• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.4 Parameter yang Diukur

3.1.5 Laju Pertumbuhan Spesifik ( Specific Growth Rate , SGR)

Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Gambar 10. Grafik laju pertumbuhan spesifik (SGR) bobot udang vaname selama 20 hari pemeliharaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa SGR bobot udang vaname tidak berbeda nyata antara perlakuan SES dengan SEP yakni 18,69±0,04% dan 19,49±0,09%.

Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Gambar 11. Grafik laju pertumbuhan spesifik (SGR) panjang udang vaname selama 20 hari pemeliharaan.

Hasil kegiatan penelitian menunjukan bahwa laju pertumbuhan spesifik (SGR) panjang udang vaname vaname tidak berbeda nyata antara perlakuan SES dengan SEP yakni 5,26±0,37% dan 4,9±0,60%.

18

3.2 Pembahasan

Pada kegiatan budidaya perairan khususnya di hatchery, listrik sangat diperlukan untuk menghidupkan high-blow yang berfungsi untuk aerasi. Penyediaan oksigen pada media pemeliharaan sangat penting. Jika ikan atau udang tidak mendapatkan oksigen dalam jumlah yang cukup, akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian massal (Garno 2004).

Energi surya merupakan salah satu energi alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan karena suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sebenarnya sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan bumi dengan panel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini. Hal ini sangat memungkinkan diterapkan di Indonesia yang beriklim tropis (Adiyana 2011).

Panel surya/ solar cells menghasilkan energi listrik tanpa biaya dengan mengkonversikan tenaga matahari menjadi listrik. Sel silikon (disebut juga solar cells) yang disinari matahari/ surya, membuat photon yang menghasilkan arus listrik. Sebuah panel surya rnenghasilkan kurang lebih tegangan 0.5 Volt. Jadi sebuah panel surya l2 Volt terdiri dari kurang lebih 36 sel (untuk menghasilkan l7 Volt tegangan maksimum) (Adiyana 2011). Pada penelitian ini panel disusun secara parallel. Rangkaian parallel digunakan pada panel-panel dengan tegangan output yang sama untuk memperoleh penjumlahan arus keluaran.

Charge controller digunakan untuk mengatur pengisian baterai. Inverter adalah perangkat elektrik yang mengkonversikan tegangan searah (DC - direct current) menjadi tegangan bolak balik (AC - alternating current) alat ini penting dipasang karena alat penelitian yang digunakan adalah high-blow yang hanya bisa memanfaatkan arus AC. Baterai adalah perangkat kimia untuk menyimpan tenaga listrik dari tenaga surya. Tanpa baterai energi surya hanya dapat digunakan pada saat ada sinar matahari.

Berdasarkan analisa statistik daya listrik (Lampiran 4.) daya listrik dengan sumber energi yang berbeda menunjukkan bahwa daya listrik pada minggu ke-0, 2, dan 3 menunjukkan hasil yang berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-1 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Pengamatan terhadap daya listrik

19 harian, menunjukkan bahwa daya listrik yang dihasilkan oleh SES cukup stabil pada 132,73±2,46s.d. 140,03±9,78 watt. Kestabilan ini terjadi karena ada charge controller yang dapat mengatur kestabilan arus listrik yang masuk ke baterai. Selain itu, SES relatif lebih kontinyu dibanding SEP, sebab sumber energi surya terus-menerus menyuplai energi listrik ke high-blow. Daya listrik pada SEP tidak stabil yakni daya yang diamati setiap 6 jam sekali range-nya agak jauh berkisar 110,83±10,77 s.d. 166,30±11,29 watt, selain itu SEP sering mengalami mati listrik yang menyebabkan high-blow tidak hidup (daya 0 watt) dan akhirnya suplai oksigen terhenti. Mati listrik selama masa pemeliharaan terjadi pada hari ke-4 pada pukul 08.40 s.d. 08.41 WIB, hari ke-8 pukul 13.5 s.d. 14.30 WIB, hari ke-11 pada pukul 15.23 s.d. 15.24 WIB, pada hari ke-12 pada pukul 18.28 s.d. 18.54 WIB, hari ke-18 pada pukul 19.00 s.d. 21.21 WIB, dan pukul 21.22 s.d. 19.45 WIB (hari ke-19). Dari besarnya kapasitas energi yang dapat disuplai sumber energi yang berbeda, dapat diketahui bahwa kemampuan kedua sumber energi hampir sama dalam memenuhi kebutuhan minimum energi listrik yang diperlukan

high-blow. Daya minimum yang digunakan high-blow sebesar 80,8 watt. SES dapat mensuplai energi listrik sebesar 135,082 watt dengan persentase kapasitas suplai daya listrik 167,2% sedangkan SEP dapat mensuplai 127,263 watt dengan persentase kapasitas suplai daya listrik 157,5%.

Kelarutan oksigen/dissolved oxygen (DO) merupakan faktor kritis dalam kegiatan budidaya perairan menurut Hardjojo (2005) DO merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air, DO yang terlalu rendah akan menyebabkan kematian pada ikan. DO berperan penting dalam pengkondisian lingkungan perairan yang baik, karena parameter kimia ini akan mempengaruhi parameter kimia fisika perairan yang lainnya. Menurut Boyd (1991) kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan salinitas. Pada keadaan saturasi di suhu 26 oC dan salinitas 32 ppt, DO yang terlarut dapat sebesar 6,98 mg/Liter (Toonen 2006) namun pada penelitian yang dilakukan pada perlakuan SES maupun SEP, DO media pemeliharaan mengalami supersaturasi yakni memiliki kisaran DO 7 s.d. 8 mg/Liter dan 6,8 s.d. 8 mg/Liter. Hal ini berarti padat tebar juvenil udang masih berpeluang besar ditambah karena DO tersedia sangat banyak. Penurunan DO yang terjadi pada hari ke-19 hingga menjadi 6,8 disebabkan oleh daya yang diterima high-blow

tidak ada (0 watt), high-blow tidak dapat menyuplai oksigen karena mati listrik, hanya pada hari tersebut DO mengalami penurunan kelarutan yang drastis

20 sebab pada mati listrik sebelumnya, DO tidak banyak terpengaruh sebab mati listrik terjadi tidak lama. Berdasarkan analisa statistik DO (Lampiran 5.), dapat diketahui bahwa DO yang dihasilkan high-blow menggunakan SES dengan high-blow menggunakan SEP tidak berbeda nyata .

DO dalam air bersumber dari difusi oksigen yang terkandung di udara ke dalam air, baik secara alami maupun karena proses aerasi, serta hasil fotosintesis biota nabati berklorofil (Batara 2004). Namun budidaya intensif tidak dapat mengandalkan oksigen dari difusi alami saja apalagi jika lingkungannya sudah sangat dikontrol seperti hatchery, maka salah satu cara untuk mempertahankan tingkat kelarutan oksigen dalam air adalah dengan pengaerasian, yaitu penambahan oksigen secara mekanik ke dalam air hingga konsentrasinya meningkat (Boyd 1982). Pada Gambar 3. mengenai DO harian, dapat diketahui bahwa DO lebih rendah pada awal pemeliharaan, sewaktu udang masih kecil hal ini dapat terjadi karena konsumsi oksigen udang kecil lebih besar dibanding udang besar sebab organisme berukuran kecil laju metabolisme tubuhnya lebih tinggi daripada yang berukuran besar (Spotte 1970). Selain itu, pakan yang terbuang pasti lebih banyak (pakan diberikan 2 ppm dari awal hingga akhir pemeliharaan) maka bahan buangan ini akan membutuhkan banyak oksigen untuk oksidasinya, menurut Hardjojo (2005) penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah bahan-bahan buangan yang mengkosumsi oksigen.

Oksigen terlarut sangat berhubungan erat dengan suhu, semakin tinggi suhu maka semakin kecil kelarutan oksigen dalam air dan proses biologi serta kimia akan meningkat, sehingga konsumsi oksigen akan meningkat pula (Boyd 1982). Pada grafik suhu harian rata-rata (Gambar 2.) dan grafik oksigen harian rata-rata (Gambar 4.) dapat diamati bahwa pernyataan Boyd ini benar. Di saat suhu naik di minggu ke-1, di saat yang sama DO turun. Pada minggu ke-2 suhu mengalami penurunan sedangkan disaat yang sama, DO meningkat. Pada minggu ke-3 suhu tetap mengalami penurunan, sedangkan DO cukup stabil kecuali DO pada perlakuan SEP. DO mengalami penurunan disebabkan oleh

high-blow yang berhenti mensuplai oksigen ke media pemeliharaan. High-blow

berhenti bergerak disebabkan karena listrik dari SEP mati. Berdasarkan analisa statistik suhu media pemeliharaan (Lampiran 6.) menunjukkan bahwa sumber energi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap suhu. Hal

21 ini menjelaskan bahwa aerasi yang juga berfungsi sebagai pengaduk media pemeliharaan pada penelitian ini berlangsung baik (Boyd 1982).

Secara umum semua parameter kualitas air yang diukur berada pada kisaran optimum kebutuhan udang vaname untuk hidup dan tumbuh. Parameter kualitas air pada perlakuan SES dengan perlakuan SEP hampir sama. Air pemeliharaan udang selalu berada pada pH >8, kisaran pH yang optimum bagi udang adalah 7,5-8,5 (Law 1988, Chien 1992 dalam Budiardi 2008). Berdasarkan analisa statistik (Lampiran 7.), pH media pemeliharaan dengan perlakuan sumber energi yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. CO2 pada media pemeliharaan dengan perlakuan sumber energi yang berbeda seluruhnya bernilai 0 mg/Liter, menurut Hardjojo (2005) pada pH 8 ke atas dengan KH bernilai 1, CO2 bernilai 0 mg/Liter. Salinitas juga berada pada kisaran optimum untuk udang yakni 29 s.d. 30 ppt, menurut Boyd (1991) kisaran salinitas optimum udang vaname adalah 15 ppt - 25 ppt, namun udang vaname juga berhasil dibudidayakan di salinitas yang lebih rendah atau lebih tinggi dari kisaran tersebut. Berdasarkan analisa statistik NH3 (Lampiran 8.) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada minggu ke-0, 2, dan 3, sedangkan pada minggu ke-1 menunjukkan haasil yang berbeda nyata. NH3 pada perlakuan energi surya berkisar antara 0,003 s.d. 0,021 mg/Liter sedangkan pada perlakuan PLN berkisar antara 0,004 s.d. 0,021 mg/Liter. Menurut Wickins 1976 dan Liu 1989 dalam Budiardi 2008, amoniak untuk pemeliharaan udang yang optimum adalah <0,10 mg/Liter.

NH3 diperngaruhi oleh suhu dan pH. Semakin tinggi suhu, NH3 semakin banyak (Boyd 1990). Hal ini dibuktikan dengan Gambar 6. tentang suhu harian rata-rata serta Gambar. 8 tentang NH3. Pada saat minggu ke-1 suhu mengalami kenaikan begitu pula dengan NH3, ketika minggu ke-2 maupun ke-3 suhu turun, begitu pula dengan NH3. Semakin rendah pH, maka NH3 semakin sedikit (Boyd 1982). Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 7. dan Gambar 8. Pada minggu ke-2 hingga minggu ke-3 perlakuan SES pH mengalami penurunan, disaat yang sama NH3 semakin sedikit. Adapun ketika di minggu ke-2 dan ke-3 pH perlakuan SEP turun, sedangkan NH3 mengalami kenaikan. Hal ini dapat disebabkan karena terjadi mati listrik pada minggu ke-3, sehingga pasokan oksigen terhenti. Juvenil udang dapat menjadi stress jika aerasi mati/DO drastis turun, jika stress biasanya nafsu makan juvenil udang menurun, kemudian sisa pakan menjadi lebih banyak. Sisa pakan dapat menambah konsentrasi NH3 dalam perairan (Boyd 1982). pH

22 pada perlakuan memiliki kedenderungan turun. Hal ini disebabkan karena bahan organik yang terakumulasi menyebabkan penurunan pH (Boyd 1990).

Pada penelitian ini juga diuji berapa nilai oxygen transfer rate (OTR) serta efektivitas high-blow (E). Besar kecilnya nilai kelajuan transfer oksigen dipengaruhi oleh: kekurangan oksigen dalam air, luas permukaan air yang menyentuh udara, dan derajat turbulensi. Kelajuan transfer oksigen sangat penting diketahui karena berhubungan dengan kelangsungan ketersediaan DO. OTR harus memenuhi DO yang telah dikonsumsi. Berdasarkan tabel OTR dan E dapat diketahui bahwa OTR yang dihasilkan high-blow pada perlakuan SES

sebesar 9,6 x 10-4 kg O2/jam sedangkan pada perlakuan SEP adalah sebesar 8,7 x 10-4 kg O2/jam. Efektivitas high-blow pada perlakuan SES dan SEP juga

memiliki nilai yang hampir sama yakni 60,6% dan 57,3%. Kedua nilai ini tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kedua high-blow baik yang diberi perlakuan SES maupun SEP memiliki kemampuan yang hampir sama dalam transfer oksigen.

Tingkat kelangsungan hidup (SR) udang vaname dari perlakuan energi surya tidak berbeda nyata. SR pada perlakuan sumber energi surya adalah 90±0,04%, sedangkan SR udang dari perlakuan PLN adalah 96±0,09%, Mati listrik yang menyebabkan DO turun hingga 6,9 tidak menyebabkan udang menjadi mati sebab DO 6,9 masih sangat cukup dalam memenuhi kebutuhan oksigen oleh udang. Nilai tersebut menjelaskan bahwa kedua sumber energi memberikan pengaruh yang sama terhadap tngkat kelangsungan hidup juvenil udang vaname.

Laju pertumbuhan spesifik (SGR) bobot dan panjang juvenil udang vaname yang menggunakan sumber energi yang berbeda, tidak berbeda nyata. SGR bobot perlakuan SES adalah 18,69±0,04% sedangkan pada perlakuan SEP adalah 19,49±0,09%. SGR panjang juvenil udang vaname menggunakan perlakuan SES adalah 5,26±0,37% sedangkan pada perlakuan SEP adalah 4,9±0,60%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa kedua sumber energi memberikan pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan juvenil udang vaname.

23

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan.

Daya listrik pada sumber energi surya relatif lebih stabil dan kontinyu dibandingkan sumber energi dari PLN dalam memasok energi listrik untuk menghidupkan/menggerakkan high-blow.

Penggunaan energi listrik dari sumber yang berbeda untuk menghidupkan

high-blow sebagai alat aerasi pada media pemeliharaan juvenil udang vaname tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap kualitas air terutama konsentrasi oksigen terlarut dalam kisaran nilai yang optimal untuk kehidupan dan pertumbuhan juvenil udang vaname. Hal tersebut ditunjang dengan kinerja

high-blow berdasarkan nilai oxygen transfer rate (OTR) maupun efektivitas high-blow (E) yang relatif sama.

Pemeliharaan juvenil udang vaname yang menggunakan aerasi dari sumber energi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup (SR) dan pertumbuhan (SGR) juvenil udang vaname dengan SR berkisar 90% dan SGR bobot berkisar 18,5%.

Dengan demikian sumber energi listrik tenaga surya dapat dijadikan alternatif sumber energi listrik bagi kegiatan pembenihan udang vaname.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil perhitungan ekonomis dari sumber energi surya maupun PLN, maka disarankan untuk menerapkan solar cell di daerah yang tidak terjangkau PLN seperti daerah terpencil yg terisolir serta di daerah yang sumber energinya sangat tidak stabil.

Perlu dilakukan penelitian mengenai penggunaan sumber energi surya yang diterapkan oleh alat aerasi yang lain seperti paddle weel.

24

DAFTAR PUSTAKA

Adiyana K. 2011. Aplikasi pemanfaatan panel surya untuk kegiatan aerasi usaha budidaya udang. [Laporan akhir riset]. Pusat Pengkajian Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan Balitbang KP-KKP.

Batara T. 2004. Tingkat konsumsi oksigen udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan model pengelolaan oksigen pada tambak intensif. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Berita WALHI. 2011.

Boyd CE. 1982. Water quality management for pond fish culture. Amsterdam. Elsevier Scientific Publishing Company, New York.

_______. 1990. Water quality management and aeration in shrimp farming. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University, Alabma.

_______. 1991. Water quality management and aeration in shrimp farming. Auburn: Fisheries and Allied Aquacultures Departmental, Auburn University.

Budiardi T. 2008. Keterkaitan produksi dengan beban masukan bahan organik pada sistem budidaya intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei

Boone 1931). [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Buletin Keteknikan Pertanian. 1998. Penerapan energi surya dalam proses termal pengolahan hasil pertanian. Institut Pertanian Bogor, Press : Vol.12 No.1.

Effendi I. 2004. Pengantar akuakultur. Penebar Swadaya, Jakarta.

Erwinda YE. 2008. Pembenihan udang putih Pennaeus vannamei secara intensif. [Tugas Bioteknologi Hewan]. Program Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Fajar Online. 2009. Fadel: Stop impor induk udang putih.

http [13 Desember

2011]

Garno YS. 2004. Biomanipulasi, paradigma baru dalam pengendalian limbah organik budidaya perikanan di waduk dan tambak. [Orasi Ilmiah]. Bidang Manajemen Kualitas Perairan Badan Pengkajian dan Penerapan

25

Hardjojo B. 2005. Pengukuran dan analisis kualitas air. Universitas Terbuka, Jakarta.

Harnovi. 2011. Daya listrik arus bolak balik. Persatuan Mahasiswa Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya.

Lekang OI. 2007. Aquaculture engineering. Garnington Road, Oxford, Blackwell Publishing, Ltd.

Okezone.com. 2011. 45,49% Warga Sulbar belum nikmati listrik.

Okezone.com. 2012. Pemadaman listrik bergilir di Pekanbaru terjadi lagi.

Samocha and Lawrence. 1992. Shrimp nursery system sand management. in: Wyban J. Proceedings of the Special Session on Shrimp Farming. USA: World Aquaculture Society. hlm. 88.

Spotte S. 1970. Fish and invertebrate culture. Water Management in Closed System. Wiley-Interscience Publ. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Toonen R. 2006. Oxygen saturation.

Lampiran 1. Instalasi listrik tenega surya yang digunakan pada kegiatan penelitian.

(1) (1)

(2)

(+)

(-)

(+)

(1) (1)

(2)

(+)

(-)

(+)

(1) (1)

(2)

(+)

(-)

(-)

(+)

(1) (1)

(2)

(+)

(-)

(-)

(+)

(-)

(+)

(-)

Ke beban /

Dokumen terkait