• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju  Inflasi

Dalam dokumen BAB 3 RKPD SULTRA 2016 (Halaman 23-34)

Dalam beberapa tahun terakhir inflasi Sulawesi Tenggara cenderung berada di atas rata­rata inflasi nasional. Hal ini tentu saja berdampak negatif pada  jalannya  roda perekonomian.   Laju inflasi di Sulawesi Tenggara pada triwulan   IV   2014,   tercatat  sebesar   7,39   persen   (yoy).   Kenaikan   laju   inflasi Sulawesi Tenggara sejalan dengan meningkatnya laju inflasi yang terjadi baik di   Kota   Kendari   maupun   di   Kota   Baubau.   Peningkatan   tekanan   inflasi

tersebut terutama bersumber dari komponen administered prices dan volatile

food. Meskipun demikian, pemerintah daerah tetap berupaya mengendalikan

inflasi melalui TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) yang sudah terbentuk. Laju inflasi di Sulawesi Tenggara yang tercermin  dari Indeks Harga Konsumen   di   Kota   Kendari   pada   beberapa   tahun   terakhir   ini   selalu   lebih tinggi   dari   rata­rata   inflasi   nasional.   Hal   ini   tentu   mempengaruhi   kualitas pertumbuhan yang telah dicapai. Laju inflasi tahun 2010­2014 dapat terlihat pada Gambar berikut : Gambar 3.7. Perkembangan Inflasi Tahunan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2010­2014 Sumber: BPS Prov. Sultra, 2014 Gambar tersebut menunjukkan laju inflasi dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu 2010­2014  mengalami  trend  meningkat.  Secara umum inflasi cukup terkendali pada tahun 2010 mencapai 3,87 persen  dan  pada

tahun 2011 naik mencapai 5,09 persen, dan tahun 2014 kembali naik hingga mencapai 7,39 persen.

3.1.1.8 Target   Indikator   Ekonomi   Makro   Provinsi   Sulawesi

Tenggara Tahun 2016 dan Tahun 2017

Perkembangan   pembangunan   ekonomi   Provinsi   Sulawesi   Tenggara tahun 2014, yang menunjukkan perkembangan yang  cukup positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, hal ini ditandai dengan capaian­capaian indikator makro ekonomi yang semakin baik dari tahun ke tahun.

Sehubungan   dengan   hal   tersebut,   salah   satu   tantangan pembangunan   ekonomi   Provinsi   Sulawesi   Tenggara   tahun   2016  adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkualitas minimal   mengalami   pertumbuhan   yang   berkelanjutan   yang   mampu meningkatkan   pendapatan   perkapita   masyarakat   dan   mengurangi pengangguran   serta   mengurangi   tingkat   kemiskinan   sehingga   dapat meningkatkan daya saing perekonomian Sulawesi Tenggara sebagaimana Visi Pembangunan Daerah 2013­2018.

Meningkatkan  pertumbuhan   di   atas   rata­rata  enam  persen  hingga mencapai   delapan  merupakan   tantangan  tersendiri   bagi  perekonomian Sulawesi   Tenggara.  Mengingat   beberapa   sector   perekonomian   mengalami pelambatan kinerja, khususnya sector pemicu seperti bidang pertambangan. Dalam   bidang   ekonomi,   Pemerintah   Provinsi   Sulawesi   Tenggara   perlu berupaya   untuk   mempertahankan   pertumbuhan   ekonomi   di   atas   delapan persen yang sudah dicapai pada tahun 2010 dan di atas 10 persen tahun 2012.   Namun   pada   tahun   2013  dan   tahun   2014  pertumbuhan   ekonomi mengalami   perlambatan   hingga   mencapai  6,24  persen.   Hal   ini   penting dilakukan untuk dapat mengejar ketertinggalan di Bidang ekonomi yang saat ini   masih   relatif   kecil   dibanding   rata­rata   provinsi   secara   nasional.

Sebagaimana   rekomendasi  World   Bank  dalam   laporan  Public   Expenditure

Analysis tahun 2014 untuk memelihara stabilitas pertumbuhan di atas rata­ rata   delapan   persen,   Pemerintah   Provinsi   Sulawesi   Tenggara   dapat melakukan beberapa hal sebagai berikut :

a. Revitalisasi Pertumbuhan Sektor Pertanian

Peran sektor pertanian semakin menyusut disertai dengan rata­rata pertumbuhan  yang   semakin   lamban.   Peran   sektor   pertanian   semakin menurun   pada   periode   2008­2013,   yakni   dari   semula   di   atas   36  persen menjadi tinggal 29 persen tahun 2014, atau menurun hampir sepuluh persen. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh pertumbuhan pesat sektor industri melainkan   juga   karena   semakin   lambatnya   rata­rata   pertumbuhan   sektor pertanian,   yakni   dari   6,3   persen   per   tahun   (periode   2001­2006)   menjadi hanya   3,9  persen   per   tahun   (periode   2007­2014).     Pertumbuhan   tinggi   di Sulawesi   Tenggara   dapat   dipertahankan   dengan   salah   satunya   dengan merevitalisasi  pertumbuhan   sektor   pertanian   setidaknya   ke   tingkat pertumbuhan rata­rata yang pernah dicapai pada periode 2001­2006. 

b. Menjaga Keberlanjutan Pertumbuhan Tinggi Sektor Industri

Pada   Tahun   2014   meskipun   perekonomian   Sulawesi   Tenggara mengalami   perlambatan,   namun   pada   triwulan   IV   2014   sektor   industri pengolahan   tercatat   tumbuh   sebesar   18,66%   (yoy),   tumbuh   terakselerasi dibandingkan laju pertumbuhan di periode sebelumnya sebesar 13,88% (yoy). Dengan   demikian,   untuk   keseluruhan   tahun   2014   sektor   industri   olahan tercatat   tumbuh   sebesar   7,74%   (yoy),   meningkat   dibandingkan   laju pertumbuhan di tahun 2013 sebesar 4,22% (yoy). Peningkatan kinerja sektor industri   pengolahan   di   Sulawesi   Tenggara   didorong   oleh   meningkatnya kapasitas produksi feronikel di salah satu perusahaan industri pengolahan terbesar   di   Sulawesi   Tenggara,   yang   pada   periode   laporan   tumbuh   positif sebesar 29,82% dibandingkan posisi yang sama di tahun sebelumnya serta meningkatnya kinerja ekspor feronikel tercatat tumbuh sebesar 16,49% (yoy). (Laporan BI 2015)

c. Diversifikasi Ekspor

Komponen ekspor   luar negeri   Sulawesi Tenggara pada triwulan IV 2014 tercatat kembali terkontraksi sebesar 74,95% (yoy). Menurunnya ekspor Sulawesi Tenggara pada periode laporan masih disebabkan sebagai dampak atas   pemberlakuan   UU   Minerba   No.   4   Tahun   2009   terkait   pelarangan

aktivitas   ekspor   hasil   tambang   berupa   mineral   mentah.   Komoditas   ekspor Sulawesi Tenggara yang didominasi oleh komoditas bahan tambang mentah yang   mayoritas   adalah   ore   nikel   terkena   dampak   secara   langsung   atas diberlakukannya   UU   Minerba   tersebut.   Aktivitas   ekspor   tambang   Sulawesi Tenggara   berhenti   secara   total   memasuki   bulan   Februari   tahun   2014 terutama berasal dari perusahaan yang tidak memiliki smelter.

Penurunan   komponen   ekspor   tercermin   dari   menurunnya   volume ekspor di Sulawesi Tenggara pada triwulan IV 2014 sebesar   99,72% (yoy). Sejalan   dengan   penjelasan   sebelumnya,   penurunan   kinerja   ekspor   juga terindikasi   dari   penurunan   ekspor   luar   negeri   yang   disebabkan   oleh penurunan   ekspor   hasil   tambang   sebesar   99,90%   (yoy),   sementara   ekspor komoditas non tambang justru tercatat tumbuh positif sebesar 22,33% (yoy). 

Meskipun   demikian,   secara   triwulanan   ekspor   Sulawesi   Tenggara tercatat mulai berada pada tren  yang  membaik dan  dapat tumbuh  positif, yakni sebesar 0,38% (qtq) pada triwulan IV 2014. Mulai tumbuhnya ekspor tersebut didorong oleh meningkatnya permintaan ekspor aspal Buton.

d. Meningkatkan   Tingkat   Partisipasi   Angkatan   Kerja   dan Produktivitas Pekerja

Pada triwulan IV 2014,  penyerapan tenaga kerja di Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan. Hal ini tercermin dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)  dimana indeks penyerapan tenaga kerja  di triwulan IV 2014 mencapai 1,79%, meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013   yang   sebesar   ­1,29%   (Gambar   3.8).   Membaiknya   kondisi ketenagakerjaan juga terlihat dari data BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, baik dari sisi jumlah orang yang bekerja maupun dari tingkat partisipasi angkatan kerja   (TPAK).   Selama   setahun,   dari   Agustus   2013   sampai   dengan   Agustus 2014, jumlah penduduk yang bekerja bertambah sebanyak 40.188 orang atau tumbuh sebesar 4,03%,yoy (Gambar 3.9 ). Dengan demikian, TPAK di Agustus 2014 mencapai 66,87%, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 yang hanya mencapai 65,91%.

Gambar 3.8  Indeks Realisasi Penyerapan Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011­2014 Sumber: Bank Indonesia Prov. Sultra, SKDU Gambar 3.9  Pertumbuhan Penduduk Bekerja Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2010­2014 Sumber: BPS Prov. Sultra (Diolah)

Dilihat   secara   sektoral,   sektor   pertanian,   sektor   jasa   dan   sektor perdagangan   dan   rumah   makan   merupakan   sektor   yang   menyerap   tenaga kerja terbesar di Sulawesi Tenggara dengan pangsa masing­masing sebesar 42,62%,   18,89%   dan   18,65%     (Gambar   3.10).     Meskipun   demikian, peningkatan   terbesar   terjadi   pada   sektor   konstruksi   dengan   pertumbuhan tenaga   kerja   sebesar   12,81%   (yoy).   Hal   tersebut   terjadi   seiring   dengan meningkatnya   kegiatan   investasi   baik   dalam   bidang   infrastruktur   maupun pembangunan smelter nikel. Sebaliknya, penurunan terbesar terjadi di sektor pertambangan sebesar 13,2% (yoy) seiring dengan pembatasan ekspor mineral mentah sesuai dengan UU Minerba tahun 2009 (Gambar 3.11).   Gambar 3.10  Pangsa Tenaga Kerja Per Sektor  (Per Agustus 2014) Sumber: BPS Prov. Sultra (Diolah) Gambar 3.11  Pertumbuhan Tenaga Kerja Sektoral  (Per Agustus 2014) Sumber: BPS Prov. Sultra (Diolah)

Gambar 3.12 Pertumbuhan Penduduk Menganggur) Sumber: BPS Prov. Sultra (Diolah) Gambar 3.13 Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Sumber: BI Prov. Sultra, Survey Konsumen Meskipun terjadi peningkatan jumlah penduduk yang bekerja, namun jumlah  penduduk yang menganggur  juga meningkat.   Pada Agustus 2014, jumlah penduduk yang menganggur meningkat sebanyak 2.374 orang, atau sebesar   5,19%,yoy   (Gambar   3.12).   Karena   peningkatan   penduduk   yang menganggur lebih besar daripada peningkatan penduduk yang bekerja maka Tingkat Pengangguran  Terbuka (TPT) di Sulawesi Tenggara juga meningkat dari   4,38%   (Agustus   2013)   menjadi   4,43%   (Agustus   2014).   Bertambahnya penduduk yang menganggur juga tercermin dari jumlah lapangan pekerjaan yang berkurang. Dari hasil Survei Konsumen, masyarakat merasakan bahwa terjadi   penurunan   ketersediaan   lapangan   pekerjaan   di   triwulan   IV   2014 (Gambar 3.13). 

Dengan   jumlah   penduduk   bekerja   di   Sulawesi   Tenggara terkonsentrasi di sektor pertanian, maka pekerja yang berada  sektor informal juga mendominasi struktur ketenagakerjaan di provinsi ini. Pekerja informal dalam   perekonomian   Sulawesi   Tenggara   mencapai   sebesar   67,86%   atau 703.948 orang lebih tinggi dibandingkan Agustus 2013 sebesar 67,44% atau 672.498   orang.     Meskipun   demikian,   dari   sisi   kualitas   input   tenaga   kerja mengalami peningkatan. Hal tersebut tercemin dengan pangsa pekerja dengan pendidikan tinggi (Diploma dan Universitas) mencapai 13,27% pada Agustus 2014, lebih tinggi daripada tahun sebelumnya yang baru mencapai 13,05% dari keseluruhan penduduk yang bekerja. Selain itu, pekerja yang memiliki

pendidikan dasar (SD­SMP) juga semakin berkurang dari 61,23% di Agustus 2013 menjadi 60,85% di Agustus 2014.  

e. Mendorong Pertumbuhan Inklusif

Sulawesi Tenggara telah mencapai prestasi pertumbuhan yang cukup mengagumkan, namun pertumbuhan tersebut masih diwarnai oleh semakin meningkatnya   angka   ketimpangan.   Indeks   Gini   yang   merupakan   indikator untuk  mengukur  ketimpangan   pendapatan   masyarakat   telah   meningkat   di Sulawesi Tenggara dari 0,35 (tahun 2007) menjadi 0,4 (tahun 2012). Kondisi ini   dipertegas   dengan   temuan   lain   tentang   tidak   meratanya   proses pertumbuhan antar golongan pendapatan di hampir seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara. Dengan menggunakan data Susenas tahun 2009 dan 2011, hampir di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara terlihat bahwa 40 persen rumah tangga termiskin memiliki pertumbuhan pendapatan yang lebih   kecil   dibanding   pertumbuhan   pendapatan   rata­rata   rumah   tangga   di daerah tersebut, kecuali Kabupaten Konawe Utara.

Dibanding tingkat nasional, pertumbuhan di Sulawesi Tenggara relatif efektif dalam menurunkan tingkat pengangguran terbuka (TPT), namun relatif belum  efektif  terhadap pengurangan kemiskinan. Menggunakan data tahun 2007 sampai 2012,  setiap satu persen  pertumbuhan  di Sulawesi Tenggara diiringi oleh penurunan tingkat kemiskinan secara rata­rata ­1,5 poin persen. Angka ini masih jauh di bawah rata­rata EKP nasional yang sudah mencapai ­2,0 persen. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tenggara mampu   mengurangi   tingkat   pengangguran   relatif   lebih   besar   dibanding nasional.   Menggunakan   metode   yang   sama   dengan   cara   mengukur   EKP, setiap   satu   persen   pertumbuhan   di   Sulawesi   Tenggara   rata­rata   mampu dibarengi dengan penurunan TPT sebesar ­2,3 persen, sementara Elastisitas Pengangguran atas Pertumbuhan (EPP) nasional hanya ­1,5 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa kualitas pertumbuhan di Sulawesi Tenggara relatif

lebih pro­job namun kurang pro­poor dibanding pada tingkat nasional. 

Memelihara pertumbuhan pada sektor­sektor yang menjadi lapangan usaha   mayoritas   masyarakat   miskin   dapat   membantu   meningkatkan   EKP. Pada  periode  tahun  2007­2012,  EKP  tertinggi  di  Sulawesi Tenggara  terjadi

pada tahun 2011 (­2,2 persen), sementara nilai EKP terendah terjadi pada tahun   2009   (­0,6   persen).   Pada   tahun   2009   beberapa   sub­sektor   seperti perkebunan,   tanaman   pangan   dan   penggalian   mengalami   kontraksi. Karakteristik tenaga kerja mayoritas yang bekerja di sektor­sektor tersebut adalah tenaga kerja yang berasal dari perdesaan, berpendidikan rendah (SMP ke bawah), pekerja tidak tetap, serta dengan rata­rata upah/gaji bersih yang rendah. Oleh karena itu, kontraksi di sektor­sektor tersebut pada tahun 2009 berdampak   cukup   signifikan   terhadap   melambannya   EKP   di   Sulawesi Tenggara.   Sementara   tingginya   EKP   pada   tahun   2011   disumbang   oleh pulihnya sektor­sektor di atas hingga mencapai enam sampai dengan tujuh persen pertumbuhan. 

Orientasi   pada   peningkatan   EKP   lebih   cepat   mengurangi   tingkat kemiskinan   dibanding   orientasi   pertumbuhan.   Berdasarkan   perhitungan proyeksi tingkat  kemiskinan   untuk tahun   2017  (akhir  masa  pemerintahan periode   2013­2018)   yang   didasarkan   pada  berbagai   skenario   pertumbuhan ekonomi dan nilai EKP, terlihat bahwa strategi memelihara EKP tinggi (­2,2 persen) lebih memiliki dampak yang lebih besar terhadap penurunan tingkat kemiskinan   dibanding   strategi   mempertahankan   pertumbuhan   tinggi   (10,4 persen).   Pada   tahun   2017,   dengan   skenario   EKP   terbaik,   maka   tingkat kemiskinan dapat diturunkan dari 13,3 persen tahun 2012 hingga 5,4 persen tahun   2017   meskipun   dengan   skenario   rata­rata   pertumbuhan   ekonomi berada pada asumsi terendah (7,3 persen atau pertumbuhan terendah pada periode 2007­2012). Sementara itu, dengan skenario rata­rata pertumbuhan tertinggi   (10,4   persen),   penurunan   tingkat   kemiskinan   relatif   lebih   lamban meskipun   EKP   berada   pada   posisi   moderat   (rata­rata   periode   2007­2012). Kondisi ideal tentu terdapat pada skenario pertumbuhan tinggi (10,4 persen) dan EKP tinggi (­2,2).

3.1.2 Tantangan dan Prospek Perekonomian Daerah Tahun 2016

dan Tahun 2017 a. Tantangan Perekonomian 

Pemerintah   Provinsi   Sulawesi   Tenggara  dalam   penetapan   target ekonomi   makro   akan   tetap  optimistis,   dengan   mempertimbangkan   realitas

dan dinamika   ekonomi global yang terus bergerak, sehingga akan memberi pengaruh   positif   terhadap   ekonomi   regional   Sulawesi   Tenggara,   dengan prediksi  bahwa   kondisi   ekonomi   pada   tahun   2015   dan   2016   akan  tetap berkembang walaupun saat ini secara nasional dihadapkan pada melemahnya nilai   tukar   rupiah   terhadap   sejumlah   mata   uang   negara   lain.  Ke   depan

Pemerintah   juga   dihadapkan   pada   akan   berlakunya  Asean   Economy

Community  2015.   Dengan   akan   berlakunya   penghapusan   tarif,   maka Indonesia   akan   berhadapan   dengan   masalah   pada   bagaimana   industri­ industri yang ada tetap dapat tumbuh dan mampu bersaing dengan barang­ barang   impor   yang   memasuki   pasar  Indonesia,   khususnya   Sulawesi Tenggara.

Tantangan dan prospek perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara,

tentunya   akan   banyak   dipengaruhi   oleh   tantangan   dan   prospek   pada tataran global, nasional, maupun lingkungan regional  Sulawesi Tenggara sendiri.  Proyeksi   perekonomian   global   dan   nasional   Tahun   2015 berdasarkan sumber dari IMF, ditunjukan oleh grafik berikut ini

Gambar 3.14

Proyeksi Perekonomian Global dan Nasional

Sumber: IMF, 2014

Berdasarkan   gambar   tersebut,   kondisi   ekonomi   internasional   dan nasional   secara   umum   diperkirakan   akan   mengalami   peningkatan   yang cukup   signifikan.   Pertumbuhan   ekonomi   global   diprediksi   akan   meningkat

dari 3,3 persen pada 2014 menjadi 3,8 persen pada Tahun 2015. Begitupun dengan   Amerika   Serikat   yang   pertumbuhan   ekonominya   diperkiran   akan meningkat   dari   2,2   persen   menjadi   3,1   persen.   Perekonomian   Eropa   juga akan memiliki kondisi perekonomian yang lebih baik, LPE positif sebesar 0,8 persen pada Tahun 2014 diperkirakan akan meningkat menjadi 1,3 persen di Tahun   2015.   Jepang   diperkirakan   akan   tetap   tumbuh   stabil   di   angka   0,8 persen,   walaupun   dalam   dua   triwulan   terakhir   pertumbuhan   ekonominya mengalami kontraksi sehingga target tersebut masih dalam skenario pesimis.

Di   negara   berkembang   pertumbuhan   PDB   secara   keseluruhan diperkirakan akan meningkat dari 4,4 persen pada Tahun 2014 menjadi 5 persen pada Tahun 2015, sedangkan ASEAN diproyeksikan akan mengalami peningkatan dari 4,7 persen menjadi 5,4 persen. Kondisi tersebut jelas sangat menguntungkan   bagi   daerah­daerah   yang   ada   di   Indonesia   karena diharapkan dapat memicu peningkatan ekspor dan investasi di berbai sektor.

Membaiknya kondisi perekonomian secara global, diharapkan mampu mendongkrak  kondisi   perekonomian   Indonesia   menuju   5,8%   pada   Tahun 2015 (ADB, 2014). Angka tersebut mendukung target pertumbuhan ekonomi yang tertuang dalam RAPBN 2015 yang berada dikisaran 5,4% ­ 5,8%. Angka tersebut akan memberikan dampak positif terhadap perkiraan pertumbuhan ekonomi  Sulawesi   Tenggara  yang   akan   berada   diatas  6,8%   mengingat Sulawesi   Tenggara  selalu   berada   di   atas   nasional   dalam   hal   pencapaian pertumbuhan ekonomi. Proyeksi pertumbuhan ekonomi ini diharapkan dapat memberikan   stimulus   positif   terhadap   indikator   makro  ekonomi   dan pembangunan   secara   keseluruhan   mengingat  Sulawesi   Tenggara  harus

berupaya   keras   untuk   dapat   memperbaiki  Quality   of   performance  (kinerja)

yang  belum   optimal.  Hal   ini   ditunjukan   dengan   walaupun   pertumbuhan ekonomi relatif tinggi namun masih disertai dengan rendahnya kualitas dari indikator   pembangunan   yang   ada   seperti   tingginya   kemiskinan   dan ketimpangan pendapatan (Gini Rasio). 

Sehubungan   dengan   hal   itu   untuk   tetap   mempertahankan   kondisi perekonomian yang terus bertumbuh, serta meningkatkan daya saing daerah maka pemerintah    dihadapkan  pada  tantangan  untuk  terus  meningkatkan dan   menyiapkan  infrastruktur  wilayah    melalui   ketersediaan   infrastruktur

jalan, jembatan, pelabuhan, bandara dan listrik dalam rangka untuk menarik investasi   baik   Penanaman   Modal   Asing  maupun   Penanaman   Modal   dalam Negeri.   Sulawesi   Tenggara   juga   dihadapkan   pada   tantangan   untuk   tetap menjaga atau menciptakan iklim yang kondunsif bagi para investor yang ada dan berminat melakukan investasi. 

b. Prospek Perekonomian

Prospek  ekonomi Sulawesi Tenggara  berdasarkan beberapa indikator pendukung, hasil survei dan liaison (Beberapa Lembaga Pemerintah: BPS, BI), pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara pada triwulan I 2015 diprakirakan berada pada kisaran 7,2% ­ 7,6% (yoy)   Peningkatan tersebut diperkirakan didorong   oleh   peningkatan   kinerja   sektor   pertambangan,   sektor   industri pengolahan   dan   sektor   konstruksi.   Hal   tersebut   juga   sejalan   dengan perkiraan membaiknya kondisi perekonomian global, khususnya pada negara tujuan ekspor komoditas utama Sulawesi Tenggara.   Sehubungan  dengan hal itu maka perekonomian Sulawesi Tengara diperkirakan tetap akan mengalami peningkatan pada tahun 2015 dan 2016, karena pertimbangan­pertimbangan sebagai berikut : 1. Sarana dan prasarana infrastruktur dasar seperti pelabuhan, listrik

dan   kualitas   jalan   yang   terus   semakin   baik,   yang   dapat   membuka aksesibilitas  wilayah   dalam   upaya   akselerasi   percepatan  pembangunan ekonomi daerah. 

2. Kebijakan pengembangan klaster prioritas dalam pemanfaatan potensi

sumberdaya  alam  terutama sektor pertambangan  dan  pertanian  dalam arti   luas   untuk   meningkatkan   nilai   tambah   yang   dapat   mempercepat pembangunan ekonomi daerah. 

3. Kebijakan   pengembangan   daya   saing   beberapa   komoditas   unggulan

daerah   yang   semakin   baik   dengan   pembagian   beberapa   komoditi berdasarkan   klaster,   seperti   pusat   industri   pertambangan   nikel   di Konawe   Utara,   Kolaka   Utara   dan   Bombana,   Pusat   Industri   Kakao   di Ladongi   Kolaka,   pusat   pengembangan   perikanan   terpadu   di   Wawonii Konawe Kepulauan, pusat pengembangan Industri Semen di Muna dan Pusat Pengembangan Wisata Wakatobi.

3.1.3 Target   Indikator   Ekonomi   Makro   Provinsi   Sulawesi

Dalam dokumen BAB 3 RKPD SULTRA 2016 (Halaman 23-34)

Dokumen terkait