4.2 Hasil Penelitian Utama
4.2.2 Laju Pertumbuhan Spesifik
Berdasarkan Tabel 4. dapat diketahui bahwa pola pertumbuhan
Nannochloropsis sp. pada kontrol tanpa aerasi, perlakuan menggunakan aerasi dan perlakuan menggunakan karbondioksida memiliki daya adaptasi yang berbeda, hal ini
Tabel 4. Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik (µ) Nannochloropsis sp.
Keterangan:
P1 = kultivasi menggunakan aerasi
P2 = kultivasi dengan penambahan karbondioksida
Fase lag dari Nannochloropsis sp. pada kontrol diduga terjadi kurang dari 24
jam, hal ini dapat dilihat dari kelimpahan pada awal kultivasi sebesar 3,40 x 106
sel/ml menjadi 3,50 x 106 sel/ml pada hari ke-1. Fase eksponensial diduga terjadi
dalam waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-5, fase ini menunjukkan pertumbuhan
pada Nannochloropsis sp. yang tinggi hingga mencapai puncaknya pada hari ke-5,
pada fase ini mikroalga sudah dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi kultivasi
yang diberikan. Pada periode ini intensitas cahaya tidak terbatas dan perubahan
konsentrasi nutrien disebabkan oleh penyerapan mikroalga (Becker, 1994). Fase
stasioner diduga terjadi dari hari ke-5 hingga hari ke-6, terlihat dari nilai kelimpahan
sel dan laju pertumbuhan yang menurun dengan nilai µ sebesar -0,01 dan kelimpahan
sel sebesar 4,22 x106 sel/ml pada hari ke-6. Fase deklinasi terjadi pada hari ke-6
hingga hari ke-9 dimana nilai µ semakin menurun dengan nilai µ sebesar -0,17 pada
Hari ke- Kontrol P1 P2
(106 sel/ml) µ (106 sel/ml) µ (106 sel/ml) µ
0 3,40 -- 3,42 -- 3,43 -- 1 3,50 0,03 3,78 0,10 4,00 0,16 2 3,58 0,02 4,18 0,10 4,56 0,13 3 3,71 0,04 4,34 0,04 4,86 0,06 4 3,96 0,06 4,62 0,06 5,13 0,05 5 4,25 0,07 4,95 0,07 5,41 0,05 6 4,22 -0,01 5,40 0,09 5,93 0,09 7 4,09 -0,03 4,95 -0,09 5,04 -0,16 8 3,13 -0,27 4,62 -0,07 4,59 -0,09 9 2,64 -0,17 3,67 -0,23 3,67 -0,23
hari ke-9. Hal ini juga dapat dilihat dari kelimpahan sel mikroalga yang sangat kecil
yaitu sebesar 2,64 x106 sel/ml.
Fase deklinasi dapat terjadi karena nutrisi kultur telah habis dan terjadi
akumulasi senyawa NH4+ dalam konsentrasi tinggi dan adanya produk ekstraseluler
dari mikroalga yang meracuni diri sendiri sehingga dapat meningkatkan mortalitas
(Fogg, 1965 dalam Suantika, 2009).
Gambar 7. Kurva pertumbuhan Nannochloropsis sp. (Penelitian Utama)
Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada P1 diawal kultivasi hingga hari ke-1
menunjukkan peningkatan yang drastis dari 3,42 x106 sel/ml menjadi 3,78 x106
sel/ml. Diduga dalam waktu kurang dari 24 jam fase lag terjadi, lalu fase
eksponensial terjadi dari hari ke-1 hingga hari ke-6 yaitu pada saat puncak
kelimpahan terjadi. Fase stasioner dimulai ketika terjadi keterbatasan mineral dan
akumulasi toksik, sehingga dapat menurunkan laju pertumbuhan dan kelimpahan sel
menurun (Becker, 1994). Fase stastioner pada P2 diduga terjadi dalam waktu kurang
terjadi penurunan kelimpahan sel diduga terjadi dari hari ke-7 hingga hari ke-9 dilihat
dari nilai µ yang semakin kecil mencapai nilai -0,23 pada hari ke-9.
Turunnya laju pertumbuhan Nannochloropsis sp. dapat disebabkan oleh
berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak
dimanfaatkan selama fase eksponensial. Selain itu adanya toksik yang dihasilkan oleh
spesies mikroalga itu sendiri, sebagai hasil samping dari metabolisme dapat meracuni
mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya
jumlah sel sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya
(Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2001).
Fase lag pada P2 diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam, hal ini dapat
dilihat dari peningkatan kelimpahan sel yang terjadi pada hari ke-1 dari 3,43 x 106
sel/ml menjadi 4,00 x 106 sel/ml. Fase eksponensial terjadi dari hari ke-1 hingga hari
ke-6, terlihat dari Kelimpahan sel yang terus meningkat hingga mencapai puncaknya
pada hari ke-6 yaitu sebesar 5,93 x 106 sel/ml. Fase stasioner diduga terjadi dalam
waktu kurang dari 24 jam, hal ini dikarenakan pada hari ke-7 sel mengalami
penurunan yang cukup signifikan dengan nilai µ sebesar -0,16, lalu fase deklinasi
terjadi hingga hari ke-9 dimana kelimpahan sel mulai menurun hingga mencapai
kelimpahan sebesar 3,67 x 106 sel/ml dan nilai µ yang juga menurun hingga mencapai
nilai -0,23. Fase deklinasi terjadi ketika sel mikroalga mulai mati, ditandai dengan
menurunnya kelimpahan sel. Kondisi lingkungan tidak lagi menguntungkan, umur
kultivasi yang terlalu lama, terjadinya keterbatasan cahaya dan nutrien atau dapat
Kisaran suhu kultivasi selama kultivasi mikroalga berlangsung pada ketiga
perlakuan berkisar antara 26-27 °C (Gambar 10). Menurut Rocha et al. (2003)
Nannochloropsis sp. memiliki rentang suhu yang cukup besar untuk dapat tumbuh, yaitu 25 ± 5 °C, sehingga dengan rentang suhu tersebut Nannochloropsis sp. masih
dapat bertumbuh dengan baik dan tidak menjadi faktor pembatas pertumbuhan.
Menurut Hu dan Gao (2006) Nannochloropsis sp. masih dapat tumbuh dengan baik
pada kisaran suhu 14-30 °C.
Gambar 8. Perubahan rata-rata suhu kultivasi Nannochloropsis sp.
Secara umum, kisaran salinitas kultivasi mukroalga pada setiap perlakuan
menujukkan karakteristik yang hampir sama. Salinitas kultivasi masing-masing
perlakuan semakin meningkat setiap harinya selama kultivasi, perubahan rata-rata
salinitas pada kultur Nannochloropsis sp.selama penelitian, besarnya salinitas
berkisar antara 30-34 ‰. Nannochloropsis sp. dapat berkembang dengan baik pada
salinitas 31 ‰ dan dapat terus menerus berkembang pada kisaran salinitas 22-49 (Hu
Gambar 9. Perubahan rata-rata salinitas kultivasi Nannochloropsis sp.
Sidik ragam yang dilakukan pada penelitian menunjukkan bahwa pemberian
karbondioksida pada kultivasi mikroalga memberikan pengaruh yang berbeda nyata
pada pertumbuhan mikroalga. Dan uji lanjut yang dilakukan memperlihatkan bahwa
tiap kultivasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada pertumbuhan
mikroalga. Perhitungan sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 6.
4.2.3 Alkalinitas
Alkalinitas merupakan jumlah basa yang terkandung dalam sebuah perairan,
yang umumnya ditentukan oleh CO32- dan HCO3 dengan satuan CaCO3 (Dongoran, ,
2003). Menurut Effendi (2003) alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk
menetralkan asam atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation
hidrogen, serta sebagai kapasitas penyangga terhadap perubahan pH perairan.
Menurut Chiu et al. (2008), Nannochloropsis sp. merupakan salah satu
karena spesies ini mampu beradaptasi dengan cepat sehingga pertumbuhannya juga
sangat signifikan bila dibandingkan dengan kultur hanya menggunakan aerasi biasa.
Pada penelitian ini perhitungan alkalinitas hanya dilakukan pada kultivasi dengan
penambahan karbondioksida, karena pada kultivasi tanpa aerasi dan kultivasi dengan
aerasi, pH yang terukur tidak dapat masuk dalam kisaran rumus yang digunakan.
volume gas karbondioksida yang digunakan adalah 15 % CO2 (v/v), dengan laju alir
rata-rata sebesar 0.5 cc/min atau 0.5 ml/min selama 5 jam. Perubahan nilai pH dan
nilai alkalinitas disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Perubahan Nilai pH dan Nilai Alkalinitas
Hari ke- pH sebelum ditambahkan CO2 pH sesudah ditambahkan CO2 Alkalinitas (mg/L CaCO3) 0 7,57 5,38 70,00 1 7,81 5,53 38,30 2 7,73 5,38 46,03 3 7,89 5,34 29,88 4 7,56 5,38 70,71 5 7,50 5,25 71,94 6 7,50 5,46 72,03 7 7,41 5,37 99,15 8 7,76 5,68 39,18 9 7,65 5,86 52,73
Terlihat pada Tabel 5 bahwa kisaran nilai alkalinitas pada penelitian ini tidak
hanya dipengaruhi oleh pH setelah ditambahkan dengan karbondioksida, tetapi juga
dipengaruhi oleh pH sebelum ditambahkan karbondioksida. Selama kultur kisaran
nilai alkalinitas adalah antara 29,88-99,15 mg/L CaCO3, nilai tersebut masih cukup
baik bagi kehidupan organisme perairan dengan kisaran 30-500 mg/L CaCO3
Nilai alkalinitas pada awal kultivasi adalah 70,00 mg/L CaCO3, diduga pada
awal kultivasi mikroalga air media bersifat sadah atau air memiliki kadar mineral
yang tinggi. Pada hari ke-1 hingga hari ke 3 terjadi penurunan nilai alkalinitas,
diduga air media memiliki kadar mineral yang rendah. Berarti pada hari ke-1 hingga
hari ke-3 mikroalga memanfaatkan karbondioksida dan mineral-mineral. Hal ini
dapat dilihat dari kelimpahan sel hari ke-1 hingga hari ke-3 yang mengalami
peningkatan dan berada pada fase eksponensial. Pada hari ke-4 hingga hari ke-7 nilai
alkalinitas mengalami peningkatan, hal ini mungkin disebabkan karena kelimpahan
sel mikroalga sedang mengalami peningkatan, sel mikroalga tersebut selain
melakukan fotosintesis juga melakukan respirasi yang mengeluarkan karbondioksida
sehingga jumlah karbondioksida di air media menjadi jenuh dan mikroalga kurang
memanfaatkan karbondioksida. Dan pada hari ke 8 dan hari ke-9 nilai alkalinitas
mengalami penurunan, hal ini mungkin terjadi karena kelimpahan sel mikroalga
mengalami penurunan sehingga karbondioksida yang dihasilkan oleh mikroalga
menjadi sedikit sehingga mikroalga memanfaatkan karbondioksida yang dimasukkan.
Menurut Effendi (2003) perairan dengan nilai alkalinitas > 40 mg/L CaCO3 disebut
perairan sadah (hard water), sedangkan perairan dengan nilai alkalinitas < 40 mg/L
CaCO3 disebut perairan lunak (soft water).
Semakin tinggi nilai alkalinitas maka perairan tersebut cenderung bersifat
alkali. Menurut Zooneveld et al (1991) dalam Anggraeni (2002), nilai alkalinitas
yang tinggi dan cenderung bersifat alkali lebih produktif daripada perairan dengan
nilai alkalinitas yang rendah atau cenderung masam. Lebih produktifnya perairan
esensial lainnya yang meningkat kadarnya dengan meningkatnya nilai alkalinitas.
Alkalinitas tidak hanya dipengaruhi oleh pH juga dipengaruhi oleh komposisi
35
5.1 Kesimpulan
Kelimpahan sel mikroalga dan laju pertumbuhan spesifik Nannochloropsis
sp. pada kultivasi dengan menggunakan karbondioksida memiliki nilai tertinggi
daripada kultivasi dengan aerasi maupun tanpa menggunakan aerasi. Kelimpahan
sel Nannochloropsis sp. pada hari ke-6 pada kultivasi menggunakan
karbondioksida memiliki jumlah tertinggi bila dibandingkan dengan kultivasi
tanpa aerasi dan kultivasi menggunakan aerasi. Kelimpahan sel mikroalga pada
kultivasi menggunakan karbondioksida meningkat tiga kali lipat bila
dibandingkan dengan kultivasi tanpa aerasi.
Nilai alkalinitas pada kultivasi menggunakan karbondioksida masih berada
pada kisaran yang cukup baik bagi kehidupan biota perairan. Penggunaan
karbondioksida pada kultivasi mikroalga memberikan pengaruh yang baik bagi
pertumbuhan dan kelimpahan sel mikroalga. Hal ini dapat dilihat dari kelimpahan
sel mikroalga pada kultivasi P2 setiap harinya yang selalu mengalami kelimpahan
tertinggi bila dibandingkan dengan kultivasi tanpa aerasi dan kultivasi
menggunakan aerasi.
5.2 Saran
Penelitian dengan menggunakan jenis mikroalga yang lain perlu dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan karbondioksida terhadap pertumbuhan
36