Dalam beberapa tahun terakhir inflasi Sulawesi Tenggara cenderung berada di atas ratarata inflasi nasional. Hal ini tentu saja berdampak negatif pada jalannya roda perekonomian. Laju inflasi di Sulawesi Tenggara pada triwulan IV 2014, tercatat sebesar 7,39 persen (yoy). Kenaikan laju inflasi Sulawesi Tenggara sejalan dengan meningkatnya laju inflasi yang terjadi baik di Kota Kendari maupun di Kota Baubau. Peningkatan tekanan inflasi
tersebut terutama bersumber dari komponen administered prices dan volatile
food. Meskipun demikian, pemerintah daerah tetap berupaya mengendalikan
inflasi melalui TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) yang sudah terbentuk. Laju inflasi di Sulawesi Tenggara yang tercermin dari Indeks Harga Konsumen di Kota Kendari pada beberapa tahun terakhir ini selalu lebih tinggi dari ratarata inflasi nasional. Hal ini tentu mempengaruhi kualitas pertumbuhan yang telah dicapai. Laju inflasi tahun 20102014 dapat terlihat pada Gambar berikut : Gambar 3.7. Perkembangan Inflasi Tahunan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 20102014 Sumber: BPS Prov. Sultra, 2014 Gambar tersebut menunjukkan laju inflasi dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu 20102014 mengalami trend meningkat. Secara umum inflasi cukup terkendali pada tahun 2010 mencapai 3,87 persen dan pada
tahun 2011 naik mencapai 5,09 persen, dan tahun 2014 kembali naik hingga mencapai 7,39 persen.
3.1.1.8 Target Indikator Ekonomi Makro Provinsi Sulawesi
Tenggara Tahun 2016 dan Tahun 2017
Perkembangan pembangunan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2014, yang menunjukkan perkembangan yang cukup positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, hal ini ditandai dengan capaiancapaian indikator makro ekonomi yang semakin baik dari tahun ke tahun.
Sehubungan dengan hal tersebut, salah satu tantangan pembangunan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2016 adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkualitas minimal mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan yang mampu meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat dan mengurangi pengangguran serta mengurangi tingkat kemiskinan sehingga dapat meningkatkan daya saing perekonomian Sulawesi Tenggara sebagaimana Visi Pembangunan Daerah 20132018.
Meningkatkan pertumbuhan di atas ratarata enam persen hingga mencapai delapan merupakan tantangan tersendiri bagi perekonomian Sulawesi Tenggara. Mengingat beberapa sector perekonomian mengalami pelambatan kinerja, khususnya sector pemicu seperti bidang pertambangan. Dalam bidang ekonomi, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara perlu berupaya untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas delapan persen yang sudah dicapai pada tahun 2010 dan di atas 10 persen tahun 2012. Namun pada tahun 2013 dan tahun 2014 pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan hingga mencapai 6,24 persen. Hal ini penting dilakukan untuk dapat mengejar ketertinggalan di Bidang ekonomi yang saat ini masih relatif kecil dibanding ratarata provinsi secara nasional.
Sebagaimana rekomendasi World Bank dalam laporan Public Expenditure
Analysis tahun 2014 untuk memelihara stabilitas pertumbuhan di atas rata rata delapan persen, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat melakukan beberapa hal sebagai berikut :
a. Revitalisasi Pertumbuhan Sektor Pertanian
Peran sektor pertanian semakin menyusut disertai dengan ratarata pertumbuhan yang semakin lamban. Peran sektor pertanian semakin menurun pada periode 20082013, yakni dari semula di atas 36 persen menjadi tinggal 29 persen tahun 2014, atau menurun hampir sepuluh persen. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh pertumbuhan pesat sektor industri melainkan juga karena semakin lambatnya ratarata pertumbuhan sektor pertanian, yakni dari 6,3 persen per tahun (periode 20012006) menjadi hanya 3,9 persen per tahun (periode 20072014). Pertumbuhan tinggi di Sulawesi Tenggara dapat dipertahankan dengan salah satunya dengan merevitalisasi pertumbuhan sektor pertanian setidaknya ke tingkat pertumbuhan ratarata yang pernah dicapai pada periode 20012006.
b. Menjaga Keberlanjutan Pertumbuhan Tinggi Sektor Industri
Pada Tahun 2014 meskipun perekonomian Sulawesi Tenggara mengalami perlambatan, namun pada triwulan IV 2014 sektor industri pengolahan tercatat tumbuh sebesar 18,66% (yoy), tumbuh terakselerasi dibandingkan laju pertumbuhan di periode sebelumnya sebesar 13,88% (yoy). Dengan demikian, untuk keseluruhan tahun 2014 sektor industri olahan tercatat tumbuh sebesar 7,74% (yoy), meningkat dibandingkan laju pertumbuhan di tahun 2013 sebesar 4,22% (yoy). Peningkatan kinerja sektor industri pengolahan di Sulawesi Tenggara didorong oleh meningkatnya kapasitas produksi feronikel di salah satu perusahaan industri pengolahan terbesar di Sulawesi Tenggara, yang pada periode laporan tumbuh positif sebesar 29,82% dibandingkan posisi yang sama di tahun sebelumnya serta meningkatnya kinerja ekspor feronikel tercatat tumbuh sebesar 16,49% (yoy). (Laporan BI 2015)
c. Diversifikasi Ekspor
Komponen ekspor luar negeri Sulawesi Tenggara pada triwulan IV 2014 tercatat kembali terkontraksi sebesar 74,95% (yoy). Menurunnya ekspor Sulawesi Tenggara pada periode laporan masih disebabkan sebagai dampak atas pemberlakuan UU Minerba No. 4 Tahun 2009 terkait pelarangan
aktivitas ekspor hasil tambang berupa mineral mentah. Komoditas ekspor Sulawesi Tenggara yang didominasi oleh komoditas bahan tambang mentah yang mayoritas adalah ore nikel terkena dampak secara langsung atas diberlakukannya UU Minerba tersebut. Aktivitas ekspor tambang Sulawesi Tenggara berhenti secara total memasuki bulan Februari tahun 2014 terutama berasal dari perusahaan yang tidak memiliki smelter.
Penurunan komponen ekspor tercermin dari menurunnya volume ekspor di Sulawesi Tenggara pada triwulan IV 2014 sebesar 99,72% (yoy). Sejalan dengan penjelasan sebelumnya, penurunan kinerja ekspor juga terindikasi dari penurunan ekspor luar negeri yang disebabkan oleh penurunan ekspor hasil tambang sebesar 99,90% (yoy), sementara ekspor komoditas non tambang justru tercatat tumbuh positif sebesar 22,33% (yoy).
Meskipun demikian, secara triwulanan ekspor Sulawesi Tenggara tercatat mulai berada pada tren yang membaik dan dapat tumbuh positif, yakni sebesar 0,38% (qtq) pada triwulan IV 2014. Mulai tumbuhnya ekspor tersebut didorong oleh meningkatnya permintaan ekspor aspal Buton.
d. Meningkatkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Produktivitas Pekerja
Pada triwulan IV 2014, penyerapan tenaga kerja di Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan. Hal ini tercermin dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) dimana indeks penyerapan tenaga kerja di triwulan IV 2014 mencapai 1,79%, meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yang sebesar 1,29% (Gambar 3.8). Membaiknya kondisi ketenagakerjaan juga terlihat dari data BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, baik dari sisi jumlah orang yang bekerja maupun dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Selama setahun, dari Agustus 2013 sampai dengan Agustus 2014, jumlah penduduk yang bekerja bertambah sebanyak 40.188 orang atau tumbuh sebesar 4,03%,yoy (Gambar 3.9 ). Dengan demikian, TPAK di Agustus 2014 mencapai 66,87%, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 yang hanya mencapai 65,91%.
Gambar 3.8 Indeks Realisasi Penyerapan Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 20112014 Sumber: Bank Indonesia Prov. Sultra, SKDU Gambar 3.9 Pertumbuhan Penduduk Bekerja Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 20102014 Sumber: BPS Prov. Sultra (Diolah)
Dilihat secara sektoral, sektor pertanian, sektor jasa dan sektor perdagangan dan rumah makan merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di Sulawesi Tenggara dengan pangsa masingmasing sebesar 42,62%, 18,89% dan 18,65% (Gambar 3.10). Meskipun demikian, peningkatan terbesar terjadi pada sektor konstruksi dengan pertumbuhan tenaga kerja sebesar 12,81% (yoy). Hal tersebut terjadi seiring dengan meningkatnya kegiatan investasi baik dalam bidang infrastruktur maupun pembangunan smelter nikel. Sebaliknya, penurunan terbesar terjadi di sektor pertambangan sebesar 13,2% (yoy) seiring dengan pembatasan ekspor mineral mentah sesuai dengan UU Minerba tahun 2009 (Gambar 3.11). Gambar 3.10 Pangsa Tenaga Kerja Per Sektor (Per Agustus 2014) Sumber: BPS Prov. Sultra (Diolah) Gambar 3.11 Pertumbuhan Tenaga Kerja Sektoral (Per Agustus 2014) Sumber: BPS Prov. Sultra (Diolah)
Gambar 3.12 Pertumbuhan Penduduk Menganggur) Sumber: BPS Prov. Sultra (Diolah) Gambar 3.13 Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Sumber: BI Prov. Sultra, Survey Konsumen Meskipun terjadi peningkatan jumlah penduduk yang bekerja, namun jumlah penduduk yang menganggur juga meningkat. Pada Agustus 2014, jumlah penduduk yang menganggur meningkat sebanyak 2.374 orang, atau sebesar 5,19%,yoy (Gambar 3.12). Karena peningkatan penduduk yang menganggur lebih besar daripada peningkatan penduduk yang bekerja maka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi Tenggara juga meningkat dari 4,38% (Agustus 2013) menjadi 4,43% (Agustus 2014). Bertambahnya penduduk yang menganggur juga tercermin dari jumlah lapangan pekerjaan yang berkurang. Dari hasil Survei Konsumen, masyarakat merasakan bahwa terjadi penurunan ketersediaan lapangan pekerjaan di triwulan IV 2014 (Gambar 3.13).
Dengan jumlah penduduk bekerja di Sulawesi Tenggara terkonsentrasi di sektor pertanian, maka pekerja yang berada sektor informal juga mendominasi struktur ketenagakerjaan di provinsi ini. Pekerja informal dalam perekonomian Sulawesi Tenggara mencapai sebesar 67,86% atau 703.948 orang lebih tinggi dibandingkan Agustus 2013 sebesar 67,44% atau 672.498 orang. Meskipun demikian, dari sisi kualitas input tenaga kerja mengalami peningkatan. Hal tersebut tercemin dengan pangsa pekerja dengan pendidikan tinggi (Diploma dan Universitas) mencapai 13,27% pada Agustus 2014, lebih tinggi daripada tahun sebelumnya yang baru mencapai 13,05% dari keseluruhan penduduk yang bekerja. Selain itu, pekerja yang memiliki
pendidikan dasar (SDSMP) juga semakin berkurang dari 61,23% di Agustus 2013 menjadi 60,85% di Agustus 2014.
e. Mendorong Pertumbuhan Inklusif
Sulawesi Tenggara telah mencapai prestasi pertumbuhan yang cukup mengagumkan, namun pertumbuhan tersebut masih diwarnai oleh semakin meningkatnya angka ketimpangan. Indeks Gini yang merupakan indikator untuk mengukur ketimpangan pendapatan masyarakat telah meningkat di Sulawesi Tenggara dari 0,35 (tahun 2007) menjadi 0,4 (tahun 2012). Kondisi ini dipertegas dengan temuan lain tentang tidak meratanya proses pertumbuhan antar golongan pendapatan di hampir seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara. Dengan menggunakan data Susenas tahun 2009 dan 2011, hampir di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara terlihat bahwa 40 persen rumah tangga termiskin memiliki pertumbuhan pendapatan yang lebih kecil dibanding pertumbuhan pendapatan ratarata rumah tangga di daerah tersebut, kecuali Kabupaten Konawe Utara.
Dibanding tingkat nasional, pertumbuhan di Sulawesi Tenggara relatif efektif dalam menurunkan tingkat pengangguran terbuka (TPT), namun relatif belum efektif terhadap pengurangan kemiskinan. Menggunakan data tahun 2007 sampai 2012, setiap satu persen pertumbuhan di Sulawesi Tenggara diiringi oleh penurunan tingkat kemiskinan secara ratarata 1,5 poin persen. Angka ini masih jauh di bawah ratarata EKP nasional yang sudah mencapai 2,0 persen. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tenggara mampu mengurangi tingkat pengangguran relatif lebih besar dibanding nasional. Menggunakan metode yang sama dengan cara mengukur EKP, setiap satu persen pertumbuhan di Sulawesi Tenggara ratarata mampu dibarengi dengan penurunan TPT sebesar 2,3 persen, sementara Elastisitas Pengangguran atas Pertumbuhan (EPP) nasional hanya 1,5 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa kualitas pertumbuhan di Sulawesi Tenggara relatif
lebih projob namun kurang propoor dibanding pada tingkat nasional.
Memelihara pertumbuhan pada sektorsektor yang menjadi lapangan usaha mayoritas masyarakat miskin dapat membantu meningkatkan EKP. Pada periode tahun 20072012, EKP tertinggi di Sulawesi Tenggara terjadi
pada tahun 2011 (2,2 persen), sementara nilai EKP terendah terjadi pada tahun 2009 (0,6 persen). Pada tahun 2009 beberapa subsektor seperti perkebunan, tanaman pangan dan penggalian mengalami kontraksi. Karakteristik tenaga kerja mayoritas yang bekerja di sektorsektor tersebut adalah tenaga kerja yang berasal dari perdesaan, berpendidikan rendah (SMP ke bawah), pekerja tidak tetap, serta dengan ratarata upah/gaji bersih yang rendah. Oleh karena itu, kontraksi di sektorsektor tersebut pada tahun 2009 berdampak cukup signifikan terhadap melambannya EKP di Sulawesi Tenggara. Sementara tingginya EKP pada tahun 2011 disumbang oleh pulihnya sektorsektor di atas hingga mencapai enam sampai dengan tujuh persen pertumbuhan.
Orientasi pada peningkatan EKP lebih cepat mengurangi tingkat kemiskinan dibanding orientasi pertumbuhan. Berdasarkan perhitungan proyeksi tingkat kemiskinan untuk tahun 2017 (akhir masa pemerintahan periode 20132018) yang didasarkan pada berbagai skenario pertumbuhan ekonomi dan nilai EKP, terlihat bahwa strategi memelihara EKP tinggi (2,2 persen) lebih memiliki dampak yang lebih besar terhadap penurunan tingkat kemiskinan dibanding strategi mempertahankan pertumbuhan tinggi (10,4 persen). Pada tahun 2017, dengan skenario EKP terbaik, maka tingkat kemiskinan dapat diturunkan dari 13,3 persen tahun 2012 hingga 5,4 persen tahun 2017 meskipun dengan skenario ratarata pertumbuhan ekonomi berada pada asumsi terendah (7,3 persen atau pertumbuhan terendah pada periode 20072012). Sementara itu, dengan skenario ratarata pertumbuhan tertinggi (10,4 persen), penurunan tingkat kemiskinan relatif lebih lamban meskipun EKP berada pada posisi moderat (ratarata periode 20072012). Kondisi ideal tentu terdapat pada skenario pertumbuhan tinggi (10,4 persen) dan EKP tinggi (2,2).
3.1.2 Tantangan dan Prospek Perekonomian Daerah Tahun 2016
dan Tahun 2017 a. Tantangan Perekonomian
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam penetapan target ekonomi makro akan tetap optimistis, dengan mempertimbangkan realitas
dan dinamika ekonomi global yang terus bergerak, sehingga akan memberi pengaruh positif terhadap ekonomi regional Sulawesi Tenggara, dengan prediksi bahwa kondisi ekonomi pada tahun 2015 dan 2016 akan tetap berkembang walaupun saat ini secara nasional dihadapkan pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap sejumlah mata uang negara lain. Ke depan
Pemerintah juga dihadapkan pada akan berlakunya Asean Economy
Community 2015. Dengan akan berlakunya penghapusan tarif, maka Indonesia akan berhadapan dengan masalah pada bagaimana industri industri yang ada tetap dapat tumbuh dan mampu bersaing dengan barang barang impor yang memasuki pasar Indonesia, khususnya Sulawesi Tenggara.
Tantangan dan prospek perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara,
tentunya akan banyak dipengaruhi oleh tantangan dan prospek pada tataran global, nasional, maupun lingkungan regional Sulawesi Tenggara sendiri. Proyeksi perekonomian global dan nasional Tahun 2015 berdasarkan sumber dari IMF, ditunjukan oleh grafik berikut ini
Gambar 3.14
Proyeksi Perekonomian Global dan Nasional
Sumber: IMF, 2014
Berdasarkan gambar tersebut, kondisi ekonomi internasional dan nasional secara umum diperkirakan akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pertumbuhan ekonomi global diprediksi akan meningkat
dari 3,3 persen pada 2014 menjadi 3,8 persen pada Tahun 2015. Begitupun dengan Amerika Serikat yang pertumbuhan ekonominya diperkiran akan meningkat dari 2,2 persen menjadi 3,1 persen. Perekonomian Eropa juga akan memiliki kondisi perekonomian yang lebih baik, LPE positif sebesar 0,8 persen pada Tahun 2014 diperkirakan akan meningkat menjadi 1,3 persen di Tahun 2015. Jepang diperkirakan akan tetap tumbuh stabil di angka 0,8 persen, walaupun dalam dua triwulan terakhir pertumbuhan ekonominya mengalami kontraksi sehingga target tersebut masih dalam skenario pesimis.
Di negara berkembang pertumbuhan PDB secara keseluruhan diperkirakan akan meningkat dari 4,4 persen pada Tahun 2014 menjadi 5 persen pada Tahun 2015, sedangkan ASEAN diproyeksikan akan mengalami peningkatan dari 4,7 persen menjadi 5,4 persen. Kondisi tersebut jelas sangat menguntungkan bagi daerahdaerah yang ada di Indonesia karena diharapkan dapat memicu peningkatan ekspor dan investasi di berbai sektor.
Membaiknya kondisi perekonomian secara global, diharapkan mampu mendongkrak kondisi perekonomian Indonesia menuju 5,8% pada Tahun 2015 (ADB, 2014). Angka tersebut mendukung target pertumbuhan ekonomi yang tertuang dalam RAPBN 2015 yang berada dikisaran 5,4% 5,8%. Angka tersebut akan memberikan dampak positif terhadap perkiraan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara yang akan berada diatas 6,8% mengingat Sulawesi Tenggara selalu berada di atas nasional dalam hal pencapaian pertumbuhan ekonomi. Proyeksi pertumbuhan ekonomi ini diharapkan dapat memberikan stimulus positif terhadap indikator makro ekonomi dan pembangunan secara keseluruhan mengingat Sulawesi Tenggara harus
berupaya keras untuk dapat memperbaiki Quality of performance (kinerja)
yang belum optimal. Hal ini ditunjukan dengan walaupun pertumbuhan ekonomi relatif tinggi namun masih disertai dengan rendahnya kualitas dari indikator pembangunan yang ada seperti tingginya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan (Gini Rasio).
Sehubungan dengan hal itu untuk tetap mempertahankan kondisi perekonomian yang terus bertumbuh, serta meningkatkan daya saing daerah maka pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk terus meningkatkan dan menyiapkan infrastruktur wilayah melalui ketersediaan infrastruktur
jalan, jembatan, pelabuhan, bandara dan listrik dalam rangka untuk menarik investasi baik Penanaman Modal Asing maupun Penanaman Modal dalam Negeri. Sulawesi Tenggara juga dihadapkan pada tantangan untuk tetap menjaga atau menciptakan iklim yang kondunsif bagi para investor yang ada dan berminat melakukan investasi.
b. Prospek Perekonomian
Prospek ekonomi Sulawesi Tenggara berdasarkan beberapa indikator pendukung, hasil survei dan liaison (Beberapa Lembaga Pemerintah: BPS, BI), pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara pada triwulan I 2015 diprakirakan berada pada kisaran 7,2% 7,6% (yoy) Peningkatan tersebut diperkirakan didorong oleh peningkatan kinerja sektor pertambangan, sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Hal tersebut juga sejalan dengan perkiraan membaiknya kondisi perekonomian global, khususnya pada negara tujuan ekspor komoditas utama Sulawesi Tenggara. Sehubungan dengan hal itu maka perekonomian Sulawesi Tengara diperkirakan tetap akan mengalami peningkatan pada tahun 2015 dan 2016, karena pertimbanganpertimbangan sebagai berikut : 1. Sarana dan prasarana infrastruktur dasar seperti pelabuhan, listrik
dan kualitas jalan yang terus semakin baik, yang dapat membuka aksesibilitas wilayah dalam upaya akselerasi percepatan pembangunan ekonomi daerah.
2. Kebijakan pengembangan klaster prioritas dalam pemanfaatan potensi
sumberdaya alam terutama sektor pertambangan dan pertanian dalam arti luas untuk meningkatkan nilai tambah yang dapat mempercepat pembangunan ekonomi daerah.
3. Kebijakan pengembangan daya saing beberapa komoditas unggulan
daerah yang semakin baik dengan pembagian beberapa komoditi berdasarkan klaster, seperti pusat industri pertambangan nikel di Konawe Utara, Kolaka Utara dan Bombana, Pusat Industri Kakao di Ladongi Kolaka, pusat pengembangan perikanan terpadu di Wawonii Konawe Kepulauan, pusat pengembangan Industri Semen di Muna dan Pusat Pengembangan Wisata Wakatobi.
3.1.3 Target Indikator Ekonomi Makro Provinsi Sulawesi