• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH & PENDIRINYA 13

B. Pendiri Aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah

2. Abu Manshur Al-Maturidi

Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di Samarkand, wilayah Transoxiana Asia Tengah, daerah tersebut sekarang di sebut Uzbekistan. Nama lengkap Abu Mansur Muhammad ibn Mahmud ibn Mahmud Hanafi Mutakallim Al-Maturidi Al-Samarkandi. Tahun kelahiranya tidak di ketahui secara pasti, hanya perkiraan sekitar tahun 238 H/853 M.

Pertimbangannya, salah satu guru Maturidi, yaitu Muhammad Al-Muqatil Al-Razi meninggal tahun 247 H. Abu Ayyub Ali memperkirakan, bahwa penentangan Maturidi terhadap Mu’tazilah telah dilakukan sebelumnya oleh Asy’ari. Karena pada saat Asy’ari berusia 40 tahun (sekitar 913 M), Asy’ari masih menganut dan mengembangkan paham Mu’tazilah, sedangkan Maturidi ketika itu berusia 40 tahun.46

Karir pendidikan Al-Maturidi lebih cenderung untuk menekuni bidang teologi (keAllahan) daripada fiqih (hukum Islam). Ini di lakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang ia pandang tidak sesuai dengan pemikiran atau kaidah yang benar menurut akal dan syara’.47

Berikut ini merupakan pemikiran Teologi Al-Maturidi:

a) Akal dan Wahyu

46 Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul Huda, 2015, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia, Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, hlm. 75-76.

47 Mahmud Qasim, 1973, Dirasat Fi Al- Falsafah Islamiyah Dar al-Ma’arif Mesir, hlm, 171.

24 Sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Pendirinya

Terkait dengan pemikiran teologi, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Akan tetapi bagi Al-Maturidi, akal sebagai panca indera memiliki keterbatasan yang tidak dapat dielakkan. Karenanya, manusia masih memerlukan bimbingan wahyu Allah. Dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat-ayat yang berlawanan antara satu dengan lainnya. Kalaupun ada, ayat-ayat tersebut haruslah diberikan ta’wil yang pengertiannya diserahkan kepada Allah sendiri. Jika akal bertentangan dengan hukum syara’, maka akal harus tunduk kepada hukum syara’, bukan sebaliknya. Akal tidak berstatus sebagai penguasa terakhir untuk menetapkan kewajiban manusia dan agama. Dasar kewajiban haruslah berasal dari wahyu dan bukan dari akal.48

b) Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Allah karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaa-Nya, khususnya mengenai perbuatan manusia, kebijakan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) dan kebijakan.

c) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Allah

Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah. Akan tetapi pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Allah berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata. Hal ini karena kodrat Allah tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

d) Sifat Allah

Berkaitan dengan sifat Allah, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy’ari, keduanya berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, bashar,dan

48 Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul Huda, 2015, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia, Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, hlm. 77.

sebagainya.49 Pengertian Al-Maturidi tentang sifat Allah berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Allah sebagai sesuatu yang bukan Żat, melainkan melekat dengan Żat itu sendiri, sedang Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak di katakan sebagai esensi-Nya dan bukan lain pula dari esensi-Nya.

e) Melihat Allah

Al-Maturidi mengatakan bahwa Allah kelak di akhirat dapat di lihat dengan mata, karena Allah mempunyai wujud walaupu Dia immaterial. Yang tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud.

Setiap yang berwujud pasti dapat dilihat, dank arena Allah berwujud maka Allah pasti dapat dilihat.50 Namun melihat Allah, kelak di akhirat tidak dalam bentuk-Nya, karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f) Kalam Allah

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Al-Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baru. Kalam nafsi tidak dapat di ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengan-Nya, tidak dapat diketahui, kecuali dengan suatu perantara.51

g) Tentang Hikmah

Maturidi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah kebijaksanaan Allah, dalam arti perpaduan dua keadaan yang disebut ‘Adil (justice), Rahmat, dan utama (fadl). Allah memiliki kekuasaan absolut, namun keabsolutan-Nya itu

49 Mahmud Qasim, 1969, fi Ilm aL-Kalam, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Misiriah, hlm 70.

50 Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul Huda, 2015, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia, Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, hlm. 82.

51 Mahmud Qasim, 1969, fi Ilm aL-Kalam, Kairo: Maktabah Anglo al-Misiriah, hlm 70.

26 Sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Pendirinya

bukanlah yang berada di luar, melainkan berada pada kebijaksanaan-Nya sendiri. Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk di dalamnya perbuatan manusia. Ini tercermin dalam QS. Ash-Shafat: 96;

) َنﻮُﻠَﻤْﻌَـﺗ ﺎَﻣَو ْﻢُﻜَﻘَﻠَﺧ ُﻪﱠﻠﻟاَو 96

(

Artinya: “Allah menciptakan kebebasan untuk manusia berupa perbuatan agar dapat menggunakan daya dan kehendak dalam hal memilih yang baik dan yang buruk”.

Mengenai hal ini, Harun Nasution menyatakan bahwa Maturidi mengambil jalan tengah antara paham Qodariyah dan Jabariyah.52

h) Sunnah Rasul

Pandangan Al-Maturidi terkait dengan Sunnah Rasul, ia mengakui sebagai salah satu sumber pengetahuan, akan tetapi ia juga menekankan sikap kritis terhadap isi (matan) dan rangkaian periwayatan sanad sunnah Rasul tersebut.53

i) Pelaku Dosa Besar

Allah telah menjajikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatanya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Terkait dengan dosa besar Maturidi berpendapat, bahwa orang yang beriman dan yang berdosa besar tetap dinyatakan sebagai orang mukmin. Adapun bagaimana nasibnya kelak di akhirat, terserah kepada kehendak Allah.54 Dengan demikian berbuat

52 Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul Huda, 2015, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia, Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, hlm. 83.

53 Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul Huda, 2015, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia, Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, hlm. 77-78.

54 Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul Huda, 2015, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia, Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, hlm. 86.

dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka.

28 Sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Pendirinya

BAB III

PERKEMBANGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Dalam Bab berikutnya akan diuraikan terkait dengan perkembangan ajaran ahlussunnah wal jama'ah. Dengan harapan melalui perkuliahan agama Islam (Aswaja) mahasiswa bisa mengetahui perkembangan ahlussunnah wal jama'ah dan dapat memahami rumusan prinsip-prinsip ahlussunnah wal jama'ah dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

Uraian dalam bab ini dimulai dengan sebuah pertanyaan

“Bagaimana perkembangan ahlussunnah wal jama'ah?”.

A. Sejarah Perkembangan Aswaja

Sebagaimana keterangan dalam bab sebelumnya bahwa istilah ahlussunnah wal jama'ah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah (611-750 M).

Istilah ahlussunnah wal jama'ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi SAW dan pada periode Sahabat.55

Memang jauh sebelum itu kata sunnah dan jama’ah sudah lazim dipakai dalam tulisan-tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan sebutan bagi sebuah mazhab keyakinan. Misalnya terlihat dalam surat-surat Al-Ma’mun kepada gubernur Ishaq ibn Ibrahim pada tahun 218 H, sebelum Al-Asy’ari lahir, tercantum kutipan kalimat wa nasabû Anfusahum ilas sunnah (mereka mempertalikan diri dengan sunnah), dan kalimat ahlul haq wad dîn wal jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).56

Penggunaan istilah ahlussunnah wal jama'ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan justru diketahui, sejak Az-Zabidi

55 Said Aqil Siradj, 2008, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, hlm. 6.

56 Harun Nasution, 2008, Teologi Islam ; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Pres, hlm. 65.

30 Perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah

menyebutkan dalam kitab Itihaf as-Sadat al-Muttaqin, sebagai syarah dari kitab Ihyâ Ulûmuddîn Al-Ghazali:

ُفﺎَﺤِﺗِا) ُﺔَﻳ ِﺪْﻳِﺮُﺗﺎَﻤﻟْاَو ُ ةَﺮِﻋﺎَﺷَْﻻَا ْﻢِﻬِﺑ ُداَﺮُﻤْﻟﺎَﻓ ِﺔَﻋﺎَﻤَﺠْﻟاَو ِﺔَﻨُﺴﻟا ُﻞْﻫَا َﻖِﻠْﻃُا اَذِا َﻦْﻴِﻘَﺘُﻤﻟْا ِةَدﺎَﺴﻟا

ج -2 ص 6 ( .

Artinya: Jika disebut ahlussunnah wal jama'ah maka yang dimaksud adalah para pengikut Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi (Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, juz 2, hlm. 6).57

Ahlussunnah wal jama’ah adalah pengikut Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam bidang aqidah, dan pengikut ulama mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali dalam bidang syari’ah atau fiqih, pengikut Imam Al-Ghazali dan Imam Junaidi al-Baghdadi.

Berdasarkan telaah sejarah, terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 35 Hijriyah, diikuti dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib Ra telah menimbulkan pro dan kontra dan muncul protes keras dari dua golongan. Pertama, golongan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Damaskus. Kedua, protes yang dilancarkan oleh

‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Mereka menuduh Ali bin Abi Thalib Ra.

adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman bin Affan. Dua kelompok ini kemudian pecah menjadi perang terbuka. Yakni perang Shiffin dan disusul kemudian dengan pecahnya perang Jamal.58

Dalam perang shiffin, pasukan Muawiyah mengalami krisi politik dan mengalami kekalahan melawan kelompok Ali bin Abi Thalib Ra.

Pada saat itu muncul siasat politik dari kelompok Muawiyah dengan mengajukan usul perundingan kepada pihak Ali bin Abi Thalib Ra.

agar peperangan segera diakhiri. Dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amru bin ‘Ash, sedangkan dari pihak Ali bin Abi Thalib Ra. diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Hasil perundingan dimenangkan oleh kubu

57 Muhyiddin Abdusshomad, 2009, Aqidah Ahlussunnah wal jama’ah, Surabaya: Khalista, hlm. 9.

58 KH. A. Busyairi Harits, 2010, Islam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, Surabaya: Khalista, hlm. 19.

Muawiyah. Akibat dari perundingan ini kubu Ali kw. pecah menjadi tiga kelompok, ada yang bersikeras untuk melanjutkan peperangan, ada yang menerima perundingan yang diajukan Muawiyah, ada juga yang kemudian keluar dari barisan jama’ah Ali, inilah yang disebut dengan kaum Khawarij.

Dari peristiwa tersebut, muncul beberapa sekte keagamaan yang pada awalnya lebih di dominasi persoalan politik. Dan menurut ahli sejarah, mulai saat itu muncul perbedaan seputar masalah Apakah ar-Ra’yu (akal) boleh dijadikan dasar untuk menetapkan hukum setelah Al-Qur’an dan Hadis. Atas perbedaan tersebut timbul dua arus pemikiran dikalangan kaum mujtahidin.

1. Ahl Hadis, yakni mereka yang hanya berpegang kepada hadis setelah Al-Qur’an.

2. Ahl Ra’yi, yakni golongan yang menggunakan pendekatan hukum melalui pemikiran, di samping tetap berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis. Inilah yang kemudian memunculkan istilah ijma’ dan Qiyas. Terlepas dari aspek politik yang menjadi pemicu lahirnya aswaja, lebih sering di konotasi dengan teologi (kalam), al-Asy’ari (w. 235 H) dan al-Maturidi (w. 333 H).

Sedangkan teologi seperti Mu’tazilah dan lainnya dipandang sebagai berada diluar paham aswaja.59

Berpijak dari berbagai argumentasi diatas, ada kemungkinan bahwa dalam paham aswaja, terutama dalam lapangan teologis (kalam) telah mengalami polarisasi. Di satu sisi muncul pemikiran yang cenderung rasionalis, seperti Mu’tazilah. Namun pada saat yang bersamaan muncul pula pemikiran yang justru hendak menyapu bersih kecenderungan pola pikir rasionalis. Kelompok terakhir ini sering identik dengan teologi Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, bahkan kemudian terkenal dikalangan umat Islam dengan sebutan ahlussunnah wal jama'ah (sunni), disingkat menjadi “aswaja”.

Adapun i’tikad (keyakinan/kepercayaan) ahlussunnah wal jama'ah secara ringkas dapat diterangkan sebagai berikut:

59 KH. A. Busyairi Harits, 2010, Islam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, Surabaya: Khalista, hlm. 20.

32 Perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah

1. Beriman terhadap rukun iman yang enam. Dan percaya bahwa Allah mempunyai nama sebanyak 99 atau yang disebut dengan Asmaul Husna.

2. Meyakini aqaid lima puluh (50), artinya percaya bahwa Allah memiliki sifat wajib dan mustahil serta sifat jaiz, sifat wajib dan mustahil serta mumkin Nabi.

3. Allah beserta nama dan sifat-Nya seluruhnya adalah qadim, karena keduanya berdiri diatas Żat yang qadim, tidak bepermulaan.

4. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim, tidak hadis, baru atau mahluk. Adapun yang tertulis, pakai huruf dan suara merupakan gambaran dari Al-Qur’an yang qadim itu.

5. Semua rezeki manusia sudah ditetapkan pada zaman azali, tidak bertambah dan tidak berkurang, tetapi manusia diperintah supaya berusaha dan ikhtiar, tidak boleh menunggu saja.

6. Ajal manusia sudah ditetapkan, tidak maju atau mundur meskipun hanya sedetik.

7. Anak-anak orang kafir yang mati belum baligh, tetap masuk surge.

8. Pahala sedekah, wakaf dan pahala bacaan do’a, tahlil, shalawat, Qur`an, boleh dihadiahkan kepada orang yang telah mati dan sampai kepada mereka, kalau diminta kepada Allah untuk menyampaikannya.

9. Ziarah kubur, khususnya kubur kedua orang tua, ulama, para wali dan orang-orang mati sahid, apalagi kubur Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya adalah sunnah hukumnya, mendapat pahala kalau dikerjakan.

10. Berdoa’ kepada Allah secara langsung atau berdo’a kepada Allah dengan wasilah (bertawasul) adalah sunnah hukumnya.

11. Masjid di seluruh dunia sama derajatnya, kecuali tiga masjid, yaitu masjid al-haram di Makkah, masjid Nabawi di Madinah dan masjid al-Aqsha di Palestina.

12. Jika terdapat ayat Al-Qur’an yang menyatakan Allah serupa dengan manusia, maka yang demikian dita’wilkan secara majazi, yakni bukan menurut asal dari perkataan itu, setelah itu diserahkan kepada Allah tentang kebenarannya. Misalnya Allah

“bertangan” maka maksudnya Allah berkuasa karena tangan itu biasanya alat kekuasaan.

13. Allah memberikan kepada seseorang dengan karunia-Nya, dan menghukum dengan keadilan-Nya.

14. Allah dapat dilihat bagi penduduk surge dengan mata kepala bukan dengan mata hati.

15. Ketika manusia berada di dunia tidak dapat melihat Allah kecuali Nabi SAW pada malam mi’raj.

16. Nabi Muhammad SAW memberi syafaat di akhirat kepada seluruh manusia, syafaat itu bermacam-macam yaitu diantaranya menyegerakan hisab di padang mahsyar.

17. Ahlussunnah wal jama’ah meyakini adanya keramat yang diberikan kepada wali-wali Allah, para ulama dan orang-orang shalih, misalnya makan datang sendiri kepada Siti Maryam, Ash-Habul Kahfi tidur selama 390 tahun tanpa mengalami kerusakan tubuh.

18. Dosa menurut ahlussunnah wal jama'ah dibagi menjadi dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil.60

B. Sistem Bermazhab 1. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berasal dari kata ijtahada artinya bersungguh-sungguh, berusaha keras.61 Secara terminologis ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang praktis melalui istinbath. Menurut Muhammad al-Khudari Biek bahwa ijtihad adalah sebagai pengerahan kemampuan secara optimal untuk menggali hukum syara’ dari sesuatu yang oleh syar’i (Allah dan Rasul-Nya) dinilai sebagai dalil, yaitu Al-Qur’an dan sunnah.

Ijtihad menurut ulama ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat ‘amaliah dari dalil-dalil yang terperinci. Sementara itu, sebagian ulama yang lain memberikan definisi bahwa ijtihad adalah

60 KH. A. Busyairi Harits, 2010, Islam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, Surabaya: Khalista, hlm. 20-22.

61 KH. Achmad Siddiq, 2005, Khittah Nahdliyah, Surabaya: Khalista, hlm. 47.

34 Perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah

usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.62

Ijtihad terbagi dalam dua macam, yaitu pertama ijtihad untuk mengambil hukum dari makna leksikal teks Al-Qur’an maupun sunnah. Hal ini dilakukan, jika hukum telah terjangkau oleh teks.

Kedua, mengambil hukum dari nalar teks ketika ditemukan ‘illat hukum, sementara teks tidak secara tegas mencakup persoalan yang baru. Ijtihad yang kedua disebut al-Qiyas.63

Ciri khusus hakikat ijtihad64 sebagaimana dalam Mahsun adalah:

a) Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara optimal sehingga mujtahid merasa tidak mampu lagi berbuat lebih dari itu.

b) Ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang disebut faqih.

c) Produk yang diperoleh dari ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat ‘amaliah (praktis).

d) Ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath.

Berdasarkan empat ciri khusus hakikat ijtihad tersebut bisa dipahami bahwa ijtihad tidak boleh dilakukan sembarang orang, tetapi harus mempunyai kompetensi yang cukup sesuai dengan syarat-syarat sebagai mujtahid agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan hukum yang diakibatkan oleh sikap ceroboh, menuruti nafsu, dan subyektifitas mujtahid tersebut. Secara prosedur, ijtihad tidak boleh dilakukan tanpa melibatkan nalar sehat untuk memahami teks dengan menguasai berbagai ilmu bantu yang diperlukan, misalnya penguasaan ilmu bahasa Arab, dan sebagainya agar

62 Tutik Nurul Janah, 2015, Metodologi Fiqh Sosial Dari Qauli Menuju Manhaji: Ijtihad Jama’i Sebagai Model Gerakan Sosial Kia Sahal, Pati:

Staimafa Press, hlm.181.

63 Mahsun, 2015, Mazhab NU Mazhab Kritis, Yogyakarta: Nadi Pustaka, hlm. 35.

64 Mahsun, 2015, Mazhab NU Mazhab Kritis, Yogyakarta: Nadi Pustaka, hlm. 36.

produk hukum yang dihasilkan dapat dibenarkan secara akademik walaupun bersifat dzanni (spekulatif).65

Seiring dengan perkembangan problem masyarakat yang seolah-olah menemui jalan buntu ketika mencari pemecahan persoalan sehari-hari terutama terkait dengan dalil-dalil agama, Kiai Sahal memberikan tawaran konsep baru ialah ijtihad jama’i atau ijtihad secara kolektif. Menurut Kiai Sahal ijtihad jama’i adalah suatu ijtihad yang melibatkan beberapa ulama berdisiplin ilmu tertentu yang saling berbeda, untuk kemudian menetapkan ijtihad dalam satu atau beberapa perkara. Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip ijtihad jama’i ini diterapkan olehnya bukan saja dalam konteks menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan wudlu, shalat atau puasa saja. Namun lebih dari itu, Kiai Sahal menggunakan ijtihad jama’i sebagai model gerakan sosial yang dilakukannya. Pada praktiknya, ijtihad jama’i sudah sering dilakukan oleh ulama-ulama NU dalam berbagai kesempatan, misalnya adanya halaqh ulama, yang tujuan utamanya adalah bisa disederhanakan sebagai suatu upaya mencari jalan baru bagi penetapan fiqih secara kontekstual.

Bentuk ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif adalah bisa berbentuk bahsul masail yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama dalam rangka mencari penyelesaian masalah-masalah umat.66

KH Achmad Siddiq dalam buku Khittah Nahdliyyah67 mengatakan untuk mampu ber-istinbath, selain penguasaan teori dan praktik ushul fiqh dan qawaidul fiqh, mutlak diperlukan penguasaan terhadap banyak macam ilmu yang lain, di antaranya:

a) Perbendaharaan ilmu pengetahuan agama yang sangat luas terlebih dahulu.

b) Perbendaharaan ilmu pengetahuan agama tentang Al-Qur’an dan sunnah secara lengkap.

65 Mahsun, 2015, Mazhab NU Mazhab Kritis, Yogyakarta: Nadi Pustaka, hlm. 37.

66 Tutik Nurul Janah, 2015, Metodologi Fiqh Sosial Dari Qauli Menuju Manhaji: Ijtihad Jama’i Sebagai Model Gerakan Sosial Kia Sahal, Pati:

Staimafa Press, hlm.191.

67 KH. Achmad Siddiq, 2005, Khittah Nahdliyah, Surabaya: Khalista, hlm. 51-52.

36 Perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah

c) Penguasaan ilmu bahasa Arab, mengenai lughah, dialek, tata bahasa (Nahwu-Sharaf), sastra (balaghah = Badi’, Bayan, dan Ma’ani) dan lain sebagainya.

d) Ilmu tafsir, tata cara penafsiran (interpretasi) Al-Qur’an secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

e) Ilmu hadis, seleksi dan kategori hadis, tata cara penafsiran hadis dan lain sebagainya.

f) Dan lain-lain ilmu pengetahuan tentang agama Islam.

Istinbath didasarkan atas landasan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah yang tidak cukup hanya dengan satu dan dua ayat saja.

Adakalanya, untuk satu masalah diperlukan beratus-ratus ayat Al-Qur’an dan berates-ratus matan al-Hadis, yang tidak selalu sharih, tidak selalu tegas dan jelas maknanya mengenai satu hal. Contohnya untuk merumuskan cara melakukan shalat yang sah, yang baik, diperlukan ratusan ayat Al-Qur’an dan ratusan matan hadis. Tidak boleh istinbath hanya berdasar sebuah ayat saja, karena mungkin ada ayat lain yang harus dirangkaikan yang tidak boleh diabaikan mengenai masalah yang diijtihadi. Kalau pekerjaan istinbath sudah selesai, maka tercapai hasil (natijah) istinbath atau ijtihad itu.

Serangkaian hasil ijtihad yang sudah meliputi bermacam-macam masalah, disebut Mazhab ( ْب = tempat berjalan, jalan yang َھ ْذ َﻣ

Serangkaian hasil ijtihad yang sudah meliputi bermacam-macam masalah, disebut Mazhab ( ْب = tempat berjalan, jalan yang َھ ْذ َﻣ