• Tidak ada hasil yang ditemukan

18 (2005) peningkatan breakdown pada sorghum merah menunjukkan turunnya stabilitas selama

B. LAJU SINERESIS GEL

Sineresis adalah keluarnya air dari suatu gel pati. Menurut Winarno (2008) pada pati yang dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian air masih berada di bagian granula yang membengkak, air ini mengadakan ikatan yang erat dengan molekul-molekul pati pada permukaan butir-butir pati yang membengkak. Sebagian air pada pasta yang telah dimasak tersebut berada dalam rongga-rongga jaringan yang terbentuk dari butir pati dan endapan amilosa. Bila gel tersebut disimpan selama beberapa hari pada suhu rendah, air tersebut dapat keluar dari bahan. Menurut Gudmundsson (1994) pada penyimpanan suhu rendah, kristalitas pati terbentuk tidak sempurna karena pati memiliki suhu peleburan yang lebih rendah dibandingkan pembentukannya pada suhu yang lebih tinggi.

Perubahan tingkat sineresis pati dapat diketahui dengan menggunakan metode centrifuge. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa selama penyimpanan dari hari ke-0 hingga hari ke-7 tingkat sineresis pati mengalami peningkatan. Gambar 7 memperlihatkan perubahan tingkat sineresis pati sagu alami, pati aren alami, pati sagu HMT, dan pati aren HMT selama tujuh hari penyimpanan (data mentah hasil pengukuran tingkat sineresis dapat dilihat pada Lampiran 10)

Gambar 7. Tingkat sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan

19

Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui laju tingkat sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan. Laju tingkat sineresis tersebut dapat dilihat dari persamaan y=ax+b dengan a sebagai laju tingkat sineresis sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Laju sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan Jenis Pati Laju tingkat sineresis R2

(v= %sineresis/hari)

pati sagu alami 1,1268 0,9338

pati aren alami 0,5077 0,9314

pati sagu HMT 3,7649 0,9727

pati aren HMT 1,7456 0,9734

Berdasarkan Gambar 7 dan Tabel 4 dapat dibandingkan antara pati sagu dan pati aren. Data tersebut menunjukkan bahwa laju sineresis pati sagu lebih tinggi dibandingkan pati aren. Menurut Adawiyah (2012) jumlah pati yang terkandung dalam sagu (93.76%) lebih tinggi dibandingkan aren (92.67%). Swinkle (1995) menjelaskan bahwaperistiwa retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dengan konsentrasi pati tinggi. Dengan demikian laju sineresis pati sagu lebih tinggi dibandingkan pati aren karena pati sagu memiliki konsentrasi pati lebih tinggi dibandingkan pati aren. Tingginya konsentrasi pati ini semakin mempermudah terjadinya retrogradasi, dalam hal ini sineresis.

Gambar 7 dan Tabel 4 memperlihatkan bahwa selama tujuh hari penyimpanan, laju sineresis pati modifikasi HMT lebih tinggi dibandingkan dengan pati alami. Menurut Kulp dan Lorenz (1981) seperti yang disitasi oleh Olayinka et al. (2006), modifikasi HMT dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati. Selain itu proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada area amorphous serta meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi. Karim et al. (2000) menjelaskan bahwa selama penyimpanan di suhu rendah, molekul pati yang tergelatinisasi mengalami reasosiasi, akan tetapi bentuknya tidak sempurna sebagaimana keberadaannya dalam pati alami (sebelum tergelatinisasi). Berdasarkan penjelasan tersebut telah jelas bahwa laju sineresis pati modifikasi HMT lebih tinggi dibandingkan pati alami karena selama proses modifikasi HMT, asosiasi rantai pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada area amorphous meningkat. Kondisi ini diperkuat dengan selama penyimpanan di suhu rendah, molekul pati yang tergelatinisasi mengalami reasosiasi. Akibatnya molekul air yang terlepas dari matriks amilosa dan amilopektin semakin banyak, sehingga laju sineresisnya pun semakin tinggi. Data tersebut memperlihatkan bahwa HMT memberikan efek yang lebih signifikan terhadap laju retrogradasi pati sagu dibandingkan pati aren. Gambar 7 menunjukkan bahwa laju retrogradasi pati sagu HMT meningkat tajam dibandingkan pati aren. Hal ini membuktikan bahwa pati sagu lebih sensitif terhadap perlakuan panas dibandingkan dengan pati aren.

Apabila ditinjau berdasarkan data pasting property hasil pengukuran dengan menggunakan RVA, ternyata pati aren memiliki kecenderungan yang lebih mudah untuk mengalami retrogradasi dibandingkan dengan pati sagu. Hal ini dapat dilihat dari nilai setback pati aren lebih tinggi dibandingkan pati sagu (Tabel 3). Selain itu apabila dilihat dari nilai breakdown, ternyata nilai breakdown pati aren lebih tinggi dibandingkan dengan pati sagu dimana hal tersebut menunjukkan bahwa pati sagu (nilai breakdown rendah) memiliki stabilitas terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan pati aren. Fakta tersebut menunjukkan suatu anomali karena berdasarkan data yang

20

dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 7, pati sagu memiliki kecenderungan untuk mengalami retrogradasi yang lebih mudah dibandingkan pati aren. Selain itu pati sagu juga sangat sensitif terhadap perlakuan panas dibandingkan dengan pati aren. Hal ini dilihat dari efek HMT terhadap perubahan laju retrogradasi pati sagu yang meningkat tajam dibandingkan dengan pati aren.

Menanggapi fakta tersebut muncul dugaan yang dihubungkan dengan derajat polimerisasi. Menurut studi yang dilakukan oleh Vandeputte et al. (2002) rantai amilopektin panjang (derajat polimerisasi tinggi) memungkinkan untuk membentuk double helices lebih mudah dan lebih cepat sehingga hal ini juga mempermudah terjadinya retrogradasi. Berdasarkan studi tersebut diduga bahwa pati sagu memiliki rantai amilopektin yang panjang (derajat polimerisasi tinggi) dibandingkan pati aren. Sehingga walaupun menurut Adawiyah (2012) kandungan amilosa pada kedua jenis pati ini tidak berbeda secara signifikan (p>0,05) dan menurut hasil pengukuran RVA pada penelitian ini yang cenderung lebih mudah untuk mengalami retrogradasi adalah pati aren, akan tetapi karena diduga derajat polimerisasi pati sagu lebih tinggi dibandingkan pati aren maka pati yang lebih mudah mengalami retrogradasi adalah pati sagu.

C.TEKSTUR

Pengukuran tekstur gel pati sagu dan pati aren dilakukan selama penyimpanan mulai dari hari ke-0 hingga hari ke-7. Variabel dasar yang diperhatikan dalam pengukuran tekstur ini adalah force, distance, stress dan strain. Menurut Kilcast (2004) strain merupakan pengukuran deformasi (perubahan bentuk) pada titik bidang dalam suatu objek. Strain mengukur perubahan unit dari bentuk atau ukuran dari sebuah objek dengan memperhatikan ukuran awal. Variabel lainnya yaitu distance yaitu jarak penekanan dari tinggi awal, stress adalah besarnya tekanan yang diberikan pada gel. Stress disebabkan karena adanya eksternal force. Sedangkan force dianggap sebagai variabel eksternal karena force mengukur pada permukaan objek. Proses kompresi ditunjukkan pada Gambar 8.

L0 L

Gambar 8. Kompresi uniaxial dari gel (Kilcast, 2004)

F : gaya yang diberikan selama proses kompresi (N)

A0 : luas awal penampang (m2) L0 : tinggi awal gel (m) Stress (Pa) : σ = F/A0

Strain (%) : ɛ = ((L0-L)/ L0) x 100% Distance(m): ∆L= L0-L

Force (F) or Stress (σ)

Force (F) or Stress (σ)

21

Pada pengukuran tekstur gel juga dilakukan penghitungan modulus elastis (E) atau biasa disebut modulus Young yang merupakan besarnya nilai stress (σ) terhadap strain (ɛ). Penghitungan modulus elastis dilakukan untuk mengetahui perubahan rigiditas gel selama penyimpanan. Adapun formula yang digunakan untuk menghitung modulus elastis adalah sebagai berikut

σ F/A0 ɛ ∆L/L0

1.

Karakteristik Tekstur Gel Pati (Alami Dan HMT) pada Hari Ke-0

Analisis tekstur gel pati, baik pati alami maupun pati modifikasi HMT, pati sagu maupun pati aren, menggunakan texture analyzer (TA-XT, Stable Mycro System, UK). Pengukuran tekstur pati dilakukan untuk mengetahui perubahan karakteristik tekstur selama penyimpanan dari hari ke-0 hingga hari ke-7 serta untuk mengetahui pengaruh modifikasi HMT terhadap tekstur gel pati. Adapun hasil pengukuran tekstur gel pati aren dan pati sagu (baik pati alami maupun HMT) hari ke-0 (sebelum penyimpanan) dapat dilihat pada Gambar 9 (a dan b) dan datanya dapat dilihat pada Tabel 5.

(a) (b)

Gambar 9. Kurva kompresi uniaxial pati sagu alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-0 (a) dan kurva kompresi pati aren alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-0 (b).

Tabel 5. Hasil pengukuran tekstur gel pati sagu dan pati aren pada hari ke-0 Jenis Pati Perlakuan Breaking Point Max. Force pada

strain 90% (N)

Adesive Force (N) Strain (%) Stress (Pa)

Sagu Alami 57,0871 19358,4 77,2408 -10,38

HMT 25,6509 6050,05 34,4821 -8,65

Aren Alami 58,8233 30001,7 99,3092 0

HMT 45,4625 31608,6 66,5433 0

Hasil pengukuran merupakan rata-rata dari 5 replikasi analisis

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa sebelum dilakukan penyimpanan terlihat bahwa modifikasi HMT berpengaruh terhadap tekstur gel pati aren dan pati sagu. Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai strain gel pati HMT lebih rendah dibandingkan dengan pati alami. Hal

22

ini menunjukkan bahwa HMT meningkatkan kerapuhan gel pati aren dan pati sagu. Selain berpengaruh pada kerapuhan gel, modifikasi HMT juga berpengaruh pada rigiditas dari gel pati aren dan pati sagu. Sebelum penyimpanan dilakukan, ternyata gel pati HMT memiliki rigiditas lebih rendah dibandingkan dengan gel pati alami. Fakta ini dapat dilihat dari menurunnya nilai maximum force pati aren dan pati sagu setelah dilakukan modifikasi HMT. Pengaruh lain dari HMT adalah modifikasi HMT dapat meningkatkan nilai adhesive force dengan kata lain HMT dapat mengurangi kerekatan atas gel pati sagu.

Perbandingan antara pati aren dan pati sagu pada pengukuran tekstur kali ini adalah dilihat dari nilai strain dan maximum force, pati sagu lebih rapuh dan lebih lunak (rigiditas lebih rendah) dibandingkan pati aren. Selain itu pati sagu juga lebih lengket dibandingkan pati aren. Hal ini dapat dilihat dari adanya nilai adhesive force pada pati sagu sedangkan pati aren tidak memiliki nilai tersebut.

2.

Perubahan Tekstur Gel Pati Sagu dan Pati Aren Selama Penyimpanan

Tekstur gel pati sagu dan pati aren mengalami perubahan selama penyimpanan. Hasil pengukuran menunjukkan adanya perbedaan karakteristik tekstur antara pati aren dan pati sagu, baik pati alami maupun pati modifikasi HMT (Gambar 10 (a) dan (b)).

(a) (b)

Gambar 10. Kurva Kompresi pati sagu alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-7 (a) dan kurva kompresi pati aren alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-7 (b)

Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa breaking point dan maximum force pati aren (baik alami maupun modifikasi HMT) lebih tinggi dibandingkan pati sagu. Hal ini menunjukkan bahwa gel pati aren tidak mudah mengalami deformasi dibandingkan gel pati sagu. Setelah dilakukan penyimpanan selama 0-7 hari dapat dilihat bahwa terjadi perubahan karakteristik tekstur gel pati dari hari ke hari (Gambar 11,12,13,dan 14). Adapun data hasil pengukuran dengan menggunakan texture analyzer dapat dilihat pada Lampiran 11 sedangkan data-data penghitungan modulus elastis dapat dilihat pada Lampiran 12.

23

Gambar 11. Perubahan breaking stress selama tujuh hari penyimpanan pada gel pati sagu

dan pati aren (alami-HMT)

Gambar 12. Perubahan breaking strain selama tujuh hari penyimpanan pada gel pati sagu dan pati aren (alami-HMT)

Gambar 13. Perubahan modulus elastisitas selama tujuh hari penyimpanan pada breaking point

24

Gambar 14. Perubahan maximum force selama tujuh hari penyimpanan pada strain

90%

Representasi perubahan karakteristik tekstur gel pati aren dan pati sagu dapat dilihat pada Gambar 13 yang menunjukkan perubahan modulus elastisitas breaking point pada gel pati aren dan pati sagu selama tujuh hari penyimpanan. Modulus elastisitas merupakan rasio nilai breaking stress terhadap breaking strain. Gambar 13 menunjukkan bahwa modulus elastisitas pati aren dan pati sagu (baik pati alami maupun HMT) semakin meningkat selama penyimpanan. Laju peningkatan modulus elastisitas tertinggi terjadi pada gel pati sagu HMT dilanjutkan dengan pati aren HMT, pati aren alami, dan pati sagu alami. Peningkatan modulus elastis ini menunjukkan bahwa selama penyimpanan, tekstur gel pati semakin rigid.

Karakteristik gel pati lainnya dapat dilihat pada Gambar 12. Pada gambar tersebut terlihat bahwa strain dari gel pati sagu dan pati aren (baik alami maupun HMT) mengalami penurunan. Penurunan nilai strain menunjukkan bahwa gel tersebut semakin rapuh karena semakin mudah mengalami deformasi. Apabila kedua konstanta (strain dan modulus elastis) tersebut digabungkan maka dapat dikatakan bahwa selama tujuh hari penyimpanan karakter gel pati aren dan pati sagu semakin rigid akan tetapi semakin rapuh.

Perihal kekerasan gel, pati aren lebih keras dibandingkan dengan pati sagu. Kekerasan gel dapat dilihat dari nilai maximum force pati aren yang lebih tinggi dari pati sagu (Gambar 10). Selama penyimpanan, kekerasan gel pati sagu lebih cepat mengalami penurunan dibandingkan dengan pati aren. Sedangkan pada pati modifikasi HMT, laju peningkatan kekerasan pati sagu lebih cepat dibandingkan pati aren (Gambar 12). Selain tingkat kekerasan gel, ada hal menarik lain yang perlu diperhatikan yaitu adhesiveness yang ditunjukkan dengan adanya adhesive force pada kurva kompresi pati sagu sedangkan pada pati aren adhesive force tidak ditemukan (Gambar 10). Adhesiveness menggambarkan daya rekat yang dibutuhkan untuk menarik lempeng kompresi dari bahan. Perubahan adhesive force pati sagu dapat dilihat dari Gambar 15. Adanya adhesive force pada pati sagu menunjukkan bahwa pati sagu cenderung lebih lengket terhadap lempeng kompresi dibandingkan pati aren.

Berdasarkan parameter pengukuran tekstur yang ada (strain, stress, maximum force, adhesive force, dan modulus elastis, maka yang paling relevan dijadikan acuan dalam memutuskan hasil pengukuran tekstur adalah modulus elastis. Dipilihnya modulus elastis sebagai parameter acuan karena modulus elastis sendiri merupakan rasio antara nilai stress dan strain. Selain itu nilai modulus elastis dapat menunjukkan perubahan tekstur selama penyimpanan dimana semakin lama

25

tekstur gel semakin rigid (ditunjukkan dengan meningkatnya nilai modulus elastis). Sedangkan untuk parameter lainnya nilainya bervariasi dan tidak relevan. Pada Gambar 11 terlihat bahwa nilai breaking stress pati sagu dan pati aren HMT serta pati aren alami mengalami peningkatan selama penyimpanan sedangkan pada pati sagu alami mengalami penurunan. Pada Gambar 14 dapat diketahui bahwa nilai maximum force pati alami menurun sedangkan pati HMT meningkat. Sedangkan nilai strain masih cukup relevan untuk dijadikan acuan pengukuran akan tetapi nilai strain biasanya dilengkapi dengan nilai stress. Karena nilai stress tidak relevan untuk digunakan, maka yang digunakan adalah nilai modulus elastis yang merupakan rasio antara nilai stress dan strain.

Perubahan karakteristik tekstur gel pati aren dan pati sagu selama penyimpanan berkaitan dengan terjadinya retrogradasi, dalam hal ini sineresis, pada pati aren dan pati sagu selama penyimpanan. Semakin lama tingkat sineresis dari gel pati sagu dan pati aren semakin meningkat, dengan kata lain air yang terlepas dari matriks amilosa-amilopektin semakin banyak. Dengan demikian ikatan komponen amilosa dan amilopektin semakin kuat sehingga gel pati pun menjadi semakin rigid. Tidak dapat dipungkiri bahwa kerapuhan suatu gel pati dipengaruhi oleh keberadaan air yang berikatan dengan komponen pati. Apabila semakin banyak air yang keluar maka gel tersebut akan semakin rapuh sehingga akan mudah mengalami deformasi ketika diberi tekanan.

Gambar 15. Perubahan adhesive force selama tujuh hari penyimpanan pada strain 90% Modifikasi HMT dapat mengubah karakteristik tekstur pati alami. Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa laju penurunan strain pati modifikasi HMT lebih lambat dibandingkan dengan pati alami. Selain itu pati modifikasi HMT juga meningkatkan laju kenaikan stress pati alami (Gambar 13). Fenomena ini menunjukkan bahwa pati modifikasi HMT tidak mudah mengalami deformasi dibandingkan pati aren. Parameter lain yang dapat ditinjau lebih lanjut adalah maximum force yang menggambarkan kekerasan gel dan adhesive force yang menggambarkan daya rekat gel. Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa modifikasi HMT dapat mengubah tingkat kekerasan gel pati alami bahkan mengubah laju kekerasannya yang pada awalnya menurun menjadi meningkat. Hal yang sama juga terjadi pada adhesive force yang pada awalnya mengalami kenaikan adhesive force, akibat perlakuan HMT maka gel pati mengalami penurunan adhesive force selama tujuh hari penyimpanan.

Modifikasi HMT dapat mengubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati (Kulp dan Lorenz 1981). Selain itu energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan

26

amilopektin di dalam granula pati. Untuk memperoleh bentuk gel, maka pati diberi perlakuan pemanasan dengan ditambahkan sejumlah air. Air tersebut memiliki peluang yang lebih besar untuk mengimbibisi granula pati karena lemahnya ikatan hidrogen tersebut. Akibatnya air yang masuk (penyerapan air) ke dalam granula pati lebih banyak dibandingkan pati alami. Masuknya air tersebut merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Hal ini menyebabkan granula membengkak. Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan meningkat dan amilosa berdifusi keluar dari granula sehingga granula hanya mengandung amilopektin. Akibat dari peristiwa tersebut, granula mengalami kerusakan dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel.

Selama proses penyimpanan pada suhu rendah (7oC), terjadilah peristiwa retrogradasi dimana pada proses tersebut terjadi pembentukan kembali ikatan hidrogen antar molekul amilosa dan amilopektin. Secara otomatis ikatan hidrogen antara molekul air dan molekul amilopektin melemah dan digantikan oleh molekul amilosa. Secara perlahan molekul air keluar dari granula akibatnya semakin lama semakin banyak air yang keluar dari granula. Dengan semakin banyaknya molekul air yang keluar dari granula maka semakin banyak molekul amilosa yang berikatan dengan amilopektin sehingga struktur gel yang terbentuk semakin kuat (keras). Akibatnya semakin lama gel tersebut semakin tidak mudah mengalami deformasi. Struktur gel yang semakin keras berdampak pada kurangnya kelengketan atas pati tersebut (terjadi pada pati sagu).

3.

Korelasi Laju Sineresis dengan Perubahan Tekstur

Sineresis yang terjadi selama penyimpanan memiliki pengaruh terhadap karakteristik tekstur. Parameter tekstur yang dibandingkan dengan laju sineresis adalah perubahan nilai strain dan modulus elastis selama penyimpanan. Kedua parameter ini adalah parameter yang paling relevan dibandingkan dengan parameter lainnya seperti stress dan maximum force. Hal ini terjadi karena data dari nilai stress dan maximum force cenderung naik dan turun. Adapun korelasi antara laju sineresis dan dan perubahan nilai strain dan modulus elastis selama tujuh hari penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 16 dan 17.

Gambar 16. Hubungan antara tingkat sineresis dan modulus elastis gel pati sagu dan pati aren (alami-HMT)

27

Gambar 17. Hubungan antara tingkat sineresis dan nilai strain gel pati sagu dan pati

aren (alami-HMT)

Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa semakin tinggi tingkat sineresis, maka nilai modulus elastisnya juga meningkat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat sineresis, dengan kata lain semakin banyak jumlah air yang keluar dari gel pati, maka tekstur gel pati akan semakin rigid. Laju peningkatan modulus elastis terhadap tingkat sineresis yang paling tinggi terjadi pada pati aren alami dengan laju 90,381 sedangkan gel pati yang memiliki nilai linear tertinggi adalah pati sagu HMT dengan nilai r2 0,9683. Data ini menunjukkan bahwa laju sineresis tertinggi terjadi pada gel pati aren dengan peningkatan modulus elastis yang linier dengan laju sineresis.

Gambar 17 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat sineresis gel pati maka nilai strain gel pati semakin menurun. Fakta ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat sineresis gel pati maka gel tersebut akan semakin mudah mengalami deformasi. Laju kemudahan mengalami deformasi terjadi pada pati aren HMT dengan nilai laju 0,7861. Sedangkan gel pati yang memiliki nilai linear tertinggi adalah pati sagu HMT dengan nilai r2 0,9909. Data ini menunjukkan bahwa laju sineresis tertinggi terjadi pada gel pati aren dengan peningkatan nilai strain yang linier dengan laju sineresis.

D.

KADAR AIR GEL

Kadar air merupakan nilai yang menunjukkan kandungan air yang terdapat dalam suatu produk atau bahan (pangan). Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa selama penyimpanan pada suhu rendah (7oC) dari hari ke-0 sampai dengan hari ke-7 kadar air gel cenderung mengalami penurunan (Gambar 17). Kadar air tersebut mengalami penurunan selama penyimpanan suhu rendah karena selama penyimpanan molekul pati yang tergelatinisasi mengalami reasosiasi. Akibatnya molekul air terlepas dari matriks amilosa dan amilopektin. Visualisasi dari fenomena ini adalah keluarnya air dari suatu gel pati atau biasa disebut sineresis. Semakin lama, air yang terlepas dari matriks amilosa-amilopektin semakin banyak sehingga kadar airnya terus menurun.

Apabila antara gel pati alami dan gel pati modifikasi HMT dibandingkan, maka gel pati modifikasi HMT mengalami penurunan kadar air yang lebih cepat dibandingkan gel pati alami. Kecepatan penurunan kadar air ini dipengaruhi oleh laju sineresis pati modifikasi HMT yang lebih

28

tinggi dibandingkan dengan pati alami. Sedangkan apabila antara pati sagu dan pati aren dibandingkan maka penurunan kadar air pati aren alami lebih cepat dibandingkan pati sagu alami, sedangkan laju penurunan kadar air pati sagu modifikasi HMT lebih cepat dibandingkan dengan pati aren modifikasi HMT. Dua hal yang berkebalikan. Hal ini terjadi karena kadar air awal pati aren lebih rendah (7.84%) dibandingkan pati sagu (12.96%) sehingga laju penurunan kadar air pati aren tampak lebih cepat dibandingkan pati sagu. Seharusnya laju penurunan kadar air pati sagu lebih cepat dibandingkan pati aren karena jumlah pati yang terkandung dalam sagu (93.76%) lebih tinggi dibandingkan aren (92.67%) (Adawiyah, 2012). Semakin tinggi konsentrasi patinya, maka semakin mudah mengalami retrogradasi. Oleh karena itu berdasarkan data penelitian ini (Gambar 18) dapat terlihat gel pati sagu modifikasi HMT mengalami penurunan kadar air paling cepat. Hal ini disebabkan selain karena konsentrasi patinya yang tinggi juga karena pengaruh proses modifikasi HMT yang diterapkan pada pati tersebut. Adapun data hasil pengukuran kadar air dapat dilihat pada Lampiran 13.

Gambar 18. Perubahan nilai kadar air selama masa penyimpanan

E.

AKTIVITAS AIR (a

w

)

Nilai aw digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi (Syarief dan Halid, 1993). Untuk mengukur aktivitas air (aw) digunakan aw meter. Selama penyimpanan dari hari ke-0 hingga hari ke-7 nilai aw

Dokumen terkait