pada metode pengukuran bak erosi yaitu 27,81 ton/ha/tahun, sedangkan RKT 2007 TPTII menjadi yang terbesar pada pengukuran metode tongkat sebesar 457,31 ton/ha/tahun.

Gambar 6 Laju erosi pada metode pengukuran bak erosi.

Gambar 6 menunjukkan laju erosi di berbagai tempat berdasarkan tahun kegiatan pemanenan. Pada keadaan normal semakin baru kegiatan pemanenan kayu maka laju erosi juga semakin besar. Hal ini disebabkan oleh keterbukaan areal hutan akibat kegiatan penebangan. Menurut Kurniawan (2009), satu batang pohon yang dipanen pada RKT 2008 TPTI di PT. Austral Byna dapat membuka areal hutan seluas 196,85 m²/pohon, sehingga semakin banyak pohon yang

1,19 4,76 1,70 16,75 27,81 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 Kawasan

Lindung RKT 2007 TPTII RKT 2007 TPTIDi Bawah Tegakan

RKT 2007 TPTI

Di Bekas TPN RKT 2008 TPTI Ton/ha/tahun

ditebang maka semakin luas pula hutan yang terbuka. Keterbukaan areal ini menyebabkan tanah tidak terlindungi oleh vegetasi, akibatnya air hujan dapat dengan mudah jatuh ke permukaan tanah. Air hujan yang jatuh tanpa terhalang oleh daun dan batang pohon mempunyai energi kinetik yang besar sehingga ketika tanah terkena air hujan maka tanah dengan mudah terpecah dan proses terjadinya erosi pun dimulai.

Ketidak normalan data terjadi pada lokasi RKT 2007 TPTII, dimana laju erosi pada RKT 2007 TPTII lebih besar dibandingkan RKT 2007 TPTI. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan sistem silvikultur yang digunakan di lokasi ini. Sistem silvikultur TPTII terdiri dari dua jalur yang membentang dari utara hingga selatan, yaitu jalur tanam dan jalur antara. Jalur tanam merupakan suatu bentuk rekayasa lingkungan dimana pada jalur tersebut memiliki lebar 3 meter dan harus terkena cahaya matahari penuh, sehingga jalur tersebut harus bersih dari tumbuh-tumbuhan. Jalur antara adalah jalur yang dibiarkan tumbuh normal disamping jalur tanam dan memiliki lebar 17 meter.

Bak erosi RKT 2007 TPTII berada pada jalur tanam. Jalur yang telah bersih dari tumbuh-tumbuhan menyebabkan tanah tidak terlindungi dari besarnya energi kinetik air hujan, akibatnya tanah lebih mudah terpecah dan tererosi.

Gambar 7 Laju erosi pada metode tongkat di jalan sarad dan jalur tanam. Gambar 7 menunjukkan laju erosi pada pengukuran tongkat di jalan sarad dan jalur tanam, kemudian dibandingkan dengan laju erosi di kawasan lindung. Berdasarkan tata waktu kegiatan pemanenan kayu seharusnya RKT 2008 TPTI memiliki laju erosi yang lebih besar dibandingkan pada lokasi RKT 2007 TPTII

167,93 383,05 188,55 169,32 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Kawasan Lindung RKT 2007 TPTII Jalur

Tanam RKT 2007 TPTI DiJalan Sarad RKT 2008 TPTI DiJalan Sarad Ton/ha/tahun

dan RKT 2007 TPTI. Pertama, hal ini dapat disebabkan pada lokasi RKT 2007 TPTII memiiki sistem silvikultur yang berbeda dengan sisitem silvikultur TPTI. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa sistem silvikultur TPTII terdiri dari dua jalur yang membentang dari utara hingga selatan, yaitu jalur tanam dan jalur antara sehingga erosi yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan sistem tebang pilih. Kedua, jalan sarad di PT. Austral Byna tidak terlalu terbuka penutupan tajuknya, sehingga air hujan yang jatuh tidak langsung menyentuh tanah melainkan menyentuh daun dan batang terlebih dahulu akibatnya kekuatan air dalam menumbuk tanah menjadi jauh berkurang. Ketiga, jalan sarad di PT. Austral Byna sudah terlalu padat, sehingga laju erosi menjadi lebih kecil namun aliran permukaan menjadi lebih besar dibandingkan saat jalan sarad pertama ditinggalkan.

Dibandingkan dengan RKT 2008 TPTI seharusnya RKT 2007 TPTI memiliki laju erosi yang lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor kelerengan yang ada pada kedua lokasi pengukuran. Meskipun sama-sama berada di jalan sarad, namun dinilai panjang lereng di RKT 2007 TPTI lebih besar dibandingkan dengan lokasi pada RKT 2008 TPTI sehingga erosi yang terjadi pun semakin besar.

Gambar 8 Laju erosi pada metode tongkat di bawah tegakan dan jalur antara. Sama seperti pada lokasi di jalur tanam dan jalan sarad, lokasi pengukuran di jalur antara dan di bawah tegakan juga memiliki bentuk grafik yang mirip. Umumnya perbedaan laju erosi di atas disebabkan oleh perbedaan sistem silvikultur. Sistem TPTII memiliki limit diameter yang dapat ditebang diatas 40

167,93 457,31 293,07 244,87 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

Kawasan Lindung RKT 2007 TPTII Jalur

Antara RKT 2007 TPTI Dibawah Tegakan RKT 2008 TPTI Dibawah Tegakan Ton/ha/tahun

cm, sedangkan pada TPTI memiliki limit diameter diatas 60 cm untuk hutan produksi terbatas dan limit diameter diatas 50 cm untuk hutan produksi tetap sehingga sistem TPTII memiliki lebih banyak kesempatan untuk memanen kayu akibatnya keterbukaan pada sistem TPTII menjadi lebih besar. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa semakin besar hutan yang terbuka maka laju erosi akan semakin besar.

Sama seperti laju erosi di jalan sarad, laju erosi pada lokasi di bawah tegakan juga ternyata banyak dipengaruhi oleh faktor kelerengan. Meskipun sama-sama berada di bawah tegakan, namun dapat dinilai bahwa RKT 2007 TPTI memiliki panjang lereng yang lebih besar dibandingkan dengan lokasi pada RKT 2008 TPTI sehingga erosi yang terjadi pun semakin besar.

Gambar 9 Laju erosi pada metode pengukuran tongkat.

Gambar 9 menunjukkan laju erosi pada pengukuran tongkat disetiap lokasi pengukuran metode tongkat. Ternyata laju erosi pada RKT 2007 TPTII jalur antara lebih besar dibandingkan dengan di jalur tanamnya. Hal ini dapat disebabkan oleh kepadatan pada jalur tanam dan terdapat banyak serasah pada jalur tanam. Kepadatan tanah pada jalur tanam diakibatkan oleh manusia saat melakuan kegiatan penyiapan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman silin. Serasah yang menutupi tanah dihasilkan dari pohon-pohon yang berada disekitar jalur tanam akibat dari kedua faktor ini adalah air hujan yang jatuh sulit untuk memecah agregat-agregat tanah, akibatnya proses erosi tidak banyak terjadi.

457,31 383,05 293,07 244,87 188,55 169,32 167,93 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 RKT 2007 TPTII Jalur Antara RKT 2007 TPTII Jalur Tanam RKT 2007 TPTI Di bawah Tegakan RKT 2008 TPTI Di bawah Tegakan RKT 2007 TPTI Di Jalan Sarad RKT 2008 TPTI Di Jalan Sarad Kawasan Lindung Ton/ha/tahun

5.3. Faktor yang Mempengaruhi Laju Erosi 5.3.1. Curah hujan

Secara langsung, hujan dengan intensitas yang tinggi dapat berpengaruh sangat nyata akan terjadinya proses erosi tanah. Menurut Arsyad (2000), ada tiga komponen karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap erosi yaitu jumlah, intensitas dan distribusi hujan.

Jumlah curah hujan yang ada di PT. Austral Byna antara bulan Juli sampai September dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Curah hujan rata-rata

Stasiun Curah hujan rata-rata (mm)

Pengamatan Juli Agustus September

Sikui 22,76 13,44 51,58

Jupoi 22,83 8,67 12

Mahang 13,4 15,36 0

Berdasarkan pengamatan setiap hari hujan, diperoleh data rata-rata curah hujan dari stasiun pengamatan Sikui antara bulan Juli sampai September adalah 22,76 mm, 13,44 mm, dan 51,58 mm. Sedangkan rata-rata curah hujan dari stasiun pengamatan Jupoi antara bulan Juli sampai September adalah 22,83 mm, 8,67 mm, dan 12 mm. Rata-rata curah hujan dari stasiun pengamatan Mahang pada bulan September adalah nol, karena tidak ditemukan sama sekali hujan selama pengamatan pada bulan tersebut. Sedangkan rata-rata curah hujan dari stasiun pengamatan Mahang pada bulan Juli dan Agustus adalah 13,4 mm dan 15,36 mm.

Pengambilan data curah hujan dilakukan pada tiga stasiun pengamatan, antara lain stasiun pengamatan Sikui, Jupoi dan Mahang. Stasiun pengamatan Sikui mewakili basecamp Sikui, sedangkan stasiun pengamatan Jupoi dapat mewakili sungai Jupoi, RKT 2007 TPTII, dan kawasan lindung, sedangkan stasiun pengamatan curah hujan yang ada di Mahang dapat mewakili RKT 2007 dan RKT 2008 TPTI. Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa distribusi hujan yang dominan di PT. Austral Byna adalah stasiun pengamatan Sikui dan diikuti oleh Jupoi dan Mahang. Distribusi hujan yang cukup besar didaerah Jupoi mengakibatkan laju erosi di RKT 2007 TPTII menjadi yang tertinggi menurut metode tongkat, yaitu 457,31 ton/ha/tahun.

Gambar 10 Curah hujan rata-rata.

PT. Austral Byna mempunyai intensitas curah hujan yang tinggi dengan persebaran yang hampir merata sepanjang tahun, artinya tidak terjadi musim kemarau atau bulan kering yang panjang. Jumlah hari hujan rata-rata bulanan terjadi dalam bulan Desember dan terendah pada bulan Juni. Maka dari itu, pengukuran curah hujan yang dilakukan pada bulan Juli hingga September tidak begitu besar curah hujannya.

5.3.2. Vegetasi

Selain curah hujan, penutupan berupa vegetasi juga sangat berpengaruh terhadap laju erosi. Jenis penutupan vegetasi yang mendominasi di PT. Austral Byna adalah hutan alam dengan strata yang berlapis-lapis. Laju erosi yang berada di kawasan lindung adalah suatu contoh nyata bahwa hutan alam dapat meminimalisir laju erosi.

Saat terjadi hujan, suatu lahan yang tidak dilindungi oleh vegetasi dapat dengan sangat mudah tererosi. Menurut Rahim (2003), erosi bisa terjadi apabila intensitas hujan turun lebih tinggi dibanding kemampuan tanah untuk menyerap air hujan tersebut. Terjadinya erosi secara rinci bisa dijelaskan melalui tiga tahapan. Pertama, penghancuran agregat tanah dan pelepasan partikel. Kedua, pengangkutan tanah oleh aliran air. Ketiga, pengendapan tanah akibat aliran air tidak mampu lagi mengangkut tanah.

Berdasarkan hasil penelitian Holy (1980) dalam Santosa (1985) mengemukakan bahwa hutan dengan tajuk lebat, tumbuhan bawah yang baik, dan serasah yang tidak terganggu sangat mempengaruhi terjadinya aliran permukaan

0 10 20 30 40 50 60

Juli Agustus September

mm

Bulan Sikui Jupoi Mahang

dan erosi. Pada keadaan hutan seperti itu aliran permukaan tidak lebih dari 10% dari total hujan dan tidak terjadi erosi.

Pada PT. Austral Byna, khususnya di RKT 2008 TPTI sedang dilakukan kegiatan pemanenan kayu. Pemanenan kayu idealnya dilakukan dengan berbagai perencanaan yang matang, dimulai dari peta pohon, perencanaan jalan sarad, dan lain-lain. Namun di PT. Austral Byna hal ini baru saja dilakukan, akibatnya lokasi yang telah dipanen memiliki keterbukaan sebesar 196,85 m²/pohon (Kurniawan, 2009). Kebalikan kondisi yang diharapkan dari hasil penelitian Holy (1980) dalam Santosa (1985) ini menyebabkan laju erosi yang sangat besar di RKT 2008 TPTI. RKT 2007 TPTI adalah blok yang telah ditinggalkan selama setahun sehingga terjadi sedikit proses suksesi dan tajuknya lebih rapat jika dibandingkan RKT 2008 TPTI.

Lain halnya dengan sistem silvikultur TPTI, sistem silvikultur TPTII memiliki 2 buah jalur yang wajib ada, yaitu jalur tanam dan jalur antara. Jalur tanam memiliki syarat bahwa sepanjang jalur tanam diharuskan bersih dari tajuk, sehingga lantai hutan dapat disinari oleh matahari penuh. Tetapi jika jalur ini terkena hujan, maka erosi yang terjadi pun akan menjadi besar. Berbeda dengan sistem silvikultur TPTI dan TPTII, kawasan lindung khususnya KPPN berfungsi sebagai kawasan yang sengaja ditinggalkan demi terjaganya plasma nutfah. Oleh karena itu kawasan lindung memiliki strata tajuk yang lengkap dibandingkan yang lain sehingga laju erosi di kawasan lindung menjadi yang terkecil.

Gambar 11 Keterbukaan areal

Gambar 11 menunjukkan keterbukaan areal hutan diberbagai lokasi. RKT 2008 TPTI memiliki keterbukaan areal terkecil kemudian diikuti RKT 2007

1353 1521 1398 1451 1250 1300 1350 1400 1450 1500 1550

RKT 2008 TPTI RKT 2007 TPTI RKT 2007 TPTII Kawasan Lindung m2

TPTII, kawasan lindung, dan RKT 2007 TPTI. Lokasi kegiatan analisis keterbukaan di RKT 2008 TPTI berada dibawah tegakan yang telah ditinggalkan ± 4 bulan. Lokasi ini dinilai masih menaungi tanah cukup baik, lain halnya dengan lokasi kegiatan analisis keterbukaan di RKT 2007 TPTI yang bersampingan dengan bekas jalan sarad dan padang rumput, sedangkan lokasi kegiatan analisis keterbukaan di RKT 2007 TPTII memotong jalur tanam dan jalur antara.

Hasil dari analisis ini dinilai kurang mewakili karena kegiatan analisis keterbukaan hanya dilakukan tidak jauh dari jalan logging. Untuk itu dilakukan analisis keterbukaan pada peta citra landsat tahun 2008 hasilnya adalah tidak lebih dari setengah penutupan tajuk di RKT 2007 TPTI dan RKT 2007 TPTII yang terbuka. Hal ini disebabkan oleh belum adanya peta pohon saat itu, sehingga kayu tidak dapat diproduksi secara optimal akibatnya penutupan tajuk masih dapat dikatakan baik.

5.3.3. Topografi

Selain curah hujan dan vegetasi, faktor kelerengan juga sangat nyata mempengaruhi proses terjadinya erosi. Menurut Arsyad (2000), faktor-faktor topografi yang mempengaruhi besar kecilnya erosi dan limpasan permukaan ialah derajat kemiringan lereng lapangan dan panjang lereng, dengan kata lain erosi dan limpasan permukaan akan lebih besar pada tanah dengan lereng yang lebih curam dan lebih panjang. Dengan demikian, derajat kemiringan dan panjang lereng merupakan dua faktor topografi yang mempunyai peranan yang sangat penting terhadap kemungkinan terjadinya erosi. Erosi tidak menjadi masalah pada daerah datar, akan tetapi apabila daerah mulai miring maka masalah pencegahan erosi menjadi serius.

PT. Austral Byna memiliki kemiringan lereng lapangan yang cenderung landai. Areal yang memiliki kelerengan lebih besar dari 25% hanya sekitar 2861 ha atau hanya 1% dari jumlah luasan PT. Austral Byna. Namun kemiringan lereng pada RKT 2007 TPTI dinilai memiliki lereng yang besar dan panjang. Hal inilah yang menyebabkan laju erosi di RKT 2007 TPTI menjadi yang tertinggi kedua setelah RKT 2007 TPTII pada metode pengukuran erosi dengan menggunakan tongkat.

Gambar 12 Rata-rata laju erosi dilihat dari segi kelas lereng.

Gambar 12 menunjukkan rata-rata laju erosi yang dilihat dari segi kelas kelerengan yang diambil dari pengukuran metode tongkat. Dilihat dari segi kelas kelerengan, kelas lereng 8%-15% memiliki laju erosi terbesar kemudian semakin menurun pada kelas kelerengan 15% sampai diatas 40% dan laju erosi terendah adalah kelas kelerengan 0%-8%. Keragaman nilai diantara masing-masing kelas lereng disebabkan oleh panjang dan bentuk lereng pada setiap lokasi pengamatan. PT. Austral Byna banyak terdapat kelas kelerengan 8%-15%, yaitu sebesar 277,465 ha atau 96,55% dari luas PT. Austral Byna.

5.3.4. Tanah

Menurut Sjafi’i (1984), sifat tanah yang penting pengaruhnya terhadap permukaan erosi terhadap kepekaan erosi dan limpasan permukaan adalah tekstur, struktur, kandungan bahan organik, kesarangan, kapasitas lapang, tebal dan sifat horizon serta kadar air tanah.

Namun pada kegiatan di lapangan hanya beberapa sifat tanah yang diperhatikan. Lokasi pengamatan erosi di lapangan umumnya didominasi oleh jenis tanah ultisol. Jenis tanah ultisol memiliki kedalaman tanah yang efektif sedalam 180 cm dengan nilai laju erosi yang diperbolehkan sebesar 97,006 ton/ha/tahun. Melihat nilai laju erosi yang diperbolehkan pada jenis tanah podsolik cukup kecil, maka tanah ultisol di kawasan PT. Austral Byna dapat dikatakan rawan fisik atau memiliki tanah yang rawan akan erosi.

5.3.5. Manusia

1. Cara dan alat eksploitasi yang digunakan. 2. Sistem penanaman.

3. Perusakan oleh penggembalaan, pencarian kayu bakar, kebakaran, dan lain lain.

Kerusakan tanah hutan PT. Austral Byna umumnya disebabkan oleh kegiatan pemanenan kayu. Pemanenan kayu idealnya dilakukan dengan berbagai perencanaan yang matang, dimulai dari peta pohon, perencanaan jalan sarad, dan lain-lain. Peta pohon berguna dalam menentukan pohon yang sudah layak tebang, sehingga tidak terjadi kesalahan pemilihan pohon yang akan ditebang. Sedangkan perencanaan jalan sarad dibuat untuk meminimalisir kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan penyaradan dan memudahkan kegiatan penyaradan. Namun di PT. Austral Byna hal ini baru saja dilakukan, akibatnya lokasi yang telah dipanen memiliki keterbukaan sebesar 196,85 m²/pohon dan keterbukaan hutan di RKT 2008 TPTI akibat jalan sarad adalah sebesar 22,54 % (Kurniawan, 2009).

Penebangan pohon sangat berpengaruh nyata terhadap keterbukaan lahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Sukanda (1996), bahwa peranan faktor jumlah pohon yang ditebang berpengaruh nyata terhadap keterbukaan lahan. Semakin banyak pohon yang ditebang per satuan luas semakin luas pula keterbukaan tanah yang terjadi. Dengan demikian semakin banyak pohon yang ditebang semakin tinggi pula intensitas penyaradan yang mengakibatkan keterbukaan lahan semakin luas.

Dokumen terkait